Beri Kemudahan bagi Investor

Bitung
TANPA diawali publikasi media yang luas,  bos Lippo Group James T Riyadi melakukan perjalanan ke Sulawesi Utara (Sulut)  hari Jumat 26 April 2013 yang lalu.  Sepanjang hari itu James yang merupakan salah seorang pengusaha terkemuka Indonesia mengunjungi dua tempat di Sulut yaitu Kota Kotamobagu dan Kota Bitung.

Datang dari Jakarta dengan pesawat khusus, James Riyadi dan rombongan pertama kali terbang ke Kotamobagu dengan helikopter dan tiba di sana sekitar pukul 12.00 Wita. Kedatangan James  Riady spontan menarik perhatian warga yang berada di sekitar Rumah Dinas Wali Kota Kotamobagu. Selain bertemu dengan Wali Kota Kotamobagu Djelantik Mokodompit, James mengunjungi sejumlah tempat di kota tersebut. Setelah berkeliling Kotamobagu sekitar satu jam, James Riyadi dan rombongan bertolak ke Kota Bitung. Di kota industri tersebut dia disambut Wakil Wali Kota Bitung Max Lomban dan  pejabat Pemko Bitung lainnya. .

Kepada para wartawan James dengan lugas menyampaikan maksud kunjungannya ke Kotamobagu dan Bitung yaitu akan menanamkan modal bernilai triliunan rupiah. James melalui Lippo Group-nya antara lain akan membangun pusat perbelanjaan (mall), sekolah, rumah sakit dan hotel.

Di Kota Bitung, misalnya Lippo akan berinvestasi sekitar Rp 1 triliun dan segera meramaikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sejak lama dirintis pemerintah daerah Sulawesi Utara."Sudah setahun lalu kami diundang untuk membangun darerah ini dan kami sudah mempunyai komitmen membangun Sulawesi Utara," ujar James Riyadi kala itu sambil menyatakan dalam tiga sampai enam bulan ke depan Lippo mulai beraksi merealisasikan rencana investasinya.

Karakter pengusaha memang seperti itu. Lazimnya mereka  tak banyak bicara tetapi langsung beraksi manakala melihat peluang untuk membangun. Kehadiran James Riyadi dan komitmennya menanamkan modal di sini  merupakan angin segar bagi kampanye pembangunan di bumi Nyiur Melambai.

Investasi selalu menebarkan multi efek. Yang paling riil adalah terbukanya lapangan kerja baru bagi masyarakat Sulut. Jika Lippo Group nanti membangun rumah sakit, mall, sekolah dan hotel di Bitung dan Kotamobagu, kita sudah bisa membayangkan akan terbuka lapangan kerja yang sangat besar. Sejak pembangunan fisik gedung saja, ribuan tenaga kerja akan terserap dengan sendirinya. Efek jangka panjang adalah mendongkrak geliat perekonomian di daerah ini.

Itulah sebabnya kita sangat setuju dengan sikap Pemko Kotamobagu dan Pemko Bitung yang tegas mengatakan akan memberi kemudahan bagi Lippo Group. Kemudahan itu bisa dalam hal perizinan, pajak serta menciptakan iklim sosial yang kondusif. Tentu saja kemudahan itu tetap sejalan dengan ketentuan yang berlaku. Kita berharap semakin banyak investor seperti Lippo Group yang mau beraksi konkrit di Sulawesi Utara. Dukungan bagi mereka merupakan keniscayaan.*

Sumber: Tribun Manado 29 April 2013 hal 10

Royal Rekrut PNS

ilustrasi saja
GONG pemekaran wilayah di Indonesia terus bergulir. Entah sampai kapan. Hari Senin tanggal 22 April 2013 di Jakarta, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI  Gamawan Fauzi meresmikan 11 daerah otonom baru yang meliputi satu provinsi dan 10 kabupaten hasil pemekaran.  Pada kesempatan yang sama Gamawan pun melantik 11 penjabat daerah otonom baru.

Dengan peresmian ini, maka Negara Kesatuan Republik  Indonesia (NKRI) ini  memiliki  34 provinsi,  411 kabupaten dan 93 kota. Seperti diberitakan Tribunnews, sekarang tinggal dua kabupaten yang belum diresmikan Mendagri karena baru disahkan DPR RI pada 12 April 2013.

Adapun 11 daerah otonom baru tersebut yakni Provinsi Kalimantan Utara, Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung, Kabupaten Manokwari Selatan Provinsi Papua Barat,Kabupaten Mahakam Ulu, Provinsi Kalimantan Timur,  Kabupaten Banggai Laut, Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Pulau Taliabu, Provinsi Maluku Utara,  Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Provinsi Sumatera Selatan,  Kabupaten Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Pegunungan Arfak Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kepada para penjabat kepala daerah yang dilantik Mendagri mengharapkan dalam setahun bisa menyiapkan dan membentuk perangkat-perangkat daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Mendagri juga mengingatkan agar penjabat kepala daerah tidak royal dalam menggunakan anggaran untuk pembangunan gedung dan merekrut pegawai negeri sipil (PNS).

Secara khusus kita memandang perlu untuk menggarisbawahi pernyataan Mendagri
agar  tidak royal merekrut pegawai. Pengalaman memang menunjukkan, euforia keberadaan daerah otonom baru di Indonesia kerapkali kebablasan. Ketika sah mendapat kewenangan mengurus rumah tangga sendiri, daerah otonom baru tidak memilih skala prioritas.

Mereka asal membangun sarana dan prasarana fisik tanpa mempertimbangkan asas manfaat dalam jangka panjang. Yang paling krusial justru rekruitmen pegawai. Daerah otonom baru seolah menjadi lapangan kerja untuk ribuan orang.  Yang terjadi kemudian adalah sekitar 70 sampai 80 persen alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hanya untuk belanja rutin pegawai. Sisanya yang sangat kecil itu untuk pembangunan. Misi mekarkan daerah demi meningkatkan kesejahteraan rakyat pun sekadar pemanis bibir politisi.

Pengalaman  Sulawesi Utara menunjukkan indikasi tersebut. Sejak lama kita mendengar para pejabat daerah berteriak tentang surplus PNS sehingga dalam kurun waktu sekian tahun tidak menerima pegawai baru. Seandainya pejabat daerah tidak royal merekrut PNS, mungkin dana pembangunan lebih besar porsinya demi kebutuhan masyarakat. Kiranya peringatan Mendagri tersebut relevan dengan konteks sosial politik Sulawesi Utara yang hari-hari ini pun begitu getol mengusulkan pemekaran wilayah provinsi, kabupaten dan kota. *


Sumber: Tribun Manado 24 April 2013 hal 10

Jejak Pantai Jerman di Ngurah Rai

Pesawat Lion Air jatuh di ujung Ngurah Rai
"WAH Ada pesawat jatuh di Bali. Lokasinya di Pantai Jerman. Teman-teman mau meliput ke sana atau nggak?" ujar Apollo, seorang wartawan satu surat kabar di Bali. Saya pun bertanya, "Pantai Jerman? Mengapa disebut pantai Jerman?"

Sore itu bersama Apollo, saya dan dua kawan wartawan dari Jakarta baru saja meliput acara  Konferensi Nasional Forkoma PMKRI, Sabtu (13/4/2013) lalu.

Kami baru sebentar, sekitar 25 menit, jalan-jalan ke Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali, tiba-tiba ada kabar pesawat Lion Air jatuh.

Mata belum puas memandangi karya tangan manusia kreatif di GWK. Kami sebentar jalan-jalan ke Garuda Wisnu Kencana  di Bukit Peninsula, salah satu objek wisata utama pelancong. Lokasinya dari bukit yang kikis dengan menyisakan bukit-bukit besar persegi empat kira-kira ukuran 30 x 30  meter persegi.

Patung Burung Garuda di atas tangga, dan patung Wisnu setinggi 23 meter menjadi pemandangan menakjubkan, dan karenanya objek favorit dijadikan latar belakang berfoto. Akhirnya kami berempat meluncur ke arah Bandara, perjalanan kurang lebih sejam karena terjebak macet arus lalu lintas di Denpasar dan Kuta.

Setengah tidak sabar, dan gelisah. Sementara sirene mobil brimob dan tentara meaung-raung dari arah yang sama, mobil-mobil truk dan pikap mengangkut pasukan bersenjata laras panjang melaju dari sisi kanan mobil yang kami tumpangi.
Pergerakan beramai-ramai warga Kuta dan sekitarnya menuju bandara turut memperparah kemacetan. Warga menyisir jalan-jalan kecil di sisi utara bandara, menuju pantai Klan atau dikenal juga Pantai Segara di Kampung Klan Kelurahan Tuban, Kecamatan Kute Selatan, Kabupaten Badung, lokasi pesawat Lion Air jenis  Boeing 737-800 NG jatuh.

Saya segera melompat ke luar. Di antara warga yang berduyun-duyun menuju pantai, ada seorang laki-laki berkendara motor seorang diri. "Bli, ikut dong menumpang," kataku nekat. Laki-laki kurus ini mempersilakan. Jaraknya rupanya tidak jauh, sekitar 200 meter. Selebihnya motor tidak bisa masuk karena sudah penuh sesak pengunjung, namun mereka tak dapat melihat pesawat yang jatuh di laut. Jaraknya jauh dan di balik landasan pacu yang dibuat menjorok ke laut.

"Dari sini tidak bisa pak. Tidak terlihat. Kalau naik perahu, juga tak bisa. Dilarang tentara. Bisanya dari selatan, dari Pantai Jerman," kata seorang nelayan.

Saya keluar buru-buru. Laki-laki yang membonceng tadi saya 'todong'. "Bli, tolong antar saya ke seberang dong. Supaya bisa ambil foto pesawat. Ke pantai Jerman, yuk," kataku. Bli sapaan untuk laki-laki Bali, padanannya abang, mas, atau kang.
Laki-laki ini rupanya sehari-hari penarik ojek. Dan selama saya meliput terkait pesawat jatuh, termasuk mendatangi Untung Santoso beserta Ni Luh Artami di RS Kasih Ibu Tabanan, sekitar 30 km dari Kuta, dialah langganan saya mengojek.

Sekitar 15 menit hendak keluar hotel di Jalan Sudirman Denpasar, saya akan telepon dia untuk menjemput. Sebelum kembali ke Jakarta, saya menanya namanya, Adi, pria asal Jember, Jawa Timur.

Hari sudah senja dan mendung. Saya batalkan ke Pantai Jerman, tapi fokus meliput korban-korban Lion yang terus berdatangan diangkut ambulans yang hilir-mudik di RS Kasih Ibu, Kedongan, Jalan Uluwatu, Kuta. Hingga malam, ada 30-an pasien rawat jalan maupun menginap di sini. Selebihnya di RSUD Sanglah, dan RS BIMC Denpasar. Berdasarkan data PT Jasa Raharda (Persero), dari 101 penumpang dan 7 awak kapal, total yang sempat menjalani perawatan sebanyak 52 orang.

Kembali ke masalah pantai Jerman. Untuk mencari kisah tentang Pantai Jerman, aneka cara saya tempuh. Bertanya ke sesama wartawan maupun mencari nara sumber kompeten, ahli sejarah atau pemangku adat asli Kuta. Selasa (16/4/2013) pagi, sambil membawa koper dan ransel, sebelum ke Bandara Ngurah Rai, Adi mengojeki saya ke rumah Lurah/ Bendesa  Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung I Nyoman Swena.

Sesampai di rumahnya yang khas Bali, kami diterima anak penengahnya di rumah bangunan depan. Lalu dia membawa ke rumah belakang, dan menuju rumah ayahnya. "Bapak masih tidur. Soalnya barusan pulang dari sembayangan sejak tadi malam. Nanti sore disambung lagi," kata Nyoman junior.

Lalu kami lanjut ke pantai Jerman. Selasa siang, saya mendatangi pantai ini. Setelah mampir ke Pantai Klan di utara bandara, tempat yang saya datangi Sabtu lalu, diantarkan Adi, saya bertemu sejumlah nelayan di Pantai Jerman. Made Karyasa alias Kingkong, seorang nelayan di sana mengaku pernah mendengar pantai Jerman. Menurutnya, dulu, entah tahun berapa dia tidak tahu pasti, orang Jerman sempat tinggal dan memiliki rumah di pinggir pantai itu.

"Ini nih  pohon kelapa dan waru ini bekas rumah-rumahnya. Orang-orang Jerman itu pindah karena rumahnya kena ombak, abrasi. Sekarang jadi restoran dan vila punya orang lain," kata Kingkong, laki-laki berbadan kekar.

Untuk mendapatkan data akurat, saya mengontak sejumlah akademisi atau sejarawan. Salah satunya Prof Nyoman Darma Putra, guru besar Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana Denpasar.Dalam perbincangan telepon, Prof Nyoman Putra mengaku tak tahu cerita mengenai Pantai Jerman. Namun dia memberi nomor telepon seseorang. "Coba telepon Rutha Adhy, dia seorang pengamat asal Kuta-Legian," demikian Prof Nyoman.

Rutha Adhy dalam perbincangan Selasa senja menuturkan sebenarnya lokasi Pantai Jerman dengan lokasi Lion Air jatuh di ujung barat Bandara, agak jauh. Kurang lebih 2 kilometer. "Partai Jerman itu lokasi di utara, dekat lokasi pertamina. Partai Jerman itu bermula dari nama, karena dulu banyak orang-orang Jerman tinggal punya rumah di sana," kata Rutha.

Siapa orang-orang Jerman itu, ngapain punya rumah di sana? Dia menjawab, "Saat itu, tahun 1963, saya masih SD kelas 4 atau kelas 5." Ia melanjutkan, bandara itu saat bernama Pelabuhan Udara Tuban Bali,dibangun pada era Orde Lama. Pengerjaannya ditangani Hutama Karya. Saat itu Direkturnya Ir Sutami yang kemudian hari menjadi menteri. Pelabuhan udara dibangun tahun 1963 pada zaman Soekarno dan  diresmikan Presiden Soeharto tahun 1967. "Dulu kan kalau ada proyek, teknisi atau konsultannya dari Jerman. Jadi banyalk orang Jerman terlibat di proyek itu dan mereka dibuatkan rumah di dekat bandara," kata Rutha.

Ia mengakui, rumah-rumah itu sudah tidak berbekas karena diterjang ombak. Daratan terkena abrasi. "Lokasi rumah-rumah itu sudah tenggelam, sudah jadi laut sekarang. Bandara Ngurah Rai sekarang kan dibuat menjorok ke laut. Jadi masuk akal, ombak menghantam daratan di sebelah selatan," kata Rutha mengakhiri perbincangan sambil pamit karena segera pergi sembayangan. (domu d ambarita)

Sumber: Tribun Manado 18 April 2013 hal 1

Goyang Peti sampai Tiga Kali

Pemakaman Yunus (foto Rizky Adriansyah @TM)
RATAP tangis masih terdengar di dalam rumah keluarga Kombongan-Sanda yang tengah berduka di Kelurahan Malalayang Manado, Kamis (4/4/2013).

 Hari itu Yunus Kombongan (62) dimakamkan dengan cara adat Toraja.
Puluhan orang sudah berkumpul di sekitar miniatur rumah adat Toraja yang ditaruh di depan rumah duka.Atap miniatur itu berwarna putih dengan bagian tengah hingga bawah berwarna merah dan hitam. Ukiran khas Toraja tertera di seluruh dinding miniatur rumah hingga terlihat semarak bila berpadu dengan warna hitam dan merah.

Pada sisi kanan dan kiri tandu terpasang bulu yang diikat kuat, memanjang dan melintang hingga tampak mirip salib.  Beberapa patah kata berisi pesan almarhum kepada keluarga terdengar lirih,  tentang saat-saat terakhir almarhum bersama mereka.
Tak lama kemudian, satu persatu anggota keluarga keluar dari dalam rumah menuju ke depan  miniatur rumah Toraja itu. 

Seperti dikomando, para pengusung peti merapatkan barisan, bergandengan tangan lalu bernyanyi. Terdengar bunyi e panjang dari mulut mereka. Cuaca yang sempat mendung, mendadak berubah cerah ketika peti dibawa perlahan ke luar rumah.  Tempik sorak terdengar, apalagi ketika peti itu hendak dimasukkan ke dalam miniatur rumah Toraja tersebut.  Peti itu sebelum dimasukkan, digoyang dulu sebanyak tiga kali.  Bersamaan dengan itu kain merah yang sebelumnya digulung di atas miniatur dibuka  Kain itu dibentangkan ke depan, menutupi anggota keluarga, dan seterusnya dipegangi mereka

Kain merah ditemui pula melingkari atas tenda pemakaman. Seseorang melempar botol air mineral ke dalam kerumunan.  Di dalam kerumunan, ada genangan air bekas hujan yang ditendang begitu saja hingga memercik ke mana-mana. Keriuhan pecah saat itu beserta teriakan membahana di mana-mana. Dibalut senyum dan tawa, semua tahu itu hanya prosesi adat Toraja.  Miniatur rumah Toraja berisi peti mati itu pun digotong puluhan orang dengan cara unik. Diangkat dan digoyang-goyangkan ke kanan kiri.

Sorak sorai terdengar sepanjang perjalanan sejauh kira-kira satu kilometer dari rumah duka di Lingkungan IX,  Kelurahan Malalayang Satu hingga Pekuburan Bantik.  Kegembiraan ini rupanya menular pada anggota keluarga, yang tersenyum di bawah  bentangan kain merah.

Tiba di jalan besar, suasana makin meriah. Jalanan yang agak leluasa membuat peserta bebas beraksi, menyorongkan bulu ke segala penjuru.  Keluarga yang berada di depan, kadang tertarik ke belakang menuruti gerak rumah  miniatur itu. Warga yang kebetulan lewat, heran dengan prosesi ini lalu mengambil ponsel untuk mengabadaikannya.

Menurut adat dan tradisi keturunan warga Toraja, tak boleh ada tangis dan rasa sedih saat jenazah meninggalkan rumah hingga ke tempat pemakaman. Tujuannya agar arwah diterima dengan penuh kegembiraan di alam baka.

Luther Kombongan, putra tertua almarhum Yunus  mengatakan, ayahnya meninggal pada hari Jumat Agung tanggal 29 Maret 2013 lalu.  Semenjak saat itu, diadakan ma'badong yaitu adat menyanyi untuk menghibur keluarga setiap malam. Hari Kamis sekitar pukul satu malam diadakan pemotongan kerbau. Jika umumnya kerbau dibaringkan waktu disembelih, kali ini dipotong pada posisi berdiri.

"Daging itu kemudian dibagikan kepada para pelayat," tuturnya. Sebelum ibadah pemakaman, dilakukan ma'badong lagi sebelum acara pemakaman diserahkan pada majelis setempat. "Setelah ibadah, prosesi adat berlangsung kembali," ujarnya.

Kendek, mewakili kaum tua dalam keluarga menyatakan, setiap bagian dalam prosesi punya artinya masing-masing, meski semuanya satu tema. Ma'badong contohnya. "Ini nyanyian pakai bahasa Toraja yang berarti pengganti tangis, yang bercerita riwayat hidup almarhum," jelasnya.  Sementara potong kerbau punya arti dalam, sebagai tanda bahwa almarhum semasa hidup telah berbuat banyak untuk orang lain. "Itu dibagi dari yang tertua hingga muda," katanya.

Sementara peti mati dalam miniatur, yang tak henti diayun-ayunkan merupakan simbol  dari manusia sekembalinya, sama dengan waktu ia datang. "Waktu bayi ia juga diayun- ayun," sebutnya.Lanjut kendek, penguburan merupakan pesta meriah bagi orang Toraja, yang tak semua bisa melaksanakannya. "Ini biasanya dilaksanakan kaum bangsawan, kain merah adalah tanda bangsawan," katanya.

Meski sepintas mirip dengan pemakaman di Tanah Toraja sana, namun pemakaman kali ini tak hendak meraup semuanya dalam adat tersebut. "memang mirip, tapi kami cuma ambil simbolnya saja, yang berbau magis  sudah tak ada,  Injil sudah mengalahkan segalanya," katanya. Wali Kota Manado, Vicky Lumentut yang hadir mengaku turut kehilangan dengan kepergian almarhum yang disebutnya merupakan figur yang baik serta sudah dikenal luas. "Ini merupakan penghormatan bagi almarhum," kata Lumentut. Almarhum tercatat sebagai tokoh masyarakat yang menjadi panutan. Ia berjemaat di jemaat Sion Malalayang. (arthur rompis)


Sumber: Tribun Manado 5 April 2013 hal 1

Peraih Goldman dari Pegunungan Molo

Aleta (dok. Goldman Environmental)
BAGIAN utama di setengah bagian barat Indonesia di Pulau Timor, Gunung Mutis, merupakan suatu area dengan keanekaragaman hayati yang kaya. Mungkin yang lebih penting, Gunung Mutis merupakan daerah hulu untuk semua aliran sungai utama Timor Barat, yang memasok air minum dan air irigasi untuk banyak penduduk di pulau itu.

Kehidupan suku pribumi Molo sangat bergantung erat pada sumber-sumber daya alam ini, yang dianggap sakral. Mereka mencari makanan dan obat-obatan dari hutan, menanam hasil bumi di tanah yang subur, serta memanen zat pewarna tanaman yang diperlukan untuk bertenun-suatu keterampilan tradisional yang sudah membantu memberikan jati diri bagi para wanita di desa-desa ini selama banyak generasi.

Mereka juga menjalin hubungan spiritual yang dalam dengan lingkungan hidup-sedemikian dalam sehingga rakyat Timor dinamakan sesuai dengan tanah, air, batu, dan pohon, yang melambangkan daging, darah, tulang, dan rambut mereka. Untuk warga pribumi di pulau itu, kerusakan lingkungan hidup berarti hilangnya sebagian dari jati diri mereka.

Pada tahun 1980-an, pemerintah daerah mengeluarkan izin bagi perusahaan-perusahaan tambang untuk memotong batu-batu marmer di pegunungan dalam wilayah Molo. Para pejabat pemerintah daerah melakukan hal ini secara tidak sah tanpa berkonsultasi dengan warga desa setempat, yang mereka anggap sebagai faktor perintang program-program pembangunan. Dengan terjadinya deforestasi dan penambangan, tanah longsor makin sering terjadi, mencemarkan air dan menimbulkan penderitaan besar bagi warga desa yang tinggal di daerah hilir.

Aleta Baun, seorang warga pribumi Molo, lahir dalam keluarga petani. Karena ibunya meninggal dunia pada saat ia masih muda, ia dibesarkan oleh para wanita dan sesepuh desa yang mengajarkannya untuk menghormati lingkungan hidup sebagai sumber jati diri rohani dan nafkah sehari-hari.
Aleta Baun (TEMPO/ Nickmatulhuda)

Sebagai seseorang yang hidupnya dibentuk oleh nilai-nilai yang dianut para sesepuh ini, secara alamiah Baun memangku peran pemimpin dalam komunitasnya, dengan menyebarkan pengetahuan tradisionalnya sehingga akhirnya dikenal dengan nama panggilan "Mama Aleta". Pada saat perusahaan-perusahaan pertambangan mulai membabat hutan dan memotong batu marmer dari gunung, ia paham bahwa kegiatan-kegiatan mereka merupakan suatu ancaman terhadap hak-hak orang Molo atas wilayah mereka-dan juga terhadap kelanjutan hidup mereka.

Dia memiliki keyakinan inti bahwa kehidupan warga desa tidak dapat dipisahkan dari alam. Inilah yang kemudian menjadi pesan kunci yang disebarkan olehnya kepada berbagai komunitas lain di sekitar gunung. Prakarsa ini bermula dari suatu gerakan kecil dengan tiga perempuan lain. Kelompok perempuan ini melakukan perjalanan kaki dari satu desa terpencil ke desa lain-suatu perjalanan yang kadang-kadang makan waktu lebih dari enam jam.

Pekerjaan Mama Aleta membuat dirinya menjadi bulan-bulanan bagi kepentingan usaha pertambangan dan para pejabat daerah. Bahkan pihak lawan Mama Aleta ada yang membuat dan menawarkan hadiah kepada siapa pun yang dapat membunuhnya. Setelah selamat dari suatu usaha percobaan pembunuhan yang hampir berhasil, Mama Aleta lari menyembunyikan diri di dalam hutan bersama bayinya. Sejumlah warga desa yang lain berkali-kali ditahan dan dipukuli.

Aleta Baun (dok. Goldman Environmental)

Meskipun menghadapi intimidasi dengan kekerasan, Mama Aleta tetap mengembangkan gerakan ini hingga mencakup ratusan warga desa. Gerakan ini berpuncak dalam suatu pendudukan sambil menenun. Seratus lima puluh perempuan menghabiskan waktu selama satu tahun dengan menenun sambil menduduki lokasi penambangan marmer. Mereka dengan tenang menenun pakaian tradisional sebagai bentuk protes.

Kaum perempuan secara tradisional bertanggung jawab untuk mencari makanan, zat pewarna, dan obat-obatan dari gunung. Penting bagi mereka untuk memimpin kampanye ini. Dalam suatu pembalikan peran, sementara kaum perempuan melakukan protes di area penambangan, kaum pria memberikan dukungan rumah tangga di dalam rumah dengan memasak, membersihkan rumah, dan menjaga anak-anak.

Menghadapi kehadiran warga desa yang damai dan berlanjut, penambangan batu marmer menjadi usaha yang makin tidak dapat dipertahankan lagi bagi perusahaan-perusahaan yang terlibat. Kesadaran rakyat akan pendudukan sambil menenun makin berkembang, dan para pejabat pemerintah Indonesia turut memperhatikannya. Pada tahun 2010, karena menghadapi tekanan, perusahaan-perusahaan pertambangan menghentikan penambangan di semua dari empat lokasi di wilayah Molo dan meninggalkan pengoperasian mereka.
Aleta Baun

Kini, Mama Aleta bekerja bersama berbagai komunitas di seluruh wilayah Timor Barat untuk memetakan hutan tradisional mereka. Usaha ini merupakan suatu strategi pencegahan untuk memapankan hak-hak wilayah kaum pribumi serta melindungi tanah mereka dari proyek-proyek pertambangan pada masa depan dan berbagai ancaman dari pertanian komersial serta pengembangan minyak dan gas. Ia juga memimpin berbagai usaha untuk menciptakan berbagai peluang ekonomis bagi warga desa melalui pertanian berlanjut serta usaha-usaha yang memberi penghasilan dengan cara bertenun dan kegiatan-kegiatan lain. 


Enam pemenang Goldman Award  2013

1. Jonathan Deal, Afrika Selatan

Tanpa pengalaman apa pun dalam organisasi akar rumput, Jonathan Deal secara sukses memimpin suatu kampanye yang sukses untuk melawan fracking di Afrika Selatan untuk melindungi Karoo, suatu kawasan semi-gurun yang bernilai untuk pertanian, keindahan, dan satwa liar.

2. Azzamalwash, Irak
Dengan mengorbankan kehidupan nyaman bersama keluarga di California, Azzam Alwash kembali ke Irak yang tercabik-cabik oleh perang untuk memimpin komunitas setempat memulihkan tanah rawa yang dahulu subur namun sudah menjadi lembah debu selama pemerintahan Saddam Hussein.

3. Rossano Ercolini, Italia

Seorang guru sekolah dasar, Rossano Ercolini, memulai kampanye pendidikan umum tentang berbagai bahaya tungku pembakaran sampah di kota kecilnya di Tuscan yang berkembang menjadi suatu gerakan Tanpa Limbah (Zero Waste) nasional.

4. Aleta Baun, Indonesia
Dengan mengorganisasi ratusan warga desa setempat untuk secara damai menduduki tempat-tempat penambangan marmer dalam suatu "protes sambil menenun," Aleta Baun menghentikan perusakan tanah hutan yang sakral di Gunung Mutis di Pulau Timor.

5. Kimberly Wasserman, Amerika Serika
t
Kimberly Wasserman memimpin warga setempat dalam suatu kampanye yang sukses untuk menutup dua dari tambang batu bara yang paling tua dan paling kotor di seluruh negara-dan kini sedang mengubah kawasan industri Chicago yang tua menjadi berbagai taman dan ruang serbaguna.

6. Nohra Padilla, Kolombia

Tanpa rasa gentar terhadap lawan-lawan politis yang berpengaruh dan budaya kekerasan yang marak, Nohra Padilla mengorganisasi para pemulung sampah Kolombia yang terpinggirkan untuk membuat daur ulang pengolahan sampah yang absah.

Richard dan Rhoda Goldman, pendiri Goldman EP Organization.
Pengumuman pemenang dari Yayasan Lingkungan Hidup Goldman  berlangsung Hari Senin, 15 April 2013, pukul 17.00, di San Francisco Opera House, Amerika Serikat.  Kategori penerima hadiah ini adalah kelompok para pemimpin yang tanpa rasa takut melawan semua rintangan demi melindungi lingkungan hidup dan komunitas mereka.

Pemberian Hadiah Lingkungan Hidup Goldman mendukung orang-orang yang berjuang untuk memenangkan perjuangan lingkungan hidup terhadap ancaman-ancaman dan mengilhami orang-orang biasa untuk mengambil tindakan-tindakan luar biasa untuk melindungi dunia ini. Hadiah Lingkungan Hidup Goldman dirintis pada tahun 1989 oleh pemimpin masyarakat dan dermawan Richard N. Goldman dan istrinya, Rhoda H. Goldman. (*)



Sumber: Tempo

Artikel Terkait
1. Aleta Baun Dapat Penghargaan Goldman
2. Video Aktivitas Mama Aleta Baun

Aleta Baun Dapat Penghargaan Goldman

Aleta Baun (dok. Goldman Environmental/detikfoto)
SUARA yang keluar dari bibir perempuan bertubuh mungil itu sangat lembut. Namun, di balik kelembutan suara Aleta Baun, terkandung inspirasi sekaligus motor penggerak masyarakat di Pegunungan Molo, Nusa Tenggara Timur, untuk menentang perusahaan pertambangan di daerahnya.

"Saya hanya ingin melindungi tanah kelahiran dan keindahan alam seperti apa adanya," kata wanita yang biasa disapa Mama Aleta, saat ditemui pekan lalu di sebuah acara diskusi terbatas kesehatan jiwa tingkat nasional di Hotel Le Meridien, Jakarta, pada bulan Oktober 2008 lalu.

Saat itu, wanita yang berusia 41 tahun itu menjadi pusat perhatian dalam acara tersebut. Di atas panggung, Mama Aleta menceritakan pengalamannya berhadapan dengan aparat, pemerintah dan beberapa perusahaan pertambangan yang membuka lahan di tempatnya. "Banyak masyarakat di sana yang sudah terlalu lelah
Aleta (dok. Goldman Environmental/detikfoto
berjuang, seperti kehilangan semangat, lalu akhirnya mengalami depresi. Saya dengan segala cara memberi kekuatan untuk menyemangati dan mendampingi mereka," ujar Mama Aleta berkisah.

Di desanya, Mama Aleta dikenal gigih sebagai pejuang dan pembela hak-hak asasi manusia. Lulusan SMA Kristen Timor Tengah Selatan ini mengaku tertarik dengan dunia pemberdayaan masyarakat melalui kisah masa kecilnya. Lahir dari keluarga petani, anak keenam dari delapan bersaudara ini mengaku sejak kecil dekat dan menyatu dengan alam. Baginya, tanah kelahiran itu memiliki keindahan yang membuat pihak lain terpesona. Belum lagi tanahnya memiliki situs batu bersejarah serta mengandung pualam dan marmer.

"Ya, siapa yang tidak tertarik pada pertambangan yang menghasilkan banyak uang. Tetapi mereka lupa, struktur tanah tempat kami tidak baik untuk pertambangan. Bila dipaksakan justru akan mengakibatkan longsor atau erosi besar-besaran," ujar dia seraya berwajah serius.

Sudah sejak lama ia memutuskan berjuang buat kehidupan warga di sekitar kampungnya. Kampungnya berada di sekitar batuan raksasa sepanjang daerah Pegunungan Molo, yang memanjang dari timur ke barat Kepulauan Timor, Nusa Tenggara Timur. Gunung-gunung batu tersebut dalam bahasa setempat disebut sebagai fatu atau faut yang berarti "bukit batu." Sembilan tahun lalu, gunung batu tersebut mulai disebut-sebut sebagai gunungan batu marmer oleh pemerintah dan pengusaha tambang.

Cadangan atau deposit marmer di Pulau Timor dan Flores diperkirakan sekitar 3,5 triliun meter kubik. Pemerintah dan pengusaha tambang memiliki keinginan yang sama, yaitu supaya gugusan gunung batunya
digali, ditambang, dipotong menjadi petak-petak kubus raksasa berwarna putih, dan dijual ke Jawa lalu dibentuk menjadi peralatan rumah tangga. "Memang banyak perusahaan telah memiliki izin menambang batuan marmer di sini, meskipun rakyat kami berkeras menolak," ujarnya. 

Padahal, fatu-fatu tersebut merupakan tali penghubung masayarakat di sana dengan leluhur, nenek moyang, alam, sumber air, bahkan lahan bawang dan wortel. Itulah sebabnya gunung-gunung batu tersebut punya nama, mulai yang terbesar dan tertinggi, terlihat kukuh di kejauhan bernama Fatu Naususu, Anjaf di Desa Fatukoto, Fatu Peke di Desa Tune, Fatu Pe' di Desa Fatumnutu, Fatu Nua Molo di Desa Ajaobaki, Fatu Naitapan di Desa Tunua, Fatu Faenman, Fautlik di Desa Fatumnasi. (*)

Sumber: Tempo

Artikel Terkait
Peraih Goldman dari Pegunungan Molo 
Video Aktivitas Mama Aleta Baun

Pendidikan Model Asrama Yayasan Lokon St Nikolaus

Belajar memasak sendiri
Mendidik siswa-siswi menjadi mandiri, seimbang otak, hati dan watak. Itulah salah satu keutamaan di SMP dan SMA Lokon St Nikolaus Tomohon.
TIDAK
hanya pintar, tapi para siswa pun dididik memiliki karakter yang kuat.  Konsep itulah yang dikembangkan SMP dan SMA Lokon St Nikolaus Tomohon dalam kurikulum pendidikan berbasis kehidupan atau integral holistik. Sekolah yang beroperasi sejak tahun 2002 ini berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Lokon yang dipimpin Ronald Korompis.

"Pendidikan integral holistik merupakan gabungan dari beberapa aspek yang kami terapkan untuk membentuk siswa dalam seluruh aspek pembelajaran baik  spiritual, moral, imajinatif, budaya, estetika, emosi dan fisik," jelas Wakil Ketua Badan Pengurus Harian Yayasan Lokon Jimmy Wewengkang, Senin (15/4/2013).

Konsep pendidikan tersebut, kata dia, sudah terbukti menghasilkan tokoh-tokoh terkenal pada abad pertengahan.  "Pola pendidikan seperti ini sudah terbukti mampu menghasilkan tokoh-tokoh hebat, tapi di Indonesia khususnya di wilayah Timur sempat pudar, makanya dihidupkan kembali dan hasilnya sangat luar biasa. Anak-anak yang dididik di sini tak hanya memiliki intelektual tinggi, tapi juga memiliki toleransi, karakter, dan moral yang kuat," kata Wewengkang.

Untuk aspek intelektual siswa diwajibkan mengikuti kegiatan belajar-mengajar regular di sekolah dengan tertib. Sedangkan pembentukan moral dan karakter lebih banyak dilakukan di asrama.
Belajar astronomi sejak SMP

"Ini yang membedakan kami dengan sekolah lain. Di sini siswa tak hanya dididik lewat kurikulum sekolah, tapi juga ditempa lewat kurikulum asrama. Jadi, kedudukan antara sekolah dan asrama menjadi setara, tidak saling membawahi. Di sekolah ada kepala sekolah yang mengelola semua kegiatan akademik siswa, di asrama juga ada kepala asrama yang mengontrol seluruh aktivitas siswa sesudah belajar di sekolah. Artinya, antara sekolah dan asrama menjadi sama penting untuk membentuk anak-anak di sini," tuturnya.

Di asrama seluruh siswa belajar hidup disiplin, tertib dan mandiri. Setiap aktivitas yang mereka lakukan teratur dan terstruktur. Misalnya pada pukul 04.45 Wita mereka semua harus bangun dan berdoa bersama. Kemudian dilanjutkan dengan latihan baris-berbaris sekitar 25 menit baru mandi. "Latihan baris berbaris kami terapkan tiap hari untuk memberikan penyegaran fisik kepada siswa, sehingga saat belajar mereka memiliki stimulus baru dan jadi lebih semangat saat belajar, tidak ada yang mengantuk," kata  pembina asrama, Marjte Mongdong.


Pada pukul 06.20 Wita, seluruh siswa sudah selesai makan pagi dan pukul 06.45 Wita apel di sekolah. Selanjutnya pada pukul 07.00 Wita hingga pukul 15.00 Wita  mengikuti pelajaran di sekolah. "Setelah jam sekolah usai, pada pukul 17.45 Wita mereka belajar mandiri pertama di asrama, ada ruang studi masing-masing yang sudah disiapkan lengkap dengan fasilitasnya. Tapi, sebelumnya mereka diberi kesempatan istirahat dan mandi," jelasnya.

Aktivitas siswa tak berhenti sampai disitu. Usai makan malam pada pukul 19.30 Wita, mereka belajar mandiri tahap II, sebelum tidur lagi usai apel malam pukul 22.00 Wita. "Untuk studi mandiri kedua biasanya fakultatif, jika ada yang belum datang saat apel biasanya mereka dicari hingga ketemu agar tercipta kebersamaan. Ada doa bersama juga," ungkap Martje.

Humas Yayasan Lokon Jimmy Pontoan menambahkan, setiap  angkatan yang direkrut 120 siswa. Kuota asrama masing-masing tiap kamar SMA berjumlah 6 orang, sedangkan SMP 8 orang. "Di sini mereka diajari semua hal, mulai dari cara makan, mencuci piring, memberi hormat hingga memasak. Jadi, mereka menjadi figur yang mandiri, terampil dan berkarakter tak hanya pintar saja," terangnya.

Bahkan, murid yang lebih senior menjadi tutor (pendamping) bagi yuniornya  "Mereka di sini dididik untuk mampu bersosialisasi dan berinteraksi dengan siapa saja. Di asrama mereka berbaur dengan siswa dari daerah lainnya, tak ada yang berkumpul dalam satu komunitas," katanya.

Siswa-siswi memang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Ada yang dari Papua, Jakarta, Tobelo, Kalimantan dan wilayah Sulawesi, terutama Tomohon.  "Di sini tak hanya diajarkan teori, tapi langsung dipraktekkan. Jadi, pembentukan karakter secara menyeluruh langsung dijalankan. Mereka jadi sangat teratur, disiplin dan mandiri," kata Kepala Asrama Andi Ndityomas.

Dilan Mambo, siswa Kelas 2 SMP Lokon merasakan manfaat dari kurikulum yang diterapkan. "Sejak sekolah di sini, saya menjadi lebih mandiri, tak hanya berhasil dalam akademik saja ketika terpilih mewakili Tomohon berlaga di tingkat provinsi dalam ajang Olimpiade Sains khsusus fisika," kata siswa asal Jakarta tersebut.

Pola kehidupan asrama, kata Dilan, mengatasi kendala yang dihadapinya saat bersekolah di Jakarta, yakni sering terlambat karena macetnya transportasi.
Seluruh aktivitasnya juga menurut Dilan sangat terkontrol dan teratur, tidak ada tumpang tindih. "Di sini saya bisa punya banyak teman dari mana saja, tak seperti di rumah yang sangat terbatas. Waktu bermain teratur, begitu juga dengan waktu belajar. Tak ada yang terabaikan," tuturnya.

Sharon Wangke, siswi Kelas III IPA pun merasakan hal yang sama. Selama hampir 3 tahun di sana siswa asal Kakaskasen tersebut semakin terbentuk karakternya. "Hidup di sini seperti di rumah sendiri. Saya mendapat banyak keluarga baru,"  ungkapnya. Ia pun menjadi lebih mandiri, tak lagi bergantung pada pertolongan orangtua atau saudara untuk melaksanakan suatu pekerjaan. "Awalnya saat sekolah di sini, rasanya ingin pulang. Tapi setelah beberapa lama, saya jadi sangat betah, sekarang pun meski rumah dekat, saya jadi tidak ingin pulang," tuturnya.

Ia mengakui secara intelektual lebih terasah dengan metode pendidikan yang dijalankan di SMA Lokon. Dia bisa mengikuti Olimpiade Sains Matematika, dance dan berbagai kegiatan lainnya.


Terbuka bagi Siapa Saja


Sekolah Menengah Pertama (SMP)  dan SMA Lokon St Nikolaus Tomohon konsisten mewujudkan tujuannya yaknimenciptakan siswa yang memiliki pribadi yang percaya diri, cerdas, terampil, sehat jasmani dan rohani, tegar dan ulet, disiplin, berjiwa sosial dan berakhlak mulia.

"Semua sekolah yang dikelola Yayasan Lokon, baik SMP maupun SMA mengakomodir juga siswa yang kurang mampu (secara ekonomis)  tapi memiliki kemampuan akademik. Kami memberikan bantuan  dalam bentuk beasiswa bagi mereka yang ingin bersekolah, terutama bagi warga Tomohon agar menjadi pribadi yang berhasil," jelas Wakil Ketua Badan Pengurus Harian Yayasan Lokon Jimmy Wewengkang kepada Tribun Manado, Senin (15/4/2013).

Seluruh siswa,  kata dia, dididik untuk memperdalam pendidikan dalam kondisi yang seimbang, baik dalam hal intelektual (IQ), emosi (EQ) dan jasmani (PQ).

"Untuk anak-anak yang memiliki kemampuan khusus, biasanya kami bimbing dalam exelent program agar dapat mengikuti kompetisi nasional dan internasional. Tapi untuk siswa yang butuh peningkatan kemampuan akademik, kami berikan spesial program. Jadi, program pembelajaran di sini sangat berbeda dengan yang lain. Jika ada siswa yang rendah kemampuan akademiknya, pasti kami dorong agar terus belajar sehingga menyamai siswa lainnya. Mereka tidak dibiarkan," katanya.

Menurut Humas Yayasan Lokon Jimmy Pontoan,  siswa yang memiliki kemampuan akademik terbatas akan dibimbing secara khusus usai program belajar di sekolah. "Jadi, saat mereka selesai dari sini, ketika lanjut kuliah misalnya di dalam maupun luar negeri, tetap mampu bersaing. Sudah terbukti banyak lulusan dari sekolah ini dapat berkiprah di mana saja," ujarnya.

Di SMP dan SMA Lokon, siswa-siswi  memang dibekali beragam ilmu pengetahuan. Sekolah ini memiliki observatorium modern, mungkin satu-satunya sekolah menengah  di Asia Tenggara yang memiliki sarana itu. "Yang istimewa di sini adalah para siswa bisa mempelajari ilmu astronomi secara langsung karena ada observatorium modern untuk melihat bintang-bintang di bawah bimbingan Profesor Dr Mezak Ratag yang sudah menemukan 120 bintang," tambah Pontoan.

Keberadaan fasilitas itu membuka wawasan para siswa menjadi lebih maju. "Untuk melihat luar angkasa sekarang tak perlu menjadi astronot. Dengan datang belajar di SMP dan SMA Lokon sudah bisa menjadi orang yang hebat," tuturnya.

Merancang kurikulum pendidikan lebih modern, menurut Pontoan juga memicu peningkatan kualitas anak didik. Misalnya, pelajaran yang dipelajari siswa SMP kelas III atau SMA, sudah bisa dikuasai dan diselesaikan siswa SMP Kelas I.

"Pelajaran Matematika tingkat SMA kami integrasikan ke SMP, sehingga yang duduk di bangku SMP Kelas I pun sudah bisa mengerjakan soal. Tidak menunggu harus sampai di SMA baru dia bisa mempelajari itu, dan buktinya sudah ada, yakni di SMA Lokon ada siswa SMP Kelas I yang mampu tampil sebagai utusan ke provinsi mengalahkan siswa yang lebih senior untuk Olimpiade Sains," ungkapnya.

Keberhasilan tersebut,  kata Pontoan, bukan karena dipaksakan tapi karena memang sistem pembelajaran yang diterapkan berdasarkan hasil kajian dan evaluasi. "Anak-anak SMA di sini sudah mampu memahami pelajaran yang dibahas oleh mahasiswa S1 maupun program magister karena kami sudah mempelajari kelemahan-kelemahan dalam setiap pelajaran, dan urut-urutan materi yang bisa dipelajari oleh siswa. Ini tidak menimbulkan kejenuhan, tapi justru mereka semakin gemar untuk belajar," katanya.


Penunjang lainnya adalah penerapan metode belajar mandiri bagi siswa dengan dukungan internet menggunakan fiber optic yang memudahkan siswa belajar e-learning. "Semua materi sudah kemas, tanpa guru pun mereka bisa belajar sendiri menjadi lebih maju. Tapi kami tidak pernah berbangga diri dengan semua itu. Kami  senang karena kehadiran kami dapat menjadi contoh serta efek positif bagi pihak lainnya untuk mengembangkan mutu pendidikan di daerah ini. Kami selalu terbuka untuk siapa saja. Sebab kehadiran kami tujuannya untuk memanusiakan manusia lain seperti motto Dr Sam Ratulangi, Sitou Timou Tu Moutou," tuturnya.

Di SMP dan SMA Lokon pun banyak program ekstra kurikuler untuk mengembangkan minat dan bakat siswa, seperti bolabasket, futsal, sepakbola, renang, badminton, bolavoli, softball, atletik, marching band hingga alat musik tradisional. "Kami  sudah mengikuti berbagai lomba dan selalu tampil sebagai juara karena memang semuanya dibina dengan baik," kata Pontoan.

Yayasan Lokon pada bulan November 2013 mendapat kehormatan khusus yaitu  tuan rumah Asia Pacific Astronomy Olimpiad yang akan diikuti lebih dari 10 negara. Sedangkan sederet prestasi yang diukir, misalnya pada bulan Desember 2012, Team Indonesia yang dipimpin  Prof Mezak Ratag mengutus dua siswa terbaik dari Sulut yaitu Nadia Pangemanan dan Valensia Sumaki, siswa kelas 2 SMP Lokon yang menjadi peserta termuda dalam even internasional ini.

Di bidang olimpiade sains, baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional banyak prestasi yang diraih. Pada tahun 2010 Christian George Emr meraih medali emas Fisika Olimpiade Internasional di Zagreb Kroasia, dan terakhir pada tahun 2012 berhasil menyabet tiga medali dalam Olimpiade Sains Nasional di Jakarta. Pada tahun 2011 Lokon dipercaya sebagai tuan rumah Olimpade Nasional khusus  bidang biologi dan astronomi. (warstef abisada)

Sumber: Tribun Manado edisi 16 dan 17 April 2013 hal 1

Pasola dan Kisah Cinta

Pasola  di Sumba (Kompas Images/NI LUH MADE PERTIWI F)
KUDA Sumba yang berbadan kecil namun kokoh berotot terdengar meringkik bersahutan dengan ratusan kawanannya yang berada di padang rumput yang luas. Semilir rumput kering bercampur wangi mengingatkan nama lain Sumba, yaitu Pulau Cendana yang sudah termahsyur ratusan tahun lamanya.

Saat gemuruh kaki kawanan kuda menggetarkan padang sabana seraya puluhan lembing melayang, nafas penonton terhenti sementara, menanti arah dan sasaran ujung lembing yang melesat ganas. Lolos dari seorang penunggang kuda tak bernama, penonton pun riuh rendah melepas kelegaan dan takjub.

Untuk melengkapi sisi ekstrim keberanian Anda, bersiaplah di bulan Februari ke daerah Kodi atau Lamboya, dan bulan Maret di daerah Wanakoka. Kegilaan ini terjadi hanya ada di satu agenda, yaitu Festival Pasola, di Pulau Sumba, di Nusa Tenggara Timur.

(Kompas Images/NI LUH MADE PERTIWI F)
Seorang Rato memilih hari yang penuh berkah untuk Pasola, sebuah kata yang berawal dari lembing yang dikenal sebagai ‘sola’ atau ‘hola’ dalam bahasa lokalnya. Namun setelah dibubuhi menjadi ‘pasola’, makna pun berubah menjadi ‘permainan’. Sungguh pun acap kali memakan korban, pasola tetap berpacu di tanah Sumba sebagai permainan penawar duka, duka seorang leluhur atas hilangnya belahan jiwa.

Konon, seorang pemuka adat bernama Umbu Dulla dari Waiwuang, Sumba Barat, berkelana dengan dua pemuka adat lainnya, Ngongo Tau Masusu dan Yagi Waikareri. Meninggalkan istrinya Rabu Kaba untuk beberapa lama, Umbu Dulla dikabarkan tewas tenggelam di laut ganas.

Kesedihan pun melanda Rabu Kaba. Hingga suatu hari seorang pria bernama Teda Gaiparona dari Kodi, semenanjung barat Pulau Sumba, dapat mencairkan cinta Rabu Kaba yang lama membeku. Keduanya dilanda asmara dan berniat untuk menikah.

Sayangnya, pihak keluarga dari keduanya tak merestui. Maka Rabu Kaba dan Teda pergi untuk kawin lari. Hari berganti minggu hingga datanglah Umbu Dulla dengan dua kawannya dari perantauan, menggugurkan kabar burung kematian mereka. Kengerian warga tak sebanding dengan kesedihan Umbu Dulla yang dipaksa keadaan bahwa istrinya telah lari bersama Teda. Tapi Umbu Dulla tak murka walau permintaan agar Rabu Kaba kembali tak dihormati.

Tekanan batin Rabu Kaba yang jelita semakin memuncak, dihimpit cinta terhadap Teda dan kisahnya sebagai istri Umbu Dulla yang tak berujung kepastian. Dilema ini akhirnya ditutup dengan permintaan Rabu Kaba kepada Teda untuk mengganti belis, persembahan keluarga Umbu Dulla dulu saat melamar. Menyanggupi belis yang harus diganti, Teda akhirnya direstui untuk menikah secara sah dengan Rabu Kaba, oleh masyarakat dan khususnya Umbu Dulla.

Untuk menghalau kesedihan, Umbu Dulla memerintahkan diadakannya pesta yang sekarang dikenal dengan Pasola, perayaan rasa sukur terhadap panen yang melimpah setelah melalui penangkapan nyale, cacing laut yang selalu mengundang ceria dan syukur pada masyarakat Nusa Tenggara. Pasola sejak hari itu menjadi tradisi dan sebuah agenda lanjutan dari pesta bau nyale, mencari cacing laut yang sebenarnya melambangkan pelipur lara kehilangan seorang kekasih hati Umbu Dulla, yaitu Rabu Kaba.

Pulau Sumba tak jauh dari Komodo, Flores, dan juga Timor Timur. Gunung  paling tinggi yaitu Wangameti (1.225 m) menyajikan kisah kayu cendana yang dihargai oleh para pedagang dan pemeluk agama berbeda. Umat Hindu dan Buddha dari negeri China dan Jepang memanfaatkannya untuk dupa yang wangi semerbak serta pengobatan pengganti antibiotik. Umat Islam menjadikan kayunya sebagai bulir tasbih yang menawan.

Seperti daratan di Australia dan bagian selatan Afrika, Pulau Sumba melukiskan warna-warna yang tak umum didapatkan saat ditangkap lensa kamera.

Kepercayaan Marapu atau animisme kuno melengkapi budaya tradisi Pasola, yaitu dengan banyaknya persembahan hewan atau pun patung-patung batu atau penjiyang jarang terlihat setelah masuk agama Kristen di pulau itu. Menginjakkan kaki di Sumba adalah cita-cita yang harus dilakukan selama Anda masih sempat berpetualang. (*)

Sumber: Kompas.Com

Flobamora, Begitu Indah Alamnya...

Komodo di pinggir pantai (dok Kompas TV)
KAMI berkesempatan menyambangi daerah di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat tiba di Bandara Komodo, Labuan Bajo, pemandangan sekitar runway baguuuss... Terus terpilihlah Kanawa Beach Bungalows di Pulau Kanawa untuk tempat menginap kita.

Kanawa adalah sebuah pulau kecil yang indah, di sekitar pantainya bisa langsung snorkeling, dan ada bukitnya juga di balik penginapannya. Bukit ini bisa didaki untuk melihat pemandangan sunset ataupun sunrise.

Saat kita mendaki di sore hari, anginnya super duper kenceng, dan karena saat itu musim kemarau, jadi warna dominannya adalah kuning dan cokelat. Ditambah lagi kesulitan mendaki karena ada beberapa titik yang curam dan nggak ada pegangan sama sekali. Jadi terpaksa megang rumput-rumput kering supaya nggak kepeleset.
Danau Kelimutu di Ende, Flores

Begitu sampai di puncak bukit, hanya bisa mengucap Subhanallah... indahnya.... Bisa kelihatan seluruh pemandangan laut dan pulau-pulau di sekitar Kanawa. So beautiful...

Hari pertama di Kanawa dihabiskan dengan mendaki bukit menjelang sunset dan menikmati sunset di pinggir pantai. Dan malamnya kita makan di restonya Kanawa, karena pulau ini tidak berpenduduk, jadi hanya ada Kanawa Bungalow sehingga kita harus memakai seluruh fasilitas yang ada di hotel. Jadi nggak bisa jajan deh, mau beli air minum ya di restonya.

Kanawa adalah bungalow dengan konsep eco friendly, dengan kamar mandi semi outdoor yang di dalamnya disediakan 2 macam air (air laut untuk guyur kloset dan air tawar di pancuran untuk mandi).

Di sana listriknya dibatasi, yaitu hanya dinyalain mulai jam 6 sore dan sekitar jam 11 malam sudah dimatikan. Jadi saat jam-jam tersebut harus segera nge-charge segala macem gadget.

Setelah makan malam kami isi waktu dengan ngobrol ngalor ngidul karena nggak ada tv di penginapan. Jadi nginap di Kanawa ini memang sekaligus untuk mengasingkan diri dari hiruk pikuk kota dan menikmati kesunyian alam di tengah indahnya panorama ciptaan Tuhan.
Tarian Caci di Manggarai, Flores

Hari kedua, setelah sarapan akhirnya kami bisa menikmati trip ke Pulau Komodo, snorkeling di Pink Beach dan Batu Bolong. Padahal malam sebelumnya kami disarankan untuk tidak ambil trip ke sana dan kapten kapal hanya berani ke Pulau Rinca karena musim angin barat yang kencang.

Syukur alhamdulillah akhirnya pagi itu cuaca cerah dan dimulailah petualangan mengarungi perairan di Kepulauan Komodo dengan menggunakan kapal kayu milik Kanawa. Saat itu kami mendapat tambahan 2 orang yang bareng ke Komodo.

Setelah hampir 2 jam di lautan, sampai juga di dermaga Pulau Komodo (Loh Liang). Cuaca sangat terik dan pemandangan hutan pun sangat kering dengan didominasi warna cokelat dan kuning. Setelah mengurus administrasi di pos jagawana, akhirnya kami memilih mengambil short track.

Di dalam perjalanan ketemu juga sama si Komodo yang lagi santai-santai di bawah pohon. Langsung deh kita foto-foto. Selain komodo, banyak ditemukan kijang karena kijang adalah makanan bagi si Komodo. Short track berakhir di Fregata Hill, sebuah bukit kecil dimana dari puncaknya kita bisa melihat pemandangan laut.

Setelah puas berfoto-foto, kita turun bukit menuju jalan setapak menuju pos masuk yang tadi. Sebelum pulang sempat lihat suvenir yang dijajakan oleh penduduk lokal. Akhirnya kita buru-buru kembali ke kapal untuk makan siang (nasi goreng yang dibekalin dari penginapan).

Tujuan berikutnya adalah Pink Beach, pantai berpasir merah muda ini kabarnya hanya ada 7 di dunia dan salah satunya di Pulau Komodo ini. Pink Beach ini masih satu daratan dengan Pulau Komodo tapi karena ini merupakan kawasan konservasi, jadi perahu-perahu dilarang buang jangkar yang terlalu dekat dengan pantai.

Jadilah kita harus langsung nyebur dari kapal dan berenang ke tepi pantai, ya sambil snorkeling juga. Tapi sayang airnya keruh jadi biota di dalam lautnya kuang jelas terlihat. Begitu sampai di pantai, langsung deh pegang pasirnya, dan ternyata memang pink!

Meskipun saat ini sudah tidak terlalu pink lagi, namun tetap terlihat butiran warna pinknya. Sepertinya pasir di sana berasal dari pecahan batu-batu karang yang berwarna merah di dalam laut, lalu kebawa ombak sampai ke pantai. Subhanallah... makin cinta deh sama Indonesiaku.

Setelah foto-foto, langsung berangkat lagi ke Manta Point untuk berenang bersama ikan manta alias pari yang gede. Sayangnya saat itu cuma lihat satu manta dan cepat banget berenangnya. Jadi kita putuskan langsung beranjak lagi ke titik terakhir yaitu Batu Bolong.

Batu bolong ini adalah batu karang di tengah lautan yang ada lubang besar di batunya, dan di situ merupakan titik penyelaman favorit para diver. Untung kami-kami yang hanya bisa snorkeling ini sudah bisa melihat indahnya alam bawah laut Batu Bolong, karena terumbu karangnya pun hampir menyembul ke permukaan air padahal di situ perairan laut dalam.

Pemandangannya benar-benar indah, karang warna-warni, dengan biota yang entah apa namanya. Pokoknya kelihatan indah karena warnanya beraneka ragam. Sayang saat itu sudah sekitar jam 4 sore jadi arusnya kuat banget. Untuk menghindari ombak tinggi makanya cuma sebentar banget snorkeling-nya, dan kita pun disuruh segear naik ke kapal untuk kembali ke Kanawa. Dengan hati yang sedih namun tetap senang sudah bisa menikmati sedikit keindahan bawah lautnya Kepulauan Komodo ini.

Dan benar saja, ternyata dalam perjalanan kembali ke Kanawa, ombaknya tinggi-tinggi dan kita sempat terguncang-guncang duduk di kapalnya. Sampai di Kanawa sekitar jam 17.30, tapi masih terang. Jadi kita snorkeling lagi di sekitar dermaga Kanawa, setelah itu menikmati sunset.

Sayang sore itu air tawarnya di kamar mandi mati, hiks... Setelah lapor ke front office, akhirnya begitu balik ke kamar airnya sudah normal kembali. Tapi itu sudah hampir jam 10 malam kita balik ke kamar karena ngobrol banyak dengan teman-teman. Meskipun sudah malam, mandi juga karena nggak enak kalau tidur badannya masih lengket air laut.

Hari ketiga, saatnya kembali ke Labuan Bajo, setelah sarapan jam 7 pagi dan menyelesaikan pembayaran, langsung gotong ransel menuju kapal deh. Jam 8 pagi kapal pun bergerak meninggalkan Kanawa untuk kembali ke Labuan Bajo.

Sedih bercampur puas.... dan berharap suatu hari nanti bisa datang lagi ke Kanawa saat bukan musim kemarau, karena pengen lihat Kanawa di saat hijau. Sekitar jam 09.30 bersandar di dermaga pelabuhan Labuan Bajo. (Danawiryya Silaksanti)

Sumber: Kompas.Com

Frans dan Esthon Maju ke Putaran Dua Pilgub NTT

ilustrasi
HASIL pleno terakhir rekapitulasi penghitungan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 2013-2018 dinyatakan berlangsung dua putaran, lantaran tidak ada pasangan calon yang meraih angka 30 persen.

Ketua KPU NTT, Jhon Depa kepada Kompas.com, Kamis (27/3/2013) mengatakan, dalam rapat pleno yang ditutup Rabu malam, dinyatakan bahwa pasangan Frans Lebu Raya-Benni Alexander Lytelnoni dan pasangan Esthon L Foenay-Paul Edmunud Tallo yang berhak maju ke putaran dua.

"Karena perolehan suara tak mencapai 30 persen, maka urutan pertama peraih suara terbanyak yakni pasangan Frans Lebu Raya dan Benni Alexander Lytelnoni, yang meraih 681.273 suara atau hanya mencapai 29,80 persen dari 2.270.094 total suara sah, dan urutan kedua pasangan Esthon L Foenay dan Paul Edmundus Tallo 515.836 suara (22,56 persen), yang akan berhak maju pada putaran kedua nanti," jelas Depa.

Sesuai agenda KPU NTT, pemilu Gubernur NTT putaran dua akan berlangsung pada 15 Mei 2013. Frans Lebu Raya yang saat ini merupakan Gubernur NTT akan bertarung dengan Wakil Gubernur Esthon L Foenay.

Informasi yang berhasil dihimpun dari KPU Provinsi NTT, posisi ketiga diraih pasangan Ibrahim Agustinus Medah-Melkiades Lakalena 514.173 suara (22,48 persen), disusul pasangan independen Christian Rotok-Abraham Paul Liyanto dengan 332.569 suara (14,54 persen), dan urutan terakhir diraih pasangan Benny Kabur Harman-Willem Nope dengan 242.610 suara (10,61 persen). (*)

Hasil Pilgub NTT tanggal 18 Maret 2013

1. Frans Lebu Raya-Beny Litelnony yang diusung PDIP  dengan 681.273 suara (29,80 persen)
2.  Esthon Foenay-Paul Tallo dari Gerindra dengan 515. 836 (22,56 persen)
3. Ibrahim Medah-Melki Laka Lena (Golkar) meraih suara 514.173 (22,49 persen).
4. Cristian Rotok-Paul Liyanto (independen) dengan 332.569 suara (14,55 persen).
5.  Beny Kabur Harman-Welem Nope (Demokrat) 242.610 suara atau (10,61 persen).

Pilkada putaran kedua digelar pada 15 Mei 2013

Sumber: Kompas.Com

Sejarah GMIM di Tanah Minahasa

Kantor Sinode GMIM di Kota Tomohon (foto Warstef, April 2013)
Jika kita tidak lagi mengenal sejarah kita, maka kita tidak dapat mengenal diri kita sendiri.

Demikian ucapan Van der Leeuw yang masih tetap relevan, sekurang-kurangnya dalam lingkungan Gereja, khususnya warga GMIM, sebab kehidupan Gereja tidak dapat dilepaskan dari sejarah umat di masa lampau.

Ucapan Van der Leeuw itu tertuang dalam kata pengantar Badan Pekerja Majelis  Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (BPMS GMIM) pada buku Menggali Harta Terpendam yang merupakan buku peringatan 70 Tahun GMIM bersinode (30 September 1934-30 September 2004) yang ditulis Pendeta DM Lintong.

ekretaris BPMS GMIM 2010-2014, Pendeta Arthur Rumengan mengaku sangat terkesan dengan ucapan itu. Sebab, kata dia, lewat kalimat tersebut, Rumengan dan juga jemaat diingatkan untuk tidak melupakan sejarah saat berada di dunia modern ini, agar dapat terus melayani Tuhan.

"Sangat panjang memang untuk mengulas sejarah perjalanan GMIM, makanya perlu didokumentasikan dan dibukukan seperti ini, agar ke depan generasi berikutnya dapat terus melayani tanpa kehilangan identitasnya," ungkap Rumengan, kemarin.

Ketika ditemui Tribun Manado di ruang kerjanya, Rumenangan mengungkapkan sejarah perkembangan GMIM memang tertuang jelas dalam buku tersebut, sebab telah dirangkum dari  berbagai sumber, termasuk dari mantan Ketua BPMS Pendeta Dr AF Parengkuan MTh (Alm).

Buku tersebut tersimpan rapi di lemari ruang kerjanya, dan memudahkan baginya untuk mengingat sejarah perjalanan ketika masyarakat Minahasa menerima Injil, hingga cikal bakal GMIM dan kelembagaannya.

"Banyak perkembangan yang terjadi memang di GMIM setelah 78 tahun bersinode, yakni kesadaran seluruh jemaat untuk tak melupakan sejarah, yang dibuktikan dengan ditulisnya buku ini. Tentu semua karena Tuhan yang menolong dan memampukan," katanya.

Dalam buku tersebut diungkapkan bahwa penginjilan pertama di Minahaa secara berkesinambungan terjadi pada abad ke-19, ketika Johann Friederich Riedel dan Johann Gottlieb mengawali kedatangan para penginjil dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG).

Ada 4 gelombang kedatangan penginjil ke Minahasa di bawah bendera NZG, yakni pertama pada tahun 1831, ketika Riedel dan Schwarz datang dan bekerja di antara orang Tondano dan Langowan.

Gelombang kedua pada tahun 1836-1838 ketika Hermann dan Mattern bekerja di Amurang dan Tomohon, kemudian Gelombang ketiga pada tahun 1848-1849 ketika Hartig, Bossert dan Ulfers datang sambil bekerja di Kema, Tanawangko dan Kumelembuai, serta gelombang keempat pada tahun 1861-1864 ketika JAT Schwarz, anak dari JG Schwarz bekerja di Sonder dan sekitarnya.

Riedel dan Schwarz tiba di Manado pada 12 Juni 1831, yang dipakai sebagai hari peringatan Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di Minahasa, walalupun Riedel tiba dan menetap di Tondano sebenarnya pada 14 Oktober 1831.

Pada masa itu, orang Tondano menerima pengajaran Kristen yang dibawa Riedel, ditandai dengan selain jumlah mereka yang mengikuti kebaktian semakin banyak, juga perkembangan di bidang pendidikan semakin tampak oleh banyaknya anak-anak yang ke sekolah.

Setelah hampir 40 tahun kegiatan Pekabaran Injil dijalankan oleh Pekabar Injil yang datang dari Eropa, dan dibantu oleh guru Injil dengan susah payah, maka orang Minahasa yang menjawab Pekabaran Injil itu telah berjumlah 77.571.

Pada 1874, Jemaat terus bertumbuh pesat hingga mencapai 141, bukan hanya mereka yang menjadi pendengar Injil, tapi juga yang terdorong untuk mengabarkan Injil. Jemaat pun ketika itu menyediakan dana bagi Pekabaran Injil ke luar daerah.

Dalam dua tahun pertama sejak GMIM berdiri sendiri, perhatian banya ditujukan kepada penataan organisasi gereja, dimana hingga pada 1942, Ketua GMIM masih dipegang oleh Pendeta asal Belanda ketika dalam pendudukan Jepang di Minahasa.

Menjelang berakhirnya kepemimpinan pendeta asal Belanda, Pendeta AZR Wenas menyampaikan pidato tentang GMIM dan Pekabaran Injil dalam suatu pertemuan pada 14 Juli 1941 di Gereja Tondano.



Dari pidato tersebut diketahui bahwa sejak GMIM berdiri sendiri, dan pada 1934 sampai dengan 31 Desember 1936, GMIM belum mengutus tenaga penginjil ke luar Minahasa. Yang dilakukan pada waktu itu barulah mengumpulkan kolekte untuk daerah Luwuk dan Banggai, dimana Pendeta Tumbelaka dan Pendeta Lumanauw sedang bekerja.

Wenas mengatakan bahwa pada waktu itu GMIM belum melaksanakan secara resmi Pekabaran Injil. Namun demikian kesadaran akan pentingnya Pekabaran Injil itu sudah ada dalam GMIM. Orang-orang sudah mulai menanyakan, daerah-daerah manakah yang cocok untuk dijadikan ladang Pekabaran Injil GMIM.

Layani Tanah Karo

Sejak berdiri pada 1934, Gereja Masehi Injili di Minahasa  tak hanya sibuk mengurus pelayanan di Bumi Nyiur Melambai, tapi juga menyebar Injil keluar Sulawesi Utara.

Keberadaan GMIM meneruskan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penginjil dari Eropa. "Sejak dulu hingga kini, GMIM tetap konsisten mengutus Pekabar Injil seperti guru-guru dan Pendeta untuk melayani jemaat yang membutuhkan hingga di luar Indonesia," ungkap Sekretaris Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM, Arthur Rumengan, kemarin.

Dari catatan buku Menggali Harta Terpendam, jemaat-jemaat Minahasa bahkan menyediakan dana bagi Pekabar Injil terutama guru-guru untuk keluar. Misalnya, pada 15 Maret 1891 diutus empat pasang suami istri Minahasa, yakni Benyamin dan Suzana Wenas, Johan dan Penina Pinontoan, Richard dan Sara Tampenawas, Hendrik dan Mintje Pesik untuk melayani di Tanah Karo.

Mereka secara khusus diutus dalam ibadah pengutusan di Gedung Gereja Tondano yang ditopang oleh banyak jemaat. Gereja itu sendiri dapat menampung sekitar dua ribu jemaat. Dan sesuai catatan Kruyt  (Rita Kipp, The early years of a dutch colonial mission, The Karo Field, hal 84), gedung gereja itu hampir tidak dapat menampung anggota jemaat yang ingin menyaksikan pengutusan itu.

Keempat pasang suami istri itu, diseleksi dari sekitar 12 pasangan yang mendaftarkan diri. Mereka diberi informasi soal kesulitan melayani, bukan ilusi-ilusi romantis tentang apa yang akan dihadapi oleh pekabar Injil di ladang penginjilan.

Ada juga prasyarat bahwa para calon hendaknya sudah menikah, karena itu kendati ada orang muda yang memberi diri, yang menyatakan mereka akan menikah ketika terpilih untuk diutus, tetap ditolak.

Tak hanya itu, bagi mereka yang kelihatannya tidak mempunyai yang menunjukkan kesungguhan dalam Pekabaran Injil, lamaran mereka ditolak juga. Pengutusan itu bukan tanpa pengorbanan.

Johan Pinontoan misalnya, sebagai seorang guru dan pemimpin benar-benar melayani jemaat denngan baik dan berkontribusi bagi pekerjaan gereja lainnya.
Di Jemaat ia bekerja, ia sudah menanam pohon pala dan sudah mulai berbuah.

Tetapi bersama istrinya, ia bersedia meninggalkan semua itu untuk diutus ke tanah Karo di Sumatera Utara. Yang sangat menggembirakan dari ulasan buku yang ditulis Pendeta DM Lintong memperingati 70 Tahun GMIM Bersinode, adalah nama-nama mereka tetap diingat oleh jemaat-jemaat Karo (Gereja Batak Karo Protestan).

Pada Januari 1937, pengutusan Injil GMIM di era kepemimpinan Pendeta AZR Wenas sebagai Ketua Sinode juga dilakukan di wilayah Gorontalo dan Donggala. Pada bulai Mei, Wenas juga melakukan kunjungan bersama Ds Vessem ke Buol dan Toli-toli.

Tenaga yang bekerja di Gorontalo pada masa itu adalah, Inlandsch Leraar (Guru Injil pribumi I Massie, Tiendas) dan guru jemaat. Diakui oleh Wenas bahwa sampai pada 1938, masih sedikit yang dilakukan GMIM berkenaan dengan pengutusan Injil.

Dan pada 12 Februari 1939 Guru Injil pribumi A Rondonuwu diutus lagi dari rumah gereja di Tondano, menjadi utusan Injil GMIM ke Toli-toli, dan Pendeta Penolong AA Vermeulen ditetapkan ke Gorontalo, walaupun pengutusan ke sana dibiayai oleh gubernemen (pemerintah).

Pengutusan berlanjut diutusnya AHS Lengkong ke Parigi selaku zendeling pertama GMIM yang keluar mengabarkan Injil dengan biaya yang ditanggung oleh GMIM. Sokongan jemaat terhadap utusan Injilnya dibuktikan dengan pengumpulan dana dalam Minggu Pengutusan Injil di Tahun 1940. Jumlah yang terkumpul terhitung untuk tahun 1939 sebesar 1.200,356 gulden dan pada tahun 1940 sejumlah 4.919,345 gulden.

Jumlah sokongan ini sangat menyenangkan bagi pelaksanaan pengutusan Injil. Semangat Pekabaran Injil keluar Minahasa berkembang pesat. Di tahun 1941 diutus lagi RPH Ngantung ke Molopaga daerah Parigi dan A Malonda ke Izimu. Kedua utusan Injil ini dibiayai langsung oleh GMIM. Sementara itu untuk daerah Ogowele di Toli-toli telah diutus Evangelis J Walewangko.

Dikatakan Rumenang, pengutusan Injil ini disyukuri karena dapat dilihat adanya orang-orang dari Minahasa yang menyediakan dirinya diutus ke daerah yang disebut sebagai daerah yang masih ditudungi dengan kegelapan.

"Saat ini untuk pembiayaan pelayanan di Sinode GMIM masih mengandalkan dana sentralisasi dari jemaat," tandas Pendeta Arthur Rumengan. (warstef abisada)

Sumber: Tribun Manado edisi 6 dan 7 April 2013 hal 1



EE Mangindaan dan Mokoginta Menangis

Pemakaman CJ Rantung (foto Rizky Adriansyah TM)
MANADO, TRIBUN - Suasana haru merebak pada prosesi pemakaman Mantan Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) CJ Rantung di Manado, Sabtu (6/4/2013).  Abdulah Mokoginta dan EE Mangindaan  tak sanggup membendung air mata saat bercerita tentang sosok CJ Rantung yang begitu mereka kenal.

"Kami semua adalah hasil binaannya," kata Mokoginta, wakil Gubernur Sulu pada masa kepemimpinan CJ Rantung ini sambil terisak.  Mokoginta  mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan kata sambutan dalam persemayaman  jenazah CJ Rantung di ruang Mapalus Kantor Gubernur Sulut, Sabtu (6/4/2013) siang.

Dengan terbata-bata, ia melanjutkan kesannya tentang mantan pasangannya ini. "Semasa saya jadi ketua DPRD, kami tetap dekat," katanya.  Mokoginta dua kali terisak sebelum mengakhiri sambutan dengan kata - kata. "Semoga beliau diterima di sisiNya," ujarnya.

Jenazah CJ Rantung disemayamkan di kantor Gubernur Sulut sebelum dibawa ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kairagi Manado untuk dimakamkan di sana.  Meski jenazah Rantung dari Tondano  tiba di ruang  mapalus sekitar pukul 14.32 Wita, namun para pelayat telah berdatangan sejak empat jam sebelumnya.

Jelang pukul 14.00 Wita, aula itu telah dipadati ribuan orang dari berbagai penjuru Sulawesi Utara.  Di antara yang hadir tampak Gubernur Sulut SH Sarundajang, Menteri Perhubungan RI yang juga mantan Gubernur Sulut  EE Mangindaan, Danrem Brigjen TNI Johny Tobing, Kapolda Sulut Brigjen Pol Dicky Atotoy, pimpinan BNN Mayjen TNI Benny Mamoto, Danlantamal VIII Laksamana Pertama Guguk Handayani serta Danlanudsri Manado Kolonel Ferdinand Roring. Hadir pula para pejabat dan mantan pejabat, para tokoh agama, tokoh masyarakat serta masyarakat umum. 

Suasana mengharukan kembali menyeruak tatkala mantan Gubernur Sulut EE Mangindaan memberikan kata sambutan. Suara Mangindaan sudah bergetar sewaktu menceritakan kedekatannya dengan almarhum CJ Rantung di akademi militer. "Kami sama-sama di akademi militer, ia kakak sekaligus guru saya," kata Mangindaan.

Mangindaan tak kuasa membendung air matanya ketika ceritanya sampai pada bagian
dimana Rantung meminta kesediannya untuk menjadi gubernur di hadapan Panglima TNI. Terdiam beberapa menit lamanya untuk menghapus air matanya, ia kembali melanjutkan meski air matanya tak susut juga.


CJ Rantung yang mengusulkan dan Rantung pula yang banyak memberikan masukan kepada Mangindaan tentang bagaimana memimpin masyarakat Sulawesi Utara. "Ia banyak memberikan masukan kepada saya," bebernya.

Gubernur Sarundajang yang menjadi irup, membacakan kata sambutan seperti sedang membaca bait-bait puisi yang lirih dan hadirin mendengarnya seperti kitab ratapan atau buku hamlet.  "Ia telah pergi meninggalkan kita semua, tapi kita tidak dibiarkannya dalam gelap,  petuah-petuahnya akan tetap abadi," demikian Sarundajang.

Rasa kehilangan CJ Rantung pun diungkapkan JA Damopolii, Bupati Bolaang Mongondow pada era kepempinan Gubernur Rantung. Mengenakan batik serta kopiah, dia setia menanti dimulainya acara persemayaman sejak beberapa jam sebelumnya.
Ia tak sendiri. Beberapa sejawatnya tampak di kursi sampingnya. Ia tampak larut dengan pembicaraan dengan mereka, melulu tentang pengalaman bersama Rantung sembari sesekali menengok gladi resik oleh anak-anak IPDN.

Ditanya kesannya tentang Rantung, sambil mengangkat jempol, ia menyatakan jika Rantung adalah gubernur yang baik. "Ia sangat baik," tuturnya. Dia selalu menjadikan Rantung sebagai panutan. "Semoga ia diterima di sisinya," katanya. E Kaligis, mantan pegawai Pemprov Sulut  mengaku berduka dengan kematian mantan atasannya itu. Rantung dengan keramahannya mampu mengayomi masyarakat meski ia juga tegas jika ada yang berbuat salah. "Banyak yang bisa ditiru darinya," kata Kaligis.

Bapak Pembangunan
Bupati Minahasa, Drs Jantje W Sajow MSi mengatakan CJ Rantung telah menjadi bagian dari sejarah Sulut. Saat memberikan sambutan pada acara pelepasan jenazah CJ Rantung di gedung Wale Ne Tou Tondano, Sabtu (6/4) pagi, Sajow mengatakan  Gubernur Sulut periode 1985-1995 tersebut telah melaksanakan program nyata untuk membangun Sulut.

"Saya melihat Pak CJ Rantung sebagai bapak pembangunan di Sulut. Beliau telah merintis rencana pembangunan di Sulut yang telah berjalan sampai saat ini. Saya kagum pada sosok Pak Rantung," ujarnya.

Sajow mengatakan salah seorang putra terbaik Sulut telah dipanggil Tuhan, namun jasa dan pemikiran beliau telah tertanam bahkan akan terus dirasakan warga Sulut sampai kapan pun.

Pelepasan jenazah CJ Rantung di gedung Wale Ne Tou Tondano kemarin dihadiri ribuan warga. Keluarga, teman, dan jajaran PNS Pemkab Minahasa memadati gedung megah tersebut. Hampir tidak ada kursi kosong yang tersisa. Dari ribuan orang hadir didominasi PNS dan guru dari berbagai daerah di Kabupaten Minahasa.  Cornelis John Rantung meninggal dunia, Rabu (3/4) lalu di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta.
(art/luc)


Selamat Tinggal Opa...

TEMBAKAN salvo dari belasan prajurit TNI AD sekali namun serempak, membahana di seluruh TMP Kairagi Manado, Sabtu (6/4/2013) sore.

Bersamaan dengan itu, peti jenazah  mantan Gubernur Sulut CJ Rantung turun perlahan ke dalam liang lahat, yang berada di pojok kanan depan, di bawah teduhnya pohon kamboja.

Bendera Merah Putih yang sebelumnya sudah ditanggalkan dari peti jenazah, masih membentang, dengan dipegangi oleh empat pemimpin tinggi TNI dan Polri pada empat pojoknya.

Bendera itu digulung, lalu peti jenazah tiba di dasar liang lahat. Tanah kemudian disiramkan secara simbolis oleh Gubernur Sulut Dr  Sarundajang dan keluarga.Sebelum di utup dengan papan, anggota keluarga yang didahului oleh Ibu Helda Rantung menyiramkan bunga di atas  peti jenazah.  "Selamat tinggal opa," kata seorang cucu dari CJ Ratung yang masih kecil.

Seorang perwakilan keluarga Rantung kemudian mengucapkan terima kasih sambil menangis kepada seluruh yang hadir dalam acara pemakaman tersebut.  "Kami tak bisa bisa membalas ini,  kiranya Tuhan membalas segala kebaikan dari saudara-saudara," katanya.

Gubernur SH Sarundajang sekali lagi menyatakan rasa dukacitanya sembari menguatkan keluarga besar CJ Rantung  agar tabah.  Usai prosesi pemakaman, langit yang semula mendung memuntahkan hujan lebat. Alam bersedih, tapi menumpahkan ekspresinya pada waktu yang tepat yaitu seusai pemakaman.  Seperti yang dikatakan EE Mangindaan, bahwa ini adalah pemakaman yang ideal. (art)


Sumber: Tribun Manado 7 April 2013 hal 1

Isak Tangis Sambut Jenazah Rantung

Gubernur Sarundajang menghibur Ny Hilda Rantung (foto Rizky TM)
MANADO, TRIBUN - Suasana haru menyelimuti Bandara Sam Ratulangi Manado, Jumat (5/4/2013) pagi. Jenazah Cornelis John Rantung tiba di bandara kebanggaan warga Bumi Nyiur Melambai itu, setelah melalui perjalanan tiga jam terbang dari Jakarta.

Jenazah Gubernur Sulawesi Utara periode 1985-1990 dan 1990-1995 itu disambut dengan isak tangis. Apalagi, sang istri, Nyonya Hilda Rantung Karepoan tersedu- sedu ketika turun dari pesawat.

Peti jenazah dipanggul sejumlah prajurit TNI sesuai tata cara militer. Rantung merupakan jenderal purnawirawan. Para prajurit itu membawa peti jenazah ke ruang VVIP Bandara Sam Ratulangi tempat persemayaman sebelum dibawa ke Desa Luaan, Tondano Selatan, Minahasa.

Gubernur Sulut, Sinyo Harry Sarundajang bersama istri dan jajaran pemerintah Provinsi Sulut pun telah menunggu jenazah. Sarundajang dan istri bahkan tak kuasa menahan air mata kala bertemu Nyonya Hilda Rantung. Gubernur kemudian mengucap kalimat penghiburan sekedar melipur lara sambil memeluk.

Sarundajang pun menyapa serta anggota keluarga Rantung. Mereka tampak sudah akrab, menandakan kedekatan SHS dengan sesepuhnya, CJ Rantung.

Jenazah pun diberi tempat persemayaman di tengah ruangan VVIP untuk mendapat penghormatan. Sarundajang memimpin jalannya prosesi penghormatan.

" Pada kesempatan ini, pemerintah daerah dan masyarakat mengungkapkan duka cita sedalam-dalamnya," kata Sarundajang.

Bahkan, kata Sarundajang, sampai pada akhir hayatnya, CJ Rantung telah berbuat banyak untuk daerah Sulut "Kami kehilangan beliau yang sampai pada akhir hayatnya terus berbuat bagi daerah yang dicintainya," ujarnya lagi.

Dijelaskan SHS, banyak  pengalaman selama 10 tahun CJ Rantung memimpin Sulut. Bahkan sesudah beliau melepas jabatan dan menjadi rakyat biasa, pendekatan pergaulan masyarakat tetap terjalin.

Usai prosesi penghormatan, rombongan keluarga membawa jenazah ke kediaman keluarga di Desa Luaan. 

Rencananya, Sabtu (6/4) siang ini, sebelum dimakamkan jenazah akan mendapat penghormatan di tengah masyarakat di Gedung Rakyat Minahasa Tondano, kemudian singgah di Kantor gubernur, lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kairagi.

Ikut serta dalam penjemputan jenazah yakni, Ketua DPRD Sulut Meiva Salindeho, Wali Kota Manado, GS Vicky Lumentut, Wawali Manado, Harley Mangindaan, Bupati Minut Sompie Singal dan Wakil Bupati Minahasa Ivan Sarundajang.

Mantan Gubernur Sulut CJ Rantung tutup usia, Rabu (3/4) di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Dan sekitar pukul 11.00 Wita jenazah Rantung tiba di kediaman keluarganya di Kelurahan Luaan, Kecamatan Tondano Selatan.

Dia kembali ke daerah tempat dia pernah tinggal. Iring-iringan kendaraan mengantar jenazah Rantung. Di depan rumah, berdiri Dandim 1302 Minahasa, Letkol Theo Kawatu beserta jajarannya. Kawatu memimpin upacara penyerahan jenazah secara militer kepada keluarga.

Saat prosesi penyerahan jenazah ini, para pelayat telah berkumpul di rumah tersebut untuk memberikan penghormatan terakhir kepada CJ Rantung. Nampak kerabat, teman, dan rekan purnawirawan TNI duduk sambil berbincang tentang sosok yang pernah menjabat sebagai Komandan Nubika ini.

Jefry Rantung, anak almarhum berkisah, ayahnya adalah inspirasi bagi mereka. Dirinya menjelaskan, sejak kecil dia dan saudara-saudaranya dibesarkan dengan kasih sayang namun tetap menekankan disiplin. Menurutnya sikap tegas namun penuh perhatian menjadi keseharian bagi mereka.

"Beliau mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi teladan, takut akan Tuhan, disiplin, memegang komitmen, juga hidup dalam kesederhanaan. Ini adalah pelajaran yang papa ajarkan dan terus kami pegang sampai saat ini," ujarnya.

Jefry mengatakan, ayahnya memang memiliki riwayat penyakit jantung. Menurutnya, penyakit tersebut telah lama diidap namun tidak pernah bermasalah. Menurutnya penyakit jantung ayahnya memang sempat sedikit membatasi aktivitas Rantung, namun tidak sampai mengekang apalagi membuat ayahnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Saat itu Papa sedang tidur dan di saat itu pula Tuhan memanggilnya. Beliau meninggal dalam ketenangan. Dokter mengatakan Papa meninggal karena serangan jantung saat sedang tidur," ujarnya.

Jefry mengaku bangga dilahirkan sebagai anak dari Rantung. Menurutnya, pendidikan dan ajaran tentang makna kehidupan dan cara menjalaninya telah terpatri dalam batin mereka.

Setelah disemayamkan di rumah duka, jenazah CJ Rantung juga akan disemayamkan di Gedung Wale Ne Tou Tondano, Sabtu (6/4) pukul 09.00 Wita. Selanjutnya jenazah akan dibawa ke Kantor Gubernur Sulut dan selanjutnya akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kairagi. (ryo/luc)


Sumber: Tribun Manado 6 April 2013 hal 1

CJ Rantung: Jenderal yang Sederhana

CJ Rantung  dan keluarga (foto koleksi Rudi Rantung)
MANADO, TRIBUN - Dua tahun lalu, tepatnya saat peringatan ulang tahun ke 47 Pemprov Sulut, seorang pria lanjut usia berjalan pelan. Ia dibantu seorang kerabatnya untuk keluar dari Kantor Gubernur Sulut menuju sebuah mobil.
Sosok tersebut ternyata Gubernur Sulut kesembilan, Cornelius John Rantung.

Sosoknya sederhana. Saat itu ia mengenakan kemeja putih bergaris biasa, kacamata dan rambut yang didominasi warna putih tanpa sentuhan semir rambut yang sering digunakan pejabat untuk menutupi usianya.

Sederhana dan bersahaja. Meski demikian tak bisa disembunyikan tatapan tajam dan berbinar seorang pemimpin. Meski usianya telah lanjut, namun seolah ada bara di dalam dirinya.

Tak disangka ternyata itu adalah kehadiran terakhir CJ Rantung di acara ulang tahun Pemprov Sulut dan saat ini, Rabu (3/4) terdengar kabar, pria peletak pondasi kemakmuran warga Sulut berpulang untuk selamanya. Jasanya tentu tak bisa dilupakan, mantan Gubernur Sulut yang bertugas di periode 1985-1995 dikenal sebagai pembela petani di masa kepemimpinannya.

Purnawirawan TNI AD ini saat ditemui Tribun Manado mengingatkan saat ulang tahun ke-47 tersebut. "Infrastruktur buat petani harus terus dibangun," ujarnya saat itu.

Ia menilai pembangunan di Sulut masih sangat perlu ditambah penunjang peningkatan produksi pertanian, seperti irigasi, jalan kebun produksi yang nantinya bisa menambah kesejahteraan petani.

Ia juga mengingatkan, Sulut dikenal dengan produksi kopra dan cengkih dua produk pertanian ini harus dikembangkan. Namun berkaca dari masa lalu, Rantung menilai infrastruktur yang telah dibangun dibandingkan masa lalu sudah ada peningkatan.

Ia juga mengaku bersyukur dengan kondisi saat ini, sudah banyak kemajuan di sana-sini.  "Terus semangat dan maju untuk Sulut," tegasnya, saat ditemui dua tahun lalu.

Rantung lahir di di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, 7 Desember 1935. Dia  dikenal sebagai pribadi yang tegas dan bijaksana. Pada 4 Maret 1985, Brigadir Jenderal CJ Rantung dilantik dalam Sidang Paripurna Khusus DPRD Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara untuk menggantikan Pejabat lama Letjen (Purn) GH Mantik yang telah habis masa jabatannya sebagai gubernur.

Berdasarkan catatan sejarah CJ Rantung dilantik berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 45/M Tahun 1985 tanggal 18 Februari 1985, untuk masa jabatan 1985-1990. Kemudian kembali di diberikan kepercayaan di periode kedua berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/M Tahun 1990 tanggal 10 Februari 1990.

Pelantikannya saat itu dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Rudini atas nama Presiden Republik Indonesia untuk masa bakti kedua Tahun 1990 - 1995. Selama periode kepemimpinan Gubernur CJ Rantung dari 1985-1995, dia dibantu oleh Wakil Gubernur Drs A Mokoginta, kemudian dilanjutkan oleh Drs A Nadjamudin. (rob)

Sumber: Tribun Manado 4 April 2013 hal 1

CJ Rantung Wafat, Sarundajang pun Menangis

CJ Rantung
MANADO, TRIBUN - Awan duka menyelimuti Bumi Nyiur Melambai. Tokoh besar yang tak kenal lelah membangun Provinsi Sulawesi Utara, Cornelis John Rantung telah berpulang, Rabu (3/4/2013) pagi di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta.

Pria yang akrab disapa John Rantung itu menjadi Gubernur Sulawesi Utara selama 10 tahun yakni 3 Maret 1985 sampai 1 Maret 1995. Banyak hal dikerjakan Rantung selama memimpin utamanya membangun bangunan-bangunan monumental.

Tak pelak, mendengar Rantung wafat, sang yunior, Gubernur Sinyo Harry Sarundajang pun tak kuasa menahan tangis. Kabar duka itu diterima Sarundajang kala menyampaikan arahan rapat di Ruang Huyula, Pemprov Sulut di depan para bupati dan wali kota.

Sarundajang pun seketika menghentikan arahannya. Dia lantas menyeka air matanya.  "Beliau pemimpin yang baik. Saya dan warga Sulut sangat kehilangan. Beliau sesepuh kita yang sudah berbuat banyak untuk daerah ini," ujarnya di depan forum. Ia pun kemudian mengundang hadirin berdiri untuk mengadakan hening cipta sejenak.

Usai kegiatan, Sarundajang kembali mengungkapkan rasa kehilangannya di depan wartawan. Ia sedih sekali. "Saya sedih, merasa kehilangan. Saya dekat dengan beliau. Dia dipanggil Tuhan, memang kesehatannya menurun, tetapi pemikiran beliau relevan luar biasa. Seluruh masyarakat Sulut tahu andil beliau untuk daerah Sulut," ungkapnya.

"Kantor gubernur ini karyanya. Beliau pemimpin yang harus dicontoh, rendah hati, tegas dan banyak gagasan, itulah Pak Rantung. Saya sedih sekali, rakyat Sulut sangat merasa kehilangan," ungkapnya lagi.

Di usia yang lanjut, bahkan CJ Rantung, kata Sarundajang, masih aktif mengabdi untuk daerah. Selain sering memberi saran bagi dirinya, Rantung itu menjadi pembina pensiunan pamong praja. Sarundajang terakhir bertemu Rantung, Senin pekan lalu.

"Minggu lalu masih kasih saran. Minggu lalu, Senin, beliau berkunjung dengan ibu. Hampir setiap saat bertamu. Masih sempat juga menghadiri pelantikan Bupati Minahasa," ujarnya.

Uskup Manado, Mgr Joseph Suwatan MSC pun ikut sedih mendengar kabar, Rantung wafat. Uskup bertemu Rantung terakhir kali dalam sebuah acara di gubernuran. Ia pun ingin melihat Rantung untuk terakhir kalinya.

"Ia merupakan gubernur saat saya diangkat menjadi Uskup. Beliau saat itu hadir dalam upacara tahbisan. Ia juga beraudiensi dengan Uskup Emeritus Theodorus Morse MSC dan Duta Vatikan Canalini pada saat itu," ujarnya.

Bagi monseignur, CJ Rantung itu merupakan sosok yang baik dan jujur. Semangat keprajuritan ditunjukkannya sampai sekarang. "Ia bukan orang yang menjadi kaya karena menjadi gubernur dan ia orang yang sederhana," katanya.

Uskup mengaku Uskup Emeritus saat itu jarang ke gubernuran karena walaupun mengaku orang Indonesia tapi ia berasal dari Belanda. Oleh karena itu Suawatan merintis kunjungan ke gubernuran.

"Saya dan gubernur CJ Rantung yang merintis kunjungan ke gubernuran. Kehadiran uskup dengan jubahnya pada awalnya mula-mula terasa aneh di tengah banyak pendeta Protestan. Itu karena Uskup jarang hadir ke acara gubernuran. Tapi dengan CJ Rantung semua terlaksana," ujarnya.

Sementara itu, Imam Masjid Raya Ahmad Yani KH Ismail Tunai mengaku terakhir bertemu Rantung ketika menghadiri ulang tahun Gubernur Sarundajang, beberapa waktu lalu.

"Ia melambaikan tangan ke saya ketika menghadiri acara ulang tahun Gubernur Sinyo Harry Sarundajang. Ketika itu saya melihat kondisinya sehat walafiat. Dia datang bersama anaknya, Jeffry Rantung. Namun ketika itu, tidak sempat berbincang," ujarnya.

Tunai menambahkan, sosok Rantung merupakan orang yang bersahaja. Ketika menjadi gubernur dekat dengan rakyat, apalagi dengan petani. Oleh karena itu bisa dikatakan ia satu di antara gubernur Sulut yang berhasil dan dikenang sampai saat ini.

Sekretaris BPMS GMIM, Arthur Rumengan seakan tak percaya ketika mendengar Rantung wafat. "Saya sangat terkejut mendengar berita beliau sudah berpulang, sebab belum lama sempat berjumpa sat kegiatan dengan Bapak Gubernur di Manado. Saat itu saya hanya sempat berjabat tangan dengan beliau," kata Rumengan, kemarin.

Diungkapkan Rumengan, ketika menjabat gubernur, sosok sang jenderal sangat banyak memberi perhatian terhadap aktivitas gereja, termasuk GMIM sendiri boleh berkembang pesat dalam pelayanannya.

"Di masa-masa menjadi Gubernur, Sang Jenderal saya ingat sangat baik membangun daerah bersama-sama dengan gereja. Dalam banyak aktivitas gereja, beliau selalu berkesempatan hadir dan memberikan sokongan penuh dengan membawa kelompok paduan suara untuk mengisi acara. Suasana itu tentu memberikan kenangan indah bagi GMIM," jelasnya.

Menurut informasi, jenazah almarhum akan dimakamkan di Manado pada Minggu (7/4) di Taman Makam Pahlawan Kairagi Manado. "Info, Jumat (5/4) jenazah dibawa ke Manado dan disemayamkan di kantor gubernur (Kantor Gubernur Sulut) dan rencana Minggu (7/4) dimakamkan. Ini info dari anaknya Jeffry Rantung," ujar Wakil Ketua DPRD Sulut Arthur Kotambunan melalui pesan pendek kepada Tribun Manado. (ryo/dma/erv/war/rob)

Sumber: Tribun Manado 4 April 2013 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes