Catatan Sepakbola Dion DB Putra
SREBRENICA melambungkan nama Ratko Mladic. Srebrenica, kota kecil pegunungan di sisi timur Bosnia-Herzegovina, oleh kenyataan sejarah, oleh kekejian nafsu hewani manusia, kurang lebih sama dan sebangun dengan kamp penyiksaan warga Yahudi di Auschwitz Jerman, tempat yang membuatku merinding saat mengunjunginya dalam lawatan beberapa tahun silam.
Srebrenica-Ratko Mladic, Adolf Hitler-kamp Auschwitz sama-sama menjadi nama yang menakutkan, sama-sama menebarkan horor, nama yang akan lama dikenang dunia. Bahkan mungkin hingga akhir zaman (jika itu memang ada).
Di Srebenica medio Juli 1995, kurang tiga tahun pasca kemerdekaan Bosnia, di hadapan wajah-wajah tak berdaya, wajah-wajah polos tak bersalah, dengan gagah berani Jenderal Ratko Mladic memerintahkan para algojo menghamburkan peluru. Lebih dari 120 jam, para penjagal Mladic, anggota angkatan bersenjata Serbia membombardir Srebrenica dengan granat berat dan roket.
Lima hari setelah Srebrenica berlumuran darah, Mladic memasuki kota itu sambil mengajak juru kamera guna merekam hasil kerja para alogojonya. Tanpa rasa bersalah secuil pun, jenderal tambun dengan wajah sangar itu menyaksikan ribuan kepala manusia berlubang, tumpukan jasad yang dibantai hanya karena mereka punya asal-usul berbeda, suku berbeda, agama berbeda dengan Mladic yang berdarah Serbia. Sedikitnya 7.500 warga Bosnia tewas dalam pembantaian selama lima hari di bulan berdarah Juli 1995 itu.
Puas meninggalkan jejak tengik di Srebrenica, bersamaan dengan berakhirnya perang saudara di semenanjung Balkan, Mladic kembali ke Beograd, menikmati dukungan dan perlindungan terbuka dari Pemimpin Serbia Slobodan Milosevic. Ia tinggal di rumah mewah, rajin mengunjungi tempat umum, menonton opera, balet, konser musik simfoni dan makan di restoran mahal.
Enam tahun lamanya Mladic menikmati kemewahan hidup sebagai veteran perang Bosnia sampai penahanan Slobodan Milosevic tahun 2001 atas desakan masyarakat internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Milosevic diajukan ke Pengadilan Kejahatan Perang PBB di den Haag Belanda atas kejahatan perang, atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Milosevic digelandang ke den Haag bersama dua prajurit binaan Mladic yang menjadi algojo di Srebrenica tahun 1995.
Ke mana Mladic? Jenderal licik dan licin itu berhasil lolos dari kepungan polisi yang menggrebeknya di Beograd. Mladic buron. Dia tidak pernah menetap lama di suatu tempat, selalu berpindah-pindah lewat penyamaran, lewat bantuan kaki tangannya yang masih setia. Beberapa laporan menyebutkan ia tinggal di bunker masa perang Bosnia di Han Pijesak, tak jauh dari Sarajevo atau di Montenegro. Laporan lain menyebut ia tetap di berada atau sekitar Belgrade.
Pada tanggal 21 Februari 2006 berembus isu Mladic telah ditahan di Beograd, ibu kota Serbia lalu dipindahkan ke Kota Tuzla di timur laut Bosnia atas permintaan pengadilan PBB di den Haag. Penahanan itu disangkal pemerintah Serbia. Ketua Penuntut Pengadilan PBB di den Haag Carla Del Ponte pun menyangkal kabar burung itu. Mladic lagi-lagi lolos dari tangkapan.
Mladic masih bebas berkelana hingga Serbia-Montenego resmi berpisah sebagai negara merdeka, masing-masing sebagai negara Serbia dan negara Montenegro lewat referendum tanggal 21 Mei 2006. Referendum Mei 2006 itu melahirkan tiga negara baru pecahan Yugoslavia yaitu Bosnia-Herzegovina, Serbia dan Montenegro.
Ya, sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Selicin-licinnya Mladic, dia akhirnya menyerah juga. Mladic ditangkap pasukan keamanan Serbia di Lazarevo, dekat Zrenjanin di wilayah Banat, Provinsi Vojvodina pada 26 Mei 2011. Mladic bertekuk lutut saat dikepung dua lusin pasukan khusus kepolisian yang memakai seragam hitam dan cadar serta tanpa tanda pengenal apapun.
Lengannya yang lumpuh akibat stroke serta usia tua (Mladic lahir di Bosnia 12 Maret 1943), membuat buronan kelas kakap itu menyerah. Selama persembunyian, Mladic menggunakan nama samaran Milorad Komadic. Dia tidak memelihara janggut, kumis atau tanda pengenal apapun. Seperti Milosevic, Mladic kemudian diborgol ke den Haag menjalani persidangan atas kasus paling mengerikan, genosida! Dia menanam, dia menuai hasilnya.
Horor Mladic di Srebrenica. Demikianlah genosida terburuk menjelang ujung abad ke-20 ketika dunia begitu getol berteriak tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Tragedi Srebrenica terjadi karena orang seperti Mladic tak sudi mengakui bahwa pluralisme, bahwa perbedaan itu adalah keniscayaan. Bahwa kemanusiaan itu satu dan universal tapi sang Khalik yang empunya kehidupan, yang sejatinya seniman agung itu, menciptakan pelangi kemanusiaan agar dunia ini indah.
Tak pernah ada manusia yang meminta jadi minoritas, tak ada yang patut merasa hebat karena klaim mayoritas. Pembunuhan sesama karena perbedaan etnis, agama, latar politik tidak dapat dibenarkan. Dan, tidak boleh terjadi lagi.
***
DI balik wajahnya yang sangar, kulitnya yang kasar dan hatinya yang sejahat Adolf Hitler itu, Ratko Mladic adalah penggemar sepakbola sejati. Sebelum menjadi buronan penjahat perang dan penjagal genosida, jenderal angkatan bersenjata Serbia ini hampir selalu menonton pertandingan sepakbola setiap akhir pekan.
Dia tidak hanya menikmati pertandingan di depan layar televisi, tetapi sangat sering Mladic hadir di stadion, berteriak memberi dukungan kepada tim dan pemain kesayangannya. Tim idola Mladic adalah Red Star Belgrade, klub Serbia (dulu Yugoslavia) yang pernah meraih trofi Liga Champions Eropa dan paling banyak menjuarai kompetisi Liga Serbia dengan koleksi 25 gelar juara.
Delapan belas tahun setelah Mladic menciptakan horor di Srebrenica, berusaha menistakan etnis Bosnia, tim nasional (timnas) sepakbola Bosnia-Herzegovina membuat sejarah. Untuk pertama kali Bosnia-Herzegovina lolos ke putaran final kejuaraan sepakbola paling bergengsi antarnegara, FIFA Word Cup.
Bosnia-Herzegovina mengamankan tiket Piala Dunia di Brasil musim panas 2014 setelah sukses menaklukkan tuan rumah Lithuania 1-0 di Kaunas, hari Selasa 15 Oktober 2013.
Gol tunggal pemain klub Bundesliga Jerman, VfB Stuttgart, Vedad Ibisevic pada menit ke-68, sudah cukup untuk memastikan kemenangan bagi negara pecahan Yugoslavia itu terbang ke negeri elok Brasilia tahun depan. Ibisevic menggetarkan jala gawang tuan rumah yang lebih difavoritkan setelah memanfaatkan umpan silang Edin Dzeko dari sayap kanan pertahanan Lithuania.
Hasil ini cukup untuk memastikan Bosnia-Herzegovina tampil sebagai juara Grup G kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Eropa. Bosnia-Herzegovina unggul selisih gol atas Yunani, yang pada hari yang sama mengalahkan tim rapuh Liechtenstein 2-0.
Sejak berdiri sebagai negara merdeka 1992, lima tahun pasca kejatuhan Soviet dan Komunismenya yang ikut meruntuhkan negara Yusgolavia, Bosnia-Herzegovina dua kali hampir merasakan berkiprah di kejuaraan sepakbola kelas dunia. Namun, kesempatan emas tersebut selalu dipupuskan Portugal. Dua kali Portugal gagalkan mimpi Bosnia-Herzegovina di babak play-off menuju Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, dan babak play-off Piala Eropa 2012 di Ukraina dan Polandia.
Maka ketika gol Vedad Ibisevic bertahan hingga wasit meniup peluit panjang di Kaunas 15 Oktober 2013, sekitar 5 juta penduduk Bosnia larut dalam kebahagiaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Hampir 30 ribu orang turun ke jalan-jalan utama Sarajevo, ibu kota Bosnia. Klakson mobil nyaring bersahut-sahutan, seruling terompet nyaris memekakkan telinga. Sarajevo berspesta pora semalam suntuk di alun-alun kota, di taman-taman dan kafe merayakan sukses negeri yang terkoyak perang Balkan itu lolos ke Piala Dunia.
Mereka mengelu-elukan nama Pelatih Safet Susic sebagai arsitek kemenangan bersejarah. Susic mengantar Bosnia kini boleh sejajar dengan negara lain di Eropa yang lebih dulu berjaya di Piala Dunia. Warga Sarajevo tiada henti menyebut Ibisevic sebagai pahlawan. Tak lupa pula menyanjung punggawa timnas Bosnia Asmir Begovic, Avdija Vrsajevic, Adnan Zahirovic, Ermin Bicakcic, Emir Spahic; Zvjezdan Misimovic, Haris Medunjanin, Sejad Salihovic; Miralem Pjanic, Senad Lulic dan Edin Dzeko.
Di dalam pesawat yang menerbangkan pahlawan Bosnia di ladang bola kembali ke Sarajevo dari ibu kota Lithuania seusai kemenangan heroik malam itu, para pemain tak henti-hentinya bernyanyi. Susic harus menutup rapat telinganya karena tak tahan mendengar Dzeko yang paling keras suaranya, meski fals.
"Hampir saja saya menendang mereka satu per satu karena nyanyian di kabin itu," kata Susic kepada wartawan saat landing di Sarajevo. Susic bercanda dengan awak media sekaligus melukiskan suasana hatinya yang ceria. "Ini momen paling membahagiakan untuk saya selama berkarir di sepakbola," demikian Susic seperti dikutip Miami Herald, Rabu (16/10/2013).
Bola menjadi hiburan. Bola menjadi pengobat lara. Timnas sepakbola Bosnia mempersembahkan sesuatu yang sangat berarti bagi bangsanya. "Ini tidak sekadar tentang sepakbola lagi. Ini tentang perasaan kami yang selalu dilupakan karena sebagai negara baru kami tak punya pengalaman," kata Salih Redzic, satu di antara warga Sarajevo yang merayakan pesta Selasa malam itu di alun-alun kota.
Sukses Bosnia lolos ke Piala Dunia sungguh menghibur warga Bosnia yang selama ini berada dalam situasi serba sulit, baik secara ekonomi maupun politik. Data terkini menyebutkan, sekitar 25 persen dari total populasi Bosnia berstatus pengangguran. Mereka bekerja serabutan sekadar mempertahankan periuk nasi.
Geliat perekonomian dalam negeri Eropa Timur itu sedang buruk. Konflik politik yang melibatkan elit Bosnia tak henti-hentinya berkecamuk. Pekan lalu, penderitaan warga Bosnia bertambah berat setelah bantuan 47 juta Euro dari Uni Eropa menguap karena konflik politik dalam negeri.
Bagi warga Bosnia, kegembiraan yang merebak seperti Selasa malam 15 Oktober 2013 itu sangat jarang mereka rasakan. Dua dekade lalu, Bosnia terlibat perang Balkan yang mengakibatkan sekitar 100 ribu orang terbunuh. Mereka pun tak akan melupakan horor yang ditebarkan Jenderal Ratko Mladic dan para algojonya di Srebrenica Juli 1995.
Hingga hari ini pun konflik itu masih saja meninggalkan luka batin, mewariskan kemiskinan, mencuatkan tingkat pengangguran tinggi serta konflik politik atas nama demokrasi dalam negeri Bosnia yang tak kunjung usai
"Kami tak punya alasan lain untuk bahagia," ujar Benjamin Saric, seorang pelajar berusia 20 tahun dari Sarajevo. Sukses di lapangan bola membuat warga Bosnia- Herzegovina kini sejenak melupakan kepenatan hidup harian mereka.
Dalam skala berbeda tapi dengan getar batin yang kurang lebih sama, bola pun sedang menjadi pengobat lara kita yang menghuni negeri bernama Indonesia. Negeri yang masih dililit krisis ekonomi, gurita korupsi tiada akhir serta intrik dan trik politik yang hari-hari ini menawarkan misteri baru bernama Bunda Putri.
Bukankah Anda mendadak bangga sebagai anak Indonesia ketika Evan Dimas dkk menjuarai Piala AFF U-19? Bukankah tuan dan puan berteriak kegirangan ketika 12 Oktober 2013, Evan Dimas dkk mengalahkan Korea Selatan 3-2 sekaligus meraih tiket ke putaran final Piala Asia U-19 tahun depan di Myanmar?
Bola menghibur dunia, begitulah pesona cabang olahraga sepak kulit bundar ini sejak abad yang lalu, hari ini dan hingga kapan pun, sepanjang sepakbola masih dimainkan anak manusia.
Sepakbola menebarkan keutamaan yang sangat indah karena bola selalu menembus batas, melewati sekat perbedaan suku, agama, ras dan golongan. Dalam bola kita bisa sehati. Bisa menangis dan tertawa bersama atas kekalahan dan kejayaan. Maka filsuf Albert Camus benar ketika dia bertitah,
"Dalam hal keutamaan dan tanggung jawab akan tugas saya belajar dan berhutang budi pada sepakbola". Anda dan saya, putri-putri Srebrenica yang perih atas horor Ratko Mladic, kita semua, berhutang budi pada sepakbola. Karena dia menghibur, dia mengobati lara. (*)
Sumber: Tribun Manado