TANGAN Mulyono dan Najib bergerak lincah. Mulyono menyalakan kompor gas, mengisi minyak goreng, nasi dan irisan daging ayam ke dalam kuali besar lalu mengaduk-aduk nasi itu. Najib menyiapkan piring, senduk, garpu, sambal, garam, kecap, tisu serta air putih. Dia juga menawarkan minuman. "Mau coba kopi Aceh Pak?," katanya ramah. Kepala tiga orang pria setengah baya yang sedang lapar setelah perjalanan 14 jam Kupang-Banda Aceh mengangguk serentak. Tanda setuju.
Kurang dari sepuluh menit, Mulyono dan Najib, dua orang pemuda berusia 20-an tahun itu telah menyajikan tiga piring nasi goreng bersama secangkir kopi hitam di hadapan kami. "Silakan Pak," tutur Mulyono yang ayah ibunya asal Jawa Tengah. Mulyono lahir dan besar di Medan.
Tak banyak cakap, Indra Alfian Syahril, Pieter Erasmus Amalo dan saya menyantap hidangan itu. Jarum jam menunjukkan pukul 23.48 WIB. Hari nyaris berganti tetapi raungan sepeda motor dan bunyi mesin mobil masih menderu-deru di Jalan T Panglima Nyak Makam. Jalan dua jalur di depan warung, tempat kami mengaso sambil menghilangkan haus dan lapar malam itu.
Warung Najib-Mulyono letaknya kurang lebih 200 meter dari Hermes Palace Hotel, tempat kami cek in sekitar 30 menit sebelumnya. Hotel itu dipilih panitia sebagai tempat penyelenggaraan Kongres XXII Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 28-29 Juli 2008. Hotel baru. Megah, apik dan nyaman.
Benar kata-kata rekan wartawan yang menjemput kami di Bandara Iskandar Muda bahwa sekarang tidak sulit mencari makan di Kota Banda Aceh pada malam hari. Selalu ada warung yang buka sampai tengah malam. Tinggal pilih menu sesuai selera, mau masakan Jawa, Madura, Makassar, Sunda, Cina, Batak atau lainnya.
Menurut Najib, aktivitas warung pinggir jalan itu mulai pukul 19.00 sampai 24.00 WIB. "Selalu selalu ada yang makan di sini. Kalau sedang ramai kami baru tutup jam satu malam. Sebelum perjanjian damai, kami tutup jam delapan malam," kata Najib. Ya, Banda Aceh bukan lagi kota mati dan mencekam. Bukan kota pesisir paling utara Pulau Sumatera yang warganya memilih tidur lebih awal karena konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia.
Lebih mengesankan lagi Banda Aceh sekarang sungguh bersih dari jejak gempa dan tsunami terdasyat dalam sejarah dunia yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang menelan korban jiwa lebih dari 150.000 jiwa. Dalam kurun waktu tiga setengah tahun sejak bencana itu, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berbenah dalam banyak bidang. Pembenahan fisik paling dominan. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias yang dibentuk Pemerintah Pusat agaknya sungguh bekerja meski di sana-sini pasti ada saja kekurangan.
Wajah Aceh yang berubah telah terlihat sejak kami tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda dengan penerbangan Lion Air, Minggu malam 27 Juli 2008. Alat berat dan tumpukan material bangunan langsung menggoda mata. Bandara tersebut rupanya sedang dikembangkan secara besar-besaran, baik lebar dan panjang landasan pacu maupun fasilitas pendukungnya. Iskandar Muda akan menjadi bandara termegah di Pulau Sumatera, bahkan kapasitasnya bisa melebihi Bandara Polonia-Medan.
Indra Alfian, Sekretaris PWI Cabang NTT, terkejut ketika mengetahui mobil mulus dan baru yang dipakai menjemput kami dari bandara malam itu adalah milik PWI Perwakilan Aceh Tengah. "Wah, PWI Perwakilan saja punya mobil operasional sendiri, apalagi PWI Cabang Aceh," kata Indra.
Organisasi profesi seperti PWI mempunyai mobil operasional memang langka. Tapi tidak luar biasa buat Aceh pasca tsunami 2004. Makin jauh menelusuri Kota Banda Aceh, semakin banyak dan biasa Anda menemukan mobil baru produk dalam dan luar negeri yang berseliweran memenuhi jalan kota. Di beberapa titik di dalam kota terjadi kemacetan arus lalulintas.
Aceh 2008 adalah Aceh yang bergairah. Aceh yang bergegas meraih harapan. Hidup damai- sejahtera seperti saudaranya di wilayah lain NKRI. Jalanan mulus, taman kota tertata rapi serta bangunan baru bermunculan di mana-mana. Pria dan wanita berwajah Eropa, Amerika dan Asia Timur pun mudah ditemui di banyak tempat. Di pasar-pasar, kedai kopi, pertokoan, di Simpang Lima, muara Sungai Krueng Aceh atau di halaman Mesjid Baiturrahman. Disamping wisatawan yang sedang melancong, mereka adalah aktivis lembaga internasional di NAD. Mereka membaur dengan warga lokal Aceh yang umumnya ramah menyapa dan tidak pelit senyum.
Saat melintas di kawasan Leung Bata, teringat tayangan televisi empat tahun silam. Leung Bata penuh sesak dengan tumpukan mayat korban gempa-tsunami. Kini bersih dan rapi. Banyak gedung baru. Jika ada tempat yang masih menyisakan "bekas" tsunami, maka datanglah ke Desa Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Kapal nelayan yang bertengger di atas rumah itu masih dipertahankan Pemerintah Kota Banda Aceh untuk mengenang musibah tahun 2004.
Tsunami menghempaskan kapal itu sejauh 3 km dari pesisir pantai. Ada prasasti dengan kata- kata berikut. "Kapal nelayan ini dihempas gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 hingga tersangkut di rumah ini. Kapal ini menjadi bukti penting betapa dasyatnya musibah tsunami tersebut. Berkat kapal ini 59 orang terselamatkan dalam kejadian itu."
Jejak lain adalah Kuburan Massal di Jl. Sultan Iskandar Muda yang kini menjadi obyek wisata. Sebelum tsunami, di lokasi itu berdiri Rumah Sakit Meuraxa. Rumah sakit itu tak berbekas digilas tsunami dan halamannya dijadikan pemakaman massal. Memandang ribuan nisan berjejer, beragam rasa menyeruak. (Dion DB Putra/bersambung)
Pos Kupang edisi Selasa 26 Agustus 2008 halaman 1