Nego, Pangan Lokal yang Hilang

DESA Boleng di Kecamatan Ile Boleng, Kabupaten Flores Timur cukup terkenal dengan berbagai makanan tradisional. Ada nego dan jagung bose atau orang di desa itu menyebutnya kabose. Ada gaplek atau ubi kering yang dalam bahasa daerah setempat disebut ue tu'u dan putu, makanan dari ubi kering yang ditumbuk dan dikukus dalam tempurung kelapa.

Sejak kecil saya tinggal di desa itu bersama nenek. Saya diasuh nenek karena nenek sendirian, sementara orangtua saya tinggal di Waiwerang, ibu kota Kecamatan Adonara Timur. 
Sehari-hari kami mengonsumsi makanan khas daerah itu. 

Setiap kali nenek datang ke pasar tradisional setempat pada hari Minggu, makanan yang dibeli adalah jagung kering dan ubi kering. Kadang jagung dan ubi itu tidak dibeli pakai uang, tapi dibarter dengan ampas kelapa. Orang dari gunung mengambil ampas kelapa untuk makanan ternak babi mereka. Sementara nenek saya mendapatkan jagung dan ubi. 

Yang lebih banyak ditukar nenek adalah jagung. Dari jagung nenek saya -- yang sehari-hari dipanggil mama Tija dari nama panjangnya Hatija-- menyulapnya jadi makanan siap saji berupa jagung titi dan nego.

Nego dibuat dari jagung kering yang digiling atau ditumbuk halus, kemudian ditampi dan diambil bagian yang halusnya lalu dimasak. Sedangkan bagian yang kasarnya biasa dicampur dengan beras lalu dimasak dan dinamakan nasi. Jagung halus ini bisa dimasak dengan santan kelapa atau kelapa parut dan dimakan sebagai menu makan nego atau yang sekarang lebih dikenal dengan nasi.

Warga di kampung ini hanya memiliki sebidang kebun yang berada di areal desa mereka. Namun, mereka memiliki kebun di Waijarang yang saat ini sudah masuk Kabupaten Lembata. 

Setiap musim hujan mereka menyeberang ke Waijarang menggunakan sampan kecil untuk berkebun. Pada umumnya mereka yang berkebun adalah perempuan, karena laki-laki kebanyakan merantau ke Malaysia. 

Di Waijarang mereka menanam jagung, kacang-kacangan dan ubi kayu. Hasil panen mereka lumayan, bisa disimpan sebagai stok makanan setahun. Tempat mereka menyimpan hasil kebun pun tidak jauh dari rumah mereka, persis di atas tungku dapur atau biasa disebut maga.

Di setiap rumah, tidak terkecuali, selalu tersedia ubi kayu, jagung dan kacang-kacangan. Mereka tidak pernah menyimpan pangan yang namanya beras. Cukup dengan jagung yang diolah menjadi nego, ubi kayu dan kacang-kacangan, warga di kampung ini hidup sehat. Anak-anak di desa itu tidak terkena gizi kurang apalagi busung lapar. Setiap pagi, sarapan dengan bubur nego yang dimasak dengan santan kelapa. Semua orang di kampung ini menyantap makanan ini dengan sangat lahapnya. 
Bahkan pada siang hari, makanan yang disiapkan juga nego. Namun menunya diubah, nego dimasak kering sebagaimana orang memasak nasi, ditambah sayur daun kelor atau kuah asam yang dimasukkan dengan ikan segar hasil tangkapan warga setempat.

Dulu ikan di pesisir pantai Desa Boleng sangat banyak. Ini dipengaruhi banyaknya terumbu karang di pesisir pantai. Cukup membuang kail, ikan langsung terperangkap dalam mata kail. Tapi, saat ini di desa itu tidak ada lagi terumbu karang. Warga di desa itu biasa mengambil terumbu karang dan membakarnya untuk dijadikan kapur dan dijual ke desa lain. Mereka tidak tahu dampak buruk dari hilangnya terumbu karang biota laut lainnya. Saat ini ikan di desa itu pun mulai berkurang.

Bukan hanya ikan, di daerah yang cukup tandus dan susah air minum itu tidak ada lagi stok ubi kayu, jagung dan kacang-kacangan seperti tahun 1980-1990-an. Saat ini, di kampung itu, kita tidak lagi melihat nego, tapi nasi putih yang berasal dari beras. Orang-orang desa pun mulai memilih nasi dari beras ketimbang nego dari jagung. Lidah orang di desa ini sudah berubah.

Ini karena pada tahun 1994 pemerintah memperkenalkan revolusi hijau. Banyak penduduk desa di seluruh Indonesia diminta mengubah lahannya menjadi sawah. Kampanye produksi beras marak dilakukan. Hasilnya, peningkatan produksi beras nasional yang cukup tinggi. Konsumsi beras juga digalakkan dan disisipkan di berbagai program pemerintah yang bertujuan mengatasi masalah kekurangan gizi. Banyak penduduk desa baru mengenal beras putih yang digiling. Hasil produksi beragam varietas padi unggul. 

Ketika itu pemerintah membagikan beras sebagai bagian dari program bagi keluarga prasejahtera. Program ini kemudian berubah nama menjadi beras untuk rakyat miskin (Raskin).
Dengan program ini pemerintah memberikan subsidi beras kepada keluarga miskin setelah terjadi krisis ekonomi tahun 1997-1998. Satu keluarga miskin diperhitungkan akan membeli beras 20 kg sebulan dengan harga Rp 1.000/kg. Ini berarti tiap keluarga miskin akan membelanjakan Rp 20.000 per bulan.

Dengan adanya revolusi hijau ini, masyarakat di kampung itu mulai menukarkan hasil panen mereka dengan beras. Naasnya, stok pangan pun habis. Di rumah-rumah tidak terlihat lagi maga tempat menyimpan stok pangan lokal.

Padahal, desa yang lebih banyak dihuni kaum perempuan ini -- dengan mengonsumsi gaplek, nego dan makanan lokal lainnya -- mampu menghasilkan sejumlah orang sukses, seperti Drs.H. Muhammad S. Wongso yang saat ini menjabat Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Provinsi NTT, mantan Sekwan Propinsi NTT, Drs. H. Mahmud Ma'mun, Sekjen DPP PBB, H. Sahar L. Hasan dan sejumlah pejabat lain yang menyebar di Indonesia. Mereka ini sukses karena nego dan ubi kayu.

"Dulu setiap hari kami makan nego, ubi gaplek dengan menu sayur kuah asam atau daun kelor, tapi kami berhasil. Saat ini menu makanan sudah berubah dari nego ke nasi, tapi banyak yang putus sekolah," ujar Mahmud Ma'mun ketika berbincang-bincang dengan keluarganya. (Sarifah Sifat)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes