Nasib 18 Nelayan Asal Alor


KABAR kurang menggembirakan  datang dari tetangga terdekat kita. Angkatan Laut (AL) negara  Republik Demokratik Timor Leste  menahan 18 nelayan asal Kabupaten  Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 19 Januari 2019.  Mereka ditangkap karena kedapatan  membawa alat tangkap kompresor  saat memasuki perairan negara  tersebut.

Menurut Duta Besar RI untuk Timor Leste,  Sahat Sitorus,  nelayan Alor yang masuk perairan Timor Leste dengan tiga perahu motor membawa kompresor yang dilarang menurut hukum perikanan  Timor Leste Nomor 7677.

Kepala Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Alor, Abdul M  Kapukong menjelaskan,  ke-18 nelayan itu meninggalkan Pulau Buaya (Alor)   pada 15 Januari 2019 untuk  mencari ikan.


 Pada tanggal 19 Januari 2019, mereka membawa hasil tangkapan ke Timor Leste tanpa dokumen resmi sehingga ditangkap AL Timor Leste  saat kapal motor mereka  berlabuh di Pelabuhan Dili.

Menurut Abdul, dari 18 orang nelayan  tersebut  yang memiliki paspor hanya tiga orang yaitu juragan Nurdin Kasim, Hikmah Hasan dan Talib Samsudin. Satu di antara 18 orang tersebut masih berusia 16 tahun yaitu Sabirin H Wahid. 

Proses hukum terhadap ke-18 nelayan asal Alor masih berlangsung. Sampai Selasa (22/1/2019), tiga nakhoda kapal diperiksa satu persatu oleh penyelidik di pengadilan Timor Leste.  Sahat Sitorus mengatakan, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Dili  terus memonitor agar para nelayan dalam kondisi yang baik dan mengawal kasus hukumnya diproses secara adil. 

Kita tentu berharap agar proses hukum terhadap saudara kita itu segera berakhir. Mereka dibebaskan sehingga bisa pulang ke kampung halaman untuk berkumpul kembali dengan keluarga. Kita bisa ambil hikmah  dari peristiwa ini.

Persoalan laut memang sangat kompleks. Bagi nelayan, laut adalah sumber kehidupan. Mereka akan terus melaut karena di sanalah kebahagiaan hidup itu tergenapi. Harus diakui masih banyak nelayan kita yang belum belum tahu batas laut antarnegara.

Mereka cuma tahu  cari makan di laut.  Bagi mereka laut itu tanpa batas. Selama ini nelayan asal NTT sudah biasa melaut sampai ke perairan Timor Leste.  Mereka lupa bahwa Timor Leste sudah menjadi negara sendiri sehingga yang berlaku adalah hukum internasional. Itulah sebabnya sosialisasi kepada para nelayan kita sangat penting. Kalau masuk ke negara lain harus memiliki dokumen resmi. Tidak bisa seenaknya saja. Dari 18 nelayan hanya tiga orang yang memiliki paspor. Selebihnya tidak sama sekali. Dari sisi aturan keimigrasian jelas salah.

Kejadian semacam ini tidak boleh terulang. Ketika Indonesia gencar menangkap nelayan asing yang masuk perairan Nusantara bahkan menenggelamkan kapal mereka, maka nelayan  kita pun harus taat hukum. Kiranya ini menjadi bahan instrospeksi. Sudah saatnya kita fokus  membangun maritim yang tangguh.*

Pos Kupang 23 Januari 2019 hal 4

Salah Urus Sampah Medis di Kota Kupang


ilustrasi
Kita kembali berhadapan dengan problem yang sama yaitu salah urus sampah medis. Kabar terbaru menyebutkan, Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) yang dihasilkan sepuluh rumah sakit pemerintah dan swasta di Kota Kupang mencapai 83 ton lebih.

Jumlahnya terus bertambah sehingga terjadi penumpukan. Pengolalaan sampah medis kering ini tidak dilakukan secara baik lantaran  tidak semua rumah sakit  memiliki insinerator.

Rumah sakit terbanyak yang memproduksi limbah B3 adalah RSUD Prof. Dr. WZ Johannes Kupang mencapai 26.112,0 kg atau 26 ton lebih disusul Rumah Sakit SK Lerik sebanyak 19 ton dan Rumah Sakit Tentara (RST) Wira Sakti Kupang 10 ton lebih. Rumah Sakit St. Carolus Boromeus dan Rumah Sakit TNI Angkatan Udara (AU) El Tari mampu mengolah limbah B3 karena punya insinerator atau alat pembakar sampah medis sendiri.


Data tersebut  dirilis Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTT, Jumat (11/1/2019). Limbah B3 yang dihasilkan rumah sakit merupakan akumulasi selama Januari- September 2018 yang sampai kini belum tertangani secara baik. Pada Jumat (11/1/2018) siang,  Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTT, Drs. Benyamin Lola, M.Pd datangi RSUD Johannes Kupang.

 Dia menemukan limbah B3 menumpuk di sekitar ruangan Poli Anak dan Kebidanan. Limbah B3 diisi dalam dos, karung dan kantong plastik. Ada juga yang ditutup dengan jaring biru. Di lokasi itu ada dua tumpukan besar  limbah B3. Terdapat plang dengan tulisan dilarang masuk ke tumpukan limbah. 

Tentu saja kita prihatin dengan kondisi ini. Penumpukan sampah medis merupakan masalah yang berulang. Sudah kerapkali dikeluhkan masyarakat namun manajemen RS seolah memandangnya sebagai hal biasa.Kita belum melihat ada langkah konkret yang sungguh-sungguh untuk mengatasi persoalan krusial  tersebut.

Benyamin Lola memang mengatakan bahwa persoalan limbah medis menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT. Menurutnya, Pemprov NTT sudah dua kali menyurati Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI.
Isi surat  meminta rekomendasi pembakaran limbah B3 rumah sakit di Kota Kupang oleh PT. Sarana Agra Gemilang. Namun sampai saat ini belum ada jawaban.

  Menurut Beni, surat pertama dilayangkan pada tanggal 11 April 2018 ditandatangani Gubernur NTT, Frans Lebu Raya. Sedangkan surat kedua tanggal 11 Oktober 2018 ditandatangani Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat.

Kita berharap pemerintah provinsi segera menempuh langkah cepat agar tumpukan sampah medis tersebut segera dibakar sesuai ketentuan. Untuk jangka panjang perlu UPT khusus yang mengurus soal ini mengingat produksi sampah medis di Kota Kupang tergolong tinggi. Rata-rata produksi limbah B3 dari 12 RS di Kota Kupang mencapai 400-an kg per hari. *

Pos Kupang, 14 Januari 2019 hal 4

Kisah Tentang Rompi Oranye


BERAGAM ekspresi tersaji di halaman  Gedung Sasando, Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT)  di Jalan El Tari Kupang, Senin 7 Januari 2019. Itu hari pertama pegawai negeri sipil (PNS) di lingkup Pemerintah Provinsi NTT mengikuti upacara bendera setelah libur Natal dan Tahun Baru.

Apel dipimpin Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat. Turut hadir Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi, Sekretaris Daerah (Sekda) NTT, Ir. Ben Polo Maing dan pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Ekspresi beragam tercipta saat pimpinan OPD memakaikan rompi warna oranye pada PNS yang merupakan stafnya. Mereka memakai rompi  dengan tulisan 'Saya Tidak Disiplin' lantaran terlambat masuk kantor, pulang lebih awal dan tidak masuk kantor tanpa berita selama periode  Oktober-Desember 2018.

Jumlahnya lumayan banyak. Total sebanyak 143 PNS yang memakai rompi oranye hari itu. Cukup banyak wajah yang murung, tegang dan tanpa senyum. Namun ada pula PNS berompi oranye melakukan wefie sembari mengumbar senyum dan tawa. Kesannya seolah tanpa beban mendapat hukuman semacam ini.


Disiplin! Begitulah gebrakan Gubernur Viktor Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi. Kedua pemimpin NTT ini meyakini bahwa disiplin merupakan modal penting bagi NTT agar bisa mengejar berbagai ketertinggalannya dari daerah lain.

 Jika sikap kerja asal-asalan maka  NTT tetap tertinggal. Dan, Pegawai Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai motor penggerak pembangunan mesti menjadi contoh. 

Dsiplin PNS di daerah ini memang patut mendapat perhatian serius. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masih banyak oknum PNS yang masuk kerja sesuka hatinya. Terlambat berjam-jam atau pulang ke rumah lebih awal dianggap bukan masalah. Menunda pekerjaan bahkan meninggalkan tempat tugas tanpa izin kepada pimpinan.

Secara umum  kinerja PNS di daerah ini pun masih jauh dari memuaskan. Indikatornya sederhana. Masih kerap kita mendengar riuh keluhan masyarakat yang mendapatkan pelayanan seadanya dari aparatur negara. Masih ada yang berprinsip kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah? Spirit melayani masih sebatas pemanis bibir. Belum terwujud dalam pelayanan sehari-hari.

Pemakaian rompi oranye itu mestinya sebuah cambuk agar PNS sungguh disiplin dalam bekerja melayani masyarakat. Sejauh ini efek jera pemakaian rompi belum tampak. Malah ada  yang merespons dengan cara yang kurang elok.  Tersenyum ria seolah tidak ada masalah sama sekali. Memakai rompi oranye  tak lebih dari lima menit dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja. 

Gerakan disiplin memang tidak semudah membalik telapak tangan karena mengubah kebiasaan seseorang. Itulah sebabnya  kita dukung penuh gebrakan Gubernur Viktor Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi. Segala upaya demi penegakan disiplin  tidak boleh kendor. *

Pos Kupang 9 Januari 2019 halaman 4

Sensasi Jepit Buku di Ketiak


Oleh Dion DB Putra

POS-KUPANG.COM - Beta  bukan kutu buku. Bukan pula kolektor buku yang tekun. Saya hanyalah penggemar buku ala kadarnya. Setahun paling dua atau tiga kali membeli buku. Saya pun mengoleksi buku apa saja. Tidak hanya fokus pada tema tertentu. Ya koleksi buku saya terbanyak memang tentang jurnalisme. Maklumlah belakangan ini banyak yang saya peroleh secara gratis buku-buku tersebut.

Biang buku gratis itu bernama Margiono. Nama yang patut kusebut karena selama 10 tahun sukses mewariskan tradisi yang baik bagi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).


Margiono adalah ketua umum PWI Pusat periode 2008-2018, Sejak menakhodai PWI hasil kongres di Banda Aceh yang saya ikuti tahun 2008 silam, Margiono sangat menekankan profesionalisme wartawan.

• Drakor Clean With Passion For Now Rating Tertinggi di Episode 1, Malam ini Episode 2 Tayang

• 6 Zodiak Ini Dikenal Tulus Berteman dan Bukan Tipe Fake Friends

• Jungkook Dan V BTS Dihina Katerina Kainourgiou Pembawa Acara Program Televisi Yunani, Army Geram

Dia pun menyadari bahwa buku itu sejatinyan adalah mahkota wartawan. Maka setiap tahun selalu ‘mewajibkan’ wartawan anggota PWI menerbitkan buku. Biaya penerbitan urusan pengurus PWI Pusat menggandeng para donatur dan sponsor yang tidak mengikat.

Tugas anggota PWI hanyalah menyiapkan naskah lalu mengirim kepada tim penulisan buku. Peluncuran buku biasanya pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tanggal 9 Februari.

Dalam pidatonya di hadapan presiden RI dan seluruh undangan yang hadir pada puncak peringatan HPN, Margiono selalu menyinggung buku karya para wartawan. Itu yang bikin bangga.

Saya yang semula pesimistis bisa menulis buku ikut termotivasi mengambil bagian dalam kerja intelektual itu. Saban tahun saya menyumbang tulisan bahkan menerbitkan buku sendiri. Terima kasih Mas Margiono alias Mas MG yang mengakhiri jabatannya sebagai ketua umum pada kongres PWI di Solo 27-30 September 2018.

Apakah tradisi membukukan karya wartawan itu akan berlanjut ? Saya tidak terlalu yakin karena eranya sudah berbeda. PWI periode 2018-2023 dipimpin Bang Atal S Depari sebagai ketua umum. Kepengurusan Atal S Depari bergumul di tengah badai digitalisasi yang masif, serba maya, berubah amat lekas dan tak terprediksikan.

Rezim buku cetak sudah di remang senja menjemput malam nan panjang. Saatnya jagat maya merajai dunia siang dan malam tanpa batas sehingga terbitkan buku konvensional bukan pilihan bijaksana. Selain prosesnya panjang, ongkosnya pun tidak sedikit tuan dan puan. Kini masanya e-book. Buku digital yang efisien. Cukup bermodalkan tablet dan akses internet, urusan beres!

Tapi beta perlu bertutur jujur. Sebagai generasi kelahiran akhir 1960-an tidak mudah bagiku beradaptasi dengan apa yang disebut e-book. Entahlah dengan Anda. Meski sesekali mengakses e-book, tetap saja beta masih merasa lebih nyaman membaca buku cetak. Yang tak tergantikan adalah sensasi mencium bau kertas, baik yang baru buka plastik pembungkus tipis maupun sudah kusam termakan usia.

Memegang buku tebal atau tipis dalam genggaman kerap tak terlukiskan dengan kata-kata. Asyiknya lagi bisa jepit di ketiak yang sudah bersih setelah mandi atau masih beraroma khas selepas lelah bekerja. Cukup sering beta mengagumi cover buku yang merupakan karya intelektual pula. Pilihan huruf pun sebuah seni. Buku sungguh kaya rasa dan karsa. Tak sekadar kertas dan kumpulan huruf.

Sisi praktis yang lebih luar biasa adalah buku cetak bisa tuan dan puan bawa ke mana saja pergi. Buku bisa jadi teman saat mendaki gunung dan bukit, menuruni lembah, menelusuri ngarai, melewati sungai, mengakrabi bulir padi menguning atau mencumbui pantai. Dikau tak perlu pening mencari colokan listrik manakala baterai HP atau tablet telah menipis kritis. Buku cetak tak mengenal istilah lobet atau susah sinyal.

Buku cetak memanjakan pembacanya. Seseorang bebas merdeka membolak-balik halaman. Bosan baca bagian awal bisa melompat dulu ke bagian tengah atau akhir secara cepat. Beda dengan e-book yang repot dan rumit. Buku cetak pun tentu bebas radiasi elektronik yang menurut para pakar ikut berkontribusi terhadap kesehatan seseorang.

Ada lagi satu kebiasaan kami generasi lama kalau mengoleksi sebuah buku. Bangga bukan main kalau buku itu ditandatangani penulis atau editornya. Tanda tangan basah. Tandatangan penulis merupakan kenangan yang sangat indah. Kesannya jadul tapi manusiawi.

Seorang kawan menginformasikan saat ini terjadi semacam anomali di era disrupsi digital karena kenyataannya buku cetak alami sedikit kenaikan oplah di Amerika Serikat dan Eropa, sementara e-book jalan saja di tempat. Mungkin kondisi di tanah air kita kurang lebih sama.

Artinya jaringan toko buku besar memang tersiksa bahkan ada yang bangkrut karena disrupsi dan pasar yang berubah drastis. Lalu kini muncul banyak toko buku independen dan penerbit indie. Para penulis muda umumnya memilih penerbit indie. Sudah seharusnya demikian.

Ada yang meyakini bahwa buku cetak masih akan bertahan lebih lama dari yang diprediksi banyak orang. Yang berubah hanyalah cara produksi dan pola distribusinya. Di masa lalu penerbit dan toko buku besar mendominasi produksi sampai jaringan distribusi buku.

Kekuatan mereka mencekik peluang penerbit kecil dengan modal minim. Dalam platform digital, penerbit yang tidak jumbo pun dapat bertahan hidup sesuai segmen pasar masing-masing. Yang penting tetap kreatif agar lekas beradaptasi dengan pasar yang terus berubah.

Menurut pengalaman penulis muda, sekarang produksi buku cetak lebih terukur sesuai kebutuhan sehingga menekan risiko kegagalan di pasar. Kini buku bisa dicetak pakai mesin digital sesuai pesanan untuk jumlah puluhan atau satuan. Toko buku dan jaringan distribusi online tumbuh bak jamur di musim hujan. Isi buku makin beragam sesuai selera pembaca.

Akhirnya beta cuma mau bilang begini. Menulislah terus dan bukukanlah karya tuan dan puan, entah berwujud buku cetak atau e-book. Itu jauh lebih baik daripada sekadar omong-omong atau bikin status aduhai di akun medsos dengan target jempol dan komentar. Hehehehe… Salam buku saudaraku! *

Pos Kupang.com, 6 Januari 2019

Setelah Tsunami Senyap di Selat Sunda


BENCANA sungguh akrab dengan kehidupan kita. Dalam enam bulan terakhir gempa bumi dan tsunami memporak-porandakan Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Palu, Donggala dan Sigi di Sulawesi Tengah dan terakhir tsunami senyap di Selat Sunda. Derita mendera masyarakat pesisir Provinsi Banten dan Lampung.  

Dari tiga bencana alam gempa dan tsunami tersebut,  jumlah korban jiwa lebih dari 3.000 orang Korban tewas terbanyak di Kota Palu, Donggala, Sigi dan sekitarnya. Dalam bencana Lombok, Palu dan Selat Sunda,  jumlah korban luka-luka mencapai  belasan ribu orang dan ratusan  ribu orang mengungsi. Penderitaan pun masih menyertai mereka di lokasi bencana hingga hari-hari ini.

Bangsa Indonesia secara umum memang hidup bersama gempa dan tsunami. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat,  rata-rata dalam satu tahun terjadi 6 ribu kali gempa di Indonesia. Gempa  dalam skala magnitudo tertentu menimbulkan tsunami sebagaimana terjadi di Aceh tahun 2004 dan Palu 2018.


Tsunami yang menerjang Banten dan Lampung 22 Desember 2018 malah bukan dipicu gempa tektonik tetapi kuat dugaan akibat erupsi anak Gunung Krakatau
sehingga datangnya tsunami begitu hening.

Mengingat rentannya wilayah Indonesia dari bencana  alam, maka kita tak akan bosan mengingatkan ihwal  pentingnya membangun budaya sadar bencana. Mitigasi dan edukasi bencana harus ditanamkan berulang-ulang. 

Setiap penduduk Indonesia mesti memahami potensi bahaya bencana semisal gempa dan tsunami serta memahami mitigasinya agar terjadi  harmoni tinggal di wilayah rawan bencana.

Wajib hukumnya bagi anak Indonesia sejak usia dini membudayakan perilaku sadar bencana. Memperbanyak latihan atau simulasi penyelamatan jika terjadi gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya merupakan cara membentuk kebiasaan yang bermanfaat jika bencana sesungguhnya datang.

Mitigasi sebagaimana perintah Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan bencana harus menjadi kewajiban pemerintah daerah demi meminimalisir risiko dan dampak bencana, baik melalui pembangunan infrastruktur atau memberikan kesadaran dan kemampuan menghadapi bencana.

Sejauh ini kita masih melihat pemerintah daerah di NTT  setengah hati menjalankan program mitigasi. Padahal bencana dapat terjadi kapan dan di mana saja serta dapat menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa manusia.

Kita belum melihat agenda aksi yang konkret dari pemerintah daerah melaksanakan mitigasi struktural dan non struktural yang berkesinambungan. Pemerintah  umumnya baru memberi respons manakala sudah terjadi bencana alam yang menelan korban materi dan manusia.

Mari kita tinggalkan cara lama menghadapi bencana alam. Mitigasi dan edukasi bencana harus menjadi program utama yang tidak kalah penting dibandingkan pembangunan sektor lainnya karena taruhannya adalah keselamatan manusia.*

Pos Kupang, 28 Desember 2018 hal 4

Membangun Sumba Tengah


GUBERNUR Nusa Tenggara Timur (NTT),  Viktor Bungtilu Laiskodat  telah melantik pasangan Drs. Paul K  Limu-Ir. Daniel Landa sebagai Bupati dan Wakil Bupati (Wabup)  Sumba Tengah periode 2018-2023 di Kupang, Senin (12/11/2018).

Kepada wartawan pasangan ini mengatakan akan fokus memenuhi kebutuhan dasar masyarakat  semisal penyediaan air bersih serta menciptakan keamanan dan kenyamanan masyarakat. Bupati Paul K Limu dan Wabup Daniel Landa sudah melakukan survei di seluruh wilayah Sumba Tengah untuk melihat potensi sumber air yang bisa dikelola demi memenuhi kebutuhan masyarakat.

Bupati Paul K Limu menjelaskan, satu di antara program prioritas mereka adalah membangun sarana air bersih di Kota Waibakul pada  tahun 2019  yang berlanjut ke semua wilayah kabupaten itu. Target duet pemimpin ini adalah  seluruh masyarakat  Sumba Tengah segera terbebaskan dari krisis air.


Kita mengapresiasi langkah Bupati Paul Limu dan Wabup Daniel Landa. Sudah semestinya pemerintah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti air. Krisis air tidak hanya merepotkan masyarakat memenuhi kebutuhan untuk masak, mandi dan cuci saban hari tetapi juga untuk mengolah lahan pertanian mereka.

Sumba Tengah memiliki lahan pertanian yang memadai namun belum didukung ketersediaan air yang memungkinkan masyarakat dapat mengolah lahan mereka untuk pertanian dan perkebunan. Secara kasat mata kita melihat tidak sedikit lahan tidur yang belum diolah secara  baik dan berkesinambungan.

Usaha mengatasi krisis air di Sumba Tengah sudah dimulai sejak lama. Bupati dan Wabup sebelumnya yaitu pasangan  Umbu S Pateduk  dan Umbu Dondu telah merintis berbagai langkah yang tinggal dikembangkan lebih lanjut oleh Bupati Paul K Limu dan Wabup Daniel Landa.

 Selama sepuluh tahun memimpin wilayah tersebut tentunya sudah banyak keberhasilan yang sudah ditorehkan Umbu S Pateduk dan Umbu Dondu.

Tugas dan tanggung jawab pemimpin Sumba Tengah yang baru adalah meningkatkan  keberhasilan serta menekan sekecil mungkin kegagalan.

Air  bukan satu-satunya kebutuhan mendesak. Pemenuhan kebutuhan lainnya di bidang infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan pun sangat penting guna memudahkan akses masyarakat. Sumba Tengah harus bebas dari keterisolisasian wilayah. Demikian  pula di bidang kesehatan dan pendidikan.

Berbagai indikator pembangunan menunjukkan, Sumba Tengah masih tertinggal dalam banyak hal. Sumba Tengah harus bergerak lebih aktif, lebih gesit dan lebih tangguh agar dapat mengejar ketertinggalannya dari kabupaten lain di Pulau Sumba dan NTT umumnya.

Kita yakin pasangan Bupati Paul K Limu dan Wabup Daniel Landa sudah memiliki program dan agenda kerja yang jelas untuk membawa masyarakat  Sumba Tengah lebih sejahtera.

Dukungan publik menjadi kunci sukses bupati dan wakil bupati mengaplikasikan visi misi dan program kerja secara nyata di lapangan selama lima tahun ke depan. Jika kebutuhan dasar mereka terpenuhi niscaya masyarakat Sumba akan merasa aman dan nyaman serta derajat kehidupan mereka semakin baik. *

Pos Kupang, 13 November 2018 hal 4

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes