Ngambek

NGAMBEK berasal dari atau akar katanya, ambek. Dan, menurut KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), kata ini adalah dialek Melayu Jakarta atau Melayu Betawi. Sinonimnya, merajuk. Selain sama, keduanya sedikit beda. Dalam dialek Melayu Betawi, terutama dalam pergaulan sehari-hari, kalau dikatakan, "Dia lagi ngambek", atau "dia ambekan", maka maknanya adalah orang itu agak marah, mudah marah, lekas marah. Sedangkan merajuk, artinya menunjukkan rasa tidak senang. Ini diperlihatkan dalam tingkah laku misalnya berdiam diri, tidak mau bergaul (tentu dengan tampilan wajah yang mendukung perilaku kejiwaan untuk itu dan sifatnya sesaat). Juga berarti, bersungut-sungut atau mengomel.

    Ngambek atau merajuk, melekat dalam kehidupan sehari-hari setiap orang entah itu anak-anak, entah itu orang dewasa, bisa sampai pada kakek-kakek dan nenek-nenek. Karena sifat ini melekat pada setiap individu, maka itu ada pada orang terpelajar dan kurang atau tidak terpelajar. Buktinya, seorang intelektual  yang pernah belajar sembilan tahun di Amerika Serikat (AS)  dan kemudian meraih doktor di negeri Paman Sam iatu baru-baru ini menunjukkan sifat childish-nya, yaitu tatkala idolanya tidak terpilih menjadi raja di negeri yang zaman dahulu kala diproklamirkan sebagai Nusantara melalui Sumpah Palapa-nya Pati Gajahmada dari Kerajaan Majapahit.

    Dalam kehidupan, Anda pasti pernah melakukan itu, sadar atau tidak sadar. Anda sebagai suami, tentu pernah ngambek atau merajuk terhadap istri Anda. Begitu pula sebaliknya. Alasannya bisa saja karena masalah sepele. Wujudnya, bisa halus, bisa pula kasar dan sadis. Misalnya, ada suami yang ngambek, dan itu diperlihatkannya tidak saja dengan kata-kata bernada marah, tapi bisa pula melampiaskan dengan menghancurkan benda-benda yang ada sekelilingnya, seperti piring atau gelas dibanting hingga pecah, nasi atau sayur di piring dan mangkuk ditebar dan ditumpahkan. Anak merajuk atau ngambek pada kedua orangtuanya, sering terjadi. Alasannya juga macam-macam. Bahkan pasti terjadi, ada anak yang ngambek dengan menggancam meninggalkan kedua orangtua (dalam dialek Melayu Betawi atau Jawa disebut minggat) yang menyayanginya. Bisa saja 'ancaman itu datang dari hati kecil si anak sendiri, bisa pula karena 'ditusuk-tusuk' oleh sang kakak dalam keluarga itu yang sudah pintar bikin skenario mengusik orangtua. Dalam hal ini, ada orangtua yang menanggapi serius, ada pula yang tidak menanggapi serius 'ancaman' si anak.

    Di kalangan anak muda (umumnya), terutama kalau lagi kasmaran, dua perilaku itu menjadi biasa (maaf, tidak seperti contoh suami istri itu).

    Nah, itu ngambek dan atau merajuk dalam kehidupan keluarga. Ngambek dan merajuk juga terjadi dalam kehidupan suatu kelurga besar, yaitu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Ya, bukankah keluarga (ayah, ibu, dan anak) itu nukleus, inti terkecil atau tersedikit dari suatu bangsa? Dari inti terkecil ini kemudian berkembang menjadi satu rumpun subetnik. Kumpulan rumpun subetnik-subetnik itu kemudian menjadi satu etnik yang terikat menjadi satu karena berlatar belakang sejarah yang sama atau hampir sama.      Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita tahu, memiliki begitu banyak subetnik. Tidak beda dengan keluarga inti, tiap anak dalam keluarga inti memiliki sifat, karakter sendiri-sendiri, demikian pula subetnik dalam keluarga besar bangsa. Kalau dalam keluarga inti ada anak yang ngambek lalu mengancam untuk minggat, dalam keluarga besar bangsa juga demikian, mau berdiri di atas kaki sendiri alias berdikari, melepaskan diri sama sekali dari keluarga inti alias merdeka. Tapi lucunya, perlakuannya tidak beda dengan anak dalam keluarga inti. Mengancam orangtua dengan memanipulasi suara dari anak-anak tetangga terdekat bersekongkol untuk 'minggat'. Benarlah kata para pakar bahwa apa yang tengah terjadi di suatu wilayah di negeri ini tidak lain dari ciri kekanak-kanakan, childish.

    Persis anak kecil dalam keluarga, di belahan lain negeri ini, ada anak yang ngambek, tapi setelah diberi 'permen', bungkamlah dia. Tapi korban ambekan telah terlanjur besar. Lalu bagaimana dengan yang belum diberi 'permen'? Seperti dalam keluarga, kalau ada di antara anak-anak itu yang sudah pintar membuat skenario mengusik orangtua, mungkin anak-anak yang membuat skenario itulah yang perlu dikasih sesuatu. Tapi jangan permen, kasih saja pil kina. Soalnya, seperti dalam dialek Jawa bilang, orang-orang seperti ini tidak ambekparamarta. (marcel weter gobang)


Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin 25 Oktober 1999 hal 1

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes