Piala Sudirman dan Valens Doy

Oleh Ignatius Sunito
Turnamen bulutangkis Piala Sudirman untuk ke-9 kalinya dimulai hari ini (10/5/05) di Beijing RRC berlangsung sampai dengan tanggal 15 Mei 2005. Indonesia baru pertama kalinya juara pada turnamen pertama kalinya di Jakarta tahun 1989, dan sesudah itu tak pernah membawa kembali piala yang dipersembahkan untuk mengenang tokoh bulutangkis kita itu.

Demikian juga di turnamen ini sekarang, tim Indonesia yang dimotori oleh pemegang medali emas Olimpiade Athena, Taufik Hidayat, juga di atas kertas tak mempunyai peluang. Maka, tidak heran Indonesia merupakan tim yang tidak diunggulkan. Regu Indonesia menjadi "kartu mati" ketika harus berbicara di sektor putri, karena setiap kali maju ke arena sudah pasti kehilangan dua point terlebih dahulu. Yaitu di tunggal serta ganda putri, dari tiga partai lainnya, tunggal dan ganda putra serta ganda campuran.

Tidak saja menjelang Piala Sudirman 2005, namun jauh sebelum itu setiap kali ada peristiwa besar maupun rutinitas bulutangkis, berita-beritanya selalu menghiasi koran-koran di Tanah Air. Namun, saya sudah seperti kehilangan gairah untuk mengikutinya. Lho,kok bisa? Ini karena sang "super" spesialis bulutangkis, Valens Goa Doy, rekan wartawan OR sudah lama meninggalkan gelanggang.

Ditambah, Valens secara mendadak dipanggil ke Rumah Bapa pekan lalu (3/5) akibat penyakit jantung dan meninggal di RS Sanglah, Bali, dalam usia 61 tahun. Mungkin, seandainya ia masih ada dan mau menuliskan persiapan tim Indonesia ke Piala Sudirman 2005, sekalipun tanpa pengharapan, saya yakin, buah penanya akan meliuk-liuk. Hasilnya ? Pasti sebuah tulisan yang sangat enak, enak dibaca.

Meskipun masih menang sedikit dalam senioritas, tetapi kalau sudah soal bulutangkis, wah, dia jagonya. Itu sudah terjadi dalam awal permulaan karir sebagai wartawan olahraga yang dimasukinya tahun 1973. Begitu ia mulai menjamah bulutangkis, bak seorang penulis ensiklopedi dari A s/d Z bulutangkis ia obrak-abrik. Sehingga kami, rekan-rekannya satu kantor di Redaksi OR SK KOMPAS, meskipun sudah terlebih dahulu menggeluti cabang bulutangkis harus mencari "ladang lain".

Beruntung kita menjadi satu tim yang kompak di bawah satu komando Th.A. Budisusilo, yang mengarahkan kami kepada "subyektivitas" masing-masing. Sejak itu dunia olahraga Indonesia seperti menemukan ikon baru, terlebih-lebih dunia bulutangkis Indonesia yang sejak tahun 1958 dengan direbutnya Piala Thomas, merupakan olahraga kebanggaan nasional dari ukuran prestasi.

Valens sudah melibatkan diri secara total dalam dunianya, tidak saja di dunia bulutangkis tetapi OR secara keseluruhan karena tanggung jawab tugasnya ketika menjadi redaktur OR KOMPAS. Ketika tahun 1983, kami berpisah meskipun masih dalam satu grup perusahaan, saya bersama Sumohadi Marsis membawa tabloid BOLA. Beberapa pengamat dan pecinta rubrik OR KOMPAS sangat menyayangkan.

Antara lain DR. Daniel Dakidae, yang waktu itu tengah menyelesaikan disertasinya di Cornel University, AS, yang juga membahas tentang dunia pers Indonesia. Ia menyatakan, dengan perpisahan para pilar OR KOMPAS, untuk membangunnya kembali perlu waktu lama. Malahan ia waktu itu berani menyatakan sampai akhir abad ke-20, rubrik OR KOMPAS akan kehilangan "roh" nya.

Pandangan Daniel ini seperti menambah semangat kami untuk memajukan tabloid OR BOLA, dan sekaligus menjadi modal untuk memprovokasi Valens agar ia membuat ramai dunia OR Indonesia melalui rubrik asuhannya. Dengan harapan, BOLA akan melengkapi atau paling tidak berita lebih lanjut dari apa yang sudah ditulis oleh KOMPAS.

Memang, harapan tinggal harapan karena Valens juga harus meninggalkan rubrik asuhannya, dengan menerima tugas baru mengembangkan pers daerah milik grup KKG, Kelompok KOMPAS Gramedia. Karena harus bersinggungan dengan manajemen bisnisnya, sudah bisa diduga bahwa pekerjaan ini sangat membosankan bagi seorang wartawan. Tugas ini benar-benar "merusak" masa depannya. Ia menjadi frustrasi jika sudah berhadapan dengan jalur birokrasi perusahaan.

Dalam karirnya sebagai wartawan, Valens mulai dari dunia pendidikan anak-anak, OR yang membesarkan namanya, kemudian diserahi sebagai Redaktur Pelaksana, dan kepala proyek pengembangan pers daerah. Sepertinya demikian banyak universitas atau fakultas yang dijelajahinya dan ia selesaikan dengan lulus secara cum laude. Demikian juga dengan banyak bidang pengalaman sudah dilalui, tetapi ia tetap saja terus meragu di mana letak lobang kuncinya.

Sementara kuncinya ia bawa kian kemari. Kunci itu adalah ide-ide, kemauan, harapan dan cita-citanya. Semakin mencari di mana letak lobang kuncinya, semakin lobang itu lari menjauh. Seperti ketika perjumpaan kami terakhir satu tahun lalu, sempat saya tanya, apa sebenarnya yang kamu cari? Seperti biasa ia tersenyum lebar, senyum yang hangat.

Karena perjumpaan itu di RSCM, Jakarta, ia malahan mengalihkan pertanyaan kepada saya, ngapain Anda malam-malam begini di RSCM ? Ketika saya tunjuk anak perempuan saya yang memakai seragam dokter, kontan wajahnya berseri-seri, isteri saya langsung diberi ucapan selamat hangat. "Anda begitu bahagia, cita-cita Anda yang kandas bisa diteruskan anak," katanya juga sambil menepuk nepuk bahu saya. Memang, karena kawin dengan wartawan, isteri saya gagal menjadi dokter. Maklum, wartawan kan tidak berduit.

Ternyata perjumpaan terakhir dengan Valens juga di sebuah rumah sakit. Kali ini di kamar jenazah RS Sanglah, Bali. Wajahnya masih menanggung suatu pencarian, yang kita sahabatnya sampai sekarang tidak tahu, apa sebenarnya yang dicari.
Kembali seorang ikon olahraga telah pergi. Selamat jalan sahabat!

Sumber http://www.bolanews.com/sunito/10367.php


Selasa, 10 Mei 2005 pukul 13:56:36 WIB
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes