ilustrasi |
Tapi entah kenapa, hampir semua kita memusuhi binatang reptilia, khususnya ular. Coba, kalau kita jalan-jalan lalu ketemu ular di jalan atau di kebun, spontan saja kita mengambil ranting kayu dan menghajar binatang itu sampai menggelepar tak bernyawa. Atau kalau yang bernyali kecil, langsung menghindar jauh. Kenapa kita memusuhi ular? Bila dihubung-hubungkan, mungkin saja karena adanya dendam kesumat sejak manusia pertama diciptakan. Karena ularlah kita manusia jadi begini, hidup menderita dan susah.
Coba kalau ular dulu tidak menggoda, merayu Eva/Hawa untuk memetik dan memakan 'buah terlarang' di Taman Firdaus itu barangkali kita turunan manusia pertama itu tidak seperti sekarang ini tapi kita hidup dalam keadaan serba enak, serba damai, tenteram lahir batin. Dan, ini kita dapati dalam pelajaran agama di sekolah meskipun tidak disarankan untuk memusuhi ular. Dendam kesumat itu telah menjadi bagian dari alam bawah sadar kita sehingga saat ketemu ular, logika kita tidak jalan tapi saraf motoriklah yang beraksi. Itu ular yang berpapasan dengan kita di jalan. Beda dengan ular masuk rumah. Untuk kalangan tertentu, haram sifatnya ular masuk rumah itu dibunuh. Bagi kalangan ini, logikanya langsung bekerja: Jangan bunuh! Ini ular kiriman! Biarkan dia hidup.
Kita usir pakai garam saja. Atau kalau garam tidak ada, pakai abu dapur saja. Soalnya, ini bukan ular benaran, tapi ular jadi-jadian. Bisa bahaya kalau dimatikan.
Lain dengan cecak atau tokek yang juga menghuni rumah bersama kita. Meski binatang-binatang ini terlihat menjijikkan dan meskipun terasa mengganggu tatkala tokek berbunyi sampai belasan kali: teke...teke...teke... saat kita tidur misalnya, namun hal itu tidak membuat kita marah dengan mencari dan membunuhnya.
Kedua binatang ini ternyata sangat bermanfaat bagi penghuni rumah. Di sekolah, sejak di SD bahkan mungkin di TK, kita diajarkan Pak guru atau Bu guru agar jangan membunuh cecak atau tokek di rumah. Soalnya, kedua binatang ini memakan serangga termasuk nyamuk yang bikin manusia sakit. Dalam pergaulan di masyarakat, kita dikasih tahu bahwa tokek itu obat. Kalau Anda menderita eksem atau penyakit bengek, makanlah daging tokek. Benar tidaknya, terserah pada Anda sendiri.
Omong punya omong, orang bilang, binatang tokek itu mempunya cerita sendiri. Dia bisa menjadi penuntun langkah hidup, khususnya dalam hal mengambil keputusan atau ingin tahu kesialan dan keberuntungan kita.
Seorang teman (pria) bercerita, dia mempunyai dua orang pacar. Bingung dia untuk memilih salah satu sebagai teman sehidup semati, seranjang sekasur. Keduanya sangat ideal, menurut penilaian teman tadi. Lalu mau pilih yang mana? "Saya ikuti nasihat orang-orang," kata teman tadi. Tanya pada tokek, katanya. Nah, caranya, kata teman tadi, pilihan jatuh pada siapa, ikuti bunyi tokek. Teman ini bercerita: Dalam hati, saya sebut gadis A duluan, disusul gadis B. Jadi, bunyi pertama dari tokek tadi, saya sebut A. Bunyi kedua, si B. Begitu seterusnya. Di akhir bunyi tokek, ternyata si A yang kena. Jadilah saya melamar si A. Sampai sekarang kami hidup rukun bahagia, tutur teman itu.
Lain lagi cerita seorang bapak yang mau ikut mete dan sudah tekad untuk ikut pasang main dadu goyang. Ternyata bunyi tokek diakhiri dengan alarm: kalah! Tetapi si bapak tetap nekad. Ternyata dia memang kalah. Lalu apa katanya? "Coba saya ikut nasihat tokek tadi, saya tidak bakalan kalah dua ratus ribu!"
Nah, kita sekarang lagi pusing-pusing siapa bakalan jadi presiden nanti. Ini bekal bagus buat mereka yang akan menjadi anggota MPR. Daripada bingung-bingung membuat analisis macam-macam, atau diskusi yang bisa mengundang adu jotos, nanti, kalau di MPR diberlakukan one man one vote, pakailah resep bunyi tokek itu. (marcel weter gobang)
Sumber: SKH Pos Kupang, Senin 12 Juli 1999 hal 1