Marcel W Gobang |
Nah, bayangkan kalau Anda diinjak-injak badak. Anda bisa jadi seperti bubur lumpur bercampur bau tahi dan kencing binatang ini. Maklum, setelah membuang hajat, binala ini berkebiasaan menginjak-injak tinjanya sendiri, juga air seninya. Maksudnya, supaya di tanah yang ditapakinya akan tertinggal jejak kakinya sehingga mudah dibaui oleh gerombolannya yang lewat kemudian.
Selain bobot badanya mencapai tiga ton lebih, binatang ini memiliki semacam tanduk yang disebut cula. Tapi, tempat tumbuh cula ini beda dengan tempat tumbuhnya tanduk pada binatang mamalia atau binatang berkuku lainnya seperti sapi, kambing, kerbau atau rusa. Tanduk sapi,misalnya tumbuh di bagian atas jidat. Sedangkan cula badak tumbuh di atas tulang-tulang hidung. Kalau sapi, kambing atau kerbau biasanya bertanduk dua, tapi binatang ini ada yang bercula dua, dan ada yang bercula satu.
Keunikan lain, binatang ini memiliki kulit yang tebal. Bahkan ada jenis yang kulitnya berbentuk lempengan-lempengan seperti lapisan baja dengan lipatan-kipatan di antaranya sebagai sendi yang dapat digerakkan. Kulit yang berlipat-lipat ini mirip dengan baju baja serdadu Romawi zaman baheula. Hampir semua jenis badak berkulit tanpa bulu. Karena itu, kulit binatang ini terlihat mengkilap seperti diamplas bila terkena sinar, ya seperti kulit kerbau.
Bila kita lagi nasib baik saat ke cagar alam di Ujungkulon, Jawa Barat, bisa menyaksikan betapa mengerikan melihat tampang bintang yang satu ini. Bulu roma bisa langsung tegak melihat tampangnya yang tidak karuan dengan lubang hidung yang besar, mata lebar, dsb.
Karena keunikannya itu disertai populasinya yang semakin kurang, maka binatang ini dimasukkan dalam kategori binatang langka (binala). Karena itu pula, dia harus dilindungi agar tidak punah. Maka ditempatkanlah mereka di cagar alam seperti di Ujungkulon itu.
***
MUNGKIN karena bangun tubuh dan kulitnya yang unik itu maka nama binala yang satu ini dimasukkan ke dalam khazanah kiasan terhadap manusia. Ya, seperti binatang kancil diibaratkan kepada manusia yang lincah bersilat lidah, misalnya. Karena itu, terdengar dan kesohor pula sebutan muka badak. Tapi di NTT, orang mengenal dengan sebutan muka kerbau.
Ihwal manusia muka badak ini sesungguhnya ada di mana-mana, manusia di seputar lingkungan kita. Kiasan muka badak atau muka kerbau atau kemiripannya ada dalam bahasa di tiap etnik, termasuk NTT. Kalau tidak salah, di Ngada, ada kata nozo, Di wilayah tertentu di Manggarai, ada kata lami. Makna kedua katakias ini hampir sama. Yaitu, semacam tamu tidak diundang. Datang ke rumah tetangga yang mengadakan hajatan. Dengan berpura-pura ngobrol sana ngobrol sini tanpa ujung pangkal sampai berjam-jam, tapi sasaran tembaknya, tunggu makan enak di rumah tetangga.
Di tingkat manusia elit pun manusia-manusia muka badak itu bergentayangan. Mungkin pula merupakan semacam konvensi bahwa ditingkat elit memang harus ada manusia-manusia seperti itu. Dan, orang-orang oportunistik yang kebetulan punya otoritas biasanya sangat berterima kasih atas kehadiran muka-muka badak itu. Keberadaan orang-orang bermuka badak itu dimanfaatkan untuk mencapai sasaran tertentu apakah sasaran politis atau ekonomis. Karena itulah mereka dipelihara, ya, diperlakukan seperti binala itu, mendapat azilum. Seperti halnya binatang badak yang karena postur badannya yang kasar dan berkulit tebal sehingga bisa menerobos hutan berduri, naik tanjakan atau turuni tebing curam tetapi nyawanya tetap selamat, demikian pula orang-orang oportunistik yang dilekati otoritas memanfaatkan manusia-manusia atau elit-elit beratribut muka badak itu.
Kata kias muka badak itu pun ada pada manusia-manusia ambisius. Biar dicerca terang-terangan dan habis-habisan tapi dia tidak ambil pusing. Dan, banyak orang, kita di bumi Indonesia ini sudah menjadi korban orang-orang bermuka badak ini. Kita 'diinjak-injak tapi kita tak berdaya. Maklum, 'bobot badak' itu lebih dari setengah ton. (marcel weter gobang)
Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin 18 Oktober 1999 hal 1