Jokowi di Bawah Pohon Asam Itu...

Jokowi di Belu 20 Desember 2014
Gaya  blusukan ala Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang harus tahan fisik, tenaga dan emosi. Sebab, gaya pemimpin dengan ciri khas baju putih lengan panjang ini, tidak terlalu protokoler. Baginya, cepat dan tuntas. Tidak perlu basa-basi, langsung turun lapangan. Itulah yang terjadi ketika Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Belu, Sabtu (20/12/2014).

JARUM jam menunjukkan pukul 10.50 Wita. Tiga helikopter, dua  helikopter milik TNI Angkatan Udara (AU) dan satu milik TNI Angkatan Darat (AD) jenis Puma, terbang rendah di langit Atambua. Para pejabat pemerintah, undangan lain dan awak media sudah menunggu sejak pagi hari.

Helikopter Puma milik TNI AD berada paling depan disusul dua helikopter di belakangnya. Pukul 11.00 Wita, helikopter Puma mendarat. Semua mata tertuju ke helikopter itu. Hadirin menerka helikopter mana yang ditumpangi Jokowi. Ternyata Jokowi bersama Ibu Negara, Iriana, menumpang helikopter TNI AU paling belakang. Tepuk tangan membahana ketika helikopter yang ditumpangi berhenti di apron.

Mula-mula Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, didampingi Ny. Lusia Adinda Lebu Raya, turun dari helikopter, disusul Menteri Perindustrian, Saleh Husin, dan beberapa pejabat negara lainnya. Selang beberapa menit, Jokowi yang mengenakan baju putih lengan panjang turun dari tangga helikopter dan melambaikan tangan ke arah hadirin.
Jabat tangan seperlunya dengan pejabat yang hadir seperti Sekda Belu, Kapolres Belu, Dandim 1605 Belu, Kajari Belu, Ketua PN Atambua. Jokowi tidak langsung ke ruang VIP Bandara AA Bere Talo.

Jokowi malah menuju penari likurai dan menyalami penari. Sontak saja hadirin menyerbu ingin berjabat tangan dengan Jokowi. Paspampres kewalahan. Jokowi didampingi Ibu Iriani Jokowi, dengan senyum sumringah, melambaikan tangan kepada warga dan menuju ke mobil RI I untuk selanjutnya jalan darat menuju Mota'ain di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, di utara Kota Atambua.

Sekitar 20 menit perjalanan darat menaiki bukit, menuruni lembah menuju Mota'ain. Tanpa ada penyambutan protokoler, Jokowi langsung menuju gedung pelayanan satu atap. Memulai dari Unit Karantina, Unit Imigrasi, terus ke Kantor Pelayanan Bea Cukai. Di setiap unit, dibutuhkan waktu 10 menit untuk mendengarkan keterangan petugas.

Pagar betis aparat TNI-Polri tak mampu membendung warga yang ingin melihat langsung sosok Jokowi. Panas terik matahari tidak menyurutkan semangat warga. Jokowi tetap tersenyum dan melambaikan tangan ke arah warga.

Sekitar 30 menit Jokowi dan Ibu Iriana berada di Mota'ain. Melihat sekeliling kawasan itu dari pinggir jembatan pembatas dua negara bertetangga itu. Walaupun keringat membasahi keningnya, Jokowi berkesempatan menerima permintaan warga untuk berjabat tangan dan foto bersama.

Rombongan kembali ke Atambua. Iring-iringan kendaraan melaju santai. Tidak pernah terbayangkan kalau Jokowi tiba-tiba blusukan dalam perjalanan ke Atambua. Di Dusun Haas, Desa Kabuna, Jokowi turun dari kendaraannya dan langsung menuju belakang rumah warga di dusun itu. Di bawah pohon asam, sekitar puluhan orangtua sedang duduk-duduk. Jokowi langsung menuju para orangtua dan ikut nimbrung.
Dan, yang paling mengesankan, Jokowi mengambil posisi duduk di batu yang kelihatan masih basah terkena air hujan. Sedikit bicara, dan seketika itupun Jokowi mengeluarkan sebungkus amplop coklat berisi uang Rp 112 juta. Pesan singkat Jokowi, "Pergunakan uang itu sebaik mungkin untuk beli ternak sapi, Pak Ketua RT tolong diperhatikan". 

Jokowi beranjak menuju Atambua. Dasarnya sudah blusukan, Jokowi kembali membuat rombongan harus tahan napas. Jokowi turun menemui warga membeli sirih pinang. Bahkan, yang mencengangkan, ketika sudah masuk area Bandara AA Bere Talo, Jokowi berkesempatan bercengkrama dengan warga yang duduk di pinggir pematang sawah tadah hujan.

Sekitar 10 menit berdialog dengan warga di pematang dengan posisi duduk bersama warga di tanah. Lagi-lagi Jokowi memberikan uang pemberdayaan ekonomi kepada warga senilai Rp 148 juta yang diterima ketua RT setempat.

Figur Jokowi ibarat magnet yang setiap detik memancing warga. Ketika memasuki area Bandara AA Bere Talo, warga menerobos barisan blokade aparat keamanan untuk menyalami Jokowi. Bahkan hingga ke tangga helikopter, warga tetap mengejar untuk sekadar melihat wajah Jokowi. Dan, kejadian di luar dugaan, ketika Presiden Jokowi sudah menaiki tangga helikopter dan sudah melambaikan tangan, selang lima menit, Jokowi turun kembali untuk ke kamar kecil.

Sontak warga mengejar mengerumuni Jokowi. Warga mengejar, berdesak-desakan masuk ke ruangan VIP menunggu Presiden Jokowi untuk bisa berjabatan tangan. Walau sebagian tidak sempat berjabatan tangan langsung, tetapi mereka bisa mengabadikannya melalui kamera digital maupun handphone-nya hingga Jokowi naik kembali ke helikopter TNI AU untuk kembali ke Kupang. (fredi hayong)

Sumber: Pos Kupang 22 Desember 2014 hal 1

Mimpi Titu Eki di Kaki Bukit Fatualiman

ilustrasi
Sabtu (20/12/2014), Presiden RI, Ir. Joko Widodo (Jokowi) meletakkan batu pertama tanda dimulainya pembangunan  Bendungan Raknamo di Desa Raknamo,  Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang.

Bendungan Raknamo akan mulai dibangun awal tahun 2015 hingga selesai tahun 2017. Biaya pembangunan menelan dana Rp 660 miliar bersumber dari APBN. Nantinya, bendungan ini dibangun di lembah di kaki perbukitan yang membentuk setengah lingkaran, seperti tapak kaki kuda.

Lembah subur ini dikelilingi bukit Fatualiman di sebelah utara, bukit Tunme'e di sebelah timur dan tenggara serta bukit Kuneru di sebelah selatan. Di atas bukit Kuneru inilah rumah-rumah penduduk Desa Raknamo bertebaran, mulai dari ujung Desa Manusak di sebelah barat hingga ke bagian selatan dan tenggara. Ada sekitar 600 kepala keluarga (KK) atau 1.800 jiwa penduduk di desa ini.

Ke arah barat dan barat laut, dari lembah yang subur itu, tampak areal persawahan tadah hujan seluas hampir 2.500 hektar yang membentang di Oebatina dan Kodemopu. Warga Raknamo cuma menggarap areal persawahan itu saat musim hujan.  Semakin ke arah barat, ada areal persawahan yang membentang di Desa Manusak, Desa Naibonat dan Kelurahan Naibonat (areal persawahan Air Kom), sebagian wilayah Amabi Oefeto serta Desa Oesao dan Kelurahan Oesao. Total sekitar 8.000 hektar sawah. Semua areal persawahan ini cuma mengandalkan air tadah hujan. Belum ada saluran pengairan yang memadai apalagi yang moderen.

Lalu air berlimpah datang dari mana? Sungai Naikoen, yang melingkar di seperti ular raksasa dari hulu sekitar kawasan hutan di Kecamatan Amabi Oefeto Timur, singgah sebentar di ketiak bukit Fatualiman dan bukit Tunme'e. Sebelum pergi melintasi lembah di sebelah barat hingga bermuara di Teluk Kupang.

Sungai ini tetap mengalirkan air jernih meski kemarau panjang melanda. Ada juga belasan anak sungai di sekitar perbukitan dan lembah subur itu. Sungai dan anak sungai ini dibendung airnya, lalu dijadikan bendungan untuk mengairi lembah subur di kaki bukit Fatualiman dan sekitarnya..

Potensi lahan basah ini yang membuat Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, merajut mimpinya. Pria berambut putih ini bermimpi kelak lumbung beras dan jagung dipasok dari lembah subur di kaki bukit Fatualiman. Bahkan kebutuhan sayuran dan buah-buahan untuk warga Kota Kupang dan sekitarnya juga dipasok dari lembah subur ini.

Dan, mimpi Titu Eki ini, sebentar lagi akan diwujudkan setahap demi setahap. Dimulai dengan pembangunan bendungan raksasa dilanjutkan dengan pembangunan sarana irigasi untuk 8.000 hektar lahan sawah.

"Saya juga ingin bendungan itu akan ditata sedemikian rupa menjadi tempat wisata mengandalkan wahana air. Misalnya, tempat memancing di kolam ikan milik warga, ada waterboom dan sebagainya," jelas Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, saat sosialisasi di Gereja Talitakumi, Desa Raknamo, awal tahun 2013 lalu.

Ia juga meminta warga menangkap peluang bisnis seperti membuka lapak jual sayur dan jagung muda sepanjang jalan raya, mulai dari Desa Manusak hingga Desa Raknamo, yang berjarak 9 kilometer dari Jalan Timor Raya, Kelurahan Naibonat.

"Jangan cuma tanganga saja liat (lihat) oto-oto mangkilat (kendaraan mengkilat) masuk keluar kampung menuju bendungan. Nanti kalau bendungan sudah jadi, saya minta para kepala desa meminta warganya mendirikan lapak jual sayur, jagung muda dan buah-buahan di depan rumah. Jadi bila tamu pulang berwisata dari bendungan, bisa membeli ole-ole seperti sayuran, jagung muda dan aneka buah-buahan. Jangan malas dan harus kreatif menangkap peluang," kata Titu Eki, di hadapan warga dan jemaat yang memenuhi gereja tua itu.

Saking bersemangatnya Titu Eki, ia telah menyediakan dana rekayasa sosial yang bersumber dari APBD Kabupaten Kupang tahun anggaran 2014 sebagai 'uang sirih pinang' memindahkan kuburan nenek moyang milik warga setempat yang berada di lembah subur itu. Yang diperkirakan akan terkena dampak genangan air dari Bendungan Raknamo.

Setiap kuburan diberi Rp 25 juta dalam bentuk tabungan di Bank NTT. Penyerahan uang sirih pinang itu sudah dilakukan awal bulan November 2014 lalu. Sementara status lahan, tidak ada masalah lagi. Warga setempat dan pemilik tanah sudah iklas menyerahkan kepada pemerintah untuk dibangun bendungan.

Dewa Penyelamat

HAMPIR 60 tahun sejak Indonesia merdeka, warga Raknamo harus minum air dari Sungai Oenisa, yang mengalir di Lembah Kaniti dan Saha, di kaki Bukit Fatualiman. Warga yang berdomisili di Dusun Kaneru, harus berjalan kaki tiga kilometer menuruni bukit ke lembah. Sebuah sumur kecil digali persis di bibir sungai. Di situlah warga mengambil air minum, mandi dan untuk minuman ternaknya.

"Kami pulang dari sungai, harus mendaki bukit. Sampai di kampung, kami sudah basah oleh keringat. Jadi percuma saja mandi di sungai, sampai rumah sudah bau pesing keringat," jelas Kades Raknamo, Yunus Taek, dibenarkan Mansur Oematan, dan warga lainnya.

Sedangkan warga yang berdomisili di Dusun Oerete, Posut dan Kiukasen, masih mendingan. Mereka cuma berjalan kaki sekitar satu kilometer ke sumber air di Sungai Oenisa. Namun tetap saja sama. Sebab saat pulang ke kampung, harus mendaki bukit. Peluh bercucuran, bau pesing keringat menyergap. Jadi percuma kalau mandi di sungai.

Baru pada tahun 2008/2009, tutur Kades Raknamo, Yunus Taek,  desanya mendapat bantuan jaringan pipa air bersih dan bak air dari PNPM. Airnya diambil dari Desa Fatukanutu, yang berjarak 19 kilometer dari Desa Raknamo.

"Meski begitu airnya kurang lancar. Kami berharap, bendungan raksasa ini menjadi dewa penyelamat bagi kami dalam persediaan air baku. Baik bagi manusia maupun bagi ternak," jelas Mansur Oematan.

Ia mengingatkan agar kasus perebutan air baku di Bendungan Tilong, antara Pemkab Kupang dan Pemkot Kupang, jangan sampai terulang di Raknamo. "Bukti paling jelas, warga sekitar Bendungan Tilong, kesulitan mendapatkan air bersih. Bahkan ada yang beli air tanki. Padahal pipa induk air melewati halaman rumah mereka," kata Oematan.
Ia berharap air Bendungan Raknamo, dipakai seluruhnya untuk kebutuhan irigasi di Kecamatan Amabi Oefeto dan Kecamatan Kupang Timur. "Sisanya untuk kebutuhan air baku. Air bersih bagi penduduk di puluhan desa di dua kecamatan tersebut. Semoga tidak terjadi perebutan air oleh orang-orang di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang. Lalu mereka saling rebut air, kami yang menderita kekeringan," kata Oematan mengingatkan.

Kekhawatiran warga Desa Raknamo ini diredam oleh penjelasan Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Ir. Mudjiadi, M.Sc, saat menyambut kedatangan Presiden Jokowi di Bendungan Raknamo, Sabtu (20/12/2014).

"Bendungan ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan air baku Ibukota Kabupaten Kupang dan sekitarnya dengan debit 100 liter/detik, untuk memenuhi kebutuhan irigasi bagi lahan pertanian seluas 1.250 hektar. Jadi air sangat berlimpah. Jangan khawatir," jelas Mudjiadi.

Selain itu, tambahnya, Bendungan Raknamo dibangun untuk  pengendalian banjir di daerah hilir di Oelamasi, yang merupakan kawasan pengembangan Ibu Kota Kabupaten Kupang. Juga air yang berlimpah dipakai untuk pengembangan pariwisata, serta pembangkit listrik Tenaga Mikro (PLTM) 216,675 kW (1 unit)-  0.216 MW (per unit). "Masyarakat cuma diminta menjaga hutan sekitar bendungan. Jangan tebang pohon, jangan bakar hutan. Jika hutan lestari, air akan terus melimpah sepanjang tahun," pintanya.

Bendungan Raknamo berada di Sungai Noel Puames, Desa raknamo, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang, NTT. Daerah luas genangan waduk untuk spillway direncanakan mencapai elevasi +104,00 meter dari permukaan laut, dan memerlukan tanah seluas + 147,30 hektar, dan puncak bendungan akan mencapai elevasi +110,20 meter dari permukaan laut.

Pembangunan Bendungan Raknamo akan dilaksanakan dalam jangka waktu 51 bulan (6 tahun anggaran) terhitung sejak Tahun Anggaran 2014 sampai dengan Tahun Anggaran 2019.

Adapun data teknis Bendungan Raknamo dan bangunan penunjangnya adalah sebagai berikut: Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 38,34 km2, Panjang Sungai 15,71 km, Hujan Tahunan rata-rata Sta Camplong 1,258 mm, Sta Raknamo 1,522 mm, Inflow Tahunan Q 80%= 14,59 juta m3, Debit rata-rata musim hujan 1,380 m3/dt, debit rata-rata musim kemarau 0,233 m3/dt. (julianus akoit)

Sumber: Pos Kupang 20-21 Desember 2014 hal 1

22 Tahun Tsunami Maumere

ilustrasi
GEMPA dan Tsunami yang memorak-porandakan Maumere genap berusia 22 tahun pada tanggal 12 Desember 2014. Bertepatan dengan peringatan tersebut, wartawan Pos Kupang, Feliks Janggu, mengisahkan kembali peristiwa yang memilukan itu berdasarkan penuturan sejumlah saksi hidup di Maumere.

KARTINI Ace (60) mengernyitkan dahi ketika mengisahkan kembali kejadian Gempa dan Tsunami 12 Desember 1992, di kediamannya di Kampung Wuring, Maumere, Selasa (9/12/2014). Ekspresi alis dan dahinya menggambarkan trauma yang mendalam atas bencana alam yang menewaskan 2.000-an warga Kabupaten Sikka.

Tentu berbeda dengan reaksi sebagian generasi muda Kampung Wuring yang tidak pernah mengalami dan menyaksikan atau mendengar kisah bencana alam 22 tahun lalu itu. Meski pemerintah mengingatkan Kampung Wuring masuk dalam zona merah gempa dan tsunami di Kota Maumere, pembangunan pemukiman penduduk semakin banyak.

"Saya kadang menceritakan kepada cucu-cucu saya. Ada yang takut sekali. Tetapi saya bilang kepada mereka, cukup kami saja yang menderita karena bencana gempa dan tsunami. Jangan terjadi lagi pada cucu-cucu kami," cerita Kartini kepada Pos Kupang.

Pada saat gempa dan Tsunami, Kartini menyelamatkan diri di atas perahu. Berjam-jam perahu yang mereka tumpangi terombang-ambing di tengah hempasan gelombang Tsunami. Jumlah mereka  yang menyelamatkan diri di atas perahu sebanyak 32 orang.

Rumah-rumah di Wuring hancur berantakan. Mereka pun bergegas menghidupkan mesin perahu menuju Ngolo, Pemana Kecil, salah satu pemukiman di salah satu pulau di utara Pulau Flores.
"Pas kami tiba di Ngolo, semua rumah tidak ada yang sisa. Hanya buih putih yang menutup bangunan rumah. Semua orang lari ke gunung. Kami juga lari ke gunung," kata Kartini.

"Bulu badan saya berdiri memang. Gelombang pertama, kemudian surut lagi. Lalu datang gelombang kedua. Setelah itu gelombang ketiga langsung rata semua. Rumah-rumah hancur semua, hanya masjid ini (Masjid Al-Rahmat Wuring-red) yang tersisa. Kami 32 orang lari di atas perahu," kisah keturunan Bajo yang sejak nenek moyangnya telah menetap di Maumere itu.

Menurut data yang dilansir http://id.wikipedia.org/wiki/  gempa dan tsunami dahsyat itu terjadi sekitar pukul 13.29 wita. Gempa itu berkekuatan 7,8 pada skala Richter di lepas pantai Flores menyebabkan Tsunami setinggi 36 meter, menewaskan sedikitnya  2.100 jiwa, 500 orang hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000 orang mengungsi.

Gempa ini menghancurkan sedikitnya 18.000 rumah, 113 sekolah, 90 tempat ibadah, dan lebih dari 65 tempat lainnya. Kabupaten yang terkena gempa ini ialah Kabupaten Sikka, Kabupaten Ngada, Kabupaten Ende, dan Kabupaten Flores Timur.

Diceritakan Kartini, banyak warga Wuring tewas terjepit bangunan.  Mereka yang selamat melarikan diri ke perbukitan, lalu bermukim di Hewuli, Alok Barat. Tetapi mereka tidak betah, dan kembali lagi ke Kampung Wuring. 

"Kami lihat dari atas perahu, semua rumah rata, kapal-kapal rusak. Kami terus bergerak meski gelombang cukup deras. Syukur mesin motor tidak mati," kata Kartini lagi.
Setelah 22 tahun, pertumbuhan penduduk di Kampung Wuring cukup pesat. Rumah-rumah makin padat. Kehidupan ekonomi pun semakin maju. Pelabuhan Wuring telah menjadi salah satu pusat perekonomian masyarakat di Kota Maumere.

"Kami ini orang Bajo, cari makan di laut. Kami tidak nyaman di Nangahure, jadi saya orang pertama yang kembali ke Wuring. Kami tidak mungkin tangkap ikan, kemudian bawa ke Nangahure. Waktu itu Nangahure tidak ada tambatan perahu," kata Kartini.

Kampung Wuring kini memiliki pelabuhan rakyat (Pelra) dengan aktivitas bongkar muat barang yang cukup padat dari Sulawesi, Kupang, dan Surabaya. Terdapat pasar ikan, ramai dikunjungi warga kota tiap petang hari hingga malam.

Reruntuhan bangunan yang mengingatkan warga akan kejadian 22 tahun lalu lenyap bersama munculnya bangunan-bangunan rumah yang cukup megah, rumah panggung yang kokoh. Menjadi  gambaran pesatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat Wuring.

Puluhan kapal nelayan berlabuh di tepi pantai, di samping rumah-rumah penduduk yang dibangun di sekitar Pelra Wuring. Banyak rumah dibangun menjulur ke tengah laut. "Sekarang semua orang bangun rumah bagus di sini. Kalau ingat dulu, rumah di sini masih sederhana semua. Tapi bencana itu merusak semuanya," kata Kartini.

Diceritakannya, ada empat bencana besar yang menimpa masyarakat Kota Maumere kala itu, di antaranya angin kencang, gelombang tinggi, bumi bergetar (gempa-red) dan kebakaran.Apakah tidak khawatir tinggal di zona merah gempa dan Tsunami? Kartini mengatakan, Allah akan menjaga masyarakat Wuring, menjaga anak-anak cucunya lepas dari bencana serupa.Keyakinan akan penyelenggaraan dan perlindungan Allah inilah yang menguatkan warga Wuring untuk tetap bertahan tinggal di pesisir pantai meski masuk zona merah gempa dan Tsunami.

"Banyak yang selamat di dalam masjid ini. Ada kesaksian waktu itu, bahwa air di dalam masjid hanya setinggi lutut. Orang yang berlindung di Masjid ini semuanya selamat," tutur Kartini.

Hari Berkabung Daerah


TRAUMA para korban Gempa dan Tsunami 12 Desember 1992  belum hilang sampai saat ini. "Bicara gempa dan Tsunami, masyarakat di sini sangat trauma dan trauma sekali. Orang-orang tua semua masih trauma di sini," kata Hasan Basry, ketua RW.08 Kampung Wuring,  Kelurahan Wolomarang, Maumere, Sikka.
Masyarakat Kampung Wuring, kata Hasan, selalu mendapat informasi dari pemerintah bahwa wilayah Kampung Wuring termasuk dalam zona merah dan berbahaya untuk pemukiman penduduk.

Namun, tambahnya, sejauh ini belum ada informasi meyakinkan dari pemerintah tentang dasar penetapan wilayah itu zona merah. "Menarik kalau omong zona merah. Saya mau omong itu, kita bisa diskusi. Pertanyaan saya dan  juga masyarakat di sini, apa dasarnya Wuring disebut zona merah?" tanya Hasan.

Beberapa titik yang menurut Hasan sama dengan wilayah Wuring adalah pesisir Kota Uneng, wilayah pertokoan Kota Maumere, pemukiman penduduk di Kampung Beru, wilayah sekitar Hotel Pelita dan pemukiman Waioti.

"Mengapa Wuring zona merah dan kompleks pertokoan tidak? TPI (tempat pendaratan ikan) tidak? Hotel Pelita tidak? Waioti tidak?" tanya Hasan.

Terlepas dari penetapan zona merah, Hasan mengharapkan secara lokal kedaerahan masyarakat diwajibkan mengenang peristiwa 1992 itu dan diatur di dalam peraturan daerah (Perda). Pasalnya, kata Hasan, gempa dan Tsunami Maumere 1992, termasuk bencana nasional terbesar kedua setelah Aceh. 

"Bagi saya mungkin perlu suatu perda atau semacamnya yang menetapkan 12 Desember tiap tahunnya sebagai hari duka daerah atau hari berkabung daerah Kabupaten Sikka," kata Hasan.
Kehidupan masyarakat Wuring dan Maumere saat ini beda dengan 22 tahun silam. Mereka sudah bisa bangkit dari keterpurukan akibat hantaman Tsunami yang dahsyat. Rumah-rumah semakin padat, kapal-kapal semakin banyak, aktivitas pasar di Wuring makin ramai tiap hari.

Bayang-bayang ketakutan akan terulangnya Tsunami 1992 masih terasa ketika berjumpa para korban yang mengalami langsung peristiwa itu. Namun ketakutan itu tidak mengalahkan keyakinan mereka akan penyelenggaraan Allah yang akan melindungi anak-anak dan cucu mereka di masa mendatang.

"Cukup kami saja yang menderita terkena bencana dan jangan terjadi lagi pada cucu-cucu kami. Allah akan melindungi kami. Masjid ini telah menyelamatkan banyak orang waktu itu," ujar Kartini Ace (60), sambil mengelus lengan. "Bulu badan saya berdiri memang," tambahnya.

Seperti korban bencana gempa dan Tsunami 1992, ribuan warga Palue korban letusan Gunung Rokatenda harus mengungsi dari kampung halaman mereka. Tetapi masih ada di antara mereka yang menolak direlokasi dan memilih bertahan hidup di zona merah gempa.

Hal ini menjadi pekerjaan berat pemerintah daerah ke depan untuk memberikan sosialisasi intensif agar masyarakat secara sukarela meninggalkan lokasi-lokasi yang dianggap berbahaya bagi keselamatan mereka manakala terjadi bencana serupa di masa mendatang.

Semoga moment peringatan gempa dan Tsunami 1992, pada Jumat, 12 Desember 2014, menyadarkan kita kemungkinan bencana serupa pada waktu mendatang. Semoga jiwa ribuan korban mendapat istirahat yang kekal di Surga.

Dia Akan Datang Lagi...

BENCANA alam gempa, tsunami, letusan gunung berapi dan bentuk bencana alam lainnya memaksa manusia untuk mengambil sikap dan memutuskan langkah  mengatasi persoalannya.

Persoalan serius yang dihadapi adalah semua pesisir utara Kabupaten Sikka, terutama Kota Maumere, termasuk dalam wilayah rawan bencana. Hampir semua titik berada dalam zona merah bencana.

Namun di sisi lain, tempat-tempat ini menjadi tempat yang paling padat dihuni masyarakat. Misalnya, wilayah pesisir Kota Maumere, Kampung Wuring, Kota Uneng, Kampung Beru, Waioti, Geliting dan wilayah pesisir utara lainnya.

Oscar Parera Mandalangi, budayawan dan tokoh adat di Kota Maumere, mengingatkan bahwa bencana tetap akan menjadi momok menakutkan masyarakat Kota Maumere di masa mendatang. "Bencana seperti tahun 1992 tetap akan datang (terjadi) lagi. Lempengan daratan menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana sangat tipis dan mudah retak," kata Oscar kepada Pos Kupang, Sabtu (13/12/2014).

Oscar mengatakan, hanya ada dua solusi menghindari masyarakat pesisir dari bencana alam tsunami di masa depan. Pertama, masyarakat harus direlokasi, pindah ke tempat lebih aman. Kedua, membangun rumah dengan konstruksi tahan bencana alam.

"Jika mereka tidak mau pindah, itu artinya mereka mengambil risiko serius di masa depan. Pemerintah juga bisa mengambil inisiatif buat kajian, konstruksi rumah model apa yang cocok dengan wilayah zona merah kita," kata Oscar.

Pemerintah, demikian Oscar, bisa membuat peraturan rumah bentuk apa yang boleh dibangun di  zona rawan gempa. "Rumah-rumah tembok itu tidak perlu ada di sana. Cari design rumah yang cocok untuk wilayah itu, pemerintah harus buat kajian serius. Hanya itu solusinya," kata Oscar.

Tidak kalah penting, lanjut Oscar, masyarakat perlu terus dilatih (simulasi) menghadapi bencana. "Daerah-daerah itu perlu terus melakukan simulasi bencana," ujarnya.

Menurut dia, sosialisasi harus terus menerus dilakukan. Khususnya oleh pemerintah desa, agar warga masyarakat dengan sadar mencari tempat pemukiman yang lebih layak.
                               
Hutan Bakau Tipis

Anggota DPRD Sikka, Alex Agato mengingatkan pemerintah serius menangani masalah bencana di Kabupaten Sikka. Masalah serius yang dihadapi, demikian Agato, adalah semakin menipisnya hutan bakau (mangrove) pesisir utara Maumere. 
"Badan Lingkungan hidup kita minta serius dengan program menanam bakau sebanyak-banyaknya di pantai utara, khusus kota Maumere dulu. Turap pantai itu tidak bisa bertahan lama di masa depan," kata Alex.

Ia menyatakan, pemerintah tidak bisa menghabiskan anggaran begitu besar dengan membangun turap pantai di semua pesisir utara Kota Maumere. Mesti didukung dengan program penanaman mangrove yang berkesenambungan.

"Ini langkah yang lebih penting dan harus digarap serius oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH). Selain bisa menahan abrasi, menanam bakau juga memberikan dalam bagi kesehatan lingkungan hidup di Kota Maumere," kata Alex.

Memindahkan masyarakat pesisir seperti warga Kampung Wuring bukan persoalan yang mudah. Tetapi jika pemerintah berhasil meyakinkan masyarakat secara terus menerus, bukan tidak mungkin masyarakat akan secara sukarela meninggalkan lokasi yang ada.

Pemerintah juga bisa membantu masyarakat  untuk menunjukkan lokasi pemukiman yang baru bagi masyarakat. "Ini memang risiko pemerintah, jika mau relokasikan mereka, maka harus menyiapkan pemukiman baru bagi mereka. Perlu pendekatan terus menerus," tegas Alex.

Kampung Wuring, salah satu wilayah pesisir yang termasuk dalam zona merah, sudah menjadi salah satu permukiman padat di Kota Maumere saat ini.  Warga di sana mengaku tahu bahwa wilayah masuk zona merah, namun enggan merespons hal itu secara serius.

Kartini Ace (60) berpegang pada keyakinan bahwa Allah tidak mungkin akan menimpakan malapetaka bagi umatNya. Allah pasti akan melindungi para penghuni Kampung Wuring.

Sementara  Hasan Basry, warga lainnya mempertanyakan kebenaran tentang Kampung Wuring termasuk di dalam zona merah. Masyarakat belum diyakinkan dengan dasar penelitian atau regulasi yang menetapkan wilayah itu sebagai wilayah zona merah bencana.

Antara keingingan pemerintah dan keinginan masyarakat pasti selalu akan bertentangan satu sama lain. Tetapi jika pemerintah bisa meyakinkan masyarakat, maka masalah itu akan  diselesaikan secara bersama-sama, dan masyarakat terhindar dari risiko bencana. (feliks janggu)


Sumber: Pos Kupang 13, 14 dan 15 Desember 2014 hal 1

Bapak Diam-diam Daftar Saya di Seminari

Romo Hiro diarak dari Busalangga ke Baa (foto PK)
Rumah Yohanes Nitsae (alm) dan Marselina Nitsae-Bailaen di Busalangga, Kecamatan Rote Barat Laut (RBL), dipadati keluarga dan umat, Minggu (30/11/2014) siang. Ada apa? Simak Laporan Wartawan Pos Kupang, Maksi Marho dari Rote Ndao.

BUKAN cuma kalangan keluarga yang beragama Katolik yang berkumpul di rumah itu, tetapi juga keluarga yang beragama Protestan. Juga terlihat dua orang suster dan seorang pastor, Pater Dagobertus Sotaringgi, SVD (Mantan Pastor Paroki Sikumana).

Di samping timur rumah, tepatnya di sebuah tanah lapang yang biasa dipakai sebagai lokasi pasar tradisional, sudah dibangun tenda dan sebuah podium sebagai persiapan misa perdana imam baru, Romo Hironimus Nitsae, pada Selasa (2/12/2014).

Sekitar pukul 14.00 wita, salah satu perwakilan keluarga menyampaikan kata sambutan sebagai pengantar persiapan untuk perarakan Diakon Hironimus Nitsae menuju Paroki St. Kristoforus Ba'a untuk ditahbiskan menjadi imam  oleh  Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang. Jarak dari Busalangga menuju pastoran paroki sekitar 15 kilometer dan ditempuh dengan kendaraan sekitar 20 menit.

Setelah pengantar dari keluarga, Pater Dagobertus kemudian memimpin ibadat singkat, memohon berkat Tuhan agar seluruh rangkaian acara pentahabisan imam baru nantinya berjalan lancar. Usai berdoa, Diakon Hironimus Nitsae didampingi sang mama Marselina Nitsae-Bailaen dan seorang pria yang mewakili almarhum ayahnya, dijemput dengan tarian adat setempat saat keluar dari rumah menuju mobil yang siap mengantar mereka menuju gereja paroki.

Sekitar pukul 14.30 wita, Diakon Hironimus Nitsae  diarak belasan mobil dan ratusan sepeda motor menuju Ba'a. Calon imam baru itu tampak tenang saat berada di atas mobil sambil berdiri dengan mengenakan pakaian ada Rote Ndao lengkap dengan topi Ti'i langga. Ia tampak tenang dan sesekali tersenyum.

Saat tiba di depan gereja, Diakon Hironimus Nitsae dan keluarga disambut Pastor Paroki St. Kristoforus Ba'a, Romo Aloysius Lake, Pr. Rombongan calon imam baru ini kemudian beristirahat sejenak di pastoran paroki sambil menunggu dimulainya misa pentahbisan,  dipimpin Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang.

Misa pentahbisan Diakon Hironimus Nitsae menjadi imam dimulai pukul 16.00 wita, dihadiri puluhan pastor, belasan suster serta ribuan umat katolik setempat. Juga dihadiri Wakil Bupati Rote Ndao, Jonas C Lun dan sejumlah pejabat Pemkab Rote Ndao, Wakapolres Rote Ndao, Kompol Samuel S Simbolon,  para tokoh agama dari gereja Protestan, Islam dan undangan lainnya.

Romo Hironimus Nitsae adalah anak keempat dari enam bersaudara buah cinta pasangan ayah (Almarhum) Yohanes Nitsae dan mama Marselina Nitsae-Bailaen. Ia lahir di Busalangga, 10 Agustus 1986. Ayahnya bekerja sebagai tenaga kesehatan di Puskesmas Busalangga, mamanya ibu rumah tangga.

Romo Hiro, begitu RD Hironimus Nitsae disapa, mengawali pendidikan di SD Inpres Busalangga tahun 1992-2005 dan melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 4 Rote Barat Laut (RBL) di Busalangga tahun 1998-2001. "Waktu tamat SMP, diam- diam bapak daftar saya di SMA Seminari St. Rafael Oepoi-Kupang. Setelah pulang daftar di SMA seminari baru bapak beri tahu saya. Saya kaget juga, tapi namanya disuruh sekolah di Kupang, siapa yang tidak mau. Karena itulah saya melanjutkan pendidikan di SMA Seminari St. Rafael Oepoi selama tahun 2001-2005. SMA-nya lima tahun karena sebelum lanjut ke SMA harus masuk kelas peralihan dulu selama dua tahun, baru masuk kelas satu SMA," cerita Romo Hiro ketika ditemui di Pastoran Paroki St. Kristoforus Ba'a, Sabtu (29/11/2014) siang.

Sewaktu kecil, cerita Romo Hiro, sebenarnya ia tidak bercita-cita untuk menjadi pastor. Hanya saja, ketika masih di kelas dua SMP, pernah ada kunjungan beberapa pastor ke Stasi Isidorus Busalangga. Saat itu, satu orang pastor tidur di rumah mereka sehingga timbul keinginan dalam dirinya untuk menjadi pastor. Keinginannya itu yang mungkin diketahui ayahnya sehingga secara diam-diam sang ayah mendaftarkan dirinya ke SMA Seminari.  RD Hironimus Nitsae merupakan pastor Katolik pertama dari Kabupaten Rote Ndao.

Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, dalam sambutannya pada acara syukuran penthabisan, mengingatkan imam baru agar selalu berusaha memberi kesaksian tentang Kristus. Sebagai imam, harus membuat manusia atau sesama untuk selalu memperbaharui hidupnya sehingga menjadi manusia yang lebih baik sesuai ajaran Allah dari hari-kehari.

Wakil Bupati Rote Ndao, Jonas C Lun, mengucapkan selamat kepada RD Hironimus Nitsae yang telah ditahbiskan menjadi imam Katolik dan menjadi imam Katolik pertama dari Kabupaten Rote Ndao. Peristiwa penthabisan ini, kata Lun, merupakan peristiwa  bersejarah bagi masyarakat Rote Ndao.

"Gereja Katolik telah banyak berperan dalam pembangunan. Karena itu, atas nama pemerintah dan seluruh masyarakat Rote Ndao, kami mengucapkan selamat kepada imam baru, RD Hironimus Nitsae yang telah ditahabiskan menjadi imam oleh Yang Mulia Uskup Agung Kupang," kata Lun.

RD Hironimus Nitsae mengambil moto tahbisannya: "Ya Bapa..." yang diambil dari Injil Yoh 17:24. Kata "Ya Bapa..." dalam moto tersebut, menurut RD Hironimus Nitsae, merupakan bentuk jawaban dan kesediaan dirinya untuk menjadi rasul Yesus, dan siap mewartakan Injil kepada semua manusia. Profisiat. *


Sumber: Pos Kupang 7 Desember 2014 hal 1

Uskup Turang Tahbiskan Pastor Pertama dari Rote

Romo Hiro diarak dari Busalangga ke Baa untuk ditahbiskan (foto PK)
USKUP Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr mentahbiskan Diakon Hironimus Nitsae menjadi imam baru Gereja Katolik di Gereja Paroki St. Kristoforus Ba'a, Minggu (30/11/2014) sore. RD Hironimus Nitsae  merupakan pastor  pertama dari Kabupaten Rote Ndao.

Acara pentahbisan RD Hironimus Nitsae oleh Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, dihadiri puluhan pastor, belasan suster serta ribuan umat Katolik setempat. Juga hadir Wakil Bupati Rote Ndao, Jonas C Lun, dan sejumlah pejabat Pemkab Rote Ndao, Wakapolres Rote Ndao, Kompol Samuel S Simbolon, serta para tokoh agama dari gereja Protestan, Islam dan undangan lainnya.

Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr dalam sambutannya pada acara syukuran pentahbisan imam baru, mengingatkan imam baru agar selalu berusaha memberi kesaksian tentang Kristus. Sebagai imam harus membuat manusia atau sesama untuk selalu memperbaharui hidupnya sehingga menjadi manusia yang lebih baik sesuai ajaran Allah.

Sementara Ketua Dewan Pastoral Paroki (DPP) Paroki St. Kristoforus Ba'a, Pius Mali, dalam sambutannya mengatakan, sudah sejak lama umat Katolik di Rote Ndao mendambakan dan merindukan lahirnya seorang imam baru yang berasal dari Rote Ndao. Dambaan dan kerinduan masyarakat Rote Ndao itu akhirnya terjawab dengan ditahbiskannya RD Hironimus Nitsae, putra dari bapak Alm. Yohanes Nitsae dan mama Marselina Nitsae-Bailaen.

Peristiwa pentahbisan imam baru, imam pertama dari Kabupaten Rote Ndao ini, kata Pius Mali, membawa rahmat berlimpah bagi masyarakat Kabupaten Rote Ndao, bahkan bukan cuma umat yang beragama Katolik. Karena itu, umat di Kabupaten Rote Ndao mengucapkan banyak terima kasih kepada Uskup Agung Kupang yang mau mentahbiskan salah satu putra terbaik Kabupaten Rote Ndao tersebut.

Wakil Bupati Rote Ndao, Jonas C Lun, dalam sambutannya, mengucapkan selamat kepada RD Hironimus Nitsae yang telah ditahbiskan menjadi imam Katolik dan menjadi imam Katolik pertama dari Kabupaten Rote Ndao. Peristiwa pentahbisan ini, kata Lun, merupakan peristiwa bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Rote Ndao. (mar)


Ya Bapa....

RD Hironimus Nitsae mengambil moto : "Ya Bapa..." yang diambil dari Injil Yoh 17:24 sebagai moto tahbisannya. Kata "Ya Bapa..." dalam moto tersebut, menurut RD Hironimus Nitsae, merupakan bentuk jawaban dan kesediaan dirinya untuk menjadi rasul Yesus, dan siap mewartakan Injil kepada semua manusia.

Hal ini dikatakan RD Hironimus Nitsae dalam sambutannya pada acara syukuran pentahbisan yang digelar di halaman Pastoran Paroki St. Kristoforus Ba'a, Minggu (30/11/2014) malam.  Dikatakan RD Hironimus Nitsae atau Romo Hiro, kata "Ya Bapa..." juga merupakan kata-kata dalam doa Tuhan Yesus di Taman Getsemani sebelum ia diserahkan kepada orang Yahudi untuk disalibkan. Hal ini berarti ia pun siap menjadi pengikut Kristus dalam kondisi apapun bahkan rela mati demi mewartakan kemulian Tuhan.

RD Hironimus Nitsae adalah anak keempat dari enam bersaudara, anak dari Yohanes Nitsae (alm) dan mama Marselina Nitsae-Bailaen. Ayahnya berdarah Timor dari Kabupaten TTU, sementara mamanya berdarah asli Rote Ndao dari Busalangga, Kecamatan Rote Barat Laut (RBL). Selama ini, keluarganya tinggal di Busalangga. (mar)

Sumber: Pos Kupang 3 Desember 2014 halaman 9

Memberi Rasa Nyaman Kepada yang Susah

ilustrasi
Oleh Dr. Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo
Mantan Wartawan SKH Pos Kupang
Latar Belakang
Harian umum daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bernama POS KUPANG merayakan ulang tahunnya yang ke-22 pada 1 Desember 2014. Sebagai ungkapan cinta kasih dan hormat kepada kiprah POS KUPANG, termasuk semua krunya, saya membuat tulisan ini. Saya mau mulai dengan merenungkan hakikat ulang tahun. Umumnya orang memahami ulang tahun sebagai moment untuk mengingat awal keberadaannya supaya menjalani masa kini secara bermakna sesuai dengan tekad masa depan yang dicanangkan pada masa awal keberadaannya.

Ada sekurang-kurangnya 3 kata dalam bahasa Inggris yang erat berkaitan dengan arti ulang tahun yang baru saja kita definisikan. Kata pertama: remember. Ia terdiri dari dua patah kata: re yang artinya adalah kembali dan member yang adalah anggota. Jadi secara harafiah remember  artinya kembali menjadi anggota, balik kepada komunitas mula-mula, persekutuan azali. Kata kedua: commemoration. Kata ini juga merupakan konjungasi dari co yang artinya bersama dan memory yang adalah ingatan atau kenangan. Jadi commemoration dapat kita artikan kumpul ingatan-ingatan yang ada. Kata ketiga: recollection artinya kembali ke dalam kumpulan.

Jiwa dari ketiga kata yang berhubungan dengan gagasan mengingat seperti yang kita gali dari pemahaman orang Inggris adalah kembali menjadi anggota keluarga atau persekutuan dari mana kita berasal, atau kumpul-kumpul untuk ingat kembali (memorize) cita-cita yang telah ditetapkan pada awal titik berangkat keberadaan kita.  Dalam semangat pemaknaan seperti inilah saya menulis untuk POS KUPANG menyambut ulang tahunnya yang ke-22.

Awal Mula POS KUPANG
Salah satu aktivitas penting pada hari ulang tahun adalah mengingat. Baiklah saya menceritakan kembali apa yang saya ingat tentang POS Kupang di awal kiprahnya di Kupang, Kota Kasih. Ketua Sinode GMIT waktu itu, Almarhum Dr. Benyamin Fobia bertemu saya di ruang redaksi majalah Berita GMIT. "Eben. Sebentar sore pergi ke toko Silvia untuk ikut pelatihan menjadi wartawan." Tanggal persisnya percakapan itu saya tidak ingat lagi. Tapi itu terjadi sekitar tanggal 25 atau 26 November 1992.

Tanpa banyak bertanya karena itu memang berhubungan dengan tugas saya sebagai redaktur pelaksana majalah Berita GMIT, sore harinya saya pergi ke Toko Silvia di bilangan Tingkat Satu. Dengan mengendarai sepeda motor Honda GL milik ayah, saya menerobos hujan gerimis di Kupang sore itu. Ternyata di sana sudah ada sekitar 20-an orang muda. Orang-orang yang saya kenal adalah Paulus Bolla, Mesakh Dethan dan Yulius Lopo.

Kami dikumpul dalam satu ruang sempit, kira-kira 6 x 7 meter lalu mulai dikasih pengarahan tentang bagaimana manulis straight news. Pembicara waktu itu adalah Julius Siranamual. Juga ada seorang lagi yang menyapa saya dalam bahasa Timor dialek Amarasi. Belakangan saya tahu nama senior itu adalah Hans Itta. Dia juga salah seorang pendamping kami dalam kursus kilat malam itu.

Di penghujung materi yang diberikan oleh Julius Siranamual yang berambut gondrong itu, kepada kami dibagikan potongan berita dari Koran berbahasa Inggris. Tugas kami adalah menerjemahkan berita itu dalam bahasa Indonesia. Setelah bekerja kira-kira 25 menit, hasil terjemahan itu dikumpulkan. Lalu kami diminta bertemu khusus dengan bapak Julius Siranamual secara berkelompok. Saya bergabung dengan Paul Bolla, Mesakh Dethan dan Yulius Lopo sebagai satu kelompok.

Barulah dalam percakapan dengan bapak Julius Siranamual saya tahu bahwa dalam waktu dekat akan mulai terbit harian daerah POS KUPANG. Rupanya pak Julius Siranamual mengkontak Pdt. Dr. Benyamin Fobia untuk mengirim beberapa pendeta muda dalam proses rekrutmen sebagai wartawan untuk POS KUPANG, katanya supaya ada keseimbangan komposisi pemberitaan antara dua denominasi Kristen terbesar di NTT. Pak Julius Siranamual juga menjelaskan kepada kami apa tugas pers. Kalau saya tidak salah ingat, beliau katakan: "Kami akan direkrut menjadi wartawan untuk mengerjakan tugas pers, yakni menjalankan fungsi edukasi, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan memperluas komunikasi dan partisipasi masyarakat."

Giliran kami sudah selesai. Kami keluar untuk makan nasi bungkus. Kelompok lain menggantikan kami bertemu bapak Julius Siranamual. Selanjutnya kami masuk lagi ke ruangan kursus kilat untuk mendengar arahan tentang apa yang harus kami buat besok. Saya tidak ingat persis siapa pemandu acara, tetapi kami ditugaskan untuk besok meliputi berita di lapangan. Saya dapat tugas meliput arus keluar masuk bus antar kota di Terminal Oebobo, terutama pelayanan publik di situ.

Singkat cerita, tiga hari berturut-turut kami menjalani training. Kalau memori saya masih belum terganggu, hasil belajar kami itu kemudian diterbitkan dalam edisi ujicoba, tentu saja dengan editing ketat dari pemimpin unit.

POS KUPANG Membuat Tikus Tidak Bebas Menari

Terbitnya POS KUPANG segera mengubah pola komunikasi masyarakat Kupang pada waktu itu, mengingat POS KUPANG memang adalah harian umum pertama di Kupang. Sebelum POS KUPANG, pernah ada KUPANG POS. Saya lupa kapan persisnya. Sepertinya waktu saya masih di bangku SMA. Entah apa sebabnya KUPANG POS mati dan untuk waktu yang lama (sekitar 5-6 tahun) tidak ada harian umum pengganti. Karena itu terbitnya POS KUPANG benar-benar memberikan angin segar. Peristiwa-peristiwa sosial dan pemerintahan, politik dan religius di Kupang dan NTT umumnya yang selama ini saya disampaikan dari mulut ke mulut, lebih mirip desas-desus sehingga batas antara kebenaran dan gossip murahan sangat tipis segera mendapat bobot sebagai berita berimbang, karena ada komentar dari pihak-pihak terkait.

POS KUPANG ternyata tidak hanya menyajikan berita berimbang melalui satu proses cek dan recek. Ia juga melakukan kontrol sosial atau menjadi pengawal demokrasi. Peran ini, seperti yang saya sebutkan tadi ibarat menjadi kucing yang membuat tikus tidak lagi bebas menari di atas makanan milik bersama. Saya punya beberapa pengalaman untuk hal ini yang berkaitan langsung dengan POS KUPANG  di masa awalnya. Demi kenyamanan bersama baiklah saya tidak menyebut contoh itu, tetapi contoh yang lebih umum, seperti pencabutan SIUPP harian Sinar Harapan oleh pemerintah orde baru tanggal 8 Oktober 1986 karena sebuah pemberitaan yang menggangu kenyamanan Orde Baru.

Berita-berita yang disampaikan pers kapada masyarakat, investigasi yang dilakukan wartawan terhadap sebuah kasus sosial, politik, pendidikan, dll, dengan tujuan utamanya adalah melakukan edukasi, melaksanakan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan memperluas komunikasi dan partisipasi masyarakat ternyata bermakna ganda.

Tony Kleden, wartawan POS KUPANG merumuskan manfaat ganda itu dengan mengutip Finley Peter Dunne, penulis Amerika abad ke-19, seperti yang kami jadikan sebagai sub judul tulisan ini: "Pers memberi rasa nyaman kepada orang yang kesusahan dan menyusahkan orang yang hidupnya nyaman."

Tugas ganda tadi ternyata juga diemban oleh POS KUPANG. Dalam arti ini POS KUPANG khususnya menjalankan pekerjaan keselamatan. POS KUPANG memang bukan juruselamat dunia, tetapi dia menjalankan tugas-tugas tertentu dari Sang Juruselamat. Para wartawan memang bukan pendeta atau imam, tetapi mereka menjalankan tugas-tugas keimamatan itu di bidang jurnalistik. Kalau menggunakan analogi yang dibuat Marthen Luther, wartawan adalah imam-imam tanpa jubah keimamatan. Nurani keimamatan mereka tidak dinampakan pada jubah, melainkan pada pensil yang mereka pakai.

Kalimat-kalimat terakhir ini saya mau garisbawahi secara khusus dengan dua maksud. Pertama, sebagai bentuk apresiasi saya kepada pers dan para wartawan, secara khusus keluarga besar POS KUPANG. Ada banyak surat kabar harian di Kupang. Tetapi tidak banyak yang menyampaikan informasi dan kontrol bertolak dari nurani keimamatan. Yang saya maksudkan dengan nurani keimamatan adalah yang menyampaikan informasi secara konstruktif, berimbang dan santun. POS KUPANG termasuk pada yang tidak banyak itu.

Kedua, pers yang memiliki nurani keimamatan bukan pertama-tama diukur dari besarnya kuota pemberitaan aktivitas religius, apalagi jika isi pemberitaannya cenderung polimis dan apologetis. Pers dengan kepekaan nurani imamat apalagi dalam konteks kebhinekaan seperti Indonesia adalah sebuah aktivitas jurnalistik yang panorama pemberitaannya menyejukkan kepelbagaian keyakinan religius, yang kritik-kritik sosialnya disampaikan secara santun dan konstruktif dan konten liputannya mengajak penerima kritik untuk masuk ke dalam nurani imannya untuk sendiri mengambil keputusan pertobatan.

Contoh paling aktual untuk itu dalam Alkitab sebagai sebuah produk jurnalistik adalah yang kritik yang dibuat Natan kepada raja Daud usai seksual affair (perselingkuhan seksual) dan war deceptive-strateby (strategi permainan perang-perangan) yang dia rancang dengan Yoab untuk mengakhiri hidup Uria, istri Batseba. Karya jurnalistik seperti ini akan membuat akan membuat pelakunya tetap dibutuhkan oleh pihak yang dikritik.  Tanpa mengabaikan kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang masih perlu dibenani, dalam pantauan saya di NTT jurnalisme POS KUPANG masih tetap berada pada koridor ini. Atas pertimbangan tadi saya secara sadar memilih POS KUPANG untuk opini-opini saya.

Media Yang Penuh Ragi Tuhan

Pers yang memberi perhatian pada nurani keimamatan dalam geliat jurnalismenya akan selalu dibutuhkan, juga oleh kelompok yang sering jadi sasaran kritik.  Saya ingin mengangkat sebuah kisah dari perbendaharaan kesaksian iman saya, Alkitab untuk memperlihatkan ciri dari pers yang bernurani tadi. Kisah itu berhubungan dengan kematian Absalom, anak kesayangan Daud, raja Israel yang disegani (II Sam. 18:19 dst).

Setelah mayat Absalom ditemukan tergantung di pohon, Yoab meniup sangkala sehingga pasukannya berhenti mengejar pasukan Absalom yang berserak tanpa pimpinan. Berita kematian Absalom perlu disampaikan kepada Daud di tempat pelariannya. Ahimaas bin Zadok menawarkan diri kepada Yoas. "Biarlah aku berlari menyampaikan kabar yang baik itu kepada raja, bahwa TUHAN telah memberi keadilan kepadanya dengan melepaskan dia dari tangan musuhnya."

Yoab menolak permintaan Ahimaas karena ia tahu bahwa berita itu akan melukai hati raja, yang bisa berakibat negatif bagi sang pembawa berita. Dari kasus sebelumnya, yakni Daud menyuruh memenggal kepala orang Amalek yang menyampaikan kepadanya berita tentang kematian Saul, Yoab menduga bahwa Daud akan melakukan hal yang sama bagi orang yang membawa kabar kematian Absalom. Itu sebabnya Yoab menjawab Ahimaas: "Pada hari ini bukan engkau yang menjadi pembawa kabar, pada hari lain boleh engkau yang menyampaikan kabar, tetapi pada hari ini engkau tidak akan menyampaikan kabar karena anak raja sudah mati."

Yoab lalu memerintahkan seorang lain, seorang Etiopia untuk berlari kepada. Setelah orang Etiopia itu pergi, Ahimaas sekali lagi berkata kepada Yoas untuk mengijinkan dia menyusul orang Etiopia itu, apapun juga resikonya. Sekali lagi Yoas mengingatkan Ahimaas akan harga yang harus dia bayar. Tetapi Ahimaas siap membayar harga itu. Ia berkata kepada Yoab: "Apa pun yang terjadi, aku mau berlari pergi."

Singkat cerita Ahimaas mendapat ijin dari Yoab. Dia memilih route yang lebih singkat sehingga lebih dahulu sampai ketempat raja. Waktu ditanyai raja ia  memberikan jawaban berikut: "Aku melihat keributan yang besar, ketika Yoab menyuruh pergi hamba raja, hambamu ini, tetapi aku tidak tahu apa itu." Ahimaas menghadirkan bagi raja sebuah data riil di lapangan agar raja menyimpulkan sendiri pesannya. Wartawan kedua, orang Etiopia itu segera menyusul. Ia mengemas beritanya dalam kalimat berikut: "Tuanku raja mendapat kabar yang baik, sebab TUHAN telah memberi keadilan kepadamu pada hari ini dengan melepaskan tuanku dari tangan semua orang yang bangkit menentang tuanku."

Waktu raja mendesak dia dengan bertanya to the point mengenai nasib Absalom dia kembali memberikan jawaban: "Biarlah seperti orang muda itu musuh tuanku raja dan semua orang yang bangkit menentang tuanku untuk berbuat jahat."
Dua orang wartawan yang diutus Yoab menyampaikan kabar buruk kepada raja diperlakukan dengan hormat, tidak seperti orang Amalek dalam kisah kematian Saul yang disuruh raja untuk kepalanya dipocong. Ini karena kedua wartawan tadi memoles berita itu dengan memperhatikan nurani keimamatan. Berita buruk disampaikan secara santun. Raja dibiarkan membuat kesimpulan sendiri. Untuk itu mereka menyodorkan data-data lapangan yang berkualitas, yang tidak dilebih-lebihkan, tidak juga dibelokkan untuk kepentingan pembawa berita. Inilah mediawan yang penuh dengan ragi Tuhan. Jurnalisme yang mereka hasilkan memproduksi perdamaian.

Media yang penuh dengan ragi Tuhan, menurut D.A. Peransi memiliki beberapa kualitas: 1. Ia menciptakan komunitas yang setara, tidak melihat penerima pesan sebagai mangsa. Dalam rangka membangun kesetaraan ia mengembangkan manusia dan kebudayaan masyarakat. 2. Ia mendorong tumbuhnya hidup bermasyarakat yang manusiawi, bukan masa yang sentimental sehingga mudah digiring oleh kekuatan tertentu. Ia mengajar orang berpikir bijak dalam melihat keterbatasan-keterbatasannya tetapi juga kemungkinan-kemungkinan yang diberikan Tuhan kepadanya. 3. Watak profetis yang melekat pada media yang beragi adalah profetis-alternatif. Artinya, dia tidak hanya mengajukan kritik tetapi juga menawarkan solusi. 4. Akhir, media yang penuh dengan ragi Tuhan dibidani oleh mediawan yang telinga, mata dan hatinya terbuka untuk Sabda Allah. 

Penutup
POS KUPANG memasuki usia ke-22. Kehadirannya di NTT dalam rentang waktu 22 tahun sebagaimana yang dialami banyak orang ternyata mampu memberikan suara kepada kaum tak bersuara. Ia juga sudah menunjukkan diri sebagai media yang membuat orang-orang yang berkuasa tidak bisa sesukanya menindas dan menginjak mereka yang lemah dan tanpa atribut kuasa.

John Dewey seorang filsuf Amerika menegaskan bahwa fungsi ritual atau upacara-upacara yang terjadi dalam hidup adalah untuk menjadikan nilai-nilai ideal yang mau kita kejar tetap menjadi fungsional dalam tindakan, agar nilai-nilai tetap ideal dalam semangat. Apa yang tidak dapat dilaksanakan di dalam praktek kehidupan, kita laksanakan di dalam ritual supaya kita tidak mati idealisme.


Peringatan hari lahir yang dilakukan POS KUPANG adalah untuk mengingatkan dirinya bahwa betapapun dalam praktek ideal-ideal tadi belum sepenuhnya bisa diwujudkan, bahkan dalam banyak hal gagal diwujudkan, tetapi melalui peringatan itu tekad para kru POS KUPANG dibangunkan, dikobarkan semangat untuk tetap memelihara nilai ideal itu.

Salah satu penyakit yang paling sering menyerang insan pers dan mematikan idealisme para pekerja keselamatan adalah masalah survive strategy.  Karena ingin survive pers berkolaborasi dengan pihak yang berkuasa atau pemilik modal. Akibatnya fungsi kontrol, edukasi, penyalur aspirasi rakyat dan pengawal demokrasi runtuh. Pers berubah jadi loud speaker penguasa atau memilik modal. Dengan berbuat begitu, pers sesungguhnya tengah melakukan onani atau masturbasi.

POS KUPANG  akan tetap survive di NTT dan menjadi surat kabar kesayangan masyarakat apabila ia menjalankan keempat fungsi pers secara konsisten sambil tetap menjaga keseimbangan pemberitaan dan investigasi sebagaimana yang disinyalir pak Yulius Siranamual. Jelasnya POS KUPANG harus terus menampilkan diri sebagai media yang penuh dengan ragi Tuhan. Inilah tekad yang harus dijaga tetap membara dalam hati para kru POS KUPANG setelah aktivitas remember, recollection dan  commemoration di HUT ke-22 ini. DIRGAHAYU POS KUPANG. Teruslah berkarya untuk memberi rasa nyaman kepada orang yang berkesusahan dan menyusahkan orang yang hidupnya nyaman. *

Sumber: Pos Kupang 1 Desember 2014 halaman 32 (edisi ulang tahun ke-22 terbit 60 halaman)

Mengkaji Isi Media Pos Kupang

ilustrasi
Oleh Dr. Edu Dosi, SVD, M.Si

Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unwira Kupang   

POS KUPANG.COM -
Pada tanggal 1 Desember 2014 PK (Pos Kupang) memasuki umur ke-22. Dalam rentang umur 22 tahun tentu ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap PK. Saya ingin membahas faktor-faktor yang mempengaruhi isi media PK. Pada tahun 2010, saya pernah mengkaji pemberitaan PK tentang pemilu legislatif 2014. Kajian ini menggunakan kerangka pemikiran Pamela J Shoemaker and Stephen D Reese, 1996, Mediating the Message: Theories of Influence on Media. Saya yakin kajian ini masih mempunyai relevansi yang signifikan dengan keberadaan PK pada umur ke-22 tahun ini.

Dalam memproduksi isinya, media PK dipengaruhi oleh macam-macam faktor, yaitu faktor internal, dari dalam institusi media PK sendiri  dan faktor eksternal, di luar institusi media PK. Shoemaker dan Reese (1996:64) membagi faktor-faktor tesrebut  dalam lima level, yaitu  individual, media routines, organizational, extramedia, dan ideological.  

Individual Level    
Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media PK. Level ini melihat pengaruh aspek-aspek personal  dari pengelola media PK mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.

Dalam level ini, terdapat pengaruh potensial yang berasal dari interaksi faktor intrinsik pekerja media PK, yaitu:  karakteristik dari pekerja media PK (seperti gender, etnik, dan orientasi politik) dan latar belakang pribadi (status sosial ekonomi), kemudian mempengaruhi kepercayaan, perilaku dan nilai pribadi yang dianut oleh pekerja media PK tersebut juga mempengaruhi latar belakang profesionalnya (pendidikan).  Latar belakang profesional ini kemudian mempengaruhi orientasi etika profesionalisme yang dimiliki oleh pekerja media PK.

Ditemukan bahwa pekerja media PK cenderung bersikap netral. Seragam melalui standarisasi profesional.  PK tidak cenderung memihak pada satu kekuatan. PK berusaha menjadi pengawal kalau ada kecenderungan keberpihakan. Karena kalau media cenderung berpihak kepada satu kelompok, maka media tinggal tunggu waktu saja untuk mati, ternyata PK masih hidup hingga saat ini. Sejarah membuktikan bahwa pada zaman orba media yang berpihak pada partai tertentu duluan ambruk sebelum pemiliknya ambruk.

Korporat PK adalah KKG (Kelompok Kompas Gramedia) memiliki sikap netral, maka PK pun netral. Juga nurani PK  mengatakan  netral sesuai dengan  misi Pos Kupang.

Pemimpin Redaksi Pos Kupang pada saat itu Dion Putra (12 Januari, 2009) menyatakan bahwa pekerja media Pos Kupang tidak terlibat dengan partai tertentu sehingga dipengaruhi oleh partai tertentu.

"Ada dua orang yang jadi caleg dan mereka harus keluar dari Pos Kupang. Mereka harus memilih. Antara Pos Kupang dan caleg. Pada waktu itu kami juga ambil jalan lain, ada wartawan kita yang kita beri kesempatan untuk menjadi panwaslu karena pada waktu itu di daerah-daerah belum ada pers. Itu pun kami membuat aturan lagi agar mereka terhindar dari konflik interes sebagai anggota panwaslu dan seorang wartawan. Kerja dia 50% saja sebagai wartawan. Walaupun itu utusan dari lembaga".

Lebih lanjut dikatakannya tentang, "apakah ada sedikit konflik interes dalam pemberitaan?" "Saya berupaya menjaga karena netral. Saya justru kecewa dengan PDIP, dari partai wong cilik, namun kemudian berkuasa menjadi otoriter. Memang ada banyak godaan dan sangat tinggi jadi inilah, jadi itulah. Tetapi saya katakan tidak. Kalau simpati dengan partai ini itu normallah sebagai manusia tetapi untuk saya terikat tidak. Karena saya tahu aturan profesinalisme kami di KKG (Kelompok Kompas Gramedia) itu jelas. Dan dalam pemberitaan saya berupaya harus memberikan contoh kepada semua wartawan agar obyektif".

Media Routine
Ditemukan bahwa kegiatan rutinitas memiliki ketergantungan pada sumber elit dan perspektif elit. Kegiatan rutinitas media massa cetal lokal NTT, termasuk PK, mempunyai kesamaan proses. Laporan dari reporter disampaikan kepada masing-masing kepala desk. Para redaktur mengadakan rapat membahas laporan yang masuk guna mempertimbangkan laporan  mana yang layak dan tidak layak dan jika layak ditempatkan pada halaman berapa. Setelah diputuskan berita mana yang akan dimuat, maka naskah laporan dari reporter  tersebut diserahkan kepada redaktur pelaksana atau redaktur eksekutif untuk disunting oleh para redaktur penyunting. Setelah dilakukan penyuntingan, maka dilakukan proses teknis menuju percetakan.


Dalam menyajikan berita tentang pencalonan legislatif lokal NTT tahun 2004 Pos Kupang, demikian juga beberapa koran daerah NTT menyadari adanya faktor subjektivitas, ada kesengajaan memberikan perspektif tertentu, latar belakang  dan aspek-aspek yang terkait  untuk memberikan orientasi kepada para pembaca, yaitu memberi manfaat kepada pembaca sesuai dengan visi dan misi surat kabarnya masing-masing, kompetisi dalam merebut dan menjaga pasar.

Objektivitas, netralitas terganggu oleh bayaran iklan dari caleg. Wartawan punya frame sendiri terhadap caleg, pertimbangan, sudut pandang sendiri, kedekatan dengan caleg dan partai. Wajah media  banyak didominasi caleg dan partai yang berduit (Golkar). Signifikan peningkatan  oplah dan iklan dan keuntungan 20%.

Organizational Level
Pertimbangan-pertimbangan ekonomi dalam produksi isi media dapat membatasi pencarian berita dan memiliki pengaruh  tidak langsung pada kepentingan editorial dan kemudian dapat menjadi sesuatu yang mendikte isi berita (Shoemaker dan Reese, 1996:151).

Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Dion Putra (12 Januari, 2009) mengemukakan tentang target hubungan antara kerja redaksi dan pencapaian target jumlah oplah dalam peliputan pemilu tahun 2004: "Kami menawarkan kepada semua partai dengan proposal-proposal kami bahwa Anda sekalian dapat menggunakan halaman-halaman tertentu dengan bayaran sekian. Dengan demikian mereka sekalian tahu. Kenapa partai tertentu selalu di halaman 1 karena mereka tahu ternyata partai itu memiliki duit untuk pasang di sana. Dan kami beritahu bahwa itu advertorial. Tetapi berkait dengan berita pemilu bahkan kami menjadwalkan, kampanye di setiap partai itu mendapatkan tempat yang sama secara bergilir. Karena ada pedoman dan formnya. Misalnya, partai A kemarin di halaman 1 dengan gambar dan hari ini dia harus masuk ke halaman dalam atau gabungkan dengan kalimat sedikit. Berita adalah berita. Iklan adalah iklan. Iklan, Anda punya uang Anda mendapat tempat yang baik, tetapi kalau tidak ya tidak. Tetapi berita semuanya dapat tempat yang sama. Iklan, hukum ekonomi berlaku. Berita hukum profesional yang berlaku. Penjadwalan berita itu kami lakukan sampai sekarang di pilkada dan dilanjutkan di pemilu 2009. Kami berusaha untuk memberi ruang yang sama untuk tidak dikomplain oleh publik. Ada kecenderungan (oplag) naik seperti itu tetapi kemudian turun kembali. Pada waktu pilpres itu naik sampai 20% untuk cetak dan itu lebih banyak eceran. Karena perilaku pembeli kita itu bersifat eceran, dia ada duit dia beli. Dia tidak mau terikat. Jadi kami mencoba memainkan emosi mereka sewaktu pemilu supaya mereka beli eceran".

Extra Media Level

Ada pasar yang luas untuk teks bingkai pencalonan anggota legislatif lokal NTT. Dari aspek demografis tidak terlihat ada indikasi yang membedakan pola konsumsi para pembaca. Pos Kupang sebagai surat kabar bisnis dibaca oleh pembaca yang heterogen menjadi rujukan  atas nilai-nilai jurnalistik dari suatu liputan. Pembaca Pos Kupang lebih menyukai liputan peristiwa mendalam sehingga dapat mengetahui  latar belakang peristiwa. Pembaca Pos Kupang lebih menyukai berita-berita tentang korupsi dan berita-berita tentang perjuangan menegakkan keadilan.

Ideological Level

Terdapat pengiklan dan peran pasar (revenue source), mereka memiliki peran yang besar seperti yang dikemukakan oleh Altschull, "The pers is the piper and the tune the piper plays is composed by those who pay the piper" (Shoemaker dan Reese, 1996:190).

Dalam penyajian isinya media mempertimbangkan realitas pasar, memperoleh kapital material, kapital politik, kapital agama. Pos Kupang sebagai surat kabar bisnis lebih mementingkan unsur komersial. Flores Pos dari lingkungan bisnis Gereja Katolik (SVD), Flores Pos isinya merefleksikan bisnis Gereja Katolik, komunitas agama Katolik, membawa ideologi yang bersumber dari agama Katolik. Timor Express sebagai surat kabar bisnis, komunitas Protestan  lebih terbuka, lebih mementingkan unsur komersial dan komunitas Protestan (Tony Kleden cs., 2007:1-12).

Dalam diskursus media massa cetak lokal NTT, korelasi isi media dan kepentingan ideologi orang atau sumber daya yang membiayai pers khusus, yang menonjol terjadi adalah: Media massa cetak lokal NTT  merefleksikan ideologi kelompok pemilik media yaitu kelompok Kompas, Jawa Pos, Gereja Katolik/SVD. Media massa cetak lokal NTT, termasuk PK, merefleksikan ideologi kelompok pengiklan seperti  partai politik Golkar, PDI, juga pemberi dana, seperti gereja, pemerintah. *
 
Sumber: Pos Kupang 1 Desember 2014 halaman 1 (edisi khusus HUT ke-22 terbit 60 halaman)

Mengawal Program Jokowi-JK

Jokowi dan Ahok (ist)
PEMERINTAHAN baru di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi)  dan Wakil Presiden Jusuf Kalla langsung menggulirkan beberapa program pro rakyat yang oleh beberapa kalangan dilukiskan sebagai Tiga Kartu Sakti Jokowi.

Pertama, Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera. Itu merupakan. bantuan tunai dalam bentuk simpanan bagi masyarakat kurang mampu melalui layanan keuangan digital (LKD) dan simpanan giro pos yang diakses menggunakan kartu keluarga sejahtera (KKS). Kartu HP (sim card) untuk layanan keuangan digital.

Kedua, Kartu Indonesia Pintar (KIP). Kartu ini sebagai penanda dan digunakan untuk mengakses keberlanjutan pendidikan sampai jenjang SMA/SMK/MA dan memperoleh bantuan tunai untuk kebutuhan personal pendidikan bagi keluarga kurang mampu. Ketiga, Kartu Indonesia Sehat yakni pemberian jaminan kesehatan melalui BPJS kesehatan bagi masyarakat kurang mampu.

Untuk kartu yang pertama, keluarga  miskin di Indonesia, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT) mendapat uang tunai  sebesar Rp 200 ribu per bulan. Di NTT sebanyak  420 ribu keluarga  miskin  telah terdata untuk mendapat program ini.

Pemerintah meyakinkan bahwa program ini merupakan perbaikan dari mekanisme pemberian bantuan tunai dalam bentuk bantuan langsung masyarakat (BLM) sebagai bagian dari kompensasi  penyesuaian kenaikan  harga bahan bakar minyak (BBM).

Kelompok masyarakat yang menjadi target program,  pemerintah menggunakan basis data terpadu hasil pendataan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011  yang telah dilakukan pemutakhiran. Pemerintahan Jokowi-JK menargetkan program ini akan tuntas  Desember tahun 2015.

Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, program KIP, KKS, dan KIS  menggunakan dana sebesar Rp 6,4 triliun yang merupakan dana bantuan sosial (bansos). "KIS tak hanya menyasar masyarakat miskin, tetapi juga golongan rentan miskin. Menurut perkiraan, kartu ini akan dibagikan kepada 88,1 juta orang, lebih banyak dari jumlah warga yang terdaftar sebagai peserta JKN yang hanya  86,4 juta orang. Setiap pemegang KIS akan ditanggung pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Peserta KIS juga bakal dikenakan premi sebesar Rp 19.225 per orang," kata Sugihartatmo, Sekretaris Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Kita tentu saja memberi apresiasi kepada pemerintahan Jokowi-JK yang bergerak cepat merealisasikan program-program tersebut. Kelompok masyarakat kurang mampu memang patut segera dibantu agar mereka tidak semakin terpuruk kondisinya pasca pengumuman pemerintah menaikkan harga BBM medio bulan November 2014 ini. Kenaikan harga BBM niscaya mendongkrak kenaikan harga sembako serta kebutuhan  lainnya. Dengan demikian inflasi sulit dihindari dan daya beli masyarakat pun merosot tajam.

Kita mengharapkan program pemerintah tersebut juga tepat sasaran dan jauh dari penyimpangan. Pengalaman menunjukkan masih ada keluarga miskin yang luput dari sasaran program BLM. Malah justru keluarga mampu yang  mendapat bantuan. Di tingkat bawah selalu ada saja peluang melakukan sesuatu tak sesuai peruntukan atau melawan ketentuan yang sudah dipatok bersama.

Kisah bantuan sosial (bansos) selama ini  pun tak sepi dari kasus hukum. Semoga tiga kartu sakti yang kini digulirkan tidak menghadirkan para pesakitan baru yang nanti menghuni hotel prodeo. Maka kontrol masyarakat serta pengawasan wakil rakyat sangat penting agar tujuan mulia program pro rakyat dari pemerintahan Jokowi-JK terimplementasikan dengan benar di masyarakat. Semoga. (*)

Sumber: Pos Kupang 24 November 2014 hal 4

Sejarah Lahirnya Paroki Simon Petrus Tarus

Sejarah lahirnya Paroki Simon Petrus, merupakan peristiwa dan dinamika iman yang luar biasa. Berikut sejarah lahirnya gereja ini yang dirangkum dari buku tentang Sejarah Berdirinya Stasi Simon Petrus, karangan Marianus Kleden.

STASI Santo Simon Petrus Tarus dimulai tahun 1948 ketika beberapa orang Katolik berkumpul untuk berdoa dari rumah ke rumah (bdk.Kis.2:42). Mereka adalah Petrus Pehang, Suban Beribe, Yohanis  Melo, Bernardus Hipir, Jakobus Klau, Josef Klau, Alex Maulelo, Petrus Herin, Pius Kolin, Yosef Beda Baran, Stanis Lanang, Petrus Lanang yang dikenal dengan Pe'u Gong, Petrus Leway, Lorens Mitang, Yohanes Beribe, Simon Meluk, Agus Pati, Paulus Longo, Petrus Funan, Niko Rianghepat, Martinus Lonek, Paulus Longo, Lamber Nahak, Aloysius Djadjo, Willem Teti, Yos Agamite, Petrus Mau, Philipus Pali, Petrus Bolang, Thomas Tego Hayon, Philipus Padak, Andreas Dendo dan Simon Klau.

Andreas Dendo yang disebut sebelum Simon Klau adalah seorang polisi asal Sumba yang tinggal di sebuah perkampungan kecil di Kilometer 10 Jalan Timor Raya. Karena jarak Lasiana-Tarus cukup jauh, disepakati bahwa Andreas Dendo membentuk persekutuan doanya sendiri di Lasiana. Apalagi karena adiknya Dominikus Dendo bisa memimpin doa, membaca Alkitab dan memberikan renungan. Sebuah areal yang cukup luas di sekitar rumahnya kemudian dibebaskan untuk pembangunan sebuah kapela yang mengabadikan nama perintis: Kapela Santo Andreas Lasiana. Kita dapat mengerti sekarang mengapa bentangan wilayah dari Km 9 hingga Km 10 dipenuhi dengan warga Katolik asal Pulau Sumba.

Lahirnya persekutuan doa di ujung barat tahun 1950-an yang kemudian berkembang menjadi Stasi Santo Andreas ternyata merupakan sebuah peristiwa antisipatoris dari lahirnya Stasi Maria dari Ibu Anjelina di ujung Timur tahun 2000-an. Stasi Maria dari Ibu Anjelina sebelumnya merupakan Kelompok V yang kemudian berubah nama menjadi KUB Ave Maria. Untuk mengenang sejarah, nama "KUB Ave Maria" tetap dipertahankan untuk salah satu KUB di seputaran gedung gereja dan gua Maria di Stasi yang baru ini.

Warga jemaat awal cikal bakal Stasi Tarus datang dari sembilan rumah tangga yang tersebar dari Lasiana hingga Noelbaki, yang bentangan wilayahnya mencapai 5 kilometer. Angka 'sembilan' inilah yang kadang-kadang menimbulkan salah kaprah bahwa jemaat perdana Tarus terdiri atas sembilan orang atau sembilan KK. Bukan sembilan orang, bukan juga sembilan kepala keluarga melainkan sembilan rumah tangga. Waktu itu paham dan praktik keluarga luas masih jamak dilakukan sehingga dalam satu rumah tangga bisa terdapat beberapa KK.

Orang-orang yang disebutkan ini bukan datang serempak tetapi datang dalam kurun waktu 1950-an sampai 1970-an. Sebagai pengurus gereja Simon Klau ditunjuk menjadi Guru Agama, Paulus Longo sebagai koster dan Petrus Pehang menjadi Ketua Umat.

Keberadaan umat Katolik yang terikat dalam persekutuan kasih dan doa ini tidak luput dari pengamatan dan perhatian hirarki gereja. Namun hingga tahun 1940-an pelayanan rohani bagi umat Katolik di wilayah TTS dan Kupang (termasuk Tarus) tidak selamanya mudah dilakukan karena berdasarkan perjanjian yang dilakukan antara Pemerintah Belanda dan Portugis, wilayah Belu dan TTU masuk wilayah pelayanan misi Katolik, sementara kawasan TTS, Kupang, Rote, Sabu dan Alor menjadi wilayah karya Zending Protestan.

Tetapi sejarah berubah, diplomasi berjalan dan di atas segalanya Tuhan berkarya.  Memang, tahun 1927 Timor menjadi Dekenat dengan Pater Schroder sebagai Rektor yang menetap di Halilulik dan dalam tahun yang sama P. Schroder diangkat menjadi Penilik Sekolah untuk seluruh Pulau Timor. Ini berarti akses ke kawasan TTS dan Kupang mulai terbuka, tetapi suasana belum kondusif untuk pelayanan rohani bagi umat Katolik. Tahun 1936 P. Jacobus Passers, SVD sempat merayakan misa di Nunhila, tetapi beliau dilempari batu oleh pihak-pihak yang tidak suka. Suasana yang tidak kondusif ini membuat peran awam menjadi amat menonjol.

 Salah seorang di antaranya yang cukup dikenal luas untuk kawasan Kupang adalah Bapak Piet Parera. Tidak mengherankan kalau dalam komunitas yang lebih kecil selalu ada tokoh awam yang menonjol, seperti misalnya Petrus Pehang atau Simon Klau untuk komunitas Tarus.

Tanggal 1 Desember 1938 berdiri paroki sulung untuk kawasan Kupang yaitu Paroki Bonipoi yang kemudian berganti nama menjadi Paroki Kristus Raja Kupang. Sesudah itu berturut-turut berdiri banyak paroki baru di wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah eksklusif Zending. Tahun 1949 berdiri Paroki Gembala Baik Kalabahi, Alor. Empat tahun kemudian, tahun 1953, diresmikan berdirinya paroki perdana di TTS, Paroki St. Maria Dolorosa SoE dengan P. Vincent Lechovic (atau lebih dikenal sebagai P. Vinsen Leko) sebagai pastor paroki pertama. Tahun 1962 lahir Paroki Niki-Niki dengan P.C.W. Kooy SVD sebagai pastor perdana. Tahun 1967 berdiri Paroki Put'ain yang digembalakan oleh P. Erich Breunig SVD, dan tahun berikutnya (1968) dibuka paroki baru pemekaran dari Paroki Kritus Raja, yaitu Paroki St. Yoseph Naikoten dengan pastor pertama P. C.W.Nellisen SVD. 
Uskup Agung Kupang Mgr. Petrus Turang, Pr

Selanjutnya tahun 1969 merupakan tahun yang penting bagi Stasi Santo Simon Petrus Tarus karena dalam tahun ini diresmikan berdirinya Paroki Santo Yoseph Pekerja Penfui (di mana komunitas Tarus berada) dengan P. Konijn SVD sebagai pastor paroki pertama. Suasana sebelum berdirinya Paroki Penfui tidak jauh berbeda dari apa yang terjadi di Tarus. Lebih dari dua dasawarsa sebelum berdirinya Paroki, persekutuan doa dan kasih sudah berlangsung di antara orang-orang Katolik asal Flores Timur yang datang sejak tahun 1946 sebagai tukang atau buruh yang mengerjakan Bandara El Tari.

Pater Zenon Jual Mobil Jeep, Umat Jual Babi

PATER Konijn yang sudah berpengalaman sebagai misionaris perintis di Rote dan Sabu selalu melakukan kunjungan ke komunitas-komunitas kecil yang menjadi cikal-bakal kapela yang kemudian meningkat menjadi stasi. Maka di sekitar tahun 70-an Pater Konijn paling kurang sebulan sekali menyempatkan diri mengunjungi umat Katolik di kawasan Tarus dan merayakan misa di sebuah kapela di mana sekarang berdiri Rumah Makan Mamami.

Tanah tempat dibangunnya gereja pertama itu dihibahkan oleh Petrus Lanang. Biasanya sesudah misa Pater makan di rumah Bapa Simon Klau, sehingga Mama Orpa Klau, istri Bapa Simon Klau tidak bisa menghadiri misa karena menyiapkan konsumsi Pastor. Pater Konijn kemudian digantikan oleh Pater Zenon, SVD. Di masa Pater Zenon inilah, gagasan pendirian sebuah gedung gereja mulai dikemukakan, didiskusikan dan direalisasikan dalam kepanitiaan.

Sebagai Pastor Paroki, Pater Zenon juga mengatur agar perayaan ekaristi dapat dilakukan setiap minggu. Maka Pater Dan Siga, SVD, Pater Gabriel Atok, SVD, Pater Theo Tidja Balela, SVD, Pater Hendrik Molan Tokan, SVD, Pater Willem Laga, SVD bahkan Mgr. Gregorius Manteiro sendiri secara bergantian datang melayani misa di Tarus. Sesudah Pater Zenon, Rm. Arnold Bria dapat dipandang sebagai 'kapelan tetap' untuk jangka waktu yang cukup panjang hingga digantikan oleh Pater Herman Embuiru, SVD yang juga mengabdi untuk jangka waktu yang cukup panjang. Sesudah Pater Herman, model 'kapelan tetap' dipandang tidak bagus untuk manajemen keparokian, sehingga pastor yang bertugas di stasi dirotasi secara mingguan atau paling lama dua mingguan.


Sampai tahun 1977, Bapa Simon Klau merasa dirinya sudah terlalu tua, sehingga diadakanlah beberapa kali pertemuan secara bergantian di rumah Bapak Petrus Pehang dan Bapak Simon Klau untuk membahas perlu dibentuknya kepengurusan baru umat Katolik di wilayah Tarus hingga Noelbaki. Diputuskanlah melakukan Novena untuk meminta petunjuk Roh Kudus agar mereka dapat memilih orang yang tepat untuk menggantikan posisi Simon Klau sebagai guru agama.

Setelah Novena berakhir Bapa Simon Klau mendatangi Petrus Golok (lengkapnya Petrus Buga Una Golok)  dan menyampaikan kepadanya bahwa sesuai petunjuk Tuhan, Petrus Golok harus menggantikan dirinya menjadi guru agama. Tanggal 26 Desember 1977 dalam misa yang dipimpin oleh Pater Zenon, SVD, dilantiklah badan kepengurusan baru Kapela Tarus dengan susunan sebagai berikut. Ketua Umat: Yohanes Mello, Guru Agama: Petrus Golok, Wakil Guru Agama: Titus Akoit, Ketua Pembangunan: Lamber Nahak. Upacara pelantikan berlangsung di kapela yang berlokasi di SDK St. Yosef Noelbaki sekarang. Tanah ini dihibahkan oleh Hendrik Matara seorang pensiunan tentara dan Yoksan Matara sebagai ucapan terima kasih atas biaya pendidikan yang mereka terima dari seorang pastor.
                                  ***
KALAU nama Simon Klau tidak lagi muncul dalam kepengurusan baru umat Katolik di wilayah Tarus karena usia tua, maka tidak dimunculkannya nama Petrus Pehang dilatarbelakangi pertimbangan praktis belaka. Petrus Pehang ketika itu menjabat sebagai Kepala Desa Noelbaki yang seluruh waktu dan tenaganya tersita untuk berbagai urusan kemasyarakatan dan pemerintahan, sementara kepengurusan baru Kapela Tarus ini bertanggung jawab atas rencana pembangunan gereja yang membutuhkan komitmen total waktu dan tenaga.

 Demikian pula manajemen keuangan dalam kaitan dengan pembangunan juga perlu dilakukan dengan teliti dan cermat (atau transparan dan akuntabel menurut istilah sekarang) sementara dalam kepemimpinan Petrus Pehang hal ini belum dilakukan dengan cukup profesional. Hal ini sedikit menimbulkan ketersinggungan bahkan ketegangan di antara para pihak tetapi akhirnya masing-masing pihak menyadari bahwa inilah jalan terbaik demi pembangunan gereja.

Gereja Tarus mula-mula berlokasi di Rumah Makan Mamami yang sekarang, beberapa meter sebelah barat PDAM Tarus. Gedung gereja dan halaman gereja tidak begitu luas sehingga di antara umat terjadi pembicaraan untuk mencari lokasi yang baru yang lebih luas, tempat membangunan gedung gereja dengan daya tampung lebih besar. Umat waktu itu, menurut kesaksian Bapa Yohanes Mello, berjumlah 60 - 70 KK.

Dalam pada itu ada seorang Kristen Protestan bernama Titus Tuka mendengar informasi bahwa orang Katolik mencari sebidang tanah yang lebih luas untuk ditukarkan dengan tanah gereja yang kala itu sudah dimiliki. Kebetulan Titus Tuka juga menginginkan tanah milik gereja Katolik itu karena letaknya yang strategis. Dia mau menukarkannya dengan tanah miliknya yang lebih luas (yaitu tanah di mana dibangun gereja Stasi St. Simon Petrus Tarus yang sekarang) yang terbentang dari pinggir jalan Timor Raya sampai tangga pertama gereja lama.

Tahun 1978 dibentuklah panitia pembangunan dengan ketua Bapak Lamber Nahak. Pencarian dana dilakukan secara swadaya.  Petrus Mau bolehlah dibilang sebagai orang pertama yang memberi sumbangan dalam bentuk seekor babi. Babi miliknya 'dileis' dan dagingnya dijual oleh Bapa Petrus Golok. Dalam pada itu Pater Zenon menjual mobil jeepnya seharga Rp 3 juta. Selanjutnya pencarian dana terus dilakukan dengan cara 'meleis' hewan tetapi hasilnya tidak selamanya memuaskan. Ada pula pejabat pemerintah yang menolak memberi sumbangan dengan alasan-alasan yang tidak selamanya jelas. Umat dimintai sumbangan Rp 2.000 per KK, dengan cara mencicil hingga selesai, artinya waktunya tidak ditentukan. Jumlah ini kurang lebih setara dengan Rp 200.000 sekarang.

Ketika hendak dilakukan peletakan batu pertama, Pater Zenon berkeberatan dan mengusulkan, alangkah bagusnya kalau gereja dibangun di atas ketinggian. Dilakukanlah pendekatan kepada pemilik tanah, yaitu Soleman Matara dan Tobias Costa. Karena beberapa gadis dari marga Matara menikah dengan orang Katolik, kedua tokoh Protestan ini menghibahkan daerah berbukit untuk dibangun gereja Katolik. "Supaya saudara perempuan kami juga bisa mempunyai tempat ibadat yang pantas," begitu kurang lebih perasaan hati Bapa Soleman dan Tobias. Maka dibangunlah gereja di atas bukit, yang mengingatkan kita akan kata-kata Yesus, "Di atas bukit batu ini akan Kudirikan GerejaKu" (Mat.16:18). Masa kepemimpinan Yohanes Mello berakhir tahun 1981 dan digantikan oleh Ignas Suban Beribe untuk masa bakti 1981-1985.


Gunakan Konsep 'Bapa Ani' dan 'Mama Ani'
 

POLA ketua umat dirasakan tidak cocok lagi dengan perkembangan modern gereja sehingga dimulailah struktur baru kepengurusan gereja. Maka dibentuklah Dewan Pastoral Stasi Tarus dengan ketua yang pertama Bapak Lorens Mitang. Beliau dibantu oleh Lorens Ensy sebagai wakil ketua, Andreas Ila sebagai sekretaris dan John Lowo sebagai bendahara. Kepemimpinan Loreng Mitang berlangsung dari 1985 hingga 1988.

Dalam sebuah wawancara dengan beliau, salah satu kesan yang amat kuat ialah usaha beliau untuk menciptakan tali persaudaraan di antara warga jemaat dengan saling menjadi wali baptis atau wali nikah untuk anak-anak yang dibaptis atau pemuda-pemudi yang menerima sakramen perkawinan.

Orang Kupang menyebut dengan istilah 'Bapa Ani' dan 'Mama Ani'. Persaudaraan tidak didasarkan atas ikatan darah melainkan ikatan rohani. Lorens Mitang kemudian digantikan oleh Welem Tety (masa bakti 1988-1991) dengan susunan kepengurusan, Ketua DPS: Welem Tety, Wakil Ketua: Yan Muda Mite, Sekretaris: Andreas Ila, Bendahara: Magdalena Kova. Welem Tety kemudian digantikan oleh Sipri Djiling (1991-1994) dengan susunan kepengurusan, Ketua DPS: Sipri Djiling, Wakil Ketua: Yohanes Mello, Sekretaris: Petrus G Hayon, Bendahara: Magdalena Kova. Dalam masa kepemimpinan Sipri Djiling, pagar gereja dibangun, meskipun masih berwujud kawat berduri.

Andreas Ila yang dalam dua kepengurusan sebelumnya menjadi sekretaris kini tampil menggantikan Sipri Djiling. Dalam masa kepemimpinan Andreas Ila -- yang oleh umat disapa Pak Ande -- kepengurusan diperluas dan semangat kemandirian digalakkan. Pak Ande dibantu oleh Alfons Bunga Naen sebagai ketua I, Arnold Seme sebagai ketua II, Kristianus Manek sebagai sekretaris umum, Dasi Sura Rafel sebagai sekretaris I, Sergius Se sebagai sekretaris II dan Frans Jakatamu sebagai bendahara umum. Masa bakti Pak Ande 1994-1997. Dalam masa ini pagar gereja yang sudah dirintis oleh Sipri Djiling dalam bentuk rentangan kawat ditingkatkan mutunya menjadi tembok.

Andreas Ila kemudian digantikan oleh Alfons Bunga Naen (1997-2000) dengan struktur kepengurusan yang kurang lebih sama. Pak Alfons dibantu oleh ketua I yang kemudian menjadi ketua umum antarwaktu: Arnold Seme, sekretaris I: Dasi Sura Rafael, sekretaris II: Sergius Se, bendahara umum: Yoseph Belang. Arnold Seme bertindak sebagai ketua umum antarwaktu karena di pertengahan 1998, Pak Alfons melanjutkan studi ke jenjang strata 2 di Yogyakarta hingga meraih geral Magister Pendidikan.

                                                            ***
TAHUN 1998, ketika Gereja Tarus merayakan 50 tahun, gereja 'dibaptis' ulang dengan nama Stasi Santo Simon Petrus Tarus. Nama ini diusulkan oleh Pak Alfons Bunga Naen, ketua Dewan Stasi waktu itu. Pak Alfons sendiri adalah dosen fisika pada Unika Widya Mandira. Adalah sebuah koinsidensi yang menarik, bahwa Gereja Stasi Tarus mempunyai guru agama pertama bernama Simon dan ketua umat pertama bernama Petrus, serta guru agama kedua yang masih hidup sampai sekarang yang juga bernama Petrus. Nama Simon Petrus mengingatkan kita akan Santo Petrus yang di atas namanya dan tubuhnya dibangun Basilika Roma, gereja terbesar di dunia yang menjadi simbol Gereja Katolik universal.

Ada banyak orang yang telah menjadi pengurus DPS Simon Petrus Tarus. Jika ditulis tidak akan cukup halaman untuk membeberkan pengorbanan keringat dan air mata mereka. Ada yang masih hidup, ada yang sudah pergi.

Saat kepemimpinan Ande Illa sebagai Ketua DPS, gereja dibangun baru sama sekali dengan perencanaan yang jauh lebih matang. Yang membanggakan dari Kapela Tarus ini ialah bahwa bangunan ini dikerjakan dengan swadaya murni umat. Panitia pembangunan dibentuk dengan ketua Pak Gaspar Ga'a, dibantu Moses Bheo sebagai wakil, Sergius Se sebagai sekretaris dan Herman Taek sebagai bendahara. Keempat tokoh ini praktis selalu berada di gereja, entah pagi, entah sore, entah secara bersama, entah secara sendiri-sendiri untuk memantau jalannya pembangunan. Umat memberikan sumbangan dalam bentuk ucapan syukur. Sumbangan bagi pembangunan gereja diberi nama pernyataan syukur. Istilah ini diusulkan oleh Marianus Kleden. Menurut Marianus, ada begitu banyak berkat yang kita terima dari Tuhan, dan sebagai tanda ucapan syukur kita menyisihkan sebagian dari pemberian Tuhan itu untuk diserahkan lagi kepada Tuhan. (julianus akoit)

Sumber: Pos Kupang edisi 27, 28 dan 29 Oktober 2014 hal 9-15

Stasi Simon Petrus Tarus Jadi Paroki

ilustrasi
Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr, meresmikan Stasi Simon Petrus Tarus menjadi Paroki Simon Petrus Tarus, dalam misa syukur, Minggu (26/10/2014) pagi.

Stasi Simon Petrus Tarus sebelumnya bergabung dengan Paroki Santu Josep Pekerja Penfui. Uskup Agung Kupang juga mengangkat Romo Philips Pilick, Pr menjadi Pastor Paroki Simon Petrus Tarus untuk masa jabatan tiga tahun ke depan.
Dengan demikian, Paroki Simon Petrus Tarus menjadi paroki ke-29 di bawah naungan Keuskupan Agung Kupang (KAK). Paroki Simon Petrus Tarus memiliki jumlah umat sebanyak 5.137 orang dengan membawahi Stasi Santa Maria Angelina Noelbaki, dan tiga kapela.

"Saya minta paroki yang baru diresmikan ini menjadi paroki yang efektif dan produktif. Itu hanya tercapai jika ada persatuan, persaudaraan dan semangat cinta kasih atas dasar saling menghormati satu sama yang lain. Jangan ada yang merasa paling berjasa, saling menegur dalam semangat cinta kasih jika ada yang salah," pinta Mgr. Petrus Turang, Pr.

Berdirinya Paroki Simon Petrus Tarus, kata Uskup Agung Kupang, merupakan peristiwa iman luar biasa melalui proses dan dinamika iman yang melibatkan para pendahulu dan perintis.

"Dinamika iman itu lahir dari doa dan kerja yang keras dan terus-menerus. Gedung Gereja Paroki Simon Petrus Tarus yang sedang dibangun ini, belum rampung. Saya minta pastor paroki dan umat terus kerja dan berdoa. Kerja sedikit-sedikit juga tidak apa-apa asal dilakukan dengan tulus dan iklas. Teruslah berusaha meski dalam keterbatasan," kata Uskup Agung Kupang.

Empat  tokoh umat Katolik setempat, Siprianus Djiling, Anderias Illa, Yosep B Akoit dan Petrus Golok, mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Uskup Agung Kupang yang telah meresmikan Paroki Simon Petrus Tarus.

"Ini peristiwa iman luar biasa. Penyelenggaraan rahmat melalui para perintis gereja ini. Sumbangsih cinta kasih dan perhatian, kerja keras dalam semangat persatuan umat, maka gereja kecil ini menjadi besar dan kini sudah menjadi paroki," jelas Anderias Illa didukung Siprianus Djiling.

"Siapa menyangka gereja kecil ini kelak menjadi sebuah paroki. Ini mujizat Tuhan. Dan ini harus disyukuri penuh iman. Dan ini juga berarti Tuhan menuntut tanggung jawab kita untuk terus memelihara dan mengembangkan gereja ini dan mutu iman umatnya," kata Yosep B Akoit dan Petrus Golok, mantan guru agama tahun 1980-an.

Pantauan Pos Kupang, Gereja Paroki Santu Simon Petrus Tarus yang megah dibangun di atas sebuah bukit karang. Meski belum rampung, gedung gereja ini sudah digunakan umat untuk merayakan misa. Dalam acara peresmian menjadi paroki, ribuan umat hadir dan khusuk mengikuti misa syukur. (ade)
 
Sumber: Pos Kupang 27 Oktober 2014 halaman 9

Panas-panas Tahi Ayam

ANGGOTA Kabinet Kerja rupanya langsung tancap gas sebagaimana diinstruksikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasca pelantikan, para pembantu presiden tersebut beraksi sesuai bidang tugas dan tanggung jawab mereka di kementerian masing-masing. Seperti gaya Jokowi, para menteri Kabinet Kerja melakukan blusukan atau kunjungan kerja ke lapangan. Mereka bukan hanya mengatur dari balik meja. Umumnya mereka memilih sidak (inspeksi mendadak).

Dari sekian anggota kabinet yang melakukan sidak sepekan terakhir, langkah menarik diperlihatkan Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri. Menteri dari latar belakang profesional partai itu membuat heboh saat sidak ke tempat penampungan calon tenaga kerja Indonesia (TKI) di Gang Z, Jalan F, Kelurahan Asem Baris, Kecamatan Tebet Jakarta Selatan, Rabu (5/11/2014). Di gang tersebut terdapat dua rumah penampungan calon TKI.

Menaker Hanif Dhakiri sempat mengamuk dengan suara tinggi karena dihalang-halangi saat hendak masuk ke tempat penampungan calon TKI tersebut. Menaker pun tidak kehilangan akal. Dia melompat pagar tempat penampungan  dan berhasil menemui para calon TKI di sana.

Kondisi penampungan itu memang jauh dari standar Kementerian Tenaga Kerja sesuai Permen Nomor 7 Tahun 2005.  Para  calon TKW tidur berdesak-desakan di lantai. Bahkan ruang tamu pun dipakai untuk tidur karena keterbatasan ruang penampungan. Hanif Dhakiri  terkejut dan kesal melihat kondisi semacam ini. Dia berjanji menutup semua tempat penampungan calon TKI yang tidak memenuhi standar pemerintah.

Kita  memberi apresiasi positif  terhadap langkah Menaker Hanif Dhakiri. Sudah sepantasnya seorang menteri bertindak demikian. Melihat langsung kondisi lapangan, memperingatkan perusahaan pengerah tenaga kerja serta meneguhkan harapan bagi  para calon TKI yang diperlakukan kurang manusiawi. Melalui sidak seperti ini niscaya memberi efek 'warning' kepada manajemen perusahaan pengerah tenaga kerja agar bekerja benar  sesuai ketentuan. Jangan mengeksploitasi tenaga kerja yang adalah saudara kita sendiri sesama warga bangsa Indonesia. Sudah terlalu banyak anak bangsa ini yang diperlakukan secara tidak adil di tengah perjuangan mereka mendapatkan lapangan kerja demi menyambung hidup.

Kita  mengharapkan gebrakan Menaker yang membuat heboh dan diliput luas media massa tidak sekadar demi pencitraan pada awal masa tugas kabinet kerja pemerintahan Jokowi-JK. Bukan panas-panas tahi ayam. Masyarakat membutuhkan konsistensi pemerintah dalam mengelola masalah ketenagakerjaan yang lebih baik di negeri ini.

Pengelolaan yang lebih baik sangat dirindukan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu daerah di Tanah Air yang selalu mengirim TKI. Warta nestapa masih saja menghantui daerah ini terkait TKI ilegal,  penyiksaan bahkan kasus perdagangan manusia. Penegakan hukum pun begitu buram. Banyak nian pelaku yang bebas beraksi mengeksploitasi tenaga dan keringat saudaranya sendiri.
Semoga pemerintahan Jokowi-JK lebih peka dan bekerja lebih baik. *

Sumber: Pos Kupang 7 November 2014 hal 4

Takdir Sepak Bola Indonesia

 Takdir adalah sesuatu yang selalu ingin manusia capai. Semua orang, ketika masih muda, tahu takdir mereka. Pada titik kehidupan itu, segalanya jelas, segalanya mungkin. Mereka tidak takut bermimpi dan mendambakan segala yang mereka inginkan terwujud dalam hidup mereka.

Namun, dengan berlalunya waktu, ada daya misterius yang mulai meyakinkan manusia bahwa mustahil mereka bisa mewujudkan takdirnya. Daya itu adalah kekuatan-kekuatan yang kelihatannya negatif, tetapi sebenarnya menunjukkan cara kepada setiap manusia mewujudkan takdir tersebut.

Daya itu mempersiapkan roh dan kehendak manusia, sebab ada satu kebenaran mahabesar di planet ini. Siapapun dan apapun yang manusia lakukan, kalau mereka sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, itu adalah hasrat yang bersumber dari jiwa jagat raya. Itulah misi manusia di dunia ini.

Begitu petuah lelaki tua bernama Melkisedek kepada anak gembala asal Spanyol, Santiago, yang sedang mencari harta karun dalam novel The Alchemist karya Paulo Coelho. Novelis asal Brasil tersebut menuliskan "petuah Melkisedek" itu untuk siapa saja, termasuk juga kepada setiap manusia yang terlibat dalam dunia sepak bola.

Toh, sepak bola juga tidak bisa dilepaskan dari takdir, yang tidak bisa didikte oleh manusia. Setiap pesepak bola mempunyai mimpi meraih kemenangan. Namun, ingat, tidak ada yang bisa dipastikan dalam sepak bola. Orang boleh menjagokan tim nasional Brasil menjadi favorit juara, tetapi sudah banyak bukti bahwa seringkali justru malanglah nasib mereka jika mereka difavoritkan.

Dengan begitu, sepak bola ibarat menjadi rangkaian olahan permainan manusia yang seakan menggambarkan kehidupan di dunia yang tidak bisa ditebak. Memang akhirnya tetap akan ada takdir baik berbentuk kemenangan atau kekalahan. Akan tetapi, kedua hal tersebut mau tidak mau harus diterima dengan lega karena itulah hasil dari perlawanan, perjuangan, dan olahan manusia itu sendiri.

Indonesia
Berbicara soal takdir sepak bola, pada Minggu (12/10/2014) muncul pernyataan dari pelatih tim nasional Indonesia U-19, Indra Sjafri, sesudah Evan Dimas dan kawan-kawan dinilai gagal total dalam targetnya mencapai semifinal Piala Asia U-19 2014 Myanmar.

"Mereka (pemain timnas U-19) sudah berusaha, tetapi takdir di tangan Tuhan. Soal gol atau tidak, keberuntungan juga berperan di situ," kata Indra sesudah Skuad Garuda Jaya dikalahkan Australia 0-1. "Masyarakat tentu sangat arif menilai pertandingan ini. Memang ini sudah jalan dari Tuhan untuk kita."

Seusai pertandingan, seluruh pemain timnas U-19 tampak murung dan melangkah gontai di atas lapangan sembari tertunduk lesu. Kesedihan tidak bisa disembunyikan dari raut wajah mereka. Bahkan, Evan Dimas dan Muhammad Sahrul Kurniawan menangis tersedu-sedu sebelum akhirnya dihampiri oleh Indra Sjafri.

Indra memeluk mereka, sembari melontarkan semangat. Satu per satu Indra menghampiri anak asuhnya yang tergontai lemas di atas lapangan. "Saya berharap, para pemain jangan disalahkan. Kasihan mereka. Mereka sudah melakukan apa yang terbaik yang mereka punya. Ini bukan aib," kata Indra mengomentari perjuangan timnya.

Kekalahan itu membuat perjuangan Indonesia terhenti di Piala Asia. Ratusan juta masyarakat negeri ini kecewa. Pun halnya seluruh pemain serta ofisial timnas. Akan tetapi, sekali lagi, tidak logis jika pemain dan pelatih disalahkan atas kegagalan tersebut. Toh, ini bukan kali pertama Indonesia menuai kegagalan di kancah sepak bola internasional.

Nama timnas U-19 mencuat ketika mereka berhasil meraih gelar Piala AFF U-19 2013. Itu adalah trofi Asia Tenggara pertama bagi Indonesia semenjak torehan emas di SEA Games 1991. Memang, usia muda tidak bisa saklek dijadikan patokan prestasi. Akan tetapi, di tengah kerinduan panjang akan prestasi, tidak bisa disalahkan pula jika masyarakat Indonesia memupuk harapan tinggi dari perjuangan mereka.

Pertanyaan
Kegagalan timnas U-19 ini seakan kembali melontarkan pernyataan yang sudah muncul sejak puluhan tahun lalu, apa yang salah dengan sepak bola Indonesia? Semenjak emas terakhir di SEA Games 1991, kegagalan demi kegagalan terus terjadi. Belum ada bukti kegagalan itu dijadikan pelajaran berharga bagi para pengurus sepak bola di negeri ini.

Mengapa pertanggungjawaban harus dialamatkan kepada para pengurus PSSI? Jawabannya tentu karena prestasi dalam dunia olahraga apapun, tidak hanya sepak bola, adalah cerminan kinerja dari para pengurus federasinya. Dengan begitu, bisa jadi, salah satu faktor utama kegagalan itu adalah belum adanya sumber daya pengurus yang mampu membina para pesepak bola di negeri ini dengan niat baik dan benar.

Di Indonesia seringkali muncul satire seperti ini: "Masa iya, ada lebih dari 200 juta penduduk yang sebagian besar merupakan penggila bola, negeri ini tidak bisa membentuk timnas yang hebat?" Tidak perlu dulu kita bicara soal prestasi, tetapi sudah adakah proses yang benar untuk membentuk timnas yang memadai? Di sinilah muncul titik krusial krisis prestasi yang harus dipertanyakan kepada pengurus sepak bola Indonesia.

Dengan segala bakat melimpah manusia di nusantara, sudah pasti ada potensi besar bagi negara ini untuk berbicara di level dunia. Namun, ketika muncul secercah harapan, mulailah "penyakit lama" para pengurus sepak bola di negeri ini kumat, penyakit yang kerap membuat prestasi para pemain muda dijadikan komoditas politik untuk pamer kesuksesan atau bisa jadi pula mengeruk keuntungan.

Mau bukti? Tidak usah jauh-jauh melihat ulah mereka bertikai saat memperebutkan kekuasaan atau karut-marutnya kompetisi sepak bola Indonesia. Teranyar, tengoklah kondisi yang terjadi ketika timnas U-19 menuai kesuksesan mengangkat trofi Piala AFF 2013 atau kegemilangan permainan mereka saat mengalahkan Korea Selatan 3-2 di penyisihan Piala Asia U-19 2014.

Atas kesuksesan itu, di tengah euforia masyarakat Indonesia yang rindu akan prestasi sepak bola, PSSI mulai bereaksi. Mulai dari Tur Nusantara jilid I dan II hingga rangkaian turnamen-turnamen internasional dipersiapkan untuk dijadikan ajang uji coba. Namun, jika menilik standar persiapan uji coba level usia muda, melaksanakan pertandingan lebih dari 40 kali juga rasanya berlebihan.

Dan tampaknya cuma di Indonesia pula yang seluruh rangkaian laga uji coba para pemain timnas muda itu disiarkan langsung oleh televisi nasional. Padahal, cara seperti itu bisa kembali memunculkan pertanyaan, bukankah langkah tersebut justru menjadi keuntungan bagi calon lawan Indonesia karena mereka mudah mendapat rekaman video permainan Evan Dimas dan kawan-kawan?

Kompetisi
Kini, apapun apologi yang dikeluarkan PSSI, kembali, kegagalanlah menjadi yang menjadi bukti nyata hasil kinerja mereka. Sekarang, publik pun pantas kembali bertanya, selanjutnya bagaimana nasib Evan Dimas dan kawan-kawan? Dan jawabannya, bagi para penikmat sepak bola Indonesia bisa jadi mengerikan, karena mereka mau tidak mau harus meniti karier di kompetisi Indonesia.

Mengapa mengerikan? Jawabannya simpel saja: hingga saat ini sudah adakah bukti sistem kompetisi di Indonesia bisa menghasilkan pemain-pemain muda berkualitas yang bisa menghasilkan prestasi di level senior? Jika berkaca kepada para penggawa timnas U-19, jelas mereka merupakan kumpulan pemain yang sudah disatukan bersama-sama sejak berada di level U-16.

Lalu, bagaimana jika akhirnya para pemain timnas U-19 saat ini harus berpisah untuk ikut serta dalam kompetisi Indonesia? Bisakah hingga ke level senior mereka tetap menjaga kondisi dan mental bertanding sebagai seorang pemenang yang selalu memainkan sepak bola dengan riang gembira? Pertanyaan itu tentunya hanya bisa dijawab oleh para pengurus sepak bola yang bertugas menyelenggarakan kompetisi di negeri ini.

Toh, pelajaran yang dapat dipetik dari perjuangan timnas U-19 di Myanmar, salah satunya adalah manusia tidak bisa memastikan kemenangannya, justru pada saat mereka berada di puncak prestasinya. Dengan begitu, jelas bukan awal, melainkan hasil akhirlah yang menentukan segalanya dalam sepak bola. Legenda Perancis, Michel Platini pernah berkata, "Dalam sepak bola, siapa yang memberikan segalanya pada awalnya, mereka jarang memperoleh ganjaran setimpal pada akhirnya."

Jika sudah ada contoh negara penggila sepak bola yang telah menciptakan sistem kompetisi baik saja masih kerap menemui kegagalan, bagaimana dengan di negara yang sudah nyeleneh dari awal? Inilah yang terus menjadi pertanyaan membosankan mengenai keabsurdan serta karut-marutnya sistem kompetisi sepak bola Indonesia, yang timnas seniornya terakhir kali berprestasi di ajang internasional pada 23 tahun silam.

Dalam kasus seperti ini, wajar jika ada manusia berbicara mengenai sesuatu yang tidak berasal dari usaha, perhitungan, atau rasionalitasnya. Pun halnya, di tengah dunia modern yang membenci irasionalitas, tidak bisa pula manusia disalahkan jika ada yang beranggapan sepak bola harus mau mengakui kuasa keberuntungan yang melawan rasionalitas itu. Dan bisa jadi kuasa itulah yang dinamakan takdir sepak bola.

Namun, seperti yang dikatakan dalam The Alchemist, pada saat manusia menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya akan bersatu padu untuk membantu meraihnya. Para pemain di dalam timnas U-19 adalah salah satu bukti nyata bahwa Indonesia adalah gudangnya pesepak bola bertalenta. Pertanyaannya, siapakah yang bisa mewujudkan misi untuk menyelesaikan takdir dari anugerah tersebut? Itulah kewajiban dari kumpulan manusia yang menjelma sebagai pengurus sepak bola Indonesia.

Dengan kata lain, jika para pengurus itu punya ide dan melaksanakannya secara habis-habisan demi kebaikan untuk memajukan sepak bola Indonesia, alam semesta bakal bekerja sama membantu mereka memperolehnya. Sebaliknya bila tidak, tinggal tunggu saja, hasil akhir apa yang bakal terjadi terhadap dunia sepak bola di negeri ini.

"Setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi si pemula. Dan setiap pencarian diakhiri dengan ujian berat bagi si pemenang." -
The Alchemist, Paulo Coelho.

Sumber: Kompas.com

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes