Air Mata Ni Luh Mustika Sari dan Putri Dewi


ilustrasi
DUKA itu akhirnya mencabik sunyinya langit Bali. Ni Luh Mustika Sari, balita berumur dua tahun yang menderita gizi buruk serta tuberkulosis (TB) meninggal dunia.

Balita asal Desa Tukadsumaga, Kecamatan Gerokgak, Buleleng menghembuskan napas terakhir di rumah kakeknya di Tukadsumaga, Minggu 11 Agustus 2019.

Nih Luh Mustika Sari sempat menarik perhatian publik Pulau Dewata di penghujung Juli 2019.

Anak kecil itu jauh dari kasih sayang orangtua. Tubuhnya sangat kurus lantaran memikul dua beban sekaligus, gizi buruk dan penyakit TB.

Kakek neneknya bekerja sebagai buruh kerajinan bambu. Pendapatan tak menentu, sehingga Mustika Sari tidak mendapatkan perawatan medis memadai demi memulihkan kondisinya.

Sebagaimana diberitakan Harian Pagi Tribun Bali, pemerintah coba turun tangan membantu, namun bisa dlukiskan terlambat karena harus melewati prosedur administrasi dan regulasi.

Ni Luh Mustika Sari yang sebelumnya tinggal di Gianyar bersama kakeknya harus kembali ke Buleleng karena secara administrasi pemerintahan, orangtua dan kakeknya merupakan warga di sana.

Pada akhir Juli lalu Mustika pulang ke Buleleng untuk dibuatkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan dokumen administrasi lainnya.

Mustika Sari sempat dirawat di Puskesmas Gerokgak hingga dirujuk ke RSUD Buleleng. Namun, nyawanya tak tertolong setelah berulangkali masuk keluar rumah sakit. Pada hari Minggu 11 Agustus 2019, anak itu menghadap Sang Khalik.

Oh Tuhan. Usianya masih sangat muda. Dia menderita dua penyakit klasik-primitif, kurang gizi dan tuberkulosis. Wajah kemiskinan itu tampak bening di tengah gema gaung industri pariwisata Bali yang mendunia.

Nasib Mustika Sari nyaris setali tiga uang dengan Putri Dewi Nilaratih.

Pagi itu wajah Putri terlihat pucat, lesu, dan keringat dingin mengucuri keningnya. Pelajar SLTP Peureulak, Kabupaten Aceh ini tidak mengeluh.

Namun, teman-temannya melihat Putri sedang menahan sakit yang luar biasa. Ternyata benar Putri memang sakit. Perutnya lapar. Sejak Rabu 7 Agustus 2019, remaja berusia 14 tahun itu belum makan. Oh Gusti!

Sebagaimana ditulis seniorku di jagat jurnalistik, Asro Kamal Rokan (Antara, Jumat, 9 Agustus 2019), setelah diberi makan, guru dan teman-temannya menyarankan agar lain kali Putri sarapan dulu sebelum berangkat ke sekolah.

Mendengar saran itu, air mata Putri menetes. "Di rumah tidak ada beras..," ujarnya lirih. Putri menghapus air matanya dengan jilbab. Setelah diberi makan oleh pihak sekolah, remaja malang ini diantar pulang ke rumah.

Di mata guru dan teman sekelasnya, Putri Dewi murid yang baik. Menurut gurunya, dia rajin ke sekolah dan nilai pelajaran Putri di atas rata-rata. Selama ini, Putri tidak pernah menceritakan kesulitan yang dialami keluarganya. Dia memilih diam dan tekun belajar.

Media online Aceh, modusaceh.co mewartakan, rumah orangtua Putri di Dusun Tualang Masjid Desa Tualang, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur berdinding triplek dan papan, beratapkan daun rumbia, dapurnya lapuk dan bocor.

Putri merupakan anak keempat dari enam bersaudara buah kasih pasangan Suparno dan Mariani. Ayahnya tidak punya pekerjaan tetap. Untuk menafkahi keluarga, Suparno terkadang ke Banda Aceh, bekerja apa saja. Kerja serabutan.

*

Begitulah tuan dan puan. Tatkala sekelompok elite politik negeri ceria merayakan kemenangan Pilpres dan Pemilu 2019, gencar lobi merebut kursi menteri, ketika sejumlah pejabat negara ditangkap tangan KPK karena dugaan korupsi dan NKRI memasuki hari jadi ke-74, kenangkanlah dua anak bangsa ini: Ni Luh Mustika Sari dan Putri Dewi Nilaratih.

Ni Luh Mustika Sari dan Putri Dewi kiranya tidak sendirian. Rona kemiskinan telah menjadikan jutaan balita, anak-anak dan remaja kita, yang mestinya tidak dibebankan untuk berpikir soal sesuap nasi, menderita tak terkira.

Wajah kemiskinan masih berjingkrak ria di pelosok Ibu Pertiwi, dari Sabang hingga Merauke, Miangas sampai Rote. Anak-anak dan remaja dari keluarga miskin lazimnya menerima kenyataan seolah itulah kehidupan yang harus mereka lakoni. Sehari belum tentu bisa makan tiga kali. Sekali saja pun sudah disyukuri.

Di sisi lain, rakyat Indonesia kembali mendengar dan melihat fakta miris ini. Hari Rabu 7 Agustus 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan sebelas orang diduga terkait suap impor bawang putih.

Penyidik komisi antirasuah menyita uang Rp 2 miliar dan sejumlah uang dolar Amerika Serikat. Menurut KPK, uang itu diduga untuk Nyoman Dhamantra, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.

Sepekan sebelumnya, Rabu malam 31 Juli 2019, KPK menangkap tangan lima orang setelah transaksi dugaan suap proyek di Angkasa Pura (AP) ll. Penyidik menyita uang sebesar 96.700 dolar Singapura dari staf PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT Inti). Satu di antara yang ditangkap tangan malam itu Direktur Keuangan AP II Andra Y Agussalam. KPK tetapkan Andra sebagai tersangka suap.

Dua operasi tangkap tangan (OTT) beruntun tersebut menunjukkan betapa praktik korupsi di ini negeri akut amat. Pelakunya pun lagi-lagi mereka yang sesungguhnya tidak berkekurangan. Mereka yang kuat kuasa. Sejak 2004 hingga 2019, KPK telah menangkap 21 gubernur dan 103 wali kota/bupati di Indonesia.

Jumlah anggota DPRD/DPR jauh lebih banyak lagi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 254 anggota Dewan menjadi tersangka korupsi sepanjang 2014-2019. Dari angka tersebut, 22 orang di antaranya anggota DPR yang pendapatannya per bulan bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Orang-orang besar dan hebat semacam ini toh tak pernah jera. Hukuman badan dan denda materi seolah tak mempan. Ada saja yang nekat mencuri uang rakyat dan masih pula tersenyum tanpa beban ketika mengenakan rompi oranye di gedung Merah Putih KPK.

Tak pelik memahami peristiwa ini. Jelas bahwa mereka yang menggarong uang rakyat, bukan kaum fakir miskin dan papa. Gaji yang mereka peroleh dari negara serta pendapatannya lebih dari cukup untuk sekadar makan minum dan membiayai kebutuhan sehari-hari.

Mereka biasa rapat di ruang berpendingin udara, bersua muka di hotel berbintang, makan malam di restoran mewah. Pun untuk beli secangkir kopi saja, bisa menghabiskan uang ratusan ribu rupiah, jumlah yang berarti sesuatu bagi kaum papa. Benar kata orang bijak bestari, keserakahan dapat membutakan mata dan hati.

Di tengah euforia politik Pemilu 2019 yang melelahkan itu, tak sedikit jumlah sesama anak bangsa yang nasibnya kurang beruntung. Di Nusa Tenggara Timur misalnya, rata-rata dua hari sekali menerima kiriman peti mati TKI ilegal dari negeri jiran Malaysia. Nekat mencari sesuap nasi di negeri orang, malah pulang mengalirkan air mata duka.

Gelombang pemutusan hubungan kerja terjadi di berbagai perusahaan besar dan menengah. Saban hari ada saja yang mengeluh hidup tidak berubah menjadi lebih mudah.

Ni Luh Mustika Sari dan Dewi Putri Nilaratih hanyalah contoh. Masih banyak anak dan remaja seusia mereka tak tersentuh akses kesehatan dan pendidikan yang layak.

Mustika Sari dan Dewi Putri tidak meminta, tidak yang bukan haknya. Mereka cuma bisu menahan pilu. Ironi di negara merdeka, Indonesia Raya yang dibangun para pendiri bangsa dengan tujuan mulia menghadirkan kesejahteraan rakyat. Merdeka dari apa dan untuk siapa?

Bumi dan seisinya sesungguhnya mampu memenuhi kebutuhan lebih dari 7 miliar penduduk dunia, tetapi takkan pernah cukup untuk satu orang yang serakah. Bagaimana menurut tuan dan puan? Selamat hari ulang tahun ke-74 Republik Indonesia. Ad multos annos. Dirgahayu! (dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Bersua Umbu Landu Paringgi


Cak Nun dan Umbu Landu Paringgi 5 Agustus 2019
Meski dikau berada di Bali, tak mudah bersua Om Umbu Landu Paranggi.

Maka kubersyukur bisa mendengar suara dan menikmati sekulum senyum Sang Presiden Malioboro, lima hari menjelang ulang tahunnya ke-76.

Malam yang asyik di Batubulan saat peluncuran buku Metiyem, Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi.

Buku ini dirajut tim penyusun yang terdiri dari Iman Budi Santosa, Mustofa W Hasyim, Sutirman Eka Ardhana dan Budi Sardjono. Prolog apik dari Sapardi Djoko Damono dibalut epilog menggetarkan Emha Ainun Nadjib.

Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun berkali-kali menyapa Om Umbu Landu Paranggi sebagai mahaguru.

Ya, pria kelahiran Kananggar, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur itu sungguh seorang guru. Guru sastra. Muridnya banyak. Karya mereka berkelas dan meninggalkan gema abadi dalam jagat sastra Indonesia.

Malam itu Om Umbu banyak senyum. Suaranya masih renyah menggelegar.
Namun kulihat dia tercenung ketika seorang penyair muda membacakan puisi karya sahabatnya,Taufik Ismail...

Beri Daku Sumba

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga

Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana

Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba

Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh...

Campuhan, Batubulan, Gianyar Bali
Dari sepenggal malam yang hangat
5 Agustus 2019.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes