Alex Beding |
Tahun 2011 yang baru lewat umat Katolik Lembata merayakan yubileum 125 tahun masuknya agama Katolik di pulau itu. Tahun yang sama tepatnya tanggal 23 Oktober 2011, Lembata juga merayakan 60 tahun imamat Pater Alex Beding, SVD, imam sulung dari pulau tersebut.
Mengenang pesta intan imamat Pater Alex, Penerbit Ledalero menerbitkan buku “Bersyukur dan Berharap” dengan editor Steph Tupeng Witin, SVD. Dalam buku setebal 183 halaman tersebut, karya dan pengabdian Pater Alex Beding, SVD yang merayakan HUT ke-88 tanggal 23 Januari 2012 digelar elegan dan utuh.
Alex Beding, Imam Sulung Lembata dan Tokoh Pers NTT
Menyambut Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari 2012, kami memandang perlu menukilkan sebagian isi buku tersebut untuk pembaca FloresStar. Alex Beding tidak sekadar imam Katolik yang setia melayani umatnya. Dia adalah tokoh perintis yang membudayakan tradisi membaca bagi masyarakat Flores-Lembata dan NTT umumnya lewat buku dan media massa. Dia merupakan tokoh peradaban daerah ini yang patut dikenang dan diteladani.
LAMALERA 23 Oktober 2011. Deretan tena laja (bangsal-bangsal perahu) di pinggir pantai Desa Lamalera mematung dalam hening. Anak-anak tanpa baju berkejaran di atas hamparan pasir. Tulang-tulang ikan paus tegak di beberapa sudut. Bau amis ikan menjadi ucapan selamat datang kepada siapa pun yang memasuki haribaan Desa Lamalera.
Steph Tupeng Witin, SVD melukiskan dengan indah ketika ia memulai tulisannya pada bagian pertama buku Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat P Alex Beding, SVD (Penerbit Ledalero, 2011 hal 13). Memandang Lamalera berarti menyaksikan keajaiban hidup yang telah sekian abad bergulir di atas batu-batu karang yang menutupi sebagian besar badan Lamalera. Alam terkesan kikir dan miskin tetapi di sinilah kehidupan itu berdenyut dengan indah.
Hari itu, 23 Oktober 2012, ombak pantai selatan yang terkenal garang menjelma menjadi sahabat yang tenang. “Laut selama beberapa hari ini tampak tenang. Teduh! Biasanya berombak besar. Gelombang yang besar menghantam batu karang dengan garang,” kata Fransiskus Keraf, guru SMPK APPIS Lamalera seperti dikutip Steph.
Alam seakan ikut tersenyum bersama umat Paroki St. Petrus Paulus Lamalera yang hari itu berbahagia bersama Yubilaris Pater Alex Beding, SVD merayakan 60 tahun imamat (intan imamat). Imam sulung dari Pulau Lembata itu merayakan kebahagiaannya dalam ekaristi kudus di gereja Paroki Lamalera didampingi Vikjen Keuskupan Larantuka, Romo Gabriel Unto da Silva, Pr dan Pater Paulus Boli Lamak, SVD bersama 13 imam konselebrantes lainnya pada hari Minggu yang cerah, 23 Oktober 2011.
Kebahagian intan imamat rasanya menjadi mahkota bagi seluruh Pulau Lembata karena Pater Alex adalah imam sulung Pulau Lembata. Dialah yang membuka pintu gerbang bagi perjalanan panggilan hidup membiara putra-putri Lembata hingga detik ini. Dia adalah buah sulung dari benih iman yang ditaburkan para misionaris di tanah Lembata dengan Lamalera sebagai pintu gerbangnya.
Pada bulan September 2011 umat Paroki Lamalera khususnya dan Lembata umumnya merayakan yubileum 125 tahun masuknya agama Katolik di Lembata. Selama rentang waktu 125 tahun panggilan hidup membiara tumbuh subur. Seperti ditulis Steph Tupeng Witin, di Paroki Lamalera saja, hingga kini tercatat sebanyak 37 pastor dari berbagai tarekat dan keuskupan di seluruh Indonesia, sebanyak 21 pastor itu berasal dari Desa Lamalera dan kurang lebih 133 biarawan-biarawati.
Di Pulau Flores, Lembata, Adonara, Solor bahkan di seluruh wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) agaknya tidak ada satu desa pun yang subur menyamai Lamalera dalam hal benih panggilan menjadi pekerja di ladang Tuhan. Kampung Lamalera patut dicatat sebagai tonggak penting dalam sejarah Gereja Katolik di negeri ini.
Saat menyampaikan sambutan pada akhir ekaristi perayaan intan imamat, Pater Alex Beding, SVD menunjukkan kartu bahagia intan imamatnya yang mengutip kata-katanya “sangat indah melukiskan identintas setiap orang Lamalera”. Kartu hasil repro foto itu menggambarkan yubilaris Pater Alex dengan pakaian lengkap misa berdiri di atas latar belakang Desa Lamalera. Pada stola tertulis “In Verbo Tuo”. Pater Alex seakan disanggah oleh deretan tena laja yang membujur dari timur hingga barat.
Inilah gambaran aktivitas harian penduduk Lamalera. Tena laja menjadi bangsal bagi perahu-perahu yang saban hari memuat para pelaut kekar tanpa baju bertarung dengan ikan raksasa di Laut Sawu.
Tampak di tengah deretan bangsal perahu itu Kapela Santo Petrus yang menjadi pusat kehidupan melaut nelayan Lamalera. Kapela itu menjadi pusat ekaristi kudus pada saat hendak memulai musim leva (melaut). Peralatan melaut selalu diberkati imam sebagai simbol penyertaan Tuhan dalam karya para pelaut tangguh Lamalera. Dan di belakang yubilaris tampak alam Lamalera yang kering dengan dedaunan pohon yang meranggas.
“Gambar ini melukiskan identitas kita semua sebagai orang Lamalera. Di atas kenyataan inilah kita dilahirkan, hidup dan bertumbuh hingga saat ini.” Kata-kata tersebut diucapkan Pater Alex Beding dengan bibir gemetar. Orang Lamalera, sebagaimana dihadirkan melalui gambar itu seakan berada di antara laut yang menyediakan kehidupan dan darat yang menghadirkan kekuatan.
Di laut mereka bertarung dengan ikan raksasa. Kadang dengan korban nyawa. Berbekal keberanian dan kenekatan. Di darat, meski tanah berada di selangkangan bebatuan besar dan kecil, masih dapat dimanfaatkan untuk menanam ubi dan jagung walaupun tidak menentu tumbuhnya. Lebih banyak gagal. Tapi di darat inilah para perempuan Lamalera setia menjelajahi puluhan desa di pedalaman untuk membarter hasil bumi berupa jagung, padi, buah-buahan, sayur, ubi-ubian dan sebagainya dengan modal ikan, garam dan kapur. Drama kehidupan ini telah berlangsung selama berabad-abad. Abadi hingga detik ini. Dan, tetap berlanjut hingga masa depan.
Steph Tupeng Witin lebih jauh melukiskan sebagai berikut. Kebahagiaan intan imamat Pater Alex menjadi mahkota iman seluruh umat. Tuhan seakan tengah berjalan melintasi deretan tena laja untuk melewati, menguatkan dan menyegarkan dahaga iman umat yang setiap saat direpresi oleh berbagai tantangan dan kesulitan.
Tuhan itu telah setia bersama Pater Alex selama 60 tahun dengan menjaga dan merawat imamat dalam bejana tanah liat kemanusiaan. Selama 60 tahun, Pater Alex telah berpeluh, berkeringat seperti para nelayan Lamalera kekar yang dibakar keganasan terik matahari di tengah hamparan laut nan ganas. Tapi tetap setia berziarah seperti para perempuan Lamalera ber-penetang (berjalan ke pedalaman Lembata untuk membarter hasil bumi).
Dan hari itu, 23 Oktober 2011, kebahagiaan dan kegembiraan rasanya tidak tuntas dilukiskan dengan kata. Kebahagiaan dirayakan dengan sederhana tapi bermakna agung. Seperti kata pemazmur: bagai petani yang tersenyum bahagia kembali dari ladang dengan memikul berkas-berkas padi. Seperti kebahagiaan para prajurit yang kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan. Kebahagiaan itu tetap terlukis di antara deretan tena laja yang akan mematung hingga kapan pun. (dion db putra/bersambung)
Sumber: Harian FloresStar 27 Januari 2012 hal 1
Artikel Terkait
Dia Menjala di Lautan Lain
Dari Mataloko ke Ende demi Nusa Indah
Membangun Nusa Indah dari Kantor Sederhana
Terpikat indahnya Cahaya Kunang-Kunang
Masih Menulis Buku di Usia 88 Tahun
Steph Tupeng Witin, SVD melukiskan dengan indah ketika ia memulai tulisannya pada bagian pertama buku Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat P Alex Beding, SVD (Penerbit Ledalero, 2011 hal 13). Memandang Lamalera berarti menyaksikan keajaiban hidup yang telah sekian abad bergulir di atas batu-batu karang yang menutupi sebagian besar badan Lamalera. Alam terkesan kikir dan miskin tetapi di sinilah kehidupan itu berdenyut dengan indah.
Hari itu, 23 Oktober 2012, ombak pantai selatan yang terkenal garang menjelma menjadi sahabat yang tenang. “Laut selama beberapa hari ini tampak tenang. Teduh! Biasanya berombak besar. Gelombang yang besar menghantam batu karang dengan garang,” kata Fransiskus Keraf, guru SMPK APPIS Lamalera seperti dikutip Steph.
Alam seakan ikut tersenyum bersama umat Paroki St. Petrus Paulus Lamalera yang hari itu berbahagia bersama Yubilaris Pater Alex Beding, SVD merayakan 60 tahun imamat (intan imamat). Imam sulung dari Pulau Lembata itu merayakan kebahagiaannya dalam ekaristi kudus di gereja Paroki Lamalera didampingi Vikjen Keuskupan Larantuka, Romo Gabriel Unto da Silva, Pr dan Pater Paulus Boli Lamak, SVD bersama 13 imam konselebrantes lainnya pada hari Minggu yang cerah, 23 Oktober 2011.
Kebahagian intan imamat rasanya menjadi mahkota bagi seluruh Pulau Lembata karena Pater Alex adalah imam sulung Pulau Lembata. Dialah yang membuka pintu gerbang bagi perjalanan panggilan hidup membiara putra-putri Lembata hingga detik ini. Dia adalah buah sulung dari benih iman yang ditaburkan para misionaris di tanah Lembata dengan Lamalera sebagai pintu gerbangnya.
Pada bulan September 2011 umat Paroki Lamalera khususnya dan Lembata umumnya merayakan yubileum 125 tahun masuknya agama Katolik di Lembata. Selama rentang waktu 125 tahun panggilan hidup membiara tumbuh subur. Seperti ditulis Steph Tupeng Witin, di Paroki Lamalera saja, hingga kini tercatat sebanyak 37 pastor dari berbagai tarekat dan keuskupan di seluruh Indonesia, sebanyak 21 pastor itu berasal dari Desa Lamalera dan kurang lebih 133 biarawan-biarawati.
Di Pulau Flores, Lembata, Adonara, Solor bahkan di seluruh wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) agaknya tidak ada satu desa pun yang subur menyamai Lamalera dalam hal benih panggilan menjadi pekerja di ladang Tuhan. Kampung Lamalera patut dicatat sebagai tonggak penting dalam sejarah Gereja Katolik di negeri ini.
Saat menyampaikan sambutan pada akhir ekaristi perayaan intan imamat, Pater Alex Beding, SVD menunjukkan kartu bahagia intan imamatnya yang mengutip kata-katanya “sangat indah melukiskan identintas setiap orang Lamalera”. Kartu hasil repro foto itu menggambarkan yubilaris Pater Alex dengan pakaian lengkap misa berdiri di atas latar belakang Desa Lamalera. Pada stola tertulis “In Verbo Tuo”. Pater Alex seakan disanggah oleh deretan tena laja yang membujur dari timur hingga barat.
Inilah gambaran aktivitas harian penduduk Lamalera. Tena laja menjadi bangsal bagi perahu-perahu yang saban hari memuat para pelaut kekar tanpa baju bertarung dengan ikan raksasa di Laut Sawu.
Tampak di tengah deretan bangsal perahu itu Kapela Santo Petrus yang menjadi pusat kehidupan melaut nelayan Lamalera. Kapela itu menjadi pusat ekaristi kudus pada saat hendak memulai musim leva (melaut). Peralatan melaut selalu diberkati imam sebagai simbol penyertaan Tuhan dalam karya para pelaut tangguh Lamalera. Dan di belakang yubilaris tampak alam Lamalera yang kering dengan dedaunan pohon yang meranggas.
“Gambar ini melukiskan identitas kita semua sebagai orang Lamalera. Di atas kenyataan inilah kita dilahirkan, hidup dan bertumbuh hingga saat ini.” Kata-kata tersebut diucapkan Pater Alex Beding dengan bibir gemetar. Orang Lamalera, sebagaimana dihadirkan melalui gambar itu seakan berada di antara laut yang menyediakan kehidupan dan darat yang menghadirkan kekuatan.
Di laut mereka bertarung dengan ikan raksasa. Kadang dengan korban nyawa. Berbekal keberanian dan kenekatan. Di darat, meski tanah berada di selangkangan bebatuan besar dan kecil, masih dapat dimanfaatkan untuk menanam ubi dan jagung walaupun tidak menentu tumbuhnya. Lebih banyak gagal. Tapi di darat inilah para perempuan Lamalera setia menjelajahi puluhan desa di pedalaman untuk membarter hasil bumi berupa jagung, padi, buah-buahan, sayur, ubi-ubian dan sebagainya dengan modal ikan, garam dan kapur. Drama kehidupan ini telah berlangsung selama berabad-abad. Abadi hingga detik ini. Dan, tetap berlanjut hingga masa depan.
Steph Tupeng Witin lebih jauh melukiskan sebagai berikut. Kebahagiaan intan imamat Pater Alex menjadi mahkota iman seluruh umat. Tuhan seakan tengah berjalan melintasi deretan tena laja untuk melewati, menguatkan dan menyegarkan dahaga iman umat yang setiap saat direpresi oleh berbagai tantangan dan kesulitan.
Tuhan itu telah setia bersama Pater Alex selama 60 tahun dengan menjaga dan merawat imamat dalam bejana tanah liat kemanusiaan. Selama 60 tahun, Pater Alex telah berpeluh, berkeringat seperti para nelayan Lamalera kekar yang dibakar keganasan terik matahari di tengah hamparan laut nan ganas. Tapi tetap setia berziarah seperti para perempuan Lamalera ber-penetang (berjalan ke pedalaman Lembata untuk membarter hasil bumi).
Dan hari itu, 23 Oktober 2011, kebahagiaan dan kegembiraan rasanya tidak tuntas dilukiskan dengan kata. Kebahagiaan dirayakan dengan sederhana tapi bermakna agung. Seperti kata pemazmur: bagai petani yang tersenyum bahagia kembali dari ladang dengan memikul berkas-berkas padi. Seperti kebahagiaan para prajurit yang kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan. Kebahagiaan itu tetap terlukis di antara deretan tena laja yang akan mematung hingga kapan pun. (dion db putra/bersambung)
Sumber: Harian FloresStar 27 Januari 2012 hal 1
Artikel Terkait
Dia Menjala di Lautan Lain
Dari Mataloko ke Ende demi Nusa Indah
Membangun Nusa Indah dari Kantor Sederhana
Terpikat indahnya Cahaya Kunang-Kunang
Masih Menulis Buku di Usia 88 Tahun