Sindrom John Wayne

HATI kita teriris menyaksikan peristiwa terkini di Cengkareng. Bachrudin (35) yang sehari-hari bekerja sebagai satpam  meregang nyawa setelah dada kirinya tertembus peluru yang dilepaskan oknum Brimob Briptu Wawan, Selasa (5/11/2013).

Pemicunya bisa disebut remeh temeh. Briptu Wawan awalnya meminta Bachrudin memberi hormat kepadanya dan push up. Gara-gara permintaannya ditolak, Wawan mengokang senjata lalu melepaskan timah panas dalam jarak dekat. Dor! Bachrudin tumbang berlumuran darah dan tewas. Hukum yang adil hendaknya berlaku bagi oknum polisi itu agar kematian Bachrudin mendapat perlakuan selayaknya.

Peristiwa semacam ini memang bukan pertama kali terjadi di negeri ini. Sudah banyak warga masyarakat yang menjadi korban tindakan polisi bergaya koboi. Di Sulawesi Utara (Sulut), misalnya, sebanyak 16 anggota polisi dari Satuan Sabhara Kepolisian Daerah (Polda) Sulut diduga menggeroyok dua orang saksi yang sedang dimintai keterangan di  Polresta Manado. Kasat Reskrim Polresta Manado, AKP Made Dewa Palguna membenarkan kejadian tersebut dan mengatakan telah menyerahkan pemeriksaan ke-16 anggota Sabhara ke  Propam Polda Sulut.

"Kami serahkan ke sana (Polda) untuk diproses. Tapi mungkin tidak semua dijadikan tersangka," ujar Palguna, Rabu (6/11/2013). Pengeroyokan tersebut diduga merupakan upaya balas dendam polisi setelah rekan mereka dikeroyok sekelompok orang beberapa hari sebelumnya. Ironis sekali karena polisi makin hakim sendiri!

Atas sederet kejadian yang memilukan seperti itu,  kiranya benar pandangan Kriminolog Reza Indragiri Amriel. Menurut Reza, peristiwa penembakan satpam di Cengkareng menjadi bukti adanya persoalan psikologis yang cukup akut di tubuh Polri. Masalah psikologis ini kemudian bertemu dengan efek senjata yang akhirnya melahirkan perilaku menyimpang dari aparat penegak hukum.

Reza Indragiri Amriel, seperti dikutip Kompas.Com, Rabu (6/11/2013),  mengatakan seseorang melakukan kekerasan dengan senjata api sebenarnya tak perlu memakai motif. Efek kepemilikan senjata api bisa mendorong seseorang gunakan senjata itu untuk keperluan apa pun. Di sisi lain, anggota polisi  api bekerja dengan tingkat stres luar biasa. "Tapi, berapa banyak polisi yang pernah menjalani konseling? Sangat minim. Kerapuhan psikologis pada satu sisi bersimbiosa dengan efek senjata," kata Reza.

Reza menambahkan, di kalangan kepolisian berkembang gejala John Wayne Syndrome. Sindrom ini termanifestasikan pada prinsip malu mengaku takut, hina mengaku letih, aib mengaku sakit. Namun, doktrin tersebut dianggap menanggalkan sisi kemanusiaan polisi.  Hal lain yang mengakibatkan banyaknya kasus kekerasan oleh polisi, menurut Reza, karena permasalahan dalam rekrutmen. Ia mengatakan, sejak awal kepolisian seharusnya bisa memastikan orang-orang yang diterima bergabung hanya mereka dengan tendensi kekerasan minimal.

 Namun, yang terjadi rekrutmen tidak cermat. Masalah itu lalu menghasilkan tiga subkultur di tubuh Polri, yakni sub-kultur brutalitas, sub-kultur korup dan chauvinism. Ketidakbecusan lembaga menangani psikologi personel yang luar biasa stres, tambah Reza, mendorong personel beradaptasi dengan cara-cara merusak. Maka sudah seharusnya pimpinan Polri  tidak tinggal diam. Masalah psikologis yang akut itu harus dibenahi. Segera mungkin! *

Sumber: Tribun Manado 7 November 2013 hal 10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes