Banyak jalan menuju Benteng Dirun. Bisa melalui jalur Weluli atau lewat jalur Maudemu. Jalur Weluli terbilang mulus. Namun selepas Kota Weluli,Kecamatan Lamaknen, jalanan menanjak dengan kondisi rusak parah sekitar 10 kilometer. Jika mengikuti jalur Desa Maudemu, jalanan berbatu dan menanjak langsung menyambut di simpang depan kantor Desa Bauho.
Untuk mencapai benteng, harus berjalan mengitari kawasan Gunung Lakaan melewati beberapa desa seperti Desa Halimodok, Desa Maudemu. Tiba di puncak Gunung Lakaan, rasa sakit dan lelahnya badan seketika hilang. Ketika hendak masuk ke benteng, hamparan kaktus memanjakan mata. Hamparan batu karang di kiri dan kanan jalan seolah prajurit bersenjata berjalan mengiringi pengunjung menuju benteng.
Sekitar 500 meter sebelum mencapai benteng, ada pagar kawat berduri yang dipakai unuk mencegah sapi atau kuda masuk ke kawasan benteng. Mendekati gerbang benteng, ada satu bangunan lopo yang nyaris roboh di sisi kiri jalan. Dari Kota Atambua, perjalanan ke lokasi ini menghabiskan waktu hampir dua jam.
Antonius Bele adalah orang pertama yang menyambut Pos Kupang hari itu. Antonius perkenalkan diri sebagai penjaga benteng sekaligus perawat anakan pohon cendana yang ditanam di sekitar benteng. Dia bersama tiga rekan sudah memiliki jadwal memandu wisatawan yang datang kesana. Mereka digaji Dinas Kehutanan Kabupaten Belu. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menggelar ritual adat berupa permintaan izin untuk masuk ke benteng dengan meletakkan sirih pinang, rokok atau uang kertas.
Gerbang benteng ini menghadap ke selatan. Persis di pintu masuk benteng, terdapat tulisan tangan pada kardus yang meminta pengunjung wajib menaruh 'uang permisi'. Tinggi benteng batu karang ini diperkirakan mencapai dua meter dengan lebar satu meter. Disebut Benteng Lapis Tujuh karena berbentuk tujuh lapis. Lapisan pertama paling luar dan paling dalam lapisan ketujuh berisi meriam dan kuburan tua. Untuk masuk ke setiap lapisan melewati pintu sempit berukuran sekitar 80 centimeter.
Pada sudut kanan lapisan pertama, terdapat lubang berdiameter sekitar 15 centimeter sebagai pengintai dan lubang untuk menaruh senjata. Lubang ini mengarah ke selatan. Setiap orang yang menuju ke gerbang benteng terlihat dengan jelas dari lubang ini.
Lubang yang sama juga ada di lapisan kelima, yang juga mengarah ke pintu gerbang utama benteng. Masuk lapisan keenam, mata langsung tertuju pada moncong meriam tua yang tepat mengarah ke pintu benteng. Meriam ini diletakkan di atas pagar batu dan tak goyah meski digoyang. Selain meriam, di sisi utara terdapat banyak kuburan tua. rapih. Ada satu kuburan batu besar yang dikenal sebagai makam raja pertama.
Di sebelahnya terdapat kuburan lain yang terbuat dari campuran semen dan pasir. Kuburan ini milik permaisuri pertama Kerajaan Dirun. Di kanan dan kiri terdapat bebatuan karang tinggi. Terdapat bekas batang jagung yang ditanam di dekat batu-batu. Diduga sebagai tempat persembahan ketika musim panen jagung atau padi tiba. Ada juga sisa pembakaran lilin di atas batu-batu ini.
Di tengah lingkaran ketujuh atau disebut Saran Mot, terdapat satu batu yang ditanam. Menurut Anton Bele, batu itu merupakan tempat menaruh kepala musuh yang dipancung seusai perang. Lingkaran ketujuh atau disebut Saran Mot berdiameter sekitar 10 meter. Di sisi utara benteng terdapat satu batu yang konon menjadi tempat mengintai musuh. Batu ini diberi nama Batu Makes. Makes dari bahasa bunaq (marae) yang artinya bambu belang. Di batu ini dulu ada pohon bambu belang yang ditanam panglima perang.
Daya magis Benteng Lapis Tujuh sudah diyakini turun-temurun oleh anak cucu keturunan Raja Dirun, yang kebanyakan keturunan Tionghoa. Orang luar atau orang- orang dari Kabupaten Belu tak jarang melakukan ritual adat di benteng itu. Mereka yakin melakukan ritual adat di benteng, apapun yang diminta akan terpenuhi. Seperti berhasil dalam perantauan, bisnis, lulus ujian, direstui menjadi calon bupati atau wakil bupati. Dipercaya juga terbebas dari sial atau mimpi buruk.
Hal ini dibenarkan keturunan Raja Dirun, Gaspar Lesu (72). Gaspar mengatakan, keturunan Raja Dirun, baik anak maupun cucu masih terus melakukan ritual adat di benteng itu. Namun sebatas saat acara panen jagung atau padi termasuk mengunjungi kuburan leluhur di lokasi benteng. "Kami bangga karena saat ini Benteng Lapis Tujuh sudah jadi obyek wisata," semua," katanya.
Gaspar mengaku sering mengalami pengalaman mistis di sekitar benteng. "Dulu, saat mau pergi perang. Daun apa saja atau lumut yang diambil dari benteng. Kalau sudah pakai itu, kena tembak kami tidak mati,” katanya. Namun bagi orang yang tidak percaya, maka orang itu tidak akan bisa pulang ke rumahnya.
Sebagai pemilik benteng, Gaspar merasa bangga karena benteng itu adalah sejarah peradaban yang tak ternilai harganya dan masih banyak masyarakat yang mengunjunginya. "Banyak yang datang, terutama yang berdarah Tionghoa. Mereka bunuh babi atau ayam di benteng untuk minta rejeki. Mungkin mereka juga masih keturunan Raja Dirun karena dalam silsilah, ada anak raja yang suaminya berdarah Tionghoa,” ujarnya.
Gaspar menjelaskan, berdasarkan cerita orangtua dulu, pembuatan Benteng Lapis Tujuh ini ada campur tangan gaib. Pembuatan benteng ini hanya dilakukan 30 laki-laki, termasuk Raja Manu Loe beserta Bei Nai Koi, Bei Nai Naak dan Bei Nai Mali yang bekerja di atas puncak Makes (tempat benteng lapis tujuh). Serta 30 laki-laki yag bekerja di bawah kampung Nuawain.
Pamong Adat, Petrus Hale Oan, menambahkan, hal penting yang harus dilakukan wisatawan yakni perjalanan ke lokasi benteng dilarang melalui jalur Maudemu. Tetapi, harus melalui jalur Weluli dan pintu masuk melalui Kampung Nuawain. Hal ini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Di gerbang masuk benteng yang ada di Kampung Nuawain, ada pos penjagaan. Dan dari pos menuju ke benteng sekitar dua kilometer. Di dekat pos terdapat tempat untuk melakukan ritual adat sebelum menuju puncak Makes, tempat Benteng Lapis Tujuh Dirun. (edy bau)
Janji Seribu Tangga
BENTENG Dirun merupakan obyek wisata sejarah yang indah, namun infrastruktur jalan dan fasilitas di sana belum baik. Masyarakat Dusun Nuawain, Desa Dirun, Roberta Lawa dan Maria Lese mengatakan, jalan masuk menuju benteng ini harus diperbaiki sehingga memudahkan akses menuju benteng.
Mereka menyayangkan pengerjaan jalan menuju benteng yang baru dikerjakan tetapi sudah rusak lagi. Selain itu, fasilitas seperti mandi cuci, kakus (MCK), air bersih harus ada. Pembenahan hanya untuk fasilitas penunjang. Kondisi benteng harus tetap asli jangan sampai berubah,” pinta keduanya.
Tokoh masyarakat setempat yang juga Pamong Adat Desa Dirun, Petrus Hale Oan mengatakan, bukti sejarah kerajaan Dirun itu telah menjadi situs sejarah dan salah satu obyek wisata daerah dan mulai dikenal secara luas.
Tahun 2013 peserta Sail Komodo pernah singgah di benteng ini. Dan tahun 2014, sejumlah guru besar dari seluruh Indonesia juga mendatangi benteng ini, termasuk petugas dari kantor Bahasa.
Petrus mengatakan, pemilik situs sudah berupaya membenahi benteng ini semampu mereka. Proposalpun sudah dibuat, namun belum mendapatkan jawaban dari pemerintah daerah dan pusat. Bahkan Pemkab Belu pernah berjanji membuat 1.000 tangga dari Kampung Nuawain menuju Benteng. Pembangunan 1.000 tangga ini diyakini bisa menjadi pesona dan daya tarik untuk pengunjung wisatawan berkunjung ke benteng itu. "Kami sudah usul, tapi sampai sekarang belum ada jawaban. Janji pemerintah mau buat seribu tangga juga belum direalisasikan,” katanya.
Kepala Desa Dirun, Agustinus Mali mengatakan, saat menjabat tahun 2012, ia mengumpulkan tetua adat dari sembilan dusun di desa untuk melakukan pembersihan dan penataan area Benteng Dirun. Pasalnya, kondisi benteng dipenuhi semak belukar dan padang sabana hutan kaktus. Mereka kemudian melakukan ritual pemotongan ayam untuk meminta izin. Hutan kaktus dibabat habis untuk membuka jalan menuju benteng. Alhasil, saat ini bisa dilihat wajah benteng mulai nampak ada penataan.
"Saya sering mengundang anggota DPRD Belu dan Dinas Pariwisata untuk melihat langsung benteng. Harapannya ada perhatian untuk pembenahan aset daerah ini. Saya berharap ke depan ada pintu masuk seperti gapura, lopo-lopo yang bagus dan jalan masuk yang bisa dilalui dengan mudah. Semakin baik akses jalannya, semakin menghemat energi untuk mencapai benteng sehingga akan lebih banyak waktu untuk menikmati keindahan dan suasana di benteng ini,” katanya.
Mali mengatakan, setiap tanggal 7 Oktober ada wisata rohani di puncak Gunung Lakaan. Dan di Benteng Lapis Tujuh selalu ada acara adat panen jagung atau panen padi. Tanggal 2 November seluruh keturunan kerajaan Dirun akan mendatangi benteng untuk membakar lilin dan membersihkan kuburan leluhur. (roy)
Drs. Dominikus Mali (Kadis Pariwisata Belu): Butuh Arkeolog
BENTENG Dirun atau Ranu Hitu Dirun merupakan benteng unik dan telah menjadi situs sejarah. Benteng ini mengandung makna tentang akar budaya orang Dirun, makna tentang kebesaran dan keagungan karya nenek moyang orang Dirun.
Pemerintah Kabupaten Belu melihat Benteng Dirun ini sebagai suatu bukti adanya peradaban, sebagai sebuah situs dan akar budaya orang Belu khususnya Dirun. Karena itu, situs ini harus dilestarikan. Kami sudah melakukan berbagai upaya untuk melestarikan Benteng Dirun itu seperti pembersihan, memperbaiki kerusakan, menyusun kembali bagian-bagian yang rusak termasuk mempromosikan situs ini sebagai salah satu obyek wisata di Kabupaten Belu.
Mengingat situs ini satu kawasan dengan Gunung Lakaan, Balok Ama, Fulan Fehan, Benteng Kikit, maka telah dimasukkan dalam rencana induk pengembangan pariwisata daerah (Riparda). Riparda akan diturunkan ke dalam masterplan dan menjadi kawasan terpadu antara lain wisata alam, wisata budaya dan wisata minat khusus.
Namun, kami mengalami kendala yaitu keterbatasan anggaran. Pemerintah tidak bisa mengandalkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), tetapi dibutuhkan intervensi dana dari pusat.
Selama ini, APBD Belu hanya mengalokasi dana Rp 1 miliar. Rinciannya, Rp 500 juta untuk operasional kantor dinas dan Rp 300 juta untuk partisipasi kegiatan di provinsi, sisanya Rp 200 juta. Jumlah ini tentu sangat kecil untuk mengembangkan potensi pariwisata dan seluruh obyek wisata yang ada di wilayah Belu.
Dalam APBD kami pernah usulkan, tapi dana terbatas. Kawasan Benteng Dirun ini mencapai radius satu kilometer sehingga dibutuhkan dana sampai Rp 2 miliar. Pemerintah pusat bisa memberikan perhatian dengan syarat, harus ada rekomendasi dari tim arkeologi daerah bahwa situs ini layak menjadi situs daerah atau situs nasional.
Hasil penelitian tim arkeologi bisa diketahui usia benteng lalu dihubungkan dengan peristiwa besar yang terjadi hingga benteng itu dibangun. Dan tim arkeologi itu minimal tiga orang, terdiri dari seorang doktor atau minimal sarjana arkeologi, sarjana kebudayaan dan sarjana sejarah. Dan nantinya tim arkeologi ini akan dikukuhkan dengan surat keputusan (SK) Bupati Belu.
Namun, sampai saat ini kami belum memiliki tim arkeologi daerah yang bisa melakukan penelitian tentang usia benteng dan membuat profil benteng itu. Kalau tim arkeologi sudah ada, maka bisa dikeluarkan rekomendasi agar situs ini mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat. Dan barulah bisa segera dikembangkan dan dibenahi sesuai rencana induk pengembangan pariwisata daerah.
Meskipun tahun lalu kami sudah buat proposal kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan sudah ada dukungan dari 12 suku pendukung, tapi kami belum dapat jawaban positif dari Kemendikbud. (roy)
Pos Kupang, 6 September 2015 hal 1