Membangun Nusa Indah dari Kantor Sederhana

Penerbit Nusa Indah di Jl. El Tari Ende, Flores
SELAMA kurang lebih sebelas tahun (1959-1970) mengabdi di Seminari Menengah St Yohanes Berchmans di Todabelu, Mataloko Ngada, Pater Alexander Antonius Beding, SVD menempati sejumlah posisi penting di lembaga pendidikan calon imam tersebut. Alex Beding tercatat menjabat Direktur Studi Seminari Menengah (1961-1962), Rektor Seminari Mataloko (1962-1965) dan Prefek Seminari Menengah Mataloko/SMA Todabelu (1966-1970).

Selama di seminari ini, Alex Beding menunjukkan kecintaannya yang mendalam terhadap bahasa dan budaya. Seperti ditulis Steph Tupeng Witin, SVD dalam buku “Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD” (Ledalero 2011, hal 32), kecintaan pada bahasa dan budaya tersebut menjadi basis bagi Alex Beding untuk terlibat dalam bidang pers dan perbukuan selama puluhan tahun.

Di Seminari Mataloko, Pater Alex mengorganisir kegiatan budaya seperti majalah Florete yang melatih para siswa untuk mengorganisir pikiran dan gagasannya agar kelak berguna dalam karya pewartaaan sebagai imam. Ia juga merintis Akademi Sanctus Agustinus sebagai media untuk melatih para siswa seminari tampil di depan umum mengemukakan gagasan dan pikiran secara baik dan benar.

Pater Alex mengenang semua itu lewat catatannya sebagai berikut. “Mereka (siswa seminari) belajar bersama mengorganisir acara-acara kesenian dan kebudayaan. Kami juga menggelar drama atau sandiwara antara lain Josef di Dothan, Saul dan David dan sandiwara humor seperti Sakit Khayal dan Moliere. Di kemudian hari sejumlah dari mereka terjun dalam kegiatan sebagai penulis, wartawan, sastrawan atau cendekiawan Katolik.”

Mungkin tanpa disadarinya, kecintaan pada bahasa dan budaya itu menjadi pertimbangan utama pimpinan SVD pada tahun 1970 memberikan tugas baru kepada Alex Beding yaitu meninggalkan Mataloko menuju Ende, kota pendidikan, kota bersejarah di Pulau Flores. Alex Beding tidak lagi menjadi pendidik bagi calon imam.Dia diutus menjadi pelayan di medan kehidupan yang lain.

Meskipun menggambarkan kepergiannya ke Ende itu sebagai bagian dari misi perutusan Serikat Sabda Allah (SVD), namun Pater Alex Beding mengakui pada awalnya dia tidak tahu apa yang harus dikerjakan di Ende. Ia menulis panjang mengenang moment tersebut.

“Studi saya pada Universitas Indonesia tidak jadi dilanjutkan. Saya melepaskan seminari dan pergi ke Ende dan belum tahu apa yang harus saya buat. Ternyata ada satu rencana dan ada satu orang yang langsung ‘menangkap’ saya ialah P Heinz Heuhaus, Direktur Percetakan Arnoldus Ende. Dia mulai membangkitkan bagi saya gagasan untuk mulai dengan penerbitan buku-buku.

Bruder Vitalis pada waktu itu menjalankan sebuah toko buku kecil bernama Nusa Indah yang menjual buku-buku yang dicetak pada Percetakan Arnoldus. Yang perlu saya buat adalah menyediakan naskah-naskah. Jadi kami mulai dengan sebuah kantor sederhana yang tidak lama kemudian menjadi Biro Naskah Nusa Indah. Di sinilah saya menyiapkan terbentuknya Penerbit Nusa Indah. Untuk itu saya mencari rekan-rekan. Thom Wigyanta, seorang eks frater, Paceli Boleng, Ansel da Iri, Albert Pantaleon sebagai pengetik, Eli Parera sebagai penggambar dan lain-lain.”

Pater Alex Beding, imam, biarawan dan misionaris penulis tersebut juga mengenang Nusa Indah sebagai penerbit yang membawa misi pewartaan Sabda Allah ke tengah masyarakat Flores dan Indonesia pada umumnya. Ini pun bagian dari misi Serikat Sabda Allah. Sejalan dengan spirit pendiri serikat misi Arnoldus Janssen tentang peran kerasulan lewat buku dan media massa.

“Kami menyusun mula-mula sebuah kerangka penerbitan SVD Nusa Indah yang misinya adalah ‘Mewartakan Sabda Allah’. Jadi pada tempat pertama ialah Kitab Suci dan semua yang berkaitan dengan Kitab Suci. Selanjutnya teologi, katekese, kehidupan Kristiani dan bidang-bidang lain untuk pembangunan manusia. Lalu saya berkeliling mencari penulis-penulis dan menawarkan kesempatan menyediakan naskah yang kami terbitkan. Tanpa sadar kami telah mempunyai jaringan relasi yang cukup luas. Kami mendapat karya dari Pak Drs. Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia yang dapat disebut sebagai buku tata bahasa terbaru, yang akhirnya amat laris dan menjadi buku pegangan pelajaran Bahasa Indonesia.

Kehidupan Gereja sudah mendapat angin baru dan segar dari Konsili Vatikan II. Adik saya Marcel Beding yang belajar pada Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta ambil bagian penting dalam pembentukan Penerbit Nusa Indah. Dia menerjemahkan banyak buku, misalnya Ensiklik-ensiklik yang kami terbitkan dan bersama dia kami menyusun buku-buku baru untuk kegiatan Gerejani. Kami harus membawa pembaharuan dalam sarana kehidupan Kristiani, yakni buku sembahyang yang baru: Bapa Kami, Tuhanlah Gembalaku dan juga buku nyanyian baru Syukur Kepada Bapa. Adik saya yang lain P Yoh Bosko Beding, SVD yang juga belajar publisistik bergabung dengan kami. Dia menghasilkan beberapa buku yang laris. Untuk pengembangan pertanian, kami terbitkan buku-buku tentang pertanian. Selain itu novel-novel, kamus-kamus mendapat tempat yang baik dalam penerbitan Nusa Indah.”

Pater Alex Beding mendirikan Penerbit Nusa Indah dan menjadi direkturnya selama empat belas tahun (1970-1984). Pada masa kepemimpinannya, Penerbit Nusa Indah dikenal luas tidak hanya di Flores, Lembata dan Nusa Tenggara Timur tetapi seluruh Indonesia bahkan mancanegara. Nusa Indah kala itu merupakan satu-satunya penerbit terkemuka di kawasan Timur Indonesia atau di luar Pulau Jawa.

Kantor Penerbit Nusa Indah masih berdiri anggun di Jalan El Tari, Kota Ende. Penerbit yang dibangun Pater Alex Beding, SVD sejak 42 tahun lalu masih eksis sampai hari ini. Usia 42 tahun bukanlah sebuah masa waktu yang pendek dan untuk itu semua, kiranya sang peletak dasar Alex Beding, SVD pantas dikenang.

Melalui kehadiran Penerbit Nusa Indah pada tahun 1970, masyarakat NTT memasuki babak baru dalam peradabannya yaitu merajut tradisi membaca, menghasilkan karya-karya intelektual yang akan tetap awet hingga masa mendatang. Melalui Penerbit Nusa Indah, Flores, Lembata dan NTT bukanlah yang terkecil dan terkebelakang di antara gunung-gemunung Nusantara. Peran mencerdaskan bangsa sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945 juga bersinar dari Ende, dari Nusa Bunga.

Menyebut Penebit Nusa Indah tak akan sempurna tanpa menyinggung tentang Percetakan Arnoldus Ende. Percetakan itu sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Percetakan Arnoldus Ende berdiri pada tahun 1926 atau tiba belas tahun setelah Serikat Sabda Allah (SVD) mengambil alih misi untuk kepulauan Nusa Tenggara.

Dr. Paul Budi Kleden, SVD dalam buku Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD” menulis demikian. Tujuan utama didirikan percetakan tersebut adalah untuk mencetak buku-buku doa, katekismus dan buku-buku pelajaran. Salah satu terbitan perdana yang penting adalah katekismus dalam bahasa Sikka. Selanjutnya diterbitkan katekismus dalam banyak bahasa daerah di Flores. Langkah selanjutnya adalah penerbitan Kitab Suci, mula-mula dalam bahasa daerah kemudian dalam bahasa Indonesia sebagai proyek nasional (Ledalero 2011, hal 119).

Harian Kompas edisi 23 November 2006 menulis sebagai berikut. Pemrakarsa pendirian percetakan adalah Pater Petrus Noyen, SVD, yang merupakan prefek apostolik pertama di wilayah Nusa Tenggara. Pater Noyen kala itu didukung Pater Frans D Lange, SVD. Arnoldus diambil dari nama St. Arnoldus Janssen, pendiri ordo SVD (Societas Verbi Divine). Arnoldus dijadikan sebagai pelindung percetakan ini. Cetakan pertama pada 21 Juni 1926 berupa buku doa yang disusun dalam bahasa Melayu. Buku itu berjudul Sende Aus yang artinya Utuslah.

Beroperasinya Percetakan Arnoldus pada waktu itu tak lepas dari bantuan Percetakan St. Mikael di Steyl, Belanda. Mesin cetak dari Steyl tiba di Pelabuhan Ende pada bulan April 1926. Satu bulan kemudian, dua pekerja yang bertugas sebagai tenaga pencetak di bawah pimpinan Bruder Viatori dari Shanghai tiba di Ende. Percetakan tersebut merupakan unit perusahaan PT Arnoldus Nusa Indah (PT ANI) yang sampai sekarang tetap berkibar dengan segala tantangan dan tingkat kompetisi yang tidaklah ringan. (dion db putra/bersambung)


Sumber: Harian FloresStar edisi Selasa, 31 Januari 2012 hal 1

Artikel Terkait
Intan Imamatnya jadi Mahkota Bagi Lembata
Dia Menjala di Lautan Lain
Dari Mataloko ke Ende Bangun Nusa Indah

Dari Mataloko ke Ende Membangun Nusa Indah

Seminari Mataloko
SETELAH menyesaikan studinya di Seminari Matoloko, Ngada, Alex Beding melanjutkan ke novisiat Ledalero. Alex Beding melukiskan pengalamannya tersebut sangat menakjubkan karena berlangsung dalam suasana perang saat itu.

Berikut catatan Alex Beding seperti dikutip Steph Tupeng Witin, SVD dalam buku Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD (Ledalero 2011, hal 24).

“Pada tahun 1943, kami menjalani novisiat tahun pertama di Ledalero. Waktu itu dalam keadaan perang dan serdadu-serdadu Jepang menduduki juga seminari tinggi. Karena semua pater-profesor berkebangsaan Belanda diinternir, maka para frater mahasiswa filsafat dan teologi dipindahkan ke Mataloko. Di ‘Rumah Tinggi’ kuliah-kuliah dilanjutkan dengan bantuan para imam yang ada.

Sementara itu kami sebagai novis masih bertahan di bawah pimpinan PJ Koemeester sebagai Magister, namun orang-orang Jepang melihat bahwa Ledalero mulai menjadi titik bahaya dari udara, maka kami diungsikan ke Lela. Tapi di sana juga kami tidak bertahan karena tidak aman, dan sekali lagi kami diungsikan ke Mataloko dan ditampung juga di ‘Rumah Tinggi’. Kami menyelesaikan masa novisiat di Mataloko dan mengikrarkan kaul-kaul pertama dalam gereja Paroki Mataloko pada 15 Agustus 1945, dua hari kemudian tibalah Hari Kemerdekaan Indonesia tetapi kami masih terus hidup dalam keadaan perang.”

Ketika keadaan berangsur membaik, Alex Beding muda bersama teman-temannya bisa mulai memasuki studi di Seminari Tinggi St Paulus Ledalero di Kabupaten Sikka. Akhirnya cita-cita mereka tercapai juga. Alex Beding bersama enam temannya ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Antonius Thijjssen, SVD di dalam Gereja Paroki Nita, tidak seberapa jauh dari Seminari Tinggi Ledalero pada 24 Oktober tahun 1951.

Meskipun menjalani studi dalam suasana ‘tidak enak’ Alex Beding akhirnya menjadi imam sulung dari Pulau Lembata. Peristiwa tersebut merupakan warta gembira bagi seluruh umat Katolik di Lembata dan khususnya kampung Lamalera.

Pater Alex Beding merefleksikan seluruh ziarah menuju tangga imamatnya tersebut sebagai bukti kesetiaan Tuhan dalam hidupnya. “Melihat seluruh perkembangan studi menjadi imam dan keadaan perang yang mengakibatkan kesulitan dan hambatan, saya sangat bersyukur kepada Tuhan bahwa semuanya berlangsung relatif lancar dan yang terpenting kami mendapat kesempatan untuk belajar mengenai kesulitan-kesulitan yang nyata dalam perjalanan menjadi imam. Semuanya berguna dan semuanya ada arti.”

Pada tanggal 29 Juni 1952, Pater Alex bersama Pater Gregorius Monteiro, SVD (kemudian menjadi Uskup Agung Kupang) merayakan misa perdana mulia di Gereja Paroki St. Petrus dan St. Paulus Lamalera. Pater Gregorius Monteiro adalah keturunan Lamalera. Dalam acara-acara meriah yang dipimpin Pater Bruno Pehl, SVD, mereka mengalami kegembiraan umat yang pertama kali menyaksikan putra Lembata bertindak sebagai imam di altar Tuhan.

Selanjutnya Pater Alex memulai ziarah dalam karya pastoral sebagai imam. Yang istimewa adalah Pater Alex Beding mendapat kesempatan untuk terus belajar pada dua universitas terkemuka di negeri ini yaitu Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta dan Universitas Indonesia (UI) Jakarta.

Alex Beding mengenang masa belajar di luar seminar itu sebagai proses pematangan diri terus-menerus. “Saya belajar selalu dalam lingkungan yang aman di seminari menengah dan seminari tinggi sampai menjadi imam, dan saya diberi kesempatan belajar juga pada Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, dilanjutkan di UI Jakarta dan tamat sebagai sarjana muda Bahasa dan Sastra Indonesia untuk segera ditugaskan sebagai guru Bahasa Indonesia pada seminari Menengah St Johanes Berchmans di Todabelu, Mataloko, Ngada.”

Ketika sedang studi di Jakarta, Pater Alex sempat diminta menjadi pastor tentara (TNI) untuk ikut dalam aksi militer ke Padang, Sumatera di bawah komando Letkol Ahmad Yani melawan Ahmad Husein, seorang jenderal pemberontak dan pemimpin PRRI pada pertengahan 1957. Ia menerima tugas itu demi cinta tanah air dan kepentingan nasional. Tapi tugasnya tidak berlangsung lama karena masih dalam masa studi.

“Ketika di Yogyakarta maupun di Jakarta di mana saya belajar, saya juga dilibatkan dalam karya pelayanan pastoral dalam kota dan juga di paroki-paroki diaspora. Di Jakarta saya menjadi anggota PMKRI dan sering mengikuti kegiatan yang berkaitan langsung dengan liturgi. Orang-orang Flores yang saya jumpai pada masa itu termasuk Drs. Frans Seda, Drs. Mang Reng Say, Centis da Costa, P. Adr, Conterius yang bertugas pada kantor Wali Gereja Indonesia memberi saya kesempatan untuk bertemu Presiden Soekarno pada perayaan nasional di Istana Merdeka. Para perayaan Misa 400 tahun St Ignatius de Loyola saya diundang untuk berkotbah di Gereja Katedral Jakarta dalam Bahasa Belanda. Dengan ketetapan Uskup Jakarta, saya menjadi anggota Yayasan Melani, Yayasan Papa-Miskin. Pada tahun 1955 di Jakarta, saya ikut dalam pemilu pertama di Indonesia,” kenangnya.

Setelah mengabdi sebagai pendidik di Seminari Mataloko, Pater Alex Beding beralih ke Ende tahun 1970. Beliau menulis dalam kenangannya, “Saya pindah ke Ende dan diminta untuk mulai membangun Penerbit Nusa Indah, Biro Naskah dan Toko Buku Nusa Indah. Dengan kegiatan itu saya belajar amat banyak dan saya mendapat dukungan yang kuat khusus dari Pater Heinz Neuhaus, Direktur Percetakan Arnoldus.

Dalam kerja sama dengan rekan-rekan (Thom Wignyanta, Paceli Boleng, Ben Oleona, Chris Nau, Jack Blikololong, Albert Pantaleon, Sr Regina, SSpS, Sr Ignacio CIJ, Sr Emmanuel Gunanto OSU, gadis-gadis Monika Pemba, Ona Paty, Nela dll) yang tergabung dalam Biro Naskah dan pimpinan redaksi majalah-majalah. Kami menerbitkan banyak buku dan dua majalah yaitu Dua Mingguan DIAN dan majalah anak-anak KUNANG-KUNANG. Dua terbitan ini hidup sampai sempat saya merayakan pesta perak! Terima kasih bagi teman-teman dari staf Biro Naskah dan Dewan Redaksi DIAN yang setia dan penuh dedikasi dalam peranan mereka masing-masing. Terima kasih yang limpah bagi Sr. Emmanuel Gunanto OSU yang memimpin redaksi majalah anak-anak KUNANG-KUNANG dengan penuh cinta bersama para pembantunya.”

Menurutnya, dari kesan-kesan yang diperoleh, ia boleh bergembira bahwa Penerbit Nusa Indah dan karya pers melalui kedua majalah tersebut telah bekerja maksimal untuk misi Gereja dan SVD yakni mewartakan sabda Allah demi membangun umat dalam suatu masa baru dengan tantangan-tantangan baru.

“Terima kasih khusus kepada pimpinan SVD yakni Pater Provinsial dan pimpinan Gereja lokal Bapa Uskup yang memberikan restu dan dukungan kepada kegiatan kami. Terima kasih berlimpah kepada seluruh sidang pembaca dan pelanggan yang menaruh simpati dan menerima hasil pekerjaan kami,” demikian Pater Alex Beding. (dion db putra/bersambung)

Sumber: Harian FloresStar edisi Senin, 30 Januari 2012 hal 1

Baca Artikel Terkait
Intan Imamatnya jadi Mahkota Bagi Lembata
Dia Menjala di Lautan Lain...

Dia Menjala di Lautan Lain ...

Alex Beding (tengah) dan Steph Witin (kanan):  intan imamat
ALAM yang garang tidak menyurutkan upaya penyebaran Injil Kristus di Lamalera. Inilah poin penting yang digarisbawahi P Steph Tupeng Witin, SVD dalam buku “Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD” (Penerbit Ledalero, 2011, halaman 18).

Alam Lamaralera begitu kering dan gersang. Namun, kehidupan tak pernah memudar di sana. Justru di atas kenyataan seperti itulah harapan hidup diletakkan dan iman berkembang dengan subur.

Pater Alex Beding, SVD sendiri dalam buku “Bapa Bernhard Bode, SVD Pastor Pulau Lembata (Nusa Indah, 2010) menggambarkan Lamalera dan Lembata sebagai medan misi yang sulit.

Pater Alex menulis, “...Tempat itu terpencil dan sangat sulit dicapai. Tantangan-tantangan bagi para misionaris Yesuit kini harus dihadapi juga oleh orang yang ditunjuk menjadi gembala yang menetap di Lembata. Untuk menjadi pastor tetap di sana dibutuhkan seorang yang mempunyai kondisi fisik kuat dan tangguh karena mesti hidup di daerah berbatu dan beriklim panas. Di mana tidak ada sumber air minum bersih. Makanan apa adanya saja. Segala yang perlu harus dibawa dari luar. Suatu daerah yang berat, harus ditempuh dengan berjalan kaki atau berkuda. Misionaris itu juga harus kuat mental-rohaninya sebab dia tinggal di tempat terpencil, komunikasi serba kurang dan sulit.” (67-68).

Dalam kesulitan yang luar biasa itulah para misionaris menjejakkan kakinya di atas Lembata. Awalnya, para misionaris Yesuit di Larantuka berkenalan dengan orang-orang Lamalera yang sering datang ke Larantuka untuk berbelanja. Ada hasrat membara untuk menghadirkan Injil Kristus ke tengah orang-orang ini. Beberapa anak dari Lamalera pun didatangkan untuk menempuh pendidikan di Larantuka.

Moment bersejarah itu akhirnya tercatat tanggal 8 dan 9 Juni 1886 ketika dua iman Yesuit yakni Pater C.ten Brink dan Pater Y de Vries mempermandikan 215 anak. Inilah saatnya Gereja Katolik dengan resmi didirikan di Lembata. Moment berahmat itu membuka pintu gerbang kedatangan Kristus dan Injilnya. Namun, kesulitan medan dan jarak tempuh yang jauh dari Larantuka dengan melewati Laut Sawu bergelombang besar menyebabkan pendampingan umat terkendala. Pendampingan Yesuit ditandai dengan berdirinya sekolah Katolik pertama di Lamalera tahun 1914.
Setelah itu karya misi beralih ke tangan SVD. Maka pada tanggal 24 September 1920, dua peledang (perahu nelayan Lamalera) bertolak meninggalkan Larantuka menuju Lamalera. Salah seorang penumpangnya adalah Pater Bernhard Bode, SVD. Dialah pastor SVD pertama yang menetap di Lamalera. Bersama Pater Bode, ikut juga Bruder Fransiskus yang membawa sejumlah tukang untuk membangun gereja dan pastoran. Maka mulailah penjelajahan lekak-lekuk Pulau Lembata. Pater Bode bekerja dengan begitu banyak kesulitan. Namun, kekuatan Kristus menyanggupkan dia untuk bertahan di tengah kehidupan umat yang sederhana.

Menurut Steph Tupeng Witin, SVD di tengah konteks misi pertama di Lembata inilah Alex Beding memulai ziarah hidupnya. Alex lahir di Lamalera pada 13 Januari 1924 sebagai putra sulung dari sebelas bersaudara buah cinta pasangan Karolus Arkian Beding dan Anna Nogo Lamanudeg. Satu kembar pria sesudah Alex meninggal. Selain Pater Alex, masih ada Marcel Beding (22 November 1932, meninggal 24 Februari 1998). Marcel Beding dikenal sebagai salah seorang wartawan perintis Harian Kompas. Marcel mengabdi di Kompas hingga pensiun.

Saudara Pater Alex lainnya adalah Fransiskus Meli Beding (lahir 2 Desember 1938, meninggal 10 Mei 1973), Yohanes Bosko Gesi Beding (27 Januari 1941). Tahbisan imam Pater Bosko Beding 29 Juni 1969. Pater Bosko yang juga dikenal sebagai wartawan itu meninggal dunia 16 Juli 1989. Saudari perempuan Pater Alex, Suster Benedicta CIJ, lahir 5 Juni 1928, meninggal pada tanggal 20 Mei 2011 dalam usia ke-83. Lima puluh tahun lebih dalam Kaul Kebiaraan.

Karolus Arkian adalah seorang tukang kayu. Pada awal dia senang melaut. Kemudian ketika orang membangun Gereja Paroki Lamalera dia tertarik untuk memegang alat-alat tukang kayu dan mencoba sendiri. Alex Beding kecil menjalani pendidikan sekolah dasar selama dua tahun. Alex pun diminta ayahnya menjaga pledang (perahu tradisional nelayan Lamalera) dan jangan menjadi guru.

“Nanti siapa yang jaga pledang untuk memberi rejeki kepada keluarga,” demikian Pater Alex Beding mengenang ucapan ayahnya. Tapi Alex sering pergi ke Pastoran Lamalera untuk membantu; sementara ia sendiri belajar untuk menulis, sampai bisa menulis surat sendiri. Bahasa Indonesia dia belajar dari orang-orang yang bergaul dengannya.

Karolus Arkian melalui pekerjaannya sebagai tukang kayu dapat membuat meja, kursi, bangku untuk para guru. Kalau Alex Beding kecil hendak ke sekolah, Arkian selalu menyuruhnya untuk mengambil uang dari guru-guru langganannya. Karolus Arkian membantu Pater Bernhard Bode membangun kapela-kapela di stasi-stasi seluruh Lembata bahkan sampai di Kedang. Dan, Karolus Arkian sangat senang serta menikmati pekerjaannya itu. Semuanya dilakukan dengan berjalan kaki. Dia juga menjadi anggota konfreria, termasuk angkatan pertama.

Dari keluarga sederhana inilah Alex Beding tumbuh dengan iman yang kokoh. Keluarga religius tapi tetap sederhana. Bekerja keras untuk hidup tapi tetap terbuka melayani gereja dan sesama. Dengan fasilitas yang minim bisa berbuat banyak untuk kebahagiaan banyak orang.

Seperti ditulis Steph Tupeng Witin, nilai-nilai hidup ini tumbuh dari kenyataan dan konteks Lamalera, sebuah desa nelayan miskin tapi kaya cahaya matahari. Maka dari Lamalera kemudian “cahaya” itu menerangi seluruh Lembata, bangsa ini bahkan dunia. Hal tersebut sejalan dengan arti harafiah dari Lamalera yaitu tempat cahaya matahari. (Lama: tempat, ruang, lapangan) dan Lera: matahari. Dari Lamalera beralas wadas, cahaya itu perlahan menerangi kehidupan.

Menjala di Lautan Lain
Alex Beding masuk sekolah dasar pada usia 6 tahun di Lamalera tahun 1933. Setelahnya ia melanjutkan pendidikan di Larantuka dan tinggal di asrama misi. Tamat dari Larantuka ia melanjutkan pendidikannya di Seminari Todabelu Mataloko, Ngada.

Terkait itu ia menulis sebagai berikut. “Saya tidak bisa mengatakan sesuatu sebagai alasan saya pergi ke seminari. Waktu kecil saya sering menyertai ayah dan ibu ke gereja dan sesudah misa ayah pergi omong-omong dengan Pater Bode. Saya senang dekat pastor yang saleh dan suka senyum itu. Entah dalam hati ayah ada suatu ‘kerinduan’ agar anaknya bisa menjadi seperti bapa pastor itu? Sebab Pater Bode dalam doa-doa di gereja minta supaya Tuhan Allah memanggil anak-anak yang suci hati agar menjadi imam. Semua adalah ‘rahasia’ dalam karya Allah.

Ternyata setelah tamat Vervolgschool di Larantuka, saya dan beberapa teman pergi ke seminari. Tempat sekolah semakin jauh. Saya belajar di seminari pendidikan imam di Mataloko di daerah Ngada. Bagi saya dari Lamalera sampai Mataloko adalah jarak yang jauh dan ditempuh dengan cara-cara transportasi sederhana yang berlaku di zaman itu, di antaranya banyak trayek ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi sangat luar biasa karena semuanya penuh pengalaman yang menyenangkan, kendati juga penuh resiko. Untuk pertama kali saya ikut dalam rombongan 35 siswa asal Flores Timur yang diberangkatkan dengan motorboat kecil Arnoldus dari Larantuka sampai Ipi Ende selama satu hari dua malam.” (dion db putra/ bersambung)

Sumber: Harian FloresStar edisi Sabtu, 28 Januari 2012 hal 1

Baca juga: Intan Imamatnya Mahkota Bagi Lembata

Intan Imamatnya jadi Mahkota Bagi Lembata

Alex Beding
Pengantar Redaksi
Tahun 2011 yang baru lewat umat Katolik Lembata merayakan yubileum 125 tahun masuknya agama Katolik di pulau itu. Tahun yang sama tepatnya tanggal 23 Oktober 2011, Lembata juga merayakan 60 tahun imamat Pater Alex Beding, SVD, imam sulung dari pulau tersebut.

Mengenang pesta intan imamat Pater Alex, Penerbit Ledalero menerbitkan buku “Bersyukur dan Berharap” dengan editor Steph Tupeng Witin, SVD. Dalam buku setebal 183 halaman tersebut, karya dan pengabdian Pater Alex Beding, SVD yang merayakan HUT ke-88 tanggal 23 Januari 2012 digelar elegan dan utuh.

Alex Beding, Imam Sulung Lembata dan Tokoh Pers NTT

Menyambut Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari 2012, kami memandang perlu menukilkan sebagian isi buku tersebut untuk pembaca FloresStar. Alex Beding tidak sekadar imam Katolik yang setia melayani umatnya. Dia adalah tokoh perintis yang membudayakan tradisi membaca bagi masyarakat Flores-Lembata dan NTT umumnya lewat buku dan media massa. Dia merupakan tokoh peradaban daerah ini yang patut dikenang dan diteladani.


LAMALERA 23 Oktober 2011. Deretan tena laja (bangsal-bangsal perahu) di pinggir pantai Desa Lamalera mematung dalam hening. Anak-anak tanpa baju berkejaran di atas hamparan pasir. Tulang-tulang ikan paus tegak di beberapa sudut. Bau amis ikan menjadi ucapan selamat datang kepada siapa pun yang memasuki haribaan Desa Lamalera.

Steph Tupeng Witin, SVD melukiskan dengan indah ketika ia memulai tulisannya pada bagian pertama buku Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat P Alex Beding, SVD (Penerbit Ledalero, 2011 hal 13). Memandang Lamalera berarti menyaksikan keajaiban hidup yang telah sekian abad bergulir di atas batu-batu karang yang menutupi sebagian besar badan Lamalera. Alam terkesan kikir dan miskin tetapi di sinilah kehidupan itu berdenyut dengan indah.

Hari itu, 23 Oktober 2012, ombak pantai selatan yang terkenal garang menjelma menjadi sahabat yang tenang. “Laut selama beberapa hari ini tampak tenang. Teduh! Biasanya berombak besar. Gelombang yang besar menghantam batu karang dengan garang,” kata Fransiskus Keraf, guru SMPK APPIS Lamalera seperti dikutip Steph.

Alam seakan ikut tersenyum bersama umat Paroki St. Petrus Paulus Lamalera yang hari itu berbahagia bersama Yubilaris Pater Alex Beding, SVD merayakan 60 tahun imamat (intan imamat). Imam sulung dari Pulau Lembata itu merayakan kebahagiaannya dalam ekaristi kudus di gereja Paroki Lamalera didampingi Vikjen Keuskupan Larantuka, Romo Gabriel Unto da Silva, Pr dan Pater Paulus Boli Lamak, SVD bersama 13 imam konselebrantes lainnya pada hari Minggu yang cerah, 23 Oktober 2011.

Kebahagian intan imamat rasanya menjadi mahkota bagi seluruh Pulau Lembata karena Pater Alex adalah imam sulung Pulau Lembata. Dialah yang membuka pintu gerbang bagi perjalanan panggilan hidup membiara putra-putri Lembata hingga detik ini. Dia adalah buah sulung dari benih iman yang ditaburkan para misionaris di tanah Lembata dengan Lamalera sebagai pintu gerbangnya.

Pada bulan September 2011 umat Paroki Lamalera khususnya dan Lembata umumnya merayakan yubileum 125 tahun masuknya agama Katolik di Lembata. Selama rentang waktu 125 tahun panggilan hidup membiara tumbuh subur. Seperti ditulis Steph Tupeng Witin, di Paroki Lamalera saja, hingga kini tercatat sebanyak 37 pastor dari berbagai tarekat dan keuskupan di seluruh Indonesia, sebanyak 21 pastor itu berasal dari Desa Lamalera dan kurang lebih 133 biarawan-biarawati.

Di Pulau Flores, Lembata, Adonara, Solor bahkan di seluruh wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) agaknya tidak ada satu desa pun yang subur menyamai Lamalera dalam hal benih panggilan menjadi pekerja di ladang Tuhan. Kampung Lamalera patut dicatat sebagai tonggak penting dalam sejarah Gereja Katolik di negeri ini.

Saat menyampaikan sambutan pada akhir ekaristi perayaan intan imamat, Pater Alex Beding, SVD menunjukkan kartu bahagia intan imamatnya yang mengutip kata-katanya “sangat indah melukiskan identintas setiap orang Lamalera”. Kartu hasil repro foto itu menggambarkan yubilaris Pater Alex dengan pakaian lengkap misa berdiri di atas latar belakang Desa Lamalera. Pada stola tertulis “In Verbo Tuo”. Pater Alex seakan disanggah oleh deretan tena laja yang membujur dari timur hingga barat.
Inilah gambaran aktivitas harian penduduk Lamalera. Tena laja menjadi bangsal bagi perahu-perahu yang saban hari memuat para pelaut kekar tanpa baju bertarung dengan ikan raksasa di Laut Sawu.

Tampak di tengah deretan bangsal perahu itu Kapela Santo Petrus yang menjadi pusat kehidupan melaut nelayan Lamalera. Kapela itu menjadi pusat ekaristi kudus pada saat hendak memulai musim leva (melaut). Peralatan melaut selalu diberkati imam sebagai simbol penyertaan Tuhan dalam karya para pelaut tangguh Lamalera. Dan di belakang yubilaris tampak alam Lamalera yang kering dengan dedaunan pohon yang meranggas.

“Gambar ini melukiskan identitas kita semua sebagai orang Lamalera. Di atas kenyataan inilah kita dilahirkan, hidup dan bertumbuh hingga saat ini.” Kata-kata tersebut diucapkan Pater Alex Beding dengan bibir gemetar. Orang Lamalera, sebagaimana dihadirkan melalui gambar itu seakan berada di antara laut yang menyediakan kehidupan dan darat yang menghadirkan kekuatan.

Di laut mereka bertarung dengan ikan raksasa. Kadang dengan korban nyawa. Berbekal keberanian dan kenekatan. Di darat, meski tanah berada di selangkangan bebatuan besar dan kecil, masih dapat dimanfaatkan untuk menanam ubi dan jagung walaupun tidak menentu tumbuhnya. Lebih banyak gagal. Tapi di darat inilah para perempuan Lamalera setia menjelajahi puluhan desa di pedalaman untuk membarter hasil bumi berupa jagung, padi, buah-buahan, sayur, ubi-ubian dan sebagainya dengan modal ikan, garam dan kapur. Drama kehidupan ini telah berlangsung selama berabad-abad. Abadi hingga detik ini. Dan, tetap berlanjut hingga masa depan.

Steph Tupeng Witin lebih jauh melukiskan sebagai berikut. Kebahagiaan intan imamat Pater Alex menjadi mahkota iman seluruh umat. Tuhan seakan tengah berjalan melintasi deretan tena laja untuk melewati, menguatkan dan menyegarkan dahaga iman umat yang setiap saat direpresi oleh berbagai tantangan dan kesulitan.

Tuhan itu telah setia bersama Pater Alex selama 60 tahun dengan menjaga dan merawat imamat dalam bejana tanah liat kemanusiaan. Selama 60 tahun, Pater Alex telah berpeluh, berkeringat seperti para nelayan Lamalera kekar yang dibakar keganasan terik matahari di tengah hamparan laut nan ganas. Tapi tetap setia berziarah seperti para perempuan Lamalera ber-penetang (berjalan ke pedalaman Lembata untuk membarter hasil bumi).

Dan hari itu, 23 Oktober 2011, kebahagiaan dan kegembiraan rasanya tidak tuntas dilukiskan dengan kata. Kebahagiaan dirayakan dengan sederhana tapi bermakna agung. Seperti kata pemazmur: bagai petani yang tersenyum bahagia kembali dari ladang dengan memikul berkas-berkas padi. Seperti kebahagiaan para prajurit yang kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan. Kebahagiaan itu tetap terlukis di antara deretan tena laja yang akan mematung hingga kapan pun. (dion db putra/bersambung)


Sumber: Harian FloresStar 27 Januari 2012 hal 1

Artikel Terkait
Dia Menjala di Lautan Lain
Dari Mataloko ke Ende demi Nusa Indah
Membangun Nusa Indah dari Kantor Sederhana
Terpikat indahnya Cahaya Kunang-Kunang
Masih Menulis Buku di Usia 88 Tahun

Kodak

ilustrasi
Hari-hari kejayaan ketika Eastman Kodak Co merajai dunia fotografi film yang sempat bertahan selama satu abad lebih akhirnya berlalu. Setelah lama berjuang menghadapi krisis keuangan internal, perusahaan itu pun menyerah. Bangkrut! Kodak resmi mengajukan perlindungan bangkrut sesuai dengan Pasal II, UU Kebangkutan di New York, Amerika Serikat, hari Kamis 19 Januari 2012.

Perusahaan yang menemukan kamera tangan, dalam pernyataannya, mendapat fasilitas kredit 18 bulan sebesar 950 juta dolar (Rp 8,5 triliunan) dari Citigroup. Dana sebesar itu digunakan untuk menjaga aliran kas perusahaan tetap berjalan. "Kodak mengambil langkah maju nyata yang memungkinkan perusahaan untuk mewujudkan perubahan," ujar pimpinan dan CEO perusahaan, Antonio Perez.

Kodak memasuki proses menciptakan bisnis digital saat memutuskan meninggalkan beberapa kebiasaan tradisional. Sejak tahun 2003, perusahaan telah menutup 13 pabrik, 130 laboratorium pemrosesan dan memangkas 47 ribu karyawan di seluruh dunia. Perusahaan ini mendapat pujian saat mengembangkan kamera digital pertama pada tahun 1975.


Namun sepertinya Kodak tak pernah menyadari potensi revolusi kamera digital yang justru membunuh dirinya sendiri. Kodak tak mampu bersaing dengan kompetitornya yang menawarkan produk digital dengan kemajuan sangat pesat. Sejak tahun 2007, Kodak terus merugi. Bahkan nilai pasarnya merosot tajam menjadi hanya US$ 150 juta dibandingkan US$ 31 miliar pada 15 tahun silam.

Beberapa tahun terakhir Kodak fokus pada produk konsumen dan printer komersial. Namun strategi itu tak berhasil menyelesaikan kesulitan keuangan serta meningkatkan keuntungan. Saat ini, seperti korporat mapan AS lain, Kodak menghadapi tanggung jawab tak sepele, menyiapkan biaya besar untuk pensiun dan keuntungan bagi pekerja dan pensiunan. "Kini kita harus menuntaskan perubahan untuk memperbaiki struktur pembiayaan kita, dan muncul kembali sebagai perusahaan material sains dan pencitraan digital kelas dunia,” demikian Antonio. Dalam UU Kebangkrutan AS, ketika perusahaan mengajukan permohonan bangkrut maka perlindungan hanya berlaku pada perusahaan dan anak perusahaan di AS, tidak mencakup cabang di luar negeri.

Kodak didirikan oleh George Eastman pada tahun 1892. Pria yang dropout dari SMA itu memulainya dengan membuat piringan fotografi. Untuk menjalankan bisnisnya, ia secara royal membeli mesin seken senilai US$ 125. Dalam 8 tahun, nama Kodak menjadi trademark dan perusahaan kemudian memperkenalkan kamera poket dan juga roll film, sekaligus mendominasi pasar dunia.

Eastman juga memperkenalkan 'Dividen Upah', dimana perusahaan akan membayar bonus kepada karyawan berdasarkan pendapatan. Hampir seabad setelah Kodak berjalan, astronot Neil Amstrong menggunakan kamera Kodak seukuran kotak sepatu untuk mengambil foto pada tahun 1969. Hasil jepretan Neil, orang pertama yang menjejakkan kaki di bulan itu mendapat antusiasme yang sangat tinggi. Jumlah yang melihat lebih banyak ketimbang 80 film yang telah memenangkan "Best Picture' Oscar dan difoto dengan menggunakan Kodak. Itulah era kejayaan Kodak.

Enam tahun setelah perjalanan Armstrong itu, Kodak membuat kamera digital. Namun ukurannya dinilai lebih besar dari poket untuk fotografer amatir, apalagi pesaingnya seperti Canon, Casio dan Nikon menawarkan bentuk yang lebih baik. Dan bukannya mengembangkan kamera digital, Kodak hanya terdiam dan menghabiskan bertahun-tahun melihat rivalnya mengambil pangsa pasar. Kodak tidak pernah berinovasi untuk bisnis yang sangat ketat persaingannya.

Pada tahun 1994, Kodak memisahkan bisnis kimia, Eastman Chemical Co yang justru lebih sukses. Namun kejatuhan Kodak mulai terlihat ketika pada September secara tidak terduga mulai menarik US$ 160 juta dari jatah kredit, sehingga menimbulkan kekhawatiran perusahaan kekurangan uang tunai. Dari tahun ke tahun, kondisi Kodak terus memburuk. Spekulasi bangkrutnya Kodak sudah dimulai sejak tahun 2011 lalu, sebelum akhirnya perusahaan resmi membuat pengumuman pendaftaran kebangkrutan 19 Januari 2012.

Hingga akhir September, total aset Kodak sebesar US$ 5,1 miliar dengan kewajiban US$ 6,75 miliar. Pendaftaran Kebangkrutan dilakukan di Pengadilan Kebangkrutan AS di Distrik Bagian Selatan New York. Unit Non-AS yang tidak dimasukkan dalam perlindungan kebangkrutan akan terus membayar kewajiban pada pemasoknya. Perlindungan kebangkrutan itu akan memberikan Kodak waktu untuk menemukan pembeli atas 1.100 paten digital, yang merupakan nilai kuncinya. Perlindungan ini juga memungkinkan mereka merampingkan bisnis sehingga tetap bisa membayar gaji bagi sekitar 19.000 karyawannya. Pada masa jayanya di era 1980-an, Kodak tercatat memiliki 145.000 pekerja.

Seperti dikutip dari Reuters, Kodak mengaku telah mendapatkan fasilitas pinjaman US$ 950 juta selama 18 bulan agar bisa tetap hidup. Kodak saat ini 'dikawal' oleh penasihat dari bank investasi Lazard Ltd yang telah membantu Kodak mendapatkan pembeli paten digitalnya. Penasihat lain adalah FTI Consulting Inc. Mereka diharapkan bisa membantu Kodak hidup lagi menjadi perusahaan yang lebih ramping dan menguntungkan. Bisakah perusahaan AS itu mendapatkan lagi Kodak Moment mereka lagi? 

Sudah banyak kisah tragis seperti Kodak yang akhirnya menyerah oleh perkembangan zaman. Inovasi tanpa strategi cerdas bisa membunuh diri sendiri. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor kunci. Jika pemimpin merasa nyaman dengan keadaan dan tidak merespons dengan cepat tuntutan zaman, institusi raksasa sekalipun bisa kolaps. Apalagi kalau pemimpin anti kritik...dan cara berpikirnya seperti kodok. Loncat sana, loncat sini. Hihi...

NTT di Gerbang Asia Pasifik

SALAH seorang tokoh berpengaruh di negeri ini kembali melontarkan pernyataan yang menyadarkan pemerintah dan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) tentang keberadaannya yang unik sekaligus istimewa. Nusa Tenggara Timur ditegaskannya memiliki prospek yang luar biasa dalam skala regional dan internasional. Posisi NTT di gerbang Asia Pasifik berdampak pada kemajuan ekonomi ke depan.

Pernyataan tersebut diungkapkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Aburizal Bakrie alias Ical dalam pesan Natal Nasional Partai Golkar di GOR Flobamora, Oepoi-Kupang, Selasa (17/1/2012) lalu. Ketika Partai Golkar memilih Kupang untuk merayakan Natal secara nasional, secara politis pun bermakna istimewa dan jauh menukik pesan-pesannya.

NTT berada di gerbang Asia Pasifik. Agaknya sudah lama kata-kata ini hilang dari pendengaran dan ruang diskusi publik Flobamora. Maklumlah. Selama satu dasawarsa terakhir NTT bergelut dengan program Tiga Batu Tungku dan kini dengan aneka program yang diklaim pro rakyat seperti Propinsi Jagung, Propinsi Ternak, Propinsi Cendana dan Program Desa Mandiri Anggur Merah.



Dalam rentang waktu yang sangat lama NTT lebih berorientasi ke dalam. Prinsipnya urus dulu rakyat yang miskin, rakyat yang saban tahun menderita gizi buruk, busung lapar, penyakit kronis dan beragam keterbelakangan. Peduli amat dengan prospek ekonomi internasional. Peduli amat dengan posisi strategis Nusa Tenggara Timur sebagai beranda selatan NKRI yang berhadapan langsung dengan dua negara yaitu Australia dan Timor Leste.

Pilihan sikap pemerintah dan masyarakat NTT tersebut tidak salah tetapi ada konsekwensinya. Dengan fokus orientasi ke dalam, Flobamora melupakan anugerah lain berupa posisi geografi yang strategis. Kita memang belum melihat agenda aksi yang terencana untuk meraih peluang ekonomi global, khususnya dengan Australia dan Timor Leste sebagai tetangga terdekat. 
Bahkan dengan negara baru Timor Leste yang persis berada di sebelah rumah Flobamora, pemerintah dan masyarakat NTT belum menunjukkan gelagat serius guna meraih peluang ekonomi yang sangat besar di negara tersebut.
Timor Leste memilih langsung ke Surabaya, Jawa Timur atau Bali, bukan Kupang atau Atambua. Sekadar contoh hampir 80 persen kebutuhan sembako masyarakat Timor Leste dipasok langsung dari Surabaya. Hanya sekitar 10 persen melalui Kupang atau Atapupu karena relatif lebih mahal ongkosnya ketimbang langsung dari Surabaya ke Dili. 

Transportasi laut Dili-Surabaya sangat ramai setiap pekan. Dengan segala kemajuannya, Surabaya memiliki keunggulan komparatif. Tetapi NTT mestinya secara perlahan namun pasti ikut bertarung memperebutkan peluang ekonomi yang sangat bagus itu. Tahun 2009 pernah digulirkan rencana membuka jalur transportasi laut dan udara Kupang-Dili secara reguler. Entah mengapa, rencana tersebut belum terwujud sampai sekarang. Keseriusan kita menjadi tanda tanya.

Selain Timor Leste, banyak peluang ekonomi dengan Australia pun lepas dari perhatian pemerintah Nusa Tenggara Timur. Dulu di era 1990-an pemerintah NTT begitu getol membangun hubungan kerja sama dengan Australia, khususnya pemerintah negara bagian Australia Utara dan Australia Barat. Kerja sama tersebut menyentuh berbagai bidang. 

Lagi-lagi hubungan baik itu tidak berlanjut yang secara ekonomis dapat menguntungkan kedua belah pihak. Dalam banyak kasus justru kita sendiri yang tidak siap sehingga rencana kerja sama sekadar menjadi hiasan di atas kertas. Padahal begitu banyak MoU dengan pemerintah Australia yang jika dibuka serta diperbaharui masih sangat relevan dengan kebutuhan saat ini. 

Di bidang ketenagakerjaan misalnya, pemerintah Australia memberi ruang terbuka bagi perawat dari NTT. Sayang hanya sedikit orang yang memanfaatkan kesempatan emas tersebut. Banyak tenaga perawat kita tidak memenuhi standar kompetensi di Australia, salah satunya penguasaan bahasa Inggris. Masalah bahasa sesungguhnya sangat sederhana. Jika ada kemauan baik dari pemerintah urusan itu mudah diatasi. No action, talk only. Itulah masalah NTT. Jadi berbangga sajalah sebagai pintu gerbang Asia Pasifik. *

Pos Kupang, 20 Januari 2012 hal 4

"Perempuan Itu Bermata Saga" Memberinya Hadiah Sastra

Agus Dapa Loka (paling kanan)
Melalui novelnya "Perempuan itu Bermata Saga" terbitan Elex Media Komputindo 2011 (Gramedia Group) Agust Dapa Loka meraih penghargaan NTT Academia Award (NTT AA) 2011 untuk kategori SASTRA. Novel tersebut berisi true story yang pernah ia alami sendiri. Pada 10 Juni 2009 Agust mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah melalui pengobatan yang ternyata gagal, pada 14 Juni 2009 ia menjalani amputasi kaki kanannya, beberapa centi meter di atas lutut.

Ketika ia masih sehat, dia adalah tipe lelaki pekerja keras, aktif dalam berbagai kegiatan masyarakat, sekolah, gereja, keluarga dan lain-lain. Ia pun pernah menjadi petani sawah dan penjual ikan keliling untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebab gajinya sebagai guru swasta tergolong kecil dan tidak mampu membiayai keluarganya.

Praktis setelah amputasi itu, apalagi sempat divonis menderita infeksi tulang, dia tidak bisa berbuat banyak. Sakit pada kakinya selalu menyiksa (bahkan tanpa henti). Di saat menghadapi penderitaannya, ia menyaksikan kekuatan istrinya Anastasia Talu Tadi yang sangat "luar biasa". Sang istri dengan inner stength-nya mampu menyelesaikan semua pekerjaan yang sebelumnya Agust kira tak bakal bisa dikerjakan oleh istrinya sebab menyangkut urusan dengan orang luar dan yang lain menuntut kekuatan fisik.

Apa yang terjadi? Sang istri bahkan bisa melakukannya lebih baik dari dirinya. Sementara itu sang istri tetap merawatnya dengan sepenuh hati dan cinta. Sice, demikian sapaan sang istri yang telah memberinya 3 putri itu berusaha menumbuhkan kepercayaan diri Agust. Dan benar saja, meski dalam keadaan sakit, Agust berusaha tampil di depan umum sebagai pemandu acara dalam berbagai event di Kota Waingapu, Sumba Timur, NTT. Sekadar informasi, Agust adalah MC terbaik di Sumba bahkan mungkin di NTT. Dengan dorongan istrinya, kepercayaan diri Agust lekas pulih. Di samping itu dia bisa memperoleh tambahan dana untuk membiayai keluarganya.

Bagi Agust, istrinya adalah pahlawan dalam hidupnya yang "tidak sempurna" lagi. Dia melihat istrinya sebagai wanita pemberani. Berani menghadapi berbagai tantangan hidup. Tak sudi menyerah! Dari kesimpulan inilah ia menulis novel tersebut. Jadi Sang Perempuan Bermata Saga itu adalah istrinya sendiri. Agust mengumpulkan energi yang masih tersisa ungtuk merangkai kata meramu kisah yang kemudian menjadi novel tersebut.

Suatu ketika ia pernah mengatakan, cinta istrinya telah menyembuhkannya. Selain itu, Agust meyakini, menulis merupakan terapi yang ikut menyembuhkan atau meringankan penderitaannya. Beberapa bulan lalu, berdasarkan pemeriksaan dari seorang dokter ahli ortopedi dari Australia, Agust dinyatakan telah sembuh dari infeksi tulang yang sempat meniksanya. Berita gembira ini memberi harapan hidup lebih panjang bagi tenor andal ini. Tahun lalu seorang dokter ahli ortopedi di Bekasi memvonisnya menderita infeksi tulang. Ia bahkan dianjurkan untuk menjalani operasi lanjutan.

Karena tak punya dana Agust memilih pulang ke Sumba. Di sana dia hanya mengonsumsi ramuan suplemen kesehatan sambil berdoa mendapat mukjizat dari Tuhan. Kompasiana melalui kebaikan Pak Hardja, Bu Soyo dan kompasianer yang lain sempat menggalang dana untuk upaya operasi lanjutan Agust. Terima kasih untuk kepedulian ini.

Atas penghargaan tersebut, Agust mengaku sangat terharu. "Tuhan memberi saya penghargaan di saat saya begini, namun saya sangat bersyukur. Terima kasih juga untuk Panitia dan juri yang memilih saya. Saya yakin, saya bukanlah yang terbaik di NTT. Masih banyak orang lain yang lebih baik. Saya akan terus melakukan yang terbaik di tengah keadaan yang kerap dianggap sebagai keterbatasan," kata alumni Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Sanata Dharma (sekarang universitas) Yogyakarta ini.

Lebih lanjut tambah Agust, ia sangat mengapresiasi upaya keras panitia menyelenggarakan acara tahunan tersebut. "Semestinya begitulah kaum intelektual harus mengadakan kegiatan intelektual. Saya yakin akan muncul orang-orang muda yang lebih cerdas, dan baik dari kami yang menerima ini," ungkap Agust melalui sambungan telepon.

***

Selain kategori SASTRA, ada juga kategori lain. Kategori Bidang Sains dan Inovasi Keteknikan diraih Maria Loretha, Pemburu Benih Sorgum Flores. Kategori Entrepreneurship/kewirausahaan diraih dr. Bobby Koamesah, dalam usaha peternakan babi di Oenesu yang juga memberdayakan masyarakat sekitar dan pembangunan pabrik pakan babi di Kupang. Ada juga John Ndolo dari Rote Ndao yang meraih penghargaan di bidang Kategori II : Inovasi Pembangunan.

Para penerima penghargaan usai penyerahan NTT AA. Foto dokumen panitia
NTT Academia Award 2011 tersebut digeser pelaksanaannya pada 14 Januari 2012. Hal ini terjadi karena kendala teknis yang tidak bisa dihindari panitia. Apa kendala teknis itu? Terutama masalah dana, di samping masalah lain! Hingga tahun kelima, Panitia masih mengandalkan swadaya anggota yang seluruhnya adalah intelektual NTT yang tersebar di seluruh dunia. Mereka terhubung oleh bantuan mailing list dan grup face book. Para anggota yang memiliki rezeki "lebih" menyumbangkan uangnya ke kas panitia. Ada juga usaha panitia yang lain, yakni menjual kaos yang keuntungannya dimasukkan semua ke kas panitia.

Panitia benar-benar bekerja secara sukarela, bahkan mengorbankan tenaga, pikiran dan dana pribadi. Semua ini dimaksudkan agar ikut membangun dunia dari NTT. "Membangun Dunia dari NTT" begitu teman acara yang digelar di gedung Museum, Kupang, NTT.

"NTT Academia Award" adalah penghargaan tahunan yang hendak dicitrakan dan dimaknai sebagai penghargaan prestasi akademik tertinggi yang dicapai oleh para academia NTT. Analogi sederhananya adalah NTT Academia Award adalah penghargaan tahunan "Nobel" alternatif bidang pendidikan tinggi level Provinsi NTT

Hadir dalam penyerahan NTT Academia Award kali ini adalah para seniman yang tergabung dalam Rumah Poetika dan ANBI (Anak NTT Bermusik Indipenden), aktivis ornop, akademisi di NTT dan para tokoh agama.

Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/16/agust-dapa-loka-raih-ntt-academia-award-kategori-sastra/ 



Baca juga link ini

Pelopor Bank Benih Raih NTT Academia Award 2011

sergapntt.com [KUPANG] – Maria Loretha, seorang perempuan asal Adonara, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berprofesi sebagai petani meraih penghargaan NTT Academia Award 2011. Ia dinobatkan masuk kategori sains/basic science/engineering karena mampu mempelopori hadirnya bank benih untuk memenuhi kebutuhan benih para kelompok tani di Adonara, seperti benih Sorgum, Jelai, Padi Hitam, Wijen, dan lain sebagainya.

Penyerahan NTT Academia Award 2011 sendiri dilakukan pada Sabtu, 14 Januari 2011, di Kupang, bertempat di gedung Museum Daerah Kupang, NTT.

Selain pelopori bank benih, Loretha juga aktif mengolah pangan lokal menjadi pangan ringan kering. Ia mengolah jagung pulut menjadi kripik, pisang menjadi pisang sale, kue kering dari tepung sorgum, chips ikan, dll. Semua makanan ringan kering ini hanya diproduksi pada saat musim panas, dengan mengandalkan panas matahari.

Selain Loretha, NTT Academia Ward 2011 juga diraih Jhon Ndolu, Ketua Forum Komunikasi Tokoh Adat Peduli Budaya Rote Ndao dengan kategori Pembangunan/ pertanian/peternakan/perikanan/ perkebunan. Jhon berperan penting mempopulerkan Tu’u Pendidikan alias arisan Pendidikan di Kabupaten Rote Ndao. John mencetuskan Tu’u pendidikan karena ia melihat ’ongkos adat’ dalam masyarakat Rote telah menjadi jerat persoalan tersendiri.

Sementara kategori Humaniora/Sastra disabet Agus Dapa Loka, Penulis Novel Perempuan Bermata Saga. Ia adalah Guru Bahasa Indonesia di SMA, dan kisah dalam novel ini merupakan kisah nyata tentang perjuangan perempuan-perempuan perkasa yang merelakan kakinya diamputasi.

Sedangkan kategori Enterpreneurship diraih Bobby Koamesah, seorang dokter (Manusia) yang memiliki hobby beternak babi. Ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki ‘dikawinkan” dengan kesenangan dan keinginan berwirausaha membangun NTT, dengan menghabiskan waktu luang, terutama di sore hari dengan mengurus Peternakan dan Pabrik Pakan.

dr. Bobby Koamesah saat ini juga sebagai Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana. Ia optimisme bakal mengangkat kemakmuran rakyat NTT melalui usaha yang dilakukan saat ini. Setidaknya punya harapan mengembalikan NTT sebagai propinsi ternak.

Selain menerima piagam NTT Academia Award 2011, para pemenang juga diberikan suntikan uang sebesar Rp5 juta.

“NTT Academia Award” adalah penghargaan tahunan yang hendak dicitrakan dan dimaknai sebagai penghargaan prestasi akademik tertinggi yang dicapai oleh para academia NTT. Analogi sederhananya adalah NTT Academia Award adalah penghargaan tahunan “Nobel” alternatif bidang pendidikan tinggi level Provinsi NTT

Hadir dalam penyerahan NTT Academia Award kali ini, para seniman yang tergabung dalam Rumah Poetika dan ANBI (Anak NTT Bermusik Indipenden), aktivis ornop, akademisi di NTT dan para tokoh agama di Kupang.

Tentang NTT Academia Award 2011, menurut Candra Dethan, Ketua Panitia NTT Academia Award 2011, kegiatan memberikan NTT Academia Award ini merupakan usaha untuk tetap mempertahankan jati diri manusia NTT yang senantiasa berjuang meskipun ada dalam kesulitan hidup.

Menurutnya maraknya bantuan yang dialamatkan kepada warga di NTT yang di-indetikan dengan kemiskinan, memiliki peluang untuk menghilangkan etos kerja keras yang dimiliki Orang NTT. NTT

Academia Award merupakan momen hidup untuk merayakan warga NTT yang berprestasi. “Orang NTT adalah manusia pejuang, kita harus berusaha dan terus berusaha, karena itu lah jati diri kita.

Salah seorang musisi NTT, Ivan Bartels yang juga turut hadir dalam acara pemberian NTT Academia Award 2011 mengatakan, “Idenya keren, kegiatan semacam ini merangsang masyarakat untuk berbuat lebih, dan penting penghargaan buat orang-orang yang berjasa besar bagi NTT serta dengan hal ini pemerintah hrs mulai membuka mata dan lebih peka agar ke depannya jangan sampai orang-orang berpotensi di NTT pergi ke luar daerah karena merasa tidak punya tempat berkarya di rumah sendiri”.

Sumber: http://www.sergapntt.com/2012/01/pelopor-bank-benih-asal-flores-timur.html

Ibu Rumah Tangga Raih NTT Academia Award 2011

Penerima NTT AA 2011 (foto Edy Royanto)
POS KUPANG.COM, KUPANG -- Maria Loretha, seorang ibu rumah tangga asal Kabupaten Flores Timur (Flotim) berhasil meraih NTT Academia Award tahun 2011 untuk kategori I, Bidang Sains dan Inovasi keteknikan.

Selain Loretha, masih ada tiga orang lainnya yakni John Ndolu, Agus Dapaloka dan Bobby Koamesah yang juga meraih NTT Academia Award tahun 2011 untuk kategori berbeda.

Loritha yang adalah seorang petani oleh tim juri dinilai berhasil di bidang sains dan inovasi keteknikan atas usahanya membudidayakan sorgum, jelai, jewawut, padi hitam dan wijen. Dia pun mengolah pangan lokal menjadi panganan ringan kering.

Maria Loretha terima trofi dari Leo Nahak
John Ndolu adalah fasilitator pengembangan di WVI. Dia terpilih sebagai penerima NTT Academia Award untuk kategori Inovasi Pembangunan berkas gagasan dan tindaknnya dalam hal revitalisasi budaya yakni penyederhanaan pesta pora dan membuat inovasi Tu’u pendidikan (pengumpulan dana bersama untuk biaya kuliah anak).

Agus Dapaloka adalah seorang guru bahasa dan sastra Indonesia pada SMAK Andaluri, Waingapu. Agus meraih NTT Academia Award tahun 2011 untuk kategori Humaniora dan inovasi sosial budaya atas karyanya mengubah pola pikir terhadap wanita melalui sebuah buku novelnya yang berjudul “Perempuan itu Bermata Saga”.
John Ndolu (kiri)

Sedangkan Bobby Koamesah adalah seorang dokter dan dosen Fakultas kedokteran Undana Kupang yang punya hobi beternak babi berhasil meraih pengghargaan untuk kategori Enterpreneurship/kewirausahaan. Dokter Boby berhasil mengembangkan bibit babi unggul dan pakan ternak murah tapi berkualitas.

Penyerahan hadiah dan penghargaan kepada empat pemenang berlangsung di Aula Museum Daerah NTT di Kupang, Sabtu (14/01/2011). Turut hadir pada acara penganugerahan ini adalah salah satu anggota DPR RI, Farry Djemi Francis yang juga merupakan anggota FAN NTT.

Para pemenang NTT Academia Award 2011 mendapatkan pengghargaan berupa piagam, trofi dan uang tunai yang diserahkan Kepala Museum NTT, Leonardus Nahak, panitia dan juga anggota DPR RI, Farry Djemi Francis.

Dari FAN yang diwakili salah satu anggotanya, Fary Francis dalam sambutannya mengatakan, malam penganugerahan kali ini merupakan suatu hal yang luar biasa berbeda dengan tahun sebelumnya karena para pemenang tidak pernah diketahui oleh panitia maupun anggota FAN NTT.

Tahun ini katanya, acaranya lebih istimewa. Dia mempertanyakan mengapa tidak ada satupun perwakilan dari pemerintah baik pemerintah kota Kupang maupun propinsi NTT. “Panitia undang (pemerintah) atau tidak?” lalu dijawab oleh panitia bahwa telah mengundang pemerintah untuk hadir dalam kegiatan malam itu namun tidak ada satupun perwakilan pemerintah yang hadir sebagai bentuk dukungan terhadap karya-karya anak Floamora.

“Sangat disayangkan kalau pemerintah setempat tidak ada perhatian terhadap karya-karya anak negeri seperti ini,” katanya kepada Pos Kupang usai acara malam itu. Farry berharap agar dengan penganugerahan penghargaan ini, semakin banyak orang NTT yang berusaha berbuat demi orang banyak.

Sementara Kepala UPT Museum NTT, Leonardus Nahak mengatakan orang NTT harus bangga menjadi orang NTT, banyak hal yang bisa dilakukan atau dibuat untuk NTT asalkan bekerja dengan hati.

Ketua Panitia kegiatan, Candra K Dethan mengatakan, FAN telah selama lima tahun berturut-turut membuat kegiatan serupa dengan mememilih orang-orang yang sudah berbuat banyak bagi perubahan masyarakat tapi belum diperhatikan pemerintah. “Dan di tahun 2011, panitia melalui dewan juri independen telah menetapkan empat tokoh yang telah berbuat lebih untuk NTT dan dunia,” katanya.

Penganugerahan Academia Award 2011 ini diawali dengan diskusi publik bertema refleksi empat pilar kebangsaan yakni, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika dengan narasumber Beny Tukan. (gg)


Komentar mereka
1. MARIA LORETHA : sehari-hari bekerja sebagai petani. Petani budidaya sorgum, jelai, jewawut, padi hitam, wijen. Dan mengolah pangan lokal menjadi panganan ringan kering contoh: jagung pulut menjadi criping jagung pulut, pisang menjadi pisang sale, kue kering dari tepung sorgum, chips ikan, dan lain-lain. Semua makanan ringan kering ini hanya diproduksi saat musim panas. Karena membutuhkan tenaga surya matahari. Sementara budidaya benih lokal hanya terpusat di kebun saya sebagai pusat BANK BENIH. Penyebaran hanya pada kelompok tani-kelompok tani (poktan) yg membutuhkn, ada kesadaran diri pribadi untuk mengembangkan dan melestarikan. Saya diundang poktan dulu baru saya datang bagi benih.
Jagung solo atau watabolong atau lepang atau sorgum bukan makanan kelas dua. Dia sengaja dilupakan dan ditinggalkan padahal dari segi gizi jauh di atas beras. Sebagai orang NTT saya bangga dengan kekayaan sumber pangan NTT yang sangat beragam. Kepada pemerintah, NGO dan seluruh masyarakat NTT, mari dukung perempuan penghasil pangan.

2. JOHN NDOLU : Saya bekerja selama 24 tahun tiga bulan di WVI sebagai Fasilitator Pengembangan. Dan kebetulan mendapat penghargaan dan Jaminan hidup dari Ashoka maka saya mundur dari WVI karena tidak boleh menerima gaji dobel. Maka sekarang saya melayani masyarakSat sambil bertani.
Saya melakukan revitalisasi budaya yakni penyederhanaan pesta pora dan membuat inovasi Tu’u pendidikan (pengumpulan dana bersama untuk biaya kuliah anak) Mengapa harus tu’u pendidikan? Karena pendidikan merupakan investasi pembangunan bangsa.

3. AGUS DAPALOKA: “Perempuan itu Bermata Saga” adalah sebuah novel yang berkisah tentang cinta seorang wanita. Wanita yang selama ini dipandang sebagai lemah dan selalu kalah dari laki-laki. Pandangan itu begitu keliru sebab telah ternyata bahwa dengan cinta dan sentuhan kelembutannya, wanita menunjukkan kekuatan yang dasyat. Tidak mudah seorang wanita menerima resiko “Tetap teguh mencintai” saat sebuah perubahan pada apa yang dicintai begitu menawarkan ketakutan. Cara berpikir terhadap wanita harus diubah dan berhenti meremehkan wanita.

4. DR. BOBBY KOAMESAH : Inti bisnis peternakan babi. Produksi bibit babi unggul, produksi pakan ternak murah dengan kandungan bahan lokal 2012 mulai produksi pakan. Pengembangan peternak dengan bantuan bibit, pakan, bantuan teknis dan manajemen dengan satu keluarga lima ekor, dapat meningkatkan penghasilan Rp 1 juta perbulan untuk peternak. Saat ini produksi 1.000 sampai 2.000 ekor bibit per tahun. Sedangkan produksi pakan berkualitas dua sampai lima ton setiap hari.



Penerima Tahun Sebelumnya


Tahun     2007:  Kusa Bill Nope, MT, Dosen Poltek Kupang, kategori sains dan keteknikan menyuling air laut menjadi air tawar dan tim robotika “PNK Smart Furute, mahasiswa politeknik Kupang. Tim Pelajar SMUN 2 Kupang    Dengan paper berjudul “pengaruh pembuatan kapur terhadap peningkatan kerusakan terumbu karang” dalam munas Terumbu karang coremap II di Jakarta 10/09/2007.

Tahun 2008: Siprianus Paulus Dawan    Mahasiswa FST Undana, karena temuan pada tahun 2007 berupa kolektor gerak surya memberi solusi mengatasi kekurngan air di daerah pesisir pantai NTT. et Malelak    Inovasi pembangunan (Dusun Uel, Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur) berswasembada jagung bahkan surplus jagung. Yovita Meta Bastian    atas karyanya menduniakan tenun ikat NTT, khususnya dari TTU.


Tahun 2009: Sr. Dr. Susi Susilawati    Penelitian tentang pengelolaan air hujan untuk pertanian di daerah kering dan pulau-pulau kecil (pulau sabu raijua). Yie Gae Tjie    Pengusaha aneka kerajinan Flores dan seorang motivator dan inspirator bagi masyarakat Kota Maumere.

Tahun 2010: Aliansi Masyarakat Motor Peduli ternak (Geng Motor IMuT)    Inovator teknologi terapan dengan memamfaatkan limbah ternak dan limbah industry rumah tangga menjadi biogas.    Pdt. Sefnat Sailana, S.Th    Motivator pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya air di Desa Apui, Alor. Pater Robert Ramone, CSsR    Melestarikan dan menduniakan kekayaan alam dan budaya sumba via lensa kamera.

Sumber: Pos Kupang.Com, Minggu 15 Januari 2012

Hermensen dan Kisah Sukses Seorang Petinju Amatir

Hermensen Ballo (HPN Kupang 2011)
BANYAK atlet berprestasi di negeri ini dilaporkan mengalami masa depan suram setelah meraih berbagai prestasi gemilang di bidang olahraga, baik di tingkat nasional maupun internasional untuk mengharumkan nama bangsa dan negara tercinta Indonesia.

Namun hal itu tidak berlaku bagi mantan petinju nasional dan internasional asal Nusa Tenggara Timur (NTT) Hermensen Bertholens Ballo (40) yang kini menjadi pegawai negeri sipil di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) NTT selepas menjadi petinju amatir beberapa tahun lalu.

Ketika ditanya soal malang nasibnya sejumlah mantan atlet berprestasi yang kini mengalami hidup susah secara ekonomi dan tidak memiliki pekerjaan, pria kelahiran Kupang 27 Februari 1971 itu dengan enteng mengatakan, "itu kesalahan atlet sendiri".

"Saya pikir perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap atlet berprestasi sudah sangat cukup. Mereka memberi kita bonus yang begitu banyak, tinggal kita mengelola dan memanfaatkannya dengan baik untuk merenda masa depan bersama keluarga," ujarnya.

Hermensen adalah peraih medali emas tinju SEA Games XX 1997 Jakarta yang pada partai final menang angka atas petinju Thailand Pramuansak Phosuawan untuk kelas terbang 51 kilogram.

Menurut suami Jane Magdalena Abineno itu, perhatian Pemerintah Provinsi NTT terhadap atlet NTT yang berprestasi cukup bagus dengan memberikan penghargaan dan bonus berupa uang dan rumah.

"Sebagai manusia, apa yang diberikan pemerintah Provinsi NTT kepada saya sudah cukup lumayan berupa dua unit rumah dan uang puluhan juta rupiah serta pekerjaan sebagai PNS," ujarnya Hermensen yang kini menjadi pelatih tinju di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar milik Dinas PPO NTT.

Hadiah dua unit rumah di kompleks perumahan Lopo Indah Permai BTN Kolhua Blok V No.07 dan Blok R2 di Kelurahan Kolhua Kupang merupakan hadiah dari Gubernur NTT Herman Musakabe saat berhasil memperoleh medali emas pada PON XIII Tahun 1993 dan PON XIV Tahun 1996.

Secara ekonomi, kehidupan raja tinju amatir di kelas layang pada era 1987-2004 itu tergolong cukup memadai, karena dirinya mampu merenda masa depan bersama keluarga dari hadiah serta bonus yang diberikan pemerintah atas prestasinya di ring tinju, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Hermensen tiga kali mengikuti PON mewakili NTT dan berhasil menyabet tiga medali emas, yakni PON XIII Tahun 1993 di Jakarta, saat di final menang angka atas Amos Aninam, petinju asal Papua di kelas layang ringan 45 kilogram.

Selain itu di PON XIV 1996 di Jakarta, di partai final ia menang angka atas petinju asal Maluku La Paene Masara di kelas layang 48 kilogram dan PON XVI Tahun 2004 di Palembang, Sumatera Selatan, di final menang angka atas petinju Kalimantan Barat Daud Yordan di kelas terbang 51 kilogram.

Di ajang Piala Presiden, Hermensen berhasil meraih tiga medali emas dan satu medali perak. Saat berlaga pada 1993 di Jakarta, di final ia kalah angka atas petinju Roel Velasco dari Filipina di kelas layang 48 kilogram.

Tiga medali emas Piala Presiden diraih pada 1994, 1995 dan 1996. Pada event terakhir ia, dinobatkan sebagai "the best of boxer" atau petinju terbaik.

Menurut Hermensen Ballo, dari 55 kejuaraan yang diikuti mulai dari tingkat nasional hingga international, ia berhasil menyumbangkan 33 medali emas, 12 perak dan delapan perunggu untuk Indonesia dan NTT. "Hanya dua kejuaraan yang saya ikuti yang tidak memperoleh medali yakni di Olimpiade 1996 di Atlanta, Amerika Serikat dan Kejuaraan Dunia pada 1994 di Bangkok," kata ayah tiga orang anak itu.

NTT memiliki sejumlah atlet tinju yang berbakat dan cukup disegani di ring tinju, baik ditingkat nasional maupun internasional antara lain Johny Asadoma yang kini menjadi Komandan Pasukan Garuda Polri untuk Pemeliharaan Perdamaian di Darfur, Sudan, Anis Roga, Alex Bajawa, Dikson Ton, Nelson Oil, Max Oil, Roy Muskanan, Karel Muskanan, David Hari, Hendrik Mure, Deny Hitarihun, dan Atris Neolaka.

"Ada kebanggaan tersendiri ketika berlaga di kejuaraan tinju mewakili Indonesia di tingkat internasional dan NTT di tingkat nasional. Artinya, bila kita benar-benar serius dan fokus, kita bisa mengharumkan nama bangsa di tingkat internasional dan nama daerah di tingkat nasional," kata Hermensen.

Hermensen Ballo sebenarnya sudah mengenal olahraga tinju sejak umur delapan tahun, ketika masih duduk di bangku kelas dua pada sebuah sekolah dasar (SD) di kota dingin SoE, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan.

"Kakak saya, Yonas Ballo yang memberi motivasi dan dorongan kepada saya untuk menjadi petinju. Saya menjadi sangat termotivasi untuk terus berlatih dan berlatih sampai harus melakukan 'push up' 2.500 kali sehari," katanya mengenang masa lalu.

Untuk pertama kalinya, Hermensen tampil di atas ring tinju saat berlangsungnya kejuaraan antarsasana di SoE, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan pada 1987 dan berhasil meraih sebuah medali emas dan memboyong Piala Bupati Timor Tengah Selatan (TTS). Pada kejuaraan yang sama tahun 1988, Hermensen kembali mencatat prestasi gemilang dengan merebut medali emas dan memboyong Piala Bupati TTS.

"Saya sangat mengagumi sosok pelatih Ken Balawa. Dirinya penuh kharisma sehingga membuat saya jadi terkenal berkat kepelatihannya selama ini," katanya dan menambahkan sejak awal membuka lembaran dunia tinju, dirinya tidak pernah berorientasi untuk mengejar materi, kecuali prestasi dan terus berlatih.

Pahit dan Manis

Dalam karir tinjunya, Hermensen juga mencatat sebuah pengalaman pahit yang dialaminya ketika tampil pertama kalinya di Kejuaraan Dunia di Berlin, Jerman pada 1995, ketika ia langsung tumbang di ronde pertama dan dinyatakan kalah KO dari petinju asal Bulgaria Daniel Petrov Bojilov di kelas layang 48 kilogram.

"Sebelumnya saya pernah menang atas Daniel Petrov Bojilov di arena World Cup Boxing, namun karena terlalu percaya diri akan menang lagi membuat saya tidak kontrol pertahanan, akhirnya rahang terkena pukulan telak membuat saya jatuh dan dinyatakan kalah KO," katanya menuturkan pengalaman pahit itu.

Sedangkan, saat paling menyenangkan bagi dirinya ketika berhasil memenangi pertarungan dalam kejuaraan Piala Raja (Kings Cup) XX di Chiangmai Thailand melawan petinju Li Wu Chun dari China di kelas layang 48 kilogram.

"Itu kemenangan luar biasa dan mukjizat dari Tuhan karena satu jam sebelum naik ring saya kena diare dan tensi naik turun tidak beraturan," katanya sambil menambahkan bahwa kemenangan tersebut kemudian menobatkan dirinya sebagai petinju Indonesia pertama meraih medali emas dalam kejuaraan Kings Cup yang hingga kini belum diraih oleh petinju Indonesia lainnya.

Bagi Hermensen profesi tinju adalah sebuah jalan hidup yang tidak hanya dilihat secara ekonomi, namun juga merupakan sebuah harga diri dan masa depan bangsa yang harus tetap diharumkan dari masa ke masa.

Guna menarik minat masyarakat NTT menjadi petinju profesional, Hermensen Ballo mendirikan sebuah sasana tinju di Kupang bernama Benteng Concordia BC sebagai wahana untuk melatih anak-anak NTT yang berbakat di bidang olahraga tinju.

"Apa yang diberikan pemerintah kepada saya sebagai petinju berprestasi sudah sangat cukup. Saya mengelola dan menata semua pemberian itu dengan baik untuk masa depan keluarga dan anak-anak," katanya sambil mengingatkan atlet berprestasi lainnya agar mampu merenda masa depannya dengan hasil yang diperoleh dari sebuah prestasi yang diraih. (Oleh Laurensius Molan dan Paulus Tokan/ANTARA)

Hidup Dibalut Cincin Api

Gunung Ile Lewotolok atau Ile Apa (istimewa)
YA, sebagian besar penduduk Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mesti menyadari bahwa mereka hidup dibalut cincin api yang panas membara. Api dari perut bumi yang kapan saja bisa mendatangkan bencana. Bencana dengan daya rusak mengerikan. Tidak sekadar meludeskan harta benda tetapi mencabut nyawa anak manusia.

Cincin api merupakan kawasan yang dikelilingi gunung berapi dan lempeng tektonik aktif. Pulau Flores, Adonara, Lembata dan Alor merupakan wilayah Nusa Tenggara Timur yang masuk dalam balutan cincin api tersebut. Di Pulau Flores, misalnya, terdapat 17 gunung berapi aktif yang rata-rata setiap lima menit selalu melahirkan goncangan gempa vulkanis.

Geliat cincin api yang panas membara kini mengguncang Pulau Lembata. Gunung Lewotolok atau Ile Ape menunjukkan peningkatan aktivitas sejak 2 Januari 2012. Petugas Pos Pemantau Gunung Api Lewotolok mencatat hingga Sabtu (7/1/2012) malam masih terjadi gempa tremor yang mengeluarkan asap dan api diam.

Sampai saat ini status gunung tersebut tetap siaga. Ratusan warga dari empat desa di sekitar gunung sudah meninggalkan kampung halaman mereka untuk mengungsi ke Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Warga mengungsi karena menderita menikmati siraman debu serta asap belerang yang dimuntahkan perut Gunung Lewotolok.

Lembata adalah salah satu pulau terindah di NTT. Pulau sekecil itu tidak hanya memiliki satu gunung berapi aktif. Selain Ile Lewotolok yang tinggi menjulang dekat Kota Lewoleba, masih terdapat sekurangnya dua gunung api aktif lain yaitu Gunung Batutara dan Hobal. Hobal bahkan termasuk gunung berapi di bawah laut yang pernah menimbulkan bencana dahsyat di masa lalu. Sebagai gunung berapi aktif maka selalu ada kemungkinan Gunung Batutara dan Hobal menunjukkan peningkatan aktivitas yang membahayakan manusia dan lingkungannya. Hanya soal waktu yang tak dapat diprediksi dengan pasti.

Apakah pemerintah dan masyarakat Lembata menyadari hidup dibalut cincin api? Maaf saja jika kita belum melihat geliat dan aksi nyata meskipun mereka tahu kampung halamannya akrab dengan gunung berapi aktif yang jika tiba saatnya bisa meletus atau sekurang-kurangnya menebarkan asap belerang dan debu seperti Ile Lewotolok saat ini.

Sejak Lembata menjadi daerah otonom sepuluh tahun lalu, kita belum melihat kampanye yang serius dan sungguh-sungguh untuk mengutamakan keselamatan manusia manakala gunung berapi di Lembata memuntahkan sesuatu dari perutnya.

Cara berpikir dan cara bertindak kita masih seperti dulu. Kita masih bergaya ala petugas pemadam kebakaran. Ada bencana dulu, ada korban dulu baru bersibuk ria mengurusnya. Manajemen penanganan bencana di daerah ini masih jauh dari harapan untuk tidak mengatakannya sebagai sangat amburadul.

Menurut pandangan kita, peningkatan aktivitas Gunung Ile Lewotolok saat ini mesti menjadi momentum bagi pemerintah dan semua pemangku kepentingan di Lembata untuk menata manajemen bencana alam daerah yang lebih profesional dengan target jangka panjang dan permanen. Langkah jangka pendek yang bisa dilakukan adalah memastikan jalur evakuasi serta tempat perlindungan bagi penduduk bila terjadi peningkatan aktivitas gunung berapi. Yang terjadi dengan warga sekitar Gunung Ile Lewotolok saat ini adalah mereka bingung harus bergerak lewat jalur mana agar aman dari muntahan asap belerang dan debu vulkanis yang mengancam kesehatan.

Tugas paling penting membangun kesadaran masyarakat Lembata bahwa mereka hidup berdampingan dengan gunung api. Mereka harus tahu kapan berlindung manakala gunung menunjukkan tanda akan meletus atau sekadar batuk-batuk menebarkan asap dan debu. Dalam peristiwa terkini yang menimpa Ile Lewotolok kita menyaksikan betapa sebagian warga masyarakat sudah mengungsi meskipun aktivitas Ile Lewotolok belum masuk kategori bahaya. Ketidaktahuan sungguh membelenggu mereka.

Pemerintah Kabupaten Lembata dengan duet pemimpin baru yang dipilih lewat pemilu kada yang demokratis tahun lalu ditantang untuk melakukan terobosan. Indah nian bila suatu saat nanti Lembata menjadi kabupaten contoh di NTT tentang manajemen penanganan bencana alam yang melahirkan decak kagum. Lembata pasti bisa jika mereka mau. *

Pos Kupang, 9 Januari 2012 hal 4

Natal dan Spirit Memberi Diri

TENTANG Natal ada pepatah lama yang berkata demikian. "Christmas means a different thing for a different person". Natal memiliki makna berbeda untuk orang yang berbeda. Setiap orang Kristen merayakan Natal dengan penghayatan sendiri-sendiri. Mengecapi pengalaman personal. Pengalaman yang sangat pribadi. Natal 2011 boleh jadi membawa sukacita. Tetapi bisa juga peristiwa Natal justru hadir dalam suasana duka.

Sekilas pandang kita mudah menemukan peristiwa Natal yang marak meriah dengan segala sesuatu serba baru. Tembok dan dinding rumah dicat baru, sofa, kursi, meja lama diganti, kain pintu dan jendela baru, baju, celana, sandal atau sepatu baru. Natal juga indentik dengan harum kue dan aneka jenis minuman. Belakangan ini pernak-pernik Natal bertambah satu lagi. Anak-anak, remaja hingga orang dewasa bermain petasan dan kembang api. Juga terompet. Bunyinya memekakkan telinga. Mereka bermain tak kenal waktu. Pagi, siang ataupun larut malam saat orang membutuhkan keheningan untuk tidur.

Di berbagai pojok kota dan dusun pun orang membuat pohon terang dengan ornamen yang indah dan unik. Suasana Natal sungguh terasa, setidaknya di kampung besar Nusa Tenggara Timur yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Di lingkungan gereja, Natal berarti melakukan berbagai kesibukan mulai dari menghias gereja dengan berbagai asesoris yang indah, termasuk pohon terang dan kandang Natal. Kesibukan anggota paduan suara atau koor pun meningkat. Jadwal latihan menyanyi bertambah. Kalau sebelumnya sekali seminggu, menjelang Natal bisa dua sampai tiga kali sepekan.

Anak-anak dan remaja sibuk latihan drama, menari serta aktivitas lain yang berkaitan dengan Natal. Aktivitas jemaat gereja selalu meningkat pesat selama Desember. Ada orang sangat sibuk bahkan super sibuk selama persiapan Natal. Pemandangan itu biasa kita saksikan. Bukan di tempat yang jauh. Suasana itu ada di sekitar lingkungan domisili Anda. Tidak salah memang. Natal, hari kelahiran Kristus Sang Juru Selamat umat manisia perlu dirayakan dengan indah, meriah dan sukacita.

Apakah dengan segala hal yang serba baru, dengan kesibukan yang sangat tinggi menyongsong Hari Kelahiran Yesus akan sungguh menjamin hadirnya makna Natal sejati? Lagi-lagi setiap orang akan berkata dengan bahasa berbeda. Ada yang bahagia menjalaninya. Kesibukan itu dimaknai sebagai tanda syukur atas anugerah berlimpah yang cuma-cuma dari Tuhan. Tidak sedikit pula orang yang setelah sibuk dengan berbagai kegiatan Natal malah tidak merasakan apa-apa lagi. Segera setelah bulan Desember berlalu, tak ada lagi yang tersisa. Hatinya tetap kosong. Kecenderungan berbuat dosa berlanjut.

Setiap kali merayakan Natal mestinya kita kembali memperbaharui semangat hidup sesuai teladan Yesus Kristus. Teladan macam apa? Teladan Yesus yang mengasihi. Ini sangat dibutuhkan dalam dunia yang penuh kebencian dan persaingan pada masa sekarang. Yesus rela berkorban dan spirit-Nya memberi diri hingga mati di kayu salib penting untuk kita teladani dalam dunia yang makin egois, dalam dunia yang tidak peduli pada sesama yang kurang beruntung. Dunia di mana manusia saling memangsa satu sama lain. Kita biasanya lebih ingat diri ketimbang memberi diri untuk kebaikan sesama.

Yesus juga memberi teladan tentang kesederhanaan. Sungguh relevan dengan pola hidup zaman kita yang lebih menonjolkan kemewahan fisik. Ukuran nilai hidup cenderung memuja kebendaan ketimbang harta rohani. Di tengah gaya hidup kita yang makin konsumtif dan gemerlap, kiranya penting direnungkan bahwa Tuhan dan Juru Selamat Dunia itu justru lahir di dalam palungan. Di kandang Betlehem. Semoga damai dan sukacita Natal senantiasa menyertai kita dalam kebersamaan dengan sahabat dan anggota keluarga. Selamat Natal. *

Pos Kupang, 24 Desember 2011 hal 4

Wanita Terpendek di Dunia

Seorang gadis bernama Jyoti Amge asal Nagpur, negara bagian Maharastha, India tengah, berhasil memecahkan rekor sebagai wanita terpendek.

Gadis yang tepat berusia 18 tahun pada 16 Desember 2011 ini, resmi dinyatakan sebagai wanita dunia terkecil oleh Guinness Book of Records, dengan tinggi 62,8 cm.

Pembatasan ketinggiannya adalah karena anomali pertumbuhan yang disebut achondroplasia.

Dari foto dapat dilihat sebera besar Jyoti Amge, yang lahir 16 Desember 1993. wanita terpendek di dunia itu, memperlihatkan tanggannya yang dihiasi henna di kediamannya di Nagpur, India.

Dalam perayanan ulang tahunya, Jyoti Amge terlihat senang. Dia memakai topi pesta berwana hijau. Lihat fotonya di sini.

Jyoti Amge juga terekam saat menawarkan sepotong kue ulang tahun kepada Rob Molloy dari The Guinness World Record di Nagpur. Saat diukur dengan meteran, Jyoti masih terlihat senang.• VIVAnews
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes