Oleh Valens Doy
BAGI 11 wartawan Indonesia yang mengunjungi Timor Lorosae awal Februari 2001, pengunduran diri Xanana "Kay Rala" Gusmao dari jabatan Ketua Dewan Nasional Timor Lorosae (DNTL)-semacam DPR Transisi sampai terbentuknya DPR hasil Pemilu 30 Agustus mendatang-sama sekali tidak mengejutkan. Apalagi pernyataannya untuk tidak akan mencalonkan diri menjadi presiden.
Tanggal 8 Februari 2001, di press room yang amat sederhana di kantornya di Dili, kepada 11 wartawan Indonesia yang disebutnya sebagai sahabat terdekat dan disambutnya dengan amat hangat itu, Xanana dengan sangat gamblang mengemukakan dua argumennya, mengapa ia
harus segera mundur dari peran sebagai bintang utama di panggung politik Timor Lorosae.
Pertama, bagi Xanana, semua pemimpin harus tunduk pada peran sejarahnya. Peran Xanana ialah memimpin bangsa Timor Lorosae dalam perjuangan menuju gerbang kemerdekaan. Dan kini, setelah perjuangan itu berhasil, bangsa Timor Lorosae membutuhkan pemimpin baru yang
lebih muda, lebih dinamik, lebih intelektual, agar dapat memimpin bangsanya membangun hari depan baru. Dan ia yakin, Timor Lorosae mempunyai sejumlah pemimpin yang memenuhi kualifikasi itu.
Kedua, Xanana juga berpendapat, dalam tahap perjuangan bangsa Timor Lorosae sekarang ini untuk membangun kemerdekaannya, kehadiran seorang pemimpin karismatis seperti dirinya, akan lebih merugikan daripada menguntungkan Timor Lorosae. Karena, demikian Xanana, kehadiran seorang pemimpin karismatis yang terlalu kuat, akan menghambat proses terbentuknya suatu sistem politik yang lebih sehat. Suatu sistem politik yang tidak tergantung pada orang, tetapi pada tata-nilai yang disepakati. "Karena itu, pengunduran diri saya adalah yang terbaik bagi Timor Lorosae," ujar Xanana.
Meski pernyataan Xanana itu amat logis dan strategis, banyak pihak di Timor Lorosae tidak setuju dengan pendapatnya, dan masih mengharapkan Xanana menjadi presiden mereka yang pertama kelak. "Xanana benar bahwa ada banyak pemimpin yang berkualitas di sini. Tetapi, hanya ada satu pemimpin berkualitas yang mempunyai legitimasi publik begitu kuat, yakni Xanana," kata Maria Pacao, Kepala Distrik (semacam bupati) Aileu, bupati wanita pertama dan satu-satunya di Timor Lorosae.
***
Xanana amat konsisten dengan pilihan sikapnya itu. Ia pertama kali mengutarakan sikapnya untuk mundur dari peran sebagai pemain utama itu tanggal 30 Agustus 2000, pada sidang nasional Dewan Nasional Perlawanan Timor Leste (CNRT) yang sengaja diadakan pada HUT pertama referendum, sebuah sidang yang memberi kerangka dasar pertama bagi masa depan Timor Lorosae. Kali kedua ia kemukakan lagi sikapnya itu hanya seminggu sebelum bertemu dengan wartawan Indonesia, pada acara yang amat krusial dalam sejarah Timor Lorosae, yakni pembubaran Falintil, pasukan gerilawan bersenjata yang pernah 24 tahun penuh berperang merebut kemerdekaan.
Rencana pembubaran Falintil dan digantikan dengan Forsa Defesa Timor Lorosae atau Angkatan Beladiri Timor Lorosae (FDTL)-walaupun FDTL juga menampung sebagian bekas prajurit Falintil melalui seleksi khusus-sempat menimbulkan pro-kontra yang sangat meluas sebelumnya. Banyak pihak menilai pembubaran Falintil yang telah sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Timor Lorosae itu tidak saja mengingkari sejarah, tetapi juga suatu ketidakadilan atau bahkan pengkhianatan terhadap kemerdekaan. Mereka berpendapat, kalaupun dibentuk FDTL sebagai pasukan yang lebih modern, seharusnya seluruh eks-anggota Falintil ditampung.
Akan tetapi, Xanana bersama pemerintahan transisi PBB (UNTAET) berpendapat, seleksi Falintil itu mutlak, karena FDTL yang akan dibentuk tidak saja akan berbeda secara hakiki dalam konsep militernya dibandingkan dengan Falintil, tetapi juga konsep politiknya. Di negara
baru Timor Lorosae yang dibentuk dengan komitmen kuat pada civil society sejak awal, militer secara tegas tidak berpolitik dan harus tunduk penuh pada pemerintahan sipil. Untuk itu diperlukan anggota militer yang tidak saja mahir dalam perang, tetapi juga stabil emosinya, dan harus menghayati betul makna tunduk pada hukum.
Dalam sambutannya yang simbolistis dan plastis ketika membubarkan Falintil yang dipimpinnya itu, Xanana mengibaratkan dengan dirinya sendiri. Setelah mengambil peran penting dalam perjuangan mengantarkan Timor Lorosae ke gerbang kemerdekaan, kini saatnyalah bagi dirinya untuk mundur dan memberikan tempat kepada para pemimpin baru Timor Lorosae yang lebih muda dan memenuhi tuntutan kepemimpinan modern.
BAGI 11 wartawan Indonesia yang mengunjungi Timor Lorosae awal Februari 2001, pengunduran diri Xanana "Kay Rala" Gusmao dari jabatan Ketua Dewan Nasional Timor Lorosae (DNTL)-semacam DPR Transisi sampai terbentuknya DPR hasil Pemilu 30 Agustus mendatang-sama sekali tidak mengejutkan. Apalagi pernyataannya untuk tidak akan mencalonkan diri menjadi presiden.
Tanggal 8 Februari 2001, di press room yang amat sederhana di kantornya di Dili, kepada 11 wartawan Indonesia yang disebutnya sebagai sahabat terdekat dan disambutnya dengan amat hangat itu, Xanana dengan sangat gamblang mengemukakan dua argumennya, mengapa ia
harus segera mundur dari peran sebagai bintang utama di panggung politik Timor Lorosae.
Pertama, bagi Xanana, semua pemimpin harus tunduk pada peran sejarahnya. Peran Xanana ialah memimpin bangsa Timor Lorosae dalam perjuangan menuju gerbang kemerdekaan. Dan kini, setelah perjuangan itu berhasil, bangsa Timor Lorosae membutuhkan pemimpin baru yang
lebih muda, lebih dinamik, lebih intelektual, agar dapat memimpin bangsanya membangun hari depan baru. Dan ia yakin, Timor Lorosae mempunyai sejumlah pemimpin yang memenuhi kualifikasi itu.
Kedua, Xanana juga berpendapat, dalam tahap perjuangan bangsa Timor Lorosae sekarang ini untuk membangun kemerdekaannya, kehadiran seorang pemimpin karismatis seperti dirinya, akan lebih merugikan daripada menguntungkan Timor Lorosae. Karena, demikian Xanana, kehadiran seorang pemimpin karismatis yang terlalu kuat, akan menghambat proses terbentuknya suatu sistem politik yang lebih sehat. Suatu sistem politik yang tidak tergantung pada orang, tetapi pada tata-nilai yang disepakati. "Karena itu, pengunduran diri saya adalah yang terbaik bagi Timor Lorosae," ujar Xanana.
Meski pernyataan Xanana itu amat logis dan strategis, banyak pihak di Timor Lorosae tidak setuju dengan pendapatnya, dan masih mengharapkan Xanana menjadi presiden mereka yang pertama kelak. "Xanana benar bahwa ada banyak pemimpin yang berkualitas di sini. Tetapi, hanya ada satu pemimpin berkualitas yang mempunyai legitimasi publik begitu kuat, yakni Xanana," kata Maria Pacao, Kepala Distrik (semacam bupati) Aileu, bupati wanita pertama dan satu-satunya di Timor Lorosae.
***
Xanana amat konsisten dengan pilihan sikapnya itu. Ia pertama kali mengutarakan sikapnya untuk mundur dari peran sebagai pemain utama itu tanggal 30 Agustus 2000, pada sidang nasional Dewan Nasional Perlawanan Timor Leste (CNRT) yang sengaja diadakan pada HUT pertama referendum, sebuah sidang yang memberi kerangka dasar pertama bagi masa depan Timor Lorosae. Kali kedua ia kemukakan lagi sikapnya itu hanya seminggu sebelum bertemu dengan wartawan Indonesia, pada acara yang amat krusial dalam sejarah Timor Lorosae, yakni pembubaran Falintil, pasukan gerilawan bersenjata yang pernah 24 tahun penuh berperang merebut kemerdekaan.
Rencana pembubaran Falintil dan digantikan dengan Forsa Defesa Timor Lorosae atau Angkatan Beladiri Timor Lorosae (FDTL)-walaupun FDTL juga menampung sebagian bekas prajurit Falintil melalui seleksi khusus-sempat menimbulkan pro-kontra yang sangat meluas sebelumnya. Banyak pihak menilai pembubaran Falintil yang telah sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Timor Lorosae itu tidak saja mengingkari sejarah, tetapi juga suatu ketidakadilan atau bahkan pengkhianatan terhadap kemerdekaan. Mereka berpendapat, kalaupun dibentuk FDTL sebagai pasukan yang lebih modern, seharusnya seluruh eks-anggota Falintil ditampung.
Akan tetapi, Xanana bersama pemerintahan transisi PBB (UNTAET) berpendapat, seleksi Falintil itu mutlak, karena FDTL yang akan dibentuk tidak saja akan berbeda secara hakiki dalam konsep militernya dibandingkan dengan Falintil, tetapi juga konsep politiknya. Di negara
baru Timor Lorosae yang dibentuk dengan komitmen kuat pada civil society sejak awal, militer secara tegas tidak berpolitik dan harus tunduk penuh pada pemerintahan sipil. Untuk itu diperlukan anggota militer yang tidak saja mahir dalam perang, tetapi juga stabil emosinya, dan harus menghayati betul makna tunduk pada hukum.
Dalam sambutannya yang simbolistis dan plastis ketika membubarkan Falintil yang dipimpinnya itu, Xanana mengibaratkan dengan dirinya sendiri. Setelah mengambil peran penting dalam perjuangan mengantarkan Timor Lorosae ke gerbang kemerdekaan, kini saatnyalah bagi dirinya untuk mundur dan memberikan tempat kepada para pemimpin baru Timor Lorosae yang lebih muda dan memenuhi tuntutan kepemimpinan modern.
"Perjalanan sejarah itu pula yang sedang ditempuh oleh Falintil. Setelah perjuangan yang begitu penuh pengorbanan dan penderitaan ke arah kemerdekaan, kini Falintil juga dibubarkan untuk memberi jalan lagi terbentuknya sebuah Angkatan Beladiri yang akan mengawal kemerdekaan Timor Lorosae ke depan," kata Xanana.
***
PERISTIWA pengunduran diri Xanana itu sendiri "berbicara" sangat jelas tentang sikap politik Xanana. Kasus itu muncul ketika rancangan konstitusi hendak disahkan di Dewan, 28 Maret lalu. Rancangan konstitusi itu sendiri disusun melalui suatu panel ahli yang melibatkan juga sejumlah ahli hukum internasional bersama Dewan.
Meskipun secara teoretis, rancangan konstitusi itu mestinya sangat bisa dipertanggungjawabkan, Xanana menginginkan agar sebelum disahkan oleh Dewan, rancangan konstitusi yang sangat fundamental bagi masa depan Timor Lorosae itu harus dibicarakan dulu dengan semacam Komisi Konstitusi Nasional yang melibatkan banyak pemimpin rakyat lainnya di luar Dewan, termasuk dengan sejumlah profesional muda baru yang kini bermunculan pesat di Timor Lorosae. Alasan Xanana, Dewan yang dibentuk bukan berdasarkan pemilu, tetapi ditunjuk semata-mata berdasarkan kesepakatan CNRT dan UNTAET itu, baru bersifat representatif secara politik, tetapi belum representatif secara demokratik. Tetapi, keinginan Xanana itu justru diblok oleh para anggota Dewan dari Partai Fretilin, partainya Xanana sendiri.
Karena keberpihakannya yang sangat kuat pada rakyat inilah, antara bulan Januari-Februari 2001 lalu, sampai dua kali Xanana secara terbuka mengingatkan para pemimpin politik Timor Lorosae akan dua ancaman baru bagi bangsa Timor Lorosae. Pertama, adanya kecenderungan
para pemimpin politik yang mulai semakin terkotak-kotak pada kepentingan politik pribadi dan kelompok, sehingga melupakan komitmen-komitmen besar yang telah disepakati sejak
awal bagi bangsa secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya kepentingan-kepentingan jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang. Kedua, adanya kecenderungan sejumlah pemimpin politik yang mulai menuntut bagiannya sebagai imbalan atas kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan, dengan melupakan kenyataan bahwa seluruh rakyat Timor Lorosae telah memberikan pengorbanan yang sangat besar dalam jalan menuju kemerdekaan.
Peringatan Xanana itu sekaligus juga memperkuat indikasi di banyak negara baru demokrasi, di mana para politisi selalu lebih merupakan persoalan daripada solusi di masa transisi bangsanya menuju demokrasi sejati. Hal yang juga sedikit banyak menggejala pada kehidupan politik Indonesia belakangan ini.
Selain mengingatkan para politisi, Xanana juga mengingatkan pemerintahan transisi Timor Lorosae (ETTA dan UNTAET) tentang mutlaknya segera dibangun berbagai fasilitas pendidikan kejuruan dan profesional bagi kaum muda, agar mereka tidak terlalu lama menjadi
penonton dalam proses pembangunan Timor Lorosae sekarang ini, karena di tangan merekalah hari depan Timor Lorosae berada.
Dalam kunjungan ke setiap desa dan kecamatan, Xanana selalu memerlukan berjumpa langsung dengan rakyat, berbicara dengan mereka, meminta kesabaran mereka, mendorong kepercayaan diri mereka, dan mengimbau mereka untuk aktif dalam proses pembangunan negara baru Timor Lorosae. Dengan cara ini, selain memelihara api komitmennya pada rakyat banyak, Xanana juga dapat sekaligus menetralisasi sebuah keluhan yang semakin meluas di kalangan masyarakat dan pemimpin pemerintahan tingkat bawah belakangan ini, tentang semakin sulitnya birokrasi untuk bertemu dengan Xanana dan para pejabat Kabinet Bayangan Timor Lorosae (ETTA, East Timor Transition Administrator).
***
ADALAH keliru jika kita menafsir "insiden" pengunduran diri Xanana ini sebagai pertanda tentang masa transisi Timor Lorosae yang akan semakin sulit. Justru mundurnya Xanana akan membuka suatu situasi di mana transisi ke arah kemerdekaan, serta transformasi ke arah masyarakat demokrasi akan berlangsung lebih dinamik dan berwarna.
Apakah proses transisi dan transformasi secara lebih dinamik dan lebih berwarna itu akan terancam diiringi pula oleh rangkaian kekerasan yang pernah menjadi ciri yang gelap dari sejarah Timor Lorosae? Kemungkin itu tetap ada, mengingat watak temperamental orang Timor, serta telah begitu mengakarnya budaya gangsterisme yang tumbuh di tengah kehadiran
militer Indonesia yang begitu masif selama 24 tahun.
Akan tetapi, satu hal akan sangat jelas berbeda, kata Xanana. Kekerasan yang muncul di antara orang Timor sendiri, murni karena faktor-faktor internal mereka, menurut Xanana, betapa pun parahnya akan cepat dapat teratasi dan dengan dampak lanjutan yang sangat minim. Xanana menegaskan, kekerasan yang pernah terjadi di Timor Lorosae, hanya bisa akut dan laten kalau ada campur tangan pihak ketiga, seperti yang terjadi tahun 1975 maupun 1999.
Senin, 9 April mendatang, DNTL akan bersidang untuk memilih pengganti Xanana sebagai ketua, setelah Fretilin menghadap Xanana untuk memohon maaf, tetapi tidak berhasil membujuk Xanana untuk kembali. Ramos Horta, salah seorang pemimpin CNRT yang juga Menlu dalam Kabinet Bayangan ETTA, telah disebut-sebut sebagai calon kuat penggantinya.
Ramos Horta bukanlah tokoh yang berakar ke massa, tetapi dia mempunyai legitimasi yang sangat besar di dunia internasional. Seperti Xanana, ia juga mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk memulihkan hubungan politik dengan Indonesia, dan membangun hari depan Timor Lorosae dalam keluarga besar ASEAN. Dan justru tampilnya Ramos Horta yang kurang
memiliki basis massa itu, akan mengurangi ketegangan persaingan di kalangan elite politik dalam membidik kursi presiden jika benar kemudian Xanana tetap menolak desakan rakyat.
Selain Gereja Katolik, pengikat terkuat persatuan rakyat Timor Lorosae sekarang ini masih tetap Xanana dan CNRT yang ia pimpin. Konflik Xanana dengan partainya, Fretilin, memang akan membuka kemungkinan-kemungkinan baru pada peta politik Timor Lorosae
mendatang.
Jika konflik ini berlanjut, besar kemungkinan Partai Fretilin yang kini merupakan partai terbesar di Timor Lorosae itu akan menyurut pamornya di kalangan masyarakat. Apalagi Gereja Katolik, bahkan juga masyarakat internasional, karena alasan-alasan yang sangat stereotip tentang citra Fretilin sebagai partai dengan ideologi sosialis kiri, telah memberi sinyal kurang dapat menerima andaikata pemerintahan pertama di negara Timor Lorosae merdeka nanti adalah pemerintahannya Fretilin.
Dalam konteks ini, mundurnya Xanana dari jabatan Ketua Dewan Nasional Timor Lorosae, barangkali justru akan membuka alternatif-alternatif perkembangan baru dalam peta politik Timor Lorosae, demi perimbangan-perimbangan baru yang lebih diterima oleh gereja, oleh
rakyat Timor Lorosae maupun dunia internasional. Xanana memang mundur, tetapi ia tetap seorang pemimpin. Yang berbeda mungkin hanya perannya.
* Valens Doy, wartawan.
***
PERISTIWA pengunduran diri Xanana itu sendiri "berbicara" sangat jelas tentang sikap politik Xanana. Kasus itu muncul ketika rancangan konstitusi hendak disahkan di Dewan, 28 Maret lalu. Rancangan konstitusi itu sendiri disusun melalui suatu panel ahli yang melibatkan juga sejumlah ahli hukum internasional bersama Dewan.
Meskipun secara teoretis, rancangan konstitusi itu mestinya sangat bisa dipertanggungjawabkan, Xanana menginginkan agar sebelum disahkan oleh Dewan, rancangan konstitusi yang sangat fundamental bagi masa depan Timor Lorosae itu harus dibicarakan dulu dengan semacam Komisi Konstitusi Nasional yang melibatkan banyak pemimpin rakyat lainnya di luar Dewan, termasuk dengan sejumlah profesional muda baru yang kini bermunculan pesat di Timor Lorosae. Alasan Xanana, Dewan yang dibentuk bukan berdasarkan pemilu, tetapi ditunjuk semata-mata berdasarkan kesepakatan CNRT dan UNTAET itu, baru bersifat representatif secara politik, tetapi belum representatif secara demokratik. Tetapi, keinginan Xanana itu justru diblok oleh para anggota Dewan dari Partai Fretilin, partainya Xanana sendiri.
Karena keberpihakannya yang sangat kuat pada rakyat inilah, antara bulan Januari-Februari 2001 lalu, sampai dua kali Xanana secara terbuka mengingatkan para pemimpin politik Timor Lorosae akan dua ancaman baru bagi bangsa Timor Lorosae. Pertama, adanya kecenderungan
para pemimpin politik yang mulai semakin terkotak-kotak pada kepentingan politik pribadi dan kelompok, sehingga melupakan komitmen-komitmen besar yang telah disepakati sejak
awal bagi bangsa secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya kepentingan-kepentingan jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang. Kedua, adanya kecenderungan sejumlah pemimpin politik yang mulai menuntut bagiannya sebagai imbalan atas kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan, dengan melupakan kenyataan bahwa seluruh rakyat Timor Lorosae telah memberikan pengorbanan yang sangat besar dalam jalan menuju kemerdekaan.
Peringatan Xanana itu sekaligus juga memperkuat indikasi di banyak negara baru demokrasi, di mana para politisi selalu lebih merupakan persoalan daripada solusi di masa transisi bangsanya menuju demokrasi sejati. Hal yang juga sedikit banyak menggejala pada kehidupan politik Indonesia belakangan ini.
Selain mengingatkan para politisi, Xanana juga mengingatkan pemerintahan transisi Timor Lorosae (ETTA dan UNTAET) tentang mutlaknya segera dibangun berbagai fasilitas pendidikan kejuruan dan profesional bagi kaum muda, agar mereka tidak terlalu lama menjadi
penonton dalam proses pembangunan Timor Lorosae sekarang ini, karena di tangan merekalah hari depan Timor Lorosae berada.
Dalam kunjungan ke setiap desa dan kecamatan, Xanana selalu memerlukan berjumpa langsung dengan rakyat, berbicara dengan mereka, meminta kesabaran mereka, mendorong kepercayaan diri mereka, dan mengimbau mereka untuk aktif dalam proses pembangunan negara baru Timor Lorosae. Dengan cara ini, selain memelihara api komitmennya pada rakyat banyak, Xanana juga dapat sekaligus menetralisasi sebuah keluhan yang semakin meluas di kalangan masyarakat dan pemimpin pemerintahan tingkat bawah belakangan ini, tentang semakin sulitnya birokrasi untuk bertemu dengan Xanana dan para pejabat Kabinet Bayangan Timor Lorosae (ETTA, East Timor Transition Administrator).
***
ADALAH keliru jika kita menafsir "insiden" pengunduran diri Xanana ini sebagai pertanda tentang masa transisi Timor Lorosae yang akan semakin sulit. Justru mundurnya Xanana akan membuka suatu situasi di mana transisi ke arah kemerdekaan, serta transformasi ke arah masyarakat demokrasi akan berlangsung lebih dinamik dan berwarna.
Apakah proses transisi dan transformasi secara lebih dinamik dan lebih berwarna itu akan terancam diiringi pula oleh rangkaian kekerasan yang pernah menjadi ciri yang gelap dari sejarah Timor Lorosae? Kemungkin itu tetap ada, mengingat watak temperamental orang Timor, serta telah begitu mengakarnya budaya gangsterisme yang tumbuh di tengah kehadiran
militer Indonesia yang begitu masif selama 24 tahun.
Akan tetapi, satu hal akan sangat jelas berbeda, kata Xanana. Kekerasan yang muncul di antara orang Timor sendiri, murni karena faktor-faktor internal mereka, menurut Xanana, betapa pun parahnya akan cepat dapat teratasi dan dengan dampak lanjutan yang sangat minim. Xanana menegaskan, kekerasan yang pernah terjadi di Timor Lorosae, hanya bisa akut dan laten kalau ada campur tangan pihak ketiga, seperti yang terjadi tahun 1975 maupun 1999.
Senin, 9 April mendatang, DNTL akan bersidang untuk memilih pengganti Xanana sebagai ketua, setelah Fretilin menghadap Xanana untuk memohon maaf, tetapi tidak berhasil membujuk Xanana untuk kembali. Ramos Horta, salah seorang pemimpin CNRT yang juga Menlu dalam Kabinet Bayangan ETTA, telah disebut-sebut sebagai calon kuat penggantinya.
Ramos Horta bukanlah tokoh yang berakar ke massa, tetapi dia mempunyai legitimasi yang sangat besar di dunia internasional. Seperti Xanana, ia juga mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk memulihkan hubungan politik dengan Indonesia, dan membangun hari depan Timor Lorosae dalam keluarga besar ASEAN. Dan justru tampilnya Ramos Horta yang kurang
memiliki basis massa itu, akan mengurangi ketegangan persaingan di kalangan elite politik dalam membidik kursi presiden jika benar kemudian Xanana tetap menolak desakan rakyat.
Selain Gereja Katolik, pengikat terkuat persatuan rakyat Timor Lorosae sekarang ini masih tetap Xanana dan CNRT yang ia pimpin. Konflik Xanana dengan partainya, Fretilin, memang akan membuka kemungkinan-kemungkinan baru pada peta politik Timor Lorosae
mendatang.
Jika konflik ini berlanjut, besar kemungkinan Partai Fretilin yang kini merupakan partai terbesar di Timor Lorosae itu akan menyurut pamornya di kalangan masyarakat. Apalagi Gereja Katolik, bahkan juga masyarakat internasional, karena alasan-alasan yang sangat stereotip tentang citra Fretilin sebagai partai dengan ideologi sosialis kiri, telah memberi sinyal kurang dapat menerima andaikata pemerintahan pertama di negara Timor Lorosae merdeka nanti adalah pemerintahannya Fretilin.
Dalam konteks ini, mundurnya Xanana dari jabatan Ketua Dewan Nasional Timor Lorosae, barangkali justru akan membuka alternatif-alternatif perkembangan baru dalam peta politik Timor Lorosae, demi perimbangan-perimbangan baru yang lebih diterima oleh gereja, oleh
rakyat Timor Lorosae maupun dunia internasional. Xanana memang mundur, tetapi ia tetap seorang pemimpin. Yang berbeda mungkin hanya perannya.
* Valens Doy, wartawan.
Kompas, Selasa 10 April 2001
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0104/10/opini/meng04.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0104/10/opini/meng04.htm