"Mandi madu" di angkasa
Di langit nan cerah
Antara Sumba-Sumbawa...
WIDAWATI, Aniks, Yasinta Valeria dan Muhamad Fattah sungguh dibikit repot pagi itu. Kurang lebih selama satu jam mereka bergantian bolak-balik mengambil tissue guna mengeringkan bagasi kabin yang basah oleh benda cair. Benda cair berkental yang menebarkan aroma khas.
Salah seorang di antara mereka bahkan harus berdiri di atas bangku kecil sekian lama guna mencapai sudut kabin. Tissue yang gampang basah pun disusun berlapis agar penumpang di bawah tidak terkena benda cair alias "mandi madu" sungguhan pada ketinggian jelajah 34.000 kaki.
Perjalanan Kupang-Jakarta, Sabtu 7 Februari 2009 dengan pesawat Boeing 737 seri 400 milik Batavia Air guna mengikuti peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Jakarta kembali menambah pengalaman lucu, unik dan berkesan bagi saya. Lucu, unik dan berkesan tentang tindak tanduk, sikap dan perilaku penumpang pesawat terbang di Indonesia.
Tepat pukul 07.05 WITA, pesawat dengan nomor penerbangan 7P-702 lepas landas dari Bandara El Tari-Kupang. Proses take-off yang mulus menembus angkasa Kupang yang sedang cerah. Kutengok ke muka dan belakang, hampir seluruh kursi terisi penumpang.
Rute Kupang-Jakarta dengan transit Surabaya memang dikenal sebagai jalur gemuk untuk maskapai penerbangan. Ada dua penerbangan pagi hari dari Kupang yaitu Lion Air dan Batavia. Sedangkan siang hari dilayani Mandala, Sriwijaya Air, Merpati dan City Link Garuda.
Pimpinan penerbangan di akhir pekan itu adalah kapten pilot Fanto. Saya tak ingat nama ko-pilotnya. Duet "sopir" burung besi hari itu dibantu empat awak kabin yang ramah dan cekatan, Aniks, Widawati, Valeria dan M Fattah.
Sekitar 20 menit pertama semuanya berjalan lancar. Kulihat dua rekan di samping tertidur. Sungguh penerbangan yang nyaman karena cuaca sedang bersahabat. Ketika empat awak kabin mulai membagi-bagikan seketul roti dan segelas air mineral berlogo Batavia kepada setiap penumpang, terdengar sedikit "gerakan" di kursi nomor 16, 17 dan 18. Ada sesuatu yang terjadi dengan penumpang di sana.
Seorang penumpang memberitahu pramugari bahwa ada rembesan benda cair dari bagasi kabin. Pramugari mendekat dan disambut aroma madu yang sungguh tak bisa ditipu.
Spontan pramugari bertanya siapa pemilik madu itu? Seperti dugaan saya yang sejak awal memperhatikan kejadian itu, pramugari tidak segera mendapat jawaban guna mempercepat aksi memindahkan barang itu. Butuh beberapa menit untuk membuka bagasi kabin dan memeriksa satu persatu barang di dalamnya. Untung tidak lama kemudian sumber cairan itu ditemukan dan pemiliknya mengakui.
Kendati madu sudah dipindahkan, namun rembesannya masih melengket di kabin. Maka Aniks, Widawati, Valeria dan M Fattah bergantian membersihkan dengan tissue agar salah satu sumber makanan bergizi tinggi itu tidak membasahi penumpang. Cukup lama kerepotan ini berlangsung. Saat itu saya kira kami sedang terbang di atas Pulau Sumba dan Sumbawa.
***
SAYA tidak kaget kalau penumpang pesawat dari Kupang membawa madu. Madu adalah salah satu jenis oleh-oleh alias buah tangan dari Kupang selain daging se'i (daging sapi) yang diasap.
Madu dari Pulau Timor ada dua jenis yang kesohor yaitu madu batu dan madu pohon. Semuanya alamiah. Artinya, bersumber dari lebah yang hidup liar. Bukan lebah yang diternakkan sebagaimana di daerah lain Indonesia.
Madu batu dihasilkan kawanan lebah yang hidup di antara bebatuan di hutan Timor. Rasanya khas. Daerah penghasil madu di Timor antara lain, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara.
Jika bepergian dengan pesawat terbang, maka dibutuhkan cara mengepak yang tepat agar madu tidak berceceran. Apalagi jika buah tangan itu Anda tenteng ke dalam kabin bukan masuk bagasi barang. Dimasukkan ke bagasi pun perlu dipak secara rapi dan kuat. Mesti ada penahan dari kayu atau benda lainnya.
Jika masuk kabin harus dipastikan ikatan tutup botol atau jeriken sungguh rapat dan berlapis. Perlu dites apakah madu merembes bila posisi botol atau jeriken terbalik. Tidak disarankan botol berisi madu dimasukkan ke dalam kopor atau tas pakaian karena bisa merusak. Beberapa kali saya membawa madu untuk teman- teman di Jakarta atau Surabaya dan aman selama perjalanan. Belum pernah menciptakan sensasi "mandi madu" di angkasa Indonesia.
Kendati rasanya sama-sama enak dan bergizi, dalam hal aroma, madu jelas lebih baik dibanding durian jika lokasinya kabin pesawat terbang. Tahun 2006 saat pulang dari kota dingin Brastagi, pesawat yang saya tumpangi dari Bandara Polonia Medan menuju Jakarta tertunda sekitar 30 menit gara-gara penumpang membawa durian ke dalam kabin.
Lamanya waktu tertunda karena penumpang yang bersangkutan tidak segera mengaku. Permintaan berulang lewat pengeras suara seolah angin lalu. Awak kabin pun mesti mengendus sumber aroma durian sampai mereka menemukan sendiri dan memindahkannya.
Lain lagi dengan pengalaman saya tahun 2007. Waktu itu pilot enggan melakukan take-off dari Bandara El Tari-Kupang karena seorang ibu hamil tujuh bulan tidak membawa surat keterangan dokter. Kepada pramugari ibu muda itu bersikeras kalau dia sehat dan tidak akan terjadi apa-apa selama perjalanan. Untuk meyakinkan pramugari, dia memberi alasan sewaktu berangkat dari Jakarta seminggu sebelumnya, dia toh tidak mengantongi surat keterangan dokter.
Pilot tetap pada sikapnya. Untung ibu muda itu akhirnya bisa menerima penjelasan awak pesawat dan dia mau turun dari pesawat. Dia tetap berangkat ke Jakarta dengan penerbangan berikutnya setelah mengurus surat keterangan dokter.
Kisah lain yang masih saya catat terjadi awal tahun 2005 dalam penerbangan Surabaya-Balikpapan. Saat itu saya mendapat tugas selama tiga pekan di koran grup yang berbasis di kota minyak Balikpapan.
Ketika pesawat sedang melakukan manuver untuk mendarat di Bandara Sepinggan, tiba-tiba seorang pemuda bangun dari kursinya dan bergerak menuju toilet. Pramugari menahannya dengan setengah berteriak agar ia tetap duduk sampai pesawat mendarat. Pemuda yang berusia sekitar 20-an tahun itu dengan enteng berkata, "Aduh, saya udah kebelet Mbak."
Penumpang lain yang mendengar jawaban itu senyam-senyum melihat keluguan pemuda itu. Saat berdiri sejajar untuk mengambil bagasi di terminal kedatangan, saya bertanya kepadanya. Dengan jujur pemuda ini mengaku baru pertama naik pesawat terbang. *