DAHLAN, sahabat saya yang juga Wakil Pemimpin Redaksi Harian Tribun Timur Makassar mendadak jadi pemandu wisata. Memperkenalkan kekayaan sejarah, kultur dan warisan bernilai tinggi dari kampung halamannya.
"Bung sudah beberapa kali ke sini tapi percuma kalau tidak sempat mengunjungi Museum La Galigo di Fort Rotterdam," kata anak Bugis itu berpromosi saat kami jalan-jalan keliling Kota Makassar, Selasa malam 4 September 2007 silam.
Saat itu, Dahlan menunjukkan kepada saya bangunan bersejarah baik warisan Belanda maupun warisan masa awal kemerdekan.Makassar atau dulu Ujung Pandang tidak begitu asing bagi saya karena bukan baru pertama kali ke sana. Tetapi ke Benteng Fort Rotterdam apalagi secara khusus mengunjungi Museum La Galigo belum pernah saya lakukan sebelumnya.
La Galigo sungguh menimbun rasa penasaran saya sejak ia menggemparkan dunia tahun 2004. Nama itu mengemuka saat kisah epik I La Galigo dipentaskan di berbagai kota dunia mulai dari Singapura, New York (Amerika Serikat), Amsterdam (Belanda), Barcelona dan Madrid (Spanyol) sampai Ravenna (Italia).Epik terpanjang di dunia yang usianya lebih tua daripada epos Mahabharata itu isinya sebagian besar berbentuk puisi dalam bahasa Bugis kuno.
Naskah asli terdiri dari 12 jilid. Disebut karya sastra terpanjang di dunia karena manuskripnya lebih dari 300.000 baris serta jalinan tokohnya berbelit-belit. La Galigo melebihi kitab Mahabharata dan Ramayana dari India atau sajak-sajak Homerus dari Yunani. Mahabharata cuma sepanjang antara 160.000 -200.000 baris.
La Galigo mengisahkan Sawerigading, pahlawan yang gagah berani dan juga perantau. La Galigo juga memberi gambaran mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. Karya kuno setebal 6.000 halaman tersebut diangkat ke pentas teater kontemporer oleh sutradara kelas dunia, Robert Wilson bersama Restu Kusumaningrum dari Indonesia.
Pada saat pementasan I La Galigo di berbagai kota dunia termasuk di dalam negeri tiga tahun lalu, hampir semua orang berdecak kagum akan pesan dan makna ceritanya. Sebagai karya sastra, keindahan La Galigo terletak pada konvensi bahasa, metrum, sastra dan alurnya. Isinya meliputi berbagai sumber tradisi, norma serta konsep kehidupan manusia.
***
SAMPAI juga saya di museum itu pada hari Jumat, 7 September 2007 atau sehari sebelum kembali ke Kupang setelah mengikuti kegiatan selama sepekan di kota "Anging Mamiri". Benar 'promosi' Dahlan. Makassar tidak cuma memiliki wisata bahari dan kuliner yang menarik, tetapi punya jejak sejarah yang akan membawa kita menyelami Makassar tempo dulu. Salah satunya ada di Museum La Galigo.
Museum La Galigo terletak di dalam kawasan Fort Rotterdam alias Benteng Ujung Pandang atau Benteng Panyua karena bentuknya mirip seekor penyu yang sedang merayap menuju Selat Makassar. Dengan kendaraan roda dua atau empat, hanya butuh waktu lima menit dari Pelabuhan Makassar atau Pantai Losari dan sekitar 45 menit dari Bandara Hasanuddin.Di balik kokohnya dinding benteng Fort Rotterdam setebal 2 meter itu, Anda segera temukan Museum La Galigo.
"Bung sudah beberapa kali ke sini tapi percuma kalau tidak sempat mengunjungi Museum La Galigo di Fort Rotterdam," kata anak Bugis itu berpromosi saat kami jalan-jalan keliling Kota Makassar, Selasa malam 4 September 2007 silam.
Saat itu, Dahlan menunjukkan kepada saya bangunan bersejarah baik warisan Belanda maupun warisan masa awal kemerdekan.Makassar atau dulu Ujung Pandang tidak begitu asing bagi saya karena bukan baru pertama kali ke sana. Tetapi ke Benteng Fort Rotterdam apalagi secara khusus mengunjungi Museum La Galigo belum pernah saya lakukan sebelumnya.
La Galigo sungguh menimbun rasa penasaran saya sejak ia menggemparkan dunia tahun 2004. Nama itu mengemuka saat kisah epik I La Galigo dipentaskan di berbagai kota dunia mulai dari Singapura, New York (Amerika Serikat), Amsterdam (Belanda), Barcelona dan Madrid (Spanyol) sampai Ravenna (Italia).Epik terpanjang di dunia yang usianya lebih tua daripada epos Mahabharata itu isinya sebagian besar berbentuk puisi dalam bahasa Bugis kuno.
Naskah asli terdiri dari 12 jilid. Disebut karya sastra terpanjang di dunia karena manuskripnya lebih dari 300.000 baris serta jalinan tokohnya berbelit-belit. La Galigo melebihi kitab Mahabharata dan Ramayana dari India atau sajak-sajak Homerus dari Yunani. Mahabharata cuma sepanjang antara 160.000 -200.000 baris.
La Galigo mengisahkan Sawerigading, pahlawan yang gagah berani dan juga perantau. La Galigo juga memberi gambaran mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. Karya kuno setebal 6.000 halaman tersebut diangkat ke pentas teater kontemporer oleh sutradara kelas dunia, Robert Wilson bersama Restu Kusumaningrum dari Indonesia.
Pada saat pementasan I La Galigo di berbagai kota dunia termasuk di dalam negeri tiga tahun lalu, hampir semua orang berdecak kagum akan pesan dan makna ceritanya. Sebagai karya sastra, keindahan La Galigo terletak pada konvensi bahasa, metrum, sastra dan alurnya. Isinya meliputi berbagai sumber tradisi, norma serta konsep kehidupan manusia.
***
SAMPAI juga saya di museum itu pada hari Jumat, 7 September 2007 atau sehari sebelum kembali ke Kupang setelah mengikuti kegiatan selama sepekan di kota "Anging Mamiri". Benar 'promosi' Dahlan. Makassar tidak cuma memiliki wisata bahari dan kuliner yang menarik, tetapi punya jejak sejarah yang akan membawa kita menyelami Makassar tempo dulu. Salah satunya ada di Museum La Galigo.
Museum La Galigo terletak di dalam kawasan Fort Rotterdam alias Benteng Ujung Pandang atau Benteng Panyua karena bentuknya mirip seekor penyu yang sedang merayap menuju Selat Makassar. Dengan kendaraan roda dua atau empat, hanya butuh waktu lima menit dari Pelabuhan Makassar atau Pantai Losari dan sekitar 45 menit dari Bandara Hasanuddin.Di balik kokohnya dinding benteng Fort Rotterdam setebal 2 meter itu, Anda segera temukan Museum La Galigo.
Museum ini didirikan Belanda tahun 1676. Semula Museum La Galigo adalah kediaman Gubernur Jenderal Belanda, Cornelis Speelman asal Rotterdam. Gaya arsitektur gotik dari abad ke-17 sangat menonjol dengan ciri tembok samping menjulang tinggi diikat besi serta pintu tinggi dan lebar, pilar teras bundar dan kastel. Dalam perkembangannya, Museum La Galigo pernah menjadi markas komando pertahanan, kantor pemerintahan dan perdagangan serta tempat tinggal.
Pada masa revolusi fisik (1945-1950) museum dijadikan pusat komando pertahanan. Dan, periode 1950-1969 menjadi tempat tinggal anggota militer dan sipil. Museum resmi diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1970.
Cukup lengkap benda peninggalan sejarah yang ada di sana, misalnya foto hitam putih Benteng Fort Rotterdam yang akan membawa kita melintasi waktu ke masa lalu. Terdapat catatan sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel), mengenai pelautnya yang tangguh, peta topografi, bahasa, suku bangsa serta beraneka jenis perahu dan rumah tradisional khas Bugis, Toraja, Makassar. Ada bendi dan sepeda kumbang tua, ruangan prasejarah dan arkeologi yang menyimpan arca, alat-alat yang terbuat dari batu serta fosil. Kendi, manik-manik, miniatur candi, phallus, replika serta patung prasejarah Sulsel dan saringan air memberikan gambaran kondisi masyarakat daerah ini pada masa lalu.
Di museum ini bisa dijumpai alat tenun serta hasil tenunan khas Sulsel, alat-alat bercocok tanam serta hasil pertanian. Pemerintah Propinsi Sulsel memberi kesan sungguh-sungguh mengelola museum serta benteng Fort Rotterdam sebagai salah satu aset daerah yang bernilai tinggi.Lalu di mana naskah asli La Galigo yang tersohor itu?
Saya kemudian mendapatkan jawaban dari pemandu dan beberapa sumber tertulis bahwa naskah asli La Galigo kini masih terawat dan tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden-Belanda. Naskah tersebut dibawa Dr. Benjamin Frederik Matthes pada abad ke-19. Matthes dikirim ke Makassar oleh Nederlands Bijbelgenootschap untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Belakangan, ia tertarik meneliti Bahasa Bugis melalui naskah La Galigo. La Galigo lainnya tersimpan di AS dan Inggris.
***
TIDAK lengkap mengunjungi Museum La Galigo tanpa berkeliling melihat sisi lain benteng Fort Rotterdam. Sebagai dijelaskan di atas, museum La Galigo merupakan bangunan di dalam kawasan Fort Rotterdam. Total ada 15 bangunan dalam benteng seluas 28.593,55 meter persegi itu. Salah satu bangunan utama yang di tengah benteng dahulu merupakan gereja dan gudang senjata di lantai dasar.
Sebelum Fort Rotterdam dibangun, di tempat ini sudah berdiri benteng milik Kerajaan Gowa yang dibangun sekitar tahun 1545. Benteng lama dihancurkan Belanda ketika menduduki daerah ini. Setelah Perjanjian Bungaya ditandatangani 18 November 1667, Belanda membangun benteng baru di lokasi yang sama yang kini dikenal sebagai Fort Rotterdam.Tinggi dinding benteng Fort Rotterdam bervariasi. Yang tertinggi 7 meter dan terendah 5 meter dengan ketebalan rata-rata 2 meter.
Dinding benteng agaknya dibangun dengan menyusun balok-balok batu padas yang dipahat rapi. Untuk mengikat balok batu menggunakan campuran semen kapur. Luar biasa kekuatannya karena bertahan lebih dari empat abad.Panjang dinding di sisi barat 225 m, sisi utara 164,2 m, sisi timur 193,2 m dan sisi selatan sepanjang 155,35 m. Terdapat lima sudut di dalam benteng itu yang diberi nama Bastion Bone, Bastion Bacan, Buton, Mandarsyah dan Bastion Amboina.
Dapat dikatakan Fort Rotterdam merupakan salah satu bangunan peninggalan kolonial Belanda yang paling terawat di Indonesia. Sekitar 80 persen kondisi benteng dan 15 bangunannya masih terawat baik.Benteng Fort Rotterdam menyimpan nilai sejarah penting bagi bangsa Indonesia. Di sinilah pahlawan nasional, Pangeran Diponegoro ditahan dan diasingkan Belanda selama 26 tahun hingga wafat. Makam Diponegoro dan sebuah monumen untuk mengenang pahlawan gagah berani dalam Perang Jawa (1825-1830) itu kini terdapat di Jl. Diponegoro, Makassar. Kamar tahanan Pangeran Diponegoro, anak Sultan Hamengku Buwono III dari Yogyakarta itu masih terawat baik.
Akhirnya, jika puas dan letih berkeliling Fort Rotterdam, di depan pintu gerbang benteng itu Anda akan menerima tawaran untuk menyeberang ke Kayangan, pulau kecil berpasir putih seluas satu hektar di Selat Makassar. Di pulau wisata itu ada fasilitas panggung hiburan, restoran dan anjungan memancing. Anda bisa merasakan keramahan Makassar dari sisi berbeda. (Dion DB Putra, dipublikasikan Pos Kupang Minggu, 16 September 2007) **
Pada masa revolusi fisik (1945-1950) museum dijadikan pusat komando pertahanan. Dan, periode 1950-1969 menjadi tempat tinggal anggota militer dan sipil. Museum resmi diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1970.
Cukup lengkap benda peninggalan sejarah yang ada di sana, misalnya foto hitam putih Benteng Fort Rotterdam yang akan membawa kita melintasi waktu ke masa lalu. Terdapat catatan sejarah Sulawesi Selatan (Sulsel), mengenai pelautnya yang tangguh, peta topografi, bahasa, suku bangsa serta beraneka jenis perahu dan rumah tradisional khas Bugis, Toraja, Makassar. Ada bendi dan sepeda kumbang tua, ruangan prasejarah dan arkeologi yang menyimpan arca, alat-alat yang terbuat dari batu serta fosil. Kendi, manik-manik, miniatur candi, phallus, replika serta patung prasejarah Sulsel dan saringan air memberikan gambaran kondisi masyarakat daerah ini pada masa lalu.
Di museum ini bisa dijumpai alat tenun serta hasil tenunan khas Sulsel, alat-alat bercocok tanam serta hasil pertanian. Pemerintah Propinsi Sulsel memberi kesan sungguh-sungguh mengelola museum serta benteng Fort Rotterdam sebagai salah satu aset daerah yang bernilai tinggi.Lalu di mana naskah asli La Galigo yang tersohor itu?
Saya kemudian mendapatkan jawaban dari pemandu dan beberapa sumber tertulis bahwa naskah asli La Galigo kini masih terawat dan tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden-Belanda. Naskah tersebut dibawa Dr. Benjamin Frederik Matthes pada abad ke-19. Matthes dikirim ke Makassar oleh Nederlands Bijbelgenootschap untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Belakangan, ia tertarik meneliti Bahasa Bugis melalui naskah La Galigo. La Galigo lainnya tersimpan di AS dan Inggris.
***
TIDAK lengkap mengunjungi Museum La Galigo tanpa berkeliling melihat sisi lain benteng Fort Rotterdam. Sebagai dijelaskan di atas, museum La Galigo merupakan bangunan di dalam kawasan Fort Rotterdam. Total ada 15 bangunan dalam benteng seluas 28.593,55 meter persegi itu. Salah satu bangunan utama yang di tengah benteng dahulu merupakan gereja dan gudang senjata di lantai dasar.
Sebelum Fort Rotterdam dibangun, di tempat ini sudah berdiri benteng milik Kerajaan Gowa yang dibangun sekitar tahun 1545. Benteng lama dihancurkan Belanda ketika menduduki daerah ini. Setelah Perjanjian Bungaya ditandatangani 18 November 1667, Belanda membangun benteng baru di lokasi yang sama yang kini dikenal sebagai Fort Rotterdam.Tinggi dinding benteng Fort Rotterdam bervariasi. Yang tertinggi 7 meter dan terendah 5 meter dengan ketebalan rata-rata 2 meter.
Dinding benteng agaknya dibangun dengan menyusun balok-balok batu padas yang dipahat rapi. Untuk mengikat balok batu menggunakan campuran semen kapur. Luar biasa kekuatannya karena bertahan lebih dari empat abad.Panjang dinding di sisi barat 225 m, sisi utara 164,2 m, sisi timur 193,2 m dan sisi selatan sepanjang 155,35 m. Terdapat lima sudut di dalam benteng itu yang diberi nama Bastion Bone, Bastion Bacan, Buton, Mandarsyah dan Bastion Amboina.
Dapat dikatakan Fort Rotterdam merupakan salah satu bangunan peninggalan kolonial Belanda yang paling terawat di Indonesia. Sekitar 80 persen kondisi benteng dan 15 bangunannya masih terawat baik.Benteng Fort Rotterdam menyimpan nilai sejarah penting bagi bangsa Indonesia. Di sinilah pahlawan nasional, Pangeran Diponegoro ditahan dan diasingkan Belanda selama 26 tahun hingga wafat. Makam Diponegoro dan sebuah monumen untuk mengenang pahlawan gagah berani dalam Perang Jawa (1825-1830) itu kini terdapat di Jl. Diponegoro, Makassar. Kamar tahanan Pangeran Diponegoro, anak Sultan Hamengku Buwono III dari Yogyakarta itu masih terawat baik.
Akhirnya, jika puas dan letih berkeliling Fort Rotterdam, di depan pintu gerbang benteng itu Anda akan menerima tawaran untuk menyeberang ke Kayangan, pulau kecil berpasir putih seluas satu hektar di Selat Makassar. Di pulau wisata itu ada fasilitas panggung hiburan, restoran dan anjungan memancing. Anda bisa merasakan keramahan Makassar dari sisi berbeda. (Dion DB Putra, dipublikasikan Pos Kupang Minggu, 16 September 2007) **