Lumut Menempel di Tubuh Tendean

Patung Batalyon Worang Manado (2013)
MANADO, TRIBUN - Setiap kali bangsa Indonesia merayakan Hari Pahlawan, tidak seorang pun yang meragukan kontribusi nyata putra-putri terbaik Sulawesi Utara dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan negara RI. Indonesia akan tetap mengenang para pahlawan bangsa dari bumi Nyiur Melambai. Sebut misalnya Dr Sam Ratulangi, Walanda Maramis, Pierre Tendean dan Wolter Mongisidi.

Nama mereka kan tetap abadi. Dan, keabadian itu dikenang pemerintah dan masyarakat Sulawesi Utara dengan membangun monumen berupa patung yang hingga kini tegak berdiri di Kota Manado.

Di kota berbukit dengan pemandangan pantainya yang aduhai ini, ada lima tokoh penting yang diabadikan lewat patung.  Kelima tokoh berada  di tujuh tempat berbeda, antara lain patung  Walanda Maramis di Jalan Sudirman, patung Robert  Wolter Mongisidi GOR Sario Manado  dan Jalan Bethesda (museum TNI) dan Patung Wolter Mongisidi  di Boulevard.

Bagaimana kondisi monumen bersejarah tersebut? Di sinilah letak soalnya. Pantauan Tribun Manado dua hari terakhir menemukan fakta tak elok. Kuat kesan mencuat monumen bersejarah di Manado kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah dan masyarakat. Di kawasan Boulevard yang menjadi jantung Kota Manado  terdapat dua sosok patung pahlawan yaitu pahlawan nasional Robert Wolter Mongisidi dan pahlawan Revolusi Pierre Tendean.

Sampah berserakan di sekitar monumen yang diresmikan tanggal 26 September 1986 itu. Ada botol bekas minuman, kotak gardus kue, pembungkus makanan ringan, batang bambu bahkan hiasan-hiasan arsitektur batu sudah ada yang pecah. Cat patung  memudar, lumut menempel di dinding dan badan patung Mongidisi dan Tendean. Penampakan dua tokoh besar itu kusam dan layu.

Lantai jalan yang mengitari lokasi monumen retak-retak. Di celah retakannya, hiduplah rumput yang mulai meninggi. Lokasi monumen ini banyak didatangi oleh pengunjung yang sekadar melihat-lihat bahkan mengambil gambar di sini dengan latar sang tokoh.

Kondisi nyaris sama terlihat di monumen pahlawan nasional Dr Sam  Ratulangi. Cat di sosok pahlawan nasional kelahiran Tounkuramber Tondano 5 November 1890 itu  sudah memudar. Ada sampah di sekitar patung dan sejumlah lampu hias di area  itu pecah dan beberapa tak menyala lagi. Tulisan di monumen itu menjelaskan sosok Dr Sam Ratulangi, tokoh utama Minahasa abad ke-20,  orang pertama Indonesia yang meraih doctor dalam ilmu pasti dan alam (doktor matematika).

Aktivitas politiknya semakin hebat menjelang dan sesudah kemerdekaan RI. Duduk sebagai anggota PPKI pada 18 Agustus 1945 Gubernur pertama  Sulawesi yang berkedudukan di Makassar. Ia meninggal di Jakarta karena sakit dengan status sebagai seorang tahanan musuh (Belanda).

Semboyannya terus hidup dan menginspirasi hingga hari ini, Sitou Timou Tumou Tou (manusia hidup untuk menghidupkan orang lain).  Patung Walanda Maramis  pun setali tiga uang. Kuat kesan sudah lama Walanda Maramis tidak dijamah. Maramis yang sedang menggandeng anak di Komo Luar, cat abu-abu  sudah terkelupas di banyak titik, terutama di sisi belakang patung. Pada landasan tempat berdiri patung itu tertulis huruf "D" dan "W" dengan cat semprot warna hitam, selain itu tertera banyak nama dengan selotip yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk nama-nama. Patung tersebut dibangun pada 1970 dan diresmikan Gubernur KDN Sulut  Mayjen H V Worang.

Sekitar patung itu dikelilingi pagar besi. "Kalau bisa diperbaharui supaya terlihat bagus, apalagi ini kota Adipura," kata  Rumiati (43), penjual makanan di sekitar patung tersebut.

Patung Lengkong Wuaya  di pertigaan Kombos pun sama nasibnya. Cat berwarna abu-abu pada bagian mulut sampai ke pipi kiri dan beberapa bagian tubuh lainnya sudah terkelupas. Bahkan tombak yang digenggamnya sudah patah.   "Berdasarkan informasi turun-temurun, ia (Lengkong) tonaas batas Kairagi sampai ke Tonsea," ujar opa Utu (71), sapaan Handri Petrus Nangon yang lahir dan besar di Kairagi.

"Sebenarnya Lengkong itu marganya. Wuaya artinya buaya. Ia dulu pembunuh buaya yang sering memakan manusia, sehingga ia menjadi Tonaas Lengkong Wuaya," kata opa Utu. Patung itu didirikan tahun  1967 dan diresmikan tahun 1970.
Dengan warna cat abu-abu berkombinasi hitam,  patung Batalyon Worang berdiri tegak di Pasar 45. Patung itu diresmikan pada 10 Mei 1976 oleh Gubernor KDN Sulut H V Woran. 

"Menurut saya, beberapa patung itu warnanya masih bagus, tapi ada sedikit kekurangan, senjata yang dipegang dan ikat pinggangnya sudah seharusnya dicat lagi," tutur Natalia (14), pelajar  SMK Pelayaran Purna Bahari Manado. Berdekatan dengan patung Batalyon Worang, di tengah Taman Kesatuan Bangsa terdapat patung Dotulong Lasut yang dibangun awal 1970. Warna cat patung dari jauh terlihat bagus. Tapi saat didekati warna catnya sudah kotor bergaris oleh rembesan air. Keramik di tempat berdiri patung berdiri pecah-pecah.

"Monumen itu  tidak terurus, pemerintah harusnya merawat patung pahlawan kita," ujar  Recky, satu di antara warga Manado yang ditemui, Kamis (30/10/2013). Recky prihatin banyak sampah di lokasi patung Pierre Tendean dan Robert Wolter Monginsidi. Hal senada dikatakan  Manihing. Dia menyarankan patung-patung itu rutin  dicat dan kalau boleh ada tenaga pembersih setiap hari. Menurut Manihing, banyak wisawatan doyan  foto dengan latar belakang patung pahlawan itu. "Jadi memalukan kita kalau banyak sampah di sekitarnya," kata dia

Sekretaris Dinas Pariwisata Kota Mandao Boy Monding mengatakan biaya perawatan patung-patung tersebut ada di Dinas Pekerjaan Umum. Sementara Depala Dinas Kebersihan Kota Manado, Julises Oehlers mengatakan dinasnya tidak ada anggaran untuk itu. "Kami bekerja sama dengan Dinas Pariwisata," ujarnya, Kamis (31/10). (fer/alp/dma)

Patung di Manado

1. Patung Lengkong Wuaya (jembatan Kairagi)
2. Patung Walanda Maramis (Komo Luar)
3. Patung Toar Lumimuut (Tikala)
4. Patung Kuda (Ranomuut)
5. Patung Sam Ratulangi
6. Patung Batalyon Worang (pusat kota)
7. Patung Wolter Mongisidi (Jalan Pierre Tendean)
* Menurut  Peraturan Wli Kota Nomor 40 tahun 2013

Lima Tokoh yang Dipatungkan

ADA
lima tokoh penting yang diabadikan lewat patung di Kota Manado. Patung kelima tokoh tersebut berada  di tujuh tempat berbeda. Menurut data  Dinas Pariwisata Kota Manado, ketujuh patung itu ialah patung pendaratan Batalyon Worang pusat kota,  patung Walanda Maramis di Jalan Jenderal Sudirman, patung Robert  Wolter Mongisidi GOR Sario Manado  dan Jalan Bethesda (museum TNI),  Patung Wolter Mongisidi dan Pierre Tendean di Boulevard (Bahu)  dan patung Sam Ratulangi di Wanea.

Patung Sam Ratulangi merupakan penghargaan bagi gubernur pertama Sulawesi, Dr  Sam Ratulangi (1890-1949). Ia merupakan penduduk  Sulawesi Utara yang terpelajar dan seorang pahlawan nasional karena dedikasinya melawan penjajah Belanda melalui bidang pendidikan. Patung yang berdekatan ialah Pierre Tendean Pierre dan Wolter Mongisidi. Tendean adalah Letnan TNI yang diculik dan ditembak mati pada tahun 1965. Dia dibunuh bersama dengan enam jenderal lainnya. Pemerintah memberinya pangkat kapten anumerta atas jasanya. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional di Jakarta.

Wolter Mongisidi adalah pahlawan nasional Indonesia  dari Sulawesi Utara. Pada tahun 1940 ia berjuang melawan penjajah Belanda, ditangkap dan dibunuh pada tahun 1949. Jenazahnya dikubur di Makassar, Sulawesi Selatan. Monumen tujuh tentara atau Batalyon Worang  diresmikan pada 10 Mei 1954 dan berlokasi di dekat Pasar 45 Manado, dimana patung Dotu Lolong Lasut berdiri

Nama batalyon ini diambil dari salah satu perwira tinggi Minahasa (HV Worang) pada awal kemerdekaan Indonesia  tahun 1945. Batalyon Worang mendarat di Sulawesi Utara dengan perintah untuk melawan pemberontakan penduduk lokal yang mendukung Belanda. Ada pula patung "pahlawan" Minahasa yaitu Dotu Lolong Lasut. Ia diyakini sebagai penemu Manado, yang hidup pada awal abad ke-16. Dialah sosok religius dan dihormati, yang membangun Tumani Negeri Wenang (sekarang dikenal sebagai Manado). Dia juga memimpin penduduk Manado melawan penjajah Portugis. Hingga hari ini patung Lolong Lasut masih berdiri tegak di Taman Kesatuan Bangsa (TKB) yang didirikan tahun 1987.

Tugu kepahlawanan berikut yang bersifat kepahlawanan tapi bukan dalam bentuk tokoh ialah tugu Peringatan Perang Dunia Kedua. Ada dua versi  cerita di balik tugu peringatan setinggi 10 meter ini. Versi pertama mengatakan tugu Peringatan Perang Dunia Kedua yang dibangun tahun 1940 ini dibangun untuk menandakan jatuhnya pasukan Jepang di Sulawesi Utara. Versi kedua mengatakan  tugu ini dibangun pada saat penjajahan VOC (Hindia Belanda)  abad ke-19. "Yang lain belum bisa kami belum dapat datanya," kata Boy Lasut, staf di Dinas Pariwisata Kota Manado, Kamis (31/10). Sekretaris Dinas Pariwisata Kota Mandao Boy Monding mengatakan biaya perawatan patung-patung tersebut ada di Dinas Pekerjaan (dma)

Sumber: Tribun Manado 2 November 2013 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes