Tragedi "Si Miskin" di Kupang (1)

JIKA Masih memiliki nurani yang sehat peristiwa ini sungguh menikam rasa kemanusiaan kita. Sungguh terjadi di rumah sakit milik pemerintah, RSU Prof. Dr. WZ Johannes Kupang, Kamis (12/2/2009) dinihari Wita. Saya ingin membagi tragedi "Si Miskin" di Kota Kupang ini untuk Anda semua. Betapa di negeri kita, kata "pelayanan" dari lembaga publik itu cukup sering hampa tak bermakna.

Adalah Yakobus Anunut, ayah seorang balita, Limsa Setiana Katarina Anunut (2,5 tahun), penderita gizi buruk dan diare yang mengalami nasib memilukan itu.

Gara-gara tak punya uang Rp 300 ribu untuk menyewa mobil ambulans rumah sakit, Yakobus Anunut (37), warga Kelurahan Oesapa Selatan, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, nekat berjalan kaki kurang lebih 10 kilometer sambil menggendong jenazah anaknya. Beruntung ada sanak keluarganya yang datang menolong menggunakan mobil saat dia baru berjalan lebih kurang lima kilometer.

Si kecil Limsa yang menderita gizi buruk terkena diare sehingga sang ayah, Yakobus, pun membawanya ke RSU Kupang, Rabu (11/2/2009). Karena ruang perawatan sudah penuh, Limsa dirawat di salah satu ruangan instalasi gawat darurat (IGD). Dengan jaminan kartu kesehatan untuk orang miskin, Yakobus berharap anaknya mendapat perawatan untuk disembuhkan. 

Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Baru beberapa saat dirawat, Limsa meninggal dunia, Kamis (12/2/2009) dinihari, sekitar pukul 03.00 Wita. Petugas medis kemudian membawa jenazah Limsa ke kamar jenazah rumah sakit. Ternyata, di ruangan instalasi pemulasaran jenazah (IPJ), Limsa ditelantarkan begitu saja. Padahal, biasanya setiap jenazah yang dititipkan di ruangan itu dimandikan oleh petugas rumah sakit dan disuntik formalin agar tidak membusuk.

Orangtua korban yang hanya berprofesi sebagai petugas cleaning service di salah satu instansi pemerintah ini hanya pasrah dengan perlakuan petugas rumah sakit. Sekitar dua jam menunggu, Yakobus akhirnya menemui petugas ambulans untuk meminta agar jenazah anaknya dibawa pulang ke rumahnya di Kelurahan Oesapa Selatan. Namun, petugas ambulans meminta biaya Rp 300 ribu.

"Saya katakan kepada petugas ambulans bahwa untuk membayar ojek saja saya tidak punya uang. Dari mana saya harus mendapatkan uang sebanyak Rp 300 ribu untuk membayar bapak?" katanya.

Kasih sayang yang mendalam terhadap buah hatinya, membuat Yakobus tak tega melihat anaknya tidur membujur kaku tanpa perhatian. Tak sedikit pun ada niat dari petugas IPJ untuk memandikan bayi malang ini. Karena mengaku tak mampu membayar, petugas ambulans rumah sakit langsung pergi, tak menghiraukan Yakobus. Hati bagai disayat sembilu. Perih dan sakit, namun tak bisa ditumpahkan karena tak punya kuasa untuk melakukannya. 

Yakobus akhirnya memutuskan untuk menggendong jenazah anaknya sambil berjalan kaki sejauh kurang lebih 10 kilometer untuk kembali ke rumahnya. Ia berjalan dari RSU Kupang menuju kediamannya di belakang Rumah Penitipan Barang Sitaan (Rumpasan) Kelas I Kupang, kompleks Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kupang. Dengan linangan air mata dan berbagai rasa yang berkecamuk di hatinya, Yakobus tak menghiraukan dinginnya udara pagi yang menusuk disertai gerimis yang terus turun. Yakobus nekat berjalan sendirian. Hanya dibungkus sebuah kain lusuh, Yakobus terus mendekap jenazah buah hatinya agar tidak terkena percikan gerimis.

Ia sempat membangunkan kerabatnya di bilangan Oebobo untuk memberitahukan kematian Limsa, lalu terus berjalan. Tiba di kompleks Flobamora Mall (sekitar 5 km), Yakobus yang kecapaian sejenak beristirahat. Semalaman begadang menjaga Limsa ditambah belum ada sesuap nasi pun yang mengganjal perutnya sejak malam, Yakobus butuh waktu untuk melepaskan lelah. 

Ternyata masih ada yang berbaik hati kepada Yakobus. Sanak saudaranya di Oebobo ternyata diam-diam mencari kendaraan untuk membantu Yakobus. 

Saat masih melepaskan lelah, menggunakan sebuah kendaraan pick-up, saudaranya yang berasal dari Oebobo berhasil menemui Yakobus. Terus mendekap Limsa di dadanya, jenazah pun diantar sampai di kediamannya. 

Saat wartawan Pos Kupang mendatangi kediamannya, Jumat (13/2/2009) pagi, tenda duka telah kosong. Masih ada puluhan kursi plastik coklat dijejerkan di bawah sebuah tenda lusuh yang dipasang seadanya. Beberapa orang ibu nampak masih duduk memegang buku liturgi pemakaman Limsa. Menurut salah satu keluarga duka, mereka baru menyelesaikan kebaktian bersama jemaat GMIT Moria Liliba. Jenazah Limsa yang lahir 16 September 2006 itu telah diberangkatkan ke Tarus untuk dimakamkan di pekuburan keluarga di Tarus, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Pos Kupang yang mengikuti jejak rombongan duka menuju Tarus, Kupang Timur, tidak berhasil menemukan lokasi pemakaman korban.


Berbagai komentar, kecaman dan nada pembelaan bermunculan. Melalui website, www.pos-kupang.com, Shinto Tanjung mengatakan, "Hidup sudah sulit, mati pun masih dipersulit. Saya kira bukan itu tujuan Prof. Dr. W.Z. Johannes."

"Saya baca berita saya langsung meneteskan air mata betapa busuknya sifat petugas RSU Kupang. Bapak, kalau saya yang jadi pejabat sudah saya pecat orang-orang busuk seperti itu. Tapi apa daya kita orang tidak punya apa-apa, jadi mungkin ini yang sudah digariskan kepada kita. Tapi saya doakan semoga adik kecil diterima di sisi Allah Bapa. God bye baby, kisahmu akan aku kenang," kata Gusti. 

Masih banyak komentar lainnya yang bernada prihatin terhadap nasib Yakobus sekaligus kecaman terhadap pihak manajemen RSU Kupang yang masuk ke website www.pos-kupang.com.

Direktur RSU Kupang, dr. Alphonsius Anapaku, SpOg, yang dimintai konfirmasi di ruang kerjanya, mengatakan, belum mengetahui laporan terkait persoalan tersebut. Ia mengatakan, seandainya ia mengetahui ada jenazah yang berasal dari keluarga yang tidak mampu, dirinya akan membantu. Tetapi, katanya, bantuan yang diberikan sudah di luar prosedur dalam rumah sakit karena hanya bersifat kemanusiaan saja. "Kalau lewat prosedur, pasti tetap bayar," ujar Alphons.

Petugas piket di IPJ RSU Kupang, Octovianus Boymau, yang dihubungi melalui handphone-nya, mengaku, sempat meminta Yakobus untuk bersabar menunggu pelayanan mobil ambulans. "Saya bilang, tidak apa-apa, biar bapak tidak punya uang tetapi kami akan tetap antar sampai di rumah. Tetapi, dia tetap mengambil sikap untuk mengendong anaknya dan pulang," jelas Octovianus.

Tak ada yang perlu disalahkan. Yakobus Anunut pun tak ingin menyalahkan siapa-siapa. Dia hanya ingin agar jenazah bayinya segera dimakamkan. "Apakah orang Kupang sudah kehilangan rasa kemanusiaan? Itu komentar dari Yuni di www.pos-kupang.com. (Sumber: Pos Kupang, Sabtu 14 Februari 2009 halaman 1)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes