Perjalanan ke Nusa Kenari (2)
JARUM waktu menjelang pukul 11.00 Wita ketika Limarahing harus kami tinggalkan. Kami mesti berlayar lagi karena perjalanan di hari pertama bulan Agustus 2006 itu masih panjang. "Sekarang kita ke Nule. Perjalanan ke sana cukup lama," kata John Djari membuka obrolan saat perahu motor mulai bergerak ke timur.
Kami pergi diiringi lambaian tangan puluhan warga Pura, pulau gersang namun eksotik yang telah melahirkan banyak putra terbaik negeri ini. Salah seorang yang bisa disebut adalah tokoh pendidik, mantan Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang, Prof. Dr. Mozes R Toelihere.Sudah diusahakan sekuat mungkin agar tidak mengantuk, namun semilir angin mengalahkan mata kami. Beberapa wartawan rebahan di atas tikar.
Perahu bergerak stabil membelah ombak, menyusuri selat sempit antara Pulau Pura dan Pantar. Laut tenang. Udara cerah. Langit biru. Semua kembali larut menikmati indahnya alam. Ke kiri mata menangkap sisi lain Pulau Pura dengan pemukiman penduduk di lereng bukit yang terpisah dalam radius satu sampai dua kilometer. Di tengah perkampungan sana berdiri megah gereja dan masjid.
Pemandangan yang mirip terlihat di sisi kanan. Kami menikmati wajah Pantar, pulau terbesar kedua di Kabupaten Alor. Perahu agak bergetar saat hendak meninggalkan selat Pura-Pantar. Pulau Tereweng hadir di depan mata. Kami memasuki perairan Mulut Kumbang yang terkenal deras pusaran arusnya. Tapi perahu kami menyisir pantai Pulau Pantar sehingga tak merasakan goyangan arus Mulut Kumbang yang kesohor di kalangan para pelaut itu.Benar kata-kata John Djari, Manajer Cabang PLN Ranting Kalabahi.
Perjalanan ke Nule, Kecamatan Pantar Timur menelan waktu hampir dua jam, nyaris sama dengan jarak Kalabahi-Limarahing. Ini perjalanan normal kala cuaca cerah dan ramah. Saat laut tenang dan angin cuma sepoi-sepoi. Tak terbayangkan bila hujan badai melanda dalam periode November-Maret saban tahun. "Oh kalau masa seperti itu, Kalabahi ke Nule bisa makan waktu tujuh sampai delapan jam," jelas John Djari.Jika Limarahing menawarkan kemurahan hati dan tawa, Nule menyapa kami lewat keangkuhan pantainya yang berbatu-batu. Batu cadas dan ganasnya ombak.
Canda-tawa sontak menguap tatkala perahu motor berhenti bergerak, membuang sauh, melempar tali penambat ke darat. "Kita sudah sampai di Nule. Ayo, siap turun satu-satu dengan perahu kecil itu," teriak Paul Bolla dari buritan. Perahu motor sewaan kami memang tidak bisa berlabuh di pinggir pantai yang sedang pasang naik. Nule tak memiliki dermaga seperti Limarahing. Tiga perahu kecil merapat ke kapal motor untuk "mengevakuasi" kami ke darat. Satu perahu paling banyak memuat dua orang. Terbukalah kedok wartawan yang tahu berenang dan tidak, takut laut atau mencintainya, anak gunung atau anak pulau.
"Aih, muka pucat ko.." nyeletuk Dany Ratu (Metro TV) menggoda Hyeronimus Bifel yang badannya paling tambun. Tercipta sedikit "keributan" di atas perahu motor kami karena tak ada yang berani jadi orang pertama "dievakuasi" kendati putra Pantar, Dion Waang sudah menunjuk jalan. Dion begitu sigap naik ke perahu dan tiba selamat di pantai Nule.
Seolah membaca perasaaan sebagian wartawan yang "pucat" wajahnya menatap riak gelombang dan biduk yang begitu kecil, General Manager PT PLN (Persero) Wilayah Nusa Tenggara Timur, Manerep Pasaribu menggulung ujung celana panjangnya kemudian turun ke perahu kecil. Dia ditemani Untung Haryanto. Perahu dipermainkan gelombang. Berputar-putar tapi menyentuh bibir pantai dengan aman. Kecekatan anak-anak Nule luar biasa. Semua 23 anggota rombongan berhasil "dievakuasi" ke darat.
Prosesi menegangkan itu berlangsung sekitar 30 menit. Tanpa sandal dan sepatu (karena harus ditinggalkan di atas perahu motor) kami menuju kantor Sub Ranting Nule, sekitar 100 meter dari pantai. Kami disambut hangat PJ Sub Ranting Nule, Lorens Misa dan keluarganya.
***
SEMBILAN drum solar di sisi bangunan utama mesin pembangkit listrik Sub Ranting Nule adalah obyek pertama yang menarik perhatian kami siang itu. Menarik karena kondisinya tak lazim, bopeng, lecet di sana-sini dan penyok. Tulisan "Pertamina" di bagian tengah drum-drum itu tak lagi lengkap.
Umumnya sudah terkelupas bahkan dua tiga drum nampak menghitam. Apakah itu drum bekas? Ternyata bukan. Drum- drum itu masih ada isinya, bahan bakar solar yang merupakan "menu utama" mesin diesel yang setiap malam melayani 218 pelanggan PLN di sub ranting yang berdiri sejak tahun 1988 itu. "Modelnya jadi begini karena kami guling drum-drum itu dari pantai berbatu tadi," ujar Misa, pria asal Timor Tengah Selatan sambil tersipu malu.
Mengertilah kami mengapa drum solar itu buruk rupa. Penyok. Mana mungkin tetap mulus jika diguling dan didorong sejauh 100 meter!Terbayang beratnya pekerjaan para petugas PLN di daerah terpencil seperti Nule itu mendatangkan bahan bakar minyak untuk kebutuhan rutin mesin. Bagaimana mereka mengatur stok solar agar selalu ada sepanjang waktu karena listrik harus menyala sesuai jadwal yang dipatok.
Harga seliter solar (untuk kebutuhan industri) pun tidak cuma Rp 6.500,00. Nilainya otomatis membengkak, bisa dua kali lipat karena ditambah ongkos angkut dengan perahu motor dari Kalabahi serta ongkos guling dari bibir pantai.
"Masuk akal kalau PLN selalu terbuka mengumumkan kerugian mereka," kata Ana Djukana. Biaya tinggi itu mendera semua sub ranting PLN di daerah kepulauan seperti Alor. Di kabupaten ini terdapat sembilan unit sub ranting PLN dan satu kantor jaga yaitu Nule, Kabir, Adang, Probur, Bukapiting, Baranusa, Pura, Maritaing, Alor Kecil dan Moru.
Ketika kami tiba tak banyak orang berkumpul di kantor sub ranting Nule siang itu. Suasana nampak lengang. Tapi berubah amat lekas begitu mereka tahu rombongan dari Kupang sudah tiba. Satu demi satu warga Nule berdatangan. Kembali tercipta dialog dengan Manerep Pasaribu, Buce Lioe, John Jari, Untung Haryanto dan Lorens Misa di bawah rindangan pohon jambu. Tenda biru yang sudah disiapkan tuan rumah seolah tak berguna karena matahari yang amat terik.
Maklum, jarum waktu hampir setengah dua siang. "Saya tidak diundang kepala PLN. Saya datang sendiri ke sini karena dengar Bapa dorang datang dari Kupang," kata Soleman Waang membuka pembicaraan siang itu. Soleman adalah seorang tokoh masyarakat Bunga Bali, desa tetangga Nule, Pantar Timur."Saya mewakili masyarakat Bunga Bali. Saya mau tanya Bapa dorang, kenapa listrik belum bisa masuk ke desa kami? Padahal Bunga Bali dekat saja dari Nule ini dan kami juga bisa bayar rekening tiap bulan," ujar Soleman Waang.
Para pejabat PT PLN (Persero) Wilayah NTT memang memberi kesempatan seluas-luasnya kepada semua yang hadir saat itu mengungkapkan aspirasinya, curahan hati, keluh-kesah dan uneg-uneg mereka. Semua bernada dasar sama, betapa masyarakat begitu merindukan pelayanan PLN. Mereka selalu memulai tanya dengan kata mengapa.
Mengapa pelayanan PLN Sub Ranting Nule sangat terbatas? Mengapa PLN tidak menambah jaringan? Tidak menambah mesin baru. Takut rugikah? Kenapa sampai sekarang desa-desa lainnya di Pulau Pantar belum dijamah. Belum dilayani Perusahaan Listrik Negara? *(Dion DB Putra, dipublikasikan Pos Kupang, 22-25 Agustus 2006).
JARUM waktu menjelang pukul 11.00 Wita ketika Limarahing harus kami tinggalkan. Kami mesti berlayar lagi karena perjalanan di hari pertama bulan Agustus 2006 itu masih panjang. "Sekarang kita ke Nule. Perjalanan ke sana cukup lama," kata John Djari membuka obrolan saat perahu motor mulai bergerak ke timur.
Kami pergi diiringi lambaian tangan puluhan warga Pura, pulau gersang namun eksotik yang telah melahirkan banyak putra terbaik negeri ini. Salah seorang yang bisa disebut adalah tokoh pendidik, mantan Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang, Prof. Dr. Mozes R Toelihere.Sudah diusahakan sekuat mungkin agar tidak mengantuk, namun semilir angin mengalahkan mata kami. Beberapa wartawan rebahan di atas tikar.
Perahu bergerak stabil membelah ombak, menyusuri selat sempit antara Pulau Pura dan Pantar. Laut tenang. Udara cerah. Langit biru. Semua kembali larut menikmati indahnya alam. Ke kiri mata menangkap sisi lain Pulau Pura dengan pemukiman penduduk di lereng bukit yang terpisah dalam radius satu sampai dua kilometer. Di tengah perkampungan sana berdiri megah gereja dan masjid.
Pemandangan yang mirip terlihat di sisi kanan. Kami menikmati wajah Pantar, pulau terbesar kedua di Kabupaten Alor. Perahu agak bergetar saat hendak meninggalkan selat Pura-Pantar. Pulau Tereweng hadir di depan mata. Kami memasuki perairan Mulut Kumbang yang terkenal deras pusaran arusnya. Tapi perahu kami menyisir pantai Pulau Pantar sehingga tak merasakan goyangan arus Mulut Kumbang yang kesohor di kalangan para pelaut itu.Benar kata-kata John Djari, Manajer Cabang PLN Ranting Kalabahi.
Perjalanan ke Nule, Kecamatan Pantar Timur menelan waktu hampir dua jam, nyaris sama dengan jarak Kalabahi-Limarahing. Ini perjalanan normal kala cuaca cerah dan ramah. Saat laut tenang dan angin cuma sepoi-sepoi. Tak terbayangkan bila hujan badai melanda dalam periode November-Maret saban tahun. "Oh kalau masa seperti itu, Kalabahi ke Nule bisa makan waktu tujuh sampai delapan jam," jelas John Djari.Jika Limarahing menawarkan kemurahan hati dan tawa, Nule menyapa kami lewat keangkuhan pantainya yang berbatu-batu. Batu cadas dan ganasnya ombak.
Canda-tawa sontak menguap tatkala perahu motor berhenti bergerak, membuang sauh, melempar tali penambat ke darat. "Kita sudah sampai di Nule. Ayo, siap turun satu-satu dengan perahu kecil itu," teriak Paul Bolla dari buritan. Perahu motor sewaan kami memang tidak bisa berlabuh di pinggir pantai yang sedang pasang naik. Nule tak memiliki dermaga seperti Limarahing. Tiga perahu kecil merapat ke kapal motor untuk "mengevakuasi" kami ke darat. Satu perahu paling banyak memuat dua orang. Terbukalah kedok wartawan yang tahu berenang dan tidak, takut laut atau mencintainya, anak gunung atau anak pulau.
"Aih, muka pucat ko.." nyeletuk Dany Ratu (Metro TV) menggoda Hyeronimus Bifel yang badannya paling tambun. Tercipta sedikit "keributan" di atas perahu motor kami karena tak ada yang berani jadi orang pertama "dievakuasi" kendati putra Pantar, Dion Waang sudah menunjuk jalan. Dion begitu sigap naik ke perahu dan tiba selamat di pantai Nule.
Seolah membaca perasaaan sebagian wartawan yang "pucat" wajahnya menatap riak gelombang dan biduk yang begitu kecil, General Manager PT PLN (Persero) Wilayah Nusa Tenggara Timur, Manerep Pasaribu menggulung ujung celana panjangnya kemudian turun ke perahu kecil. Dia ditemani Untung Haryanto. Perahu dipermainkan gelombang. Berputar-putar tapi menyentuh bibir pantai dengan aman. Kecekatan anak-anak Nule luar biasa. Semua 23 anggota rombongan berhasil "dievakuasi" ke darat.
Prosesi menegangkan itu berlangsung sekitar 30 menit. Tanpa sandal dan sepatu (karena harus ditinggalkan di atas perahu motor) kami menuju kantor Sub Ranting Nule, sekitar 100 meter dari pantai. Kami disambut hangat PJ Sub Ranting Nule, Lorens Misa dan keluarganya.
***
SEMBILAN drum solar di sisi bangunan utama mesin pembangkit listrik Sub Ranting Nule adalah obyek pertama yang menarik perhatian kami siang itu. Menarik karena kondisinya tak lazim, bopeng, lecet di sana-sini dan penyok. Tulisan "Pertamina" di bagian tengah drum-drum itu tak lagi lengkap.
Umumnya sudah terkelupas bahkan dua tiga drum nampak menghitam. Apakah itu drum bekas? Ternyata bukan. Drum- drum itu masih ada isinya, bahan bakar solar yang merupakan "menu utama" mesin diesel yang setiap malam melayani 218 pelanggan PLN di sub ranting yang berdiri sejak tahun 1988 itu. "Modelnya jadi begini karena kami guling drum-drum itu dari pantai berbatu tadi," ujar Misa, pria asal Timor Tengah Selatan sambil tersipu malu.
Mengertilah kami mengapa drum solar itu buruk rupa. Penyok. Mana mungkin tetap mulus jika diguling dan didorong sejauh 100 meter!Terbayang beratnya pekerjaan para petugas PLN di daerah terpencil seperti Nule itu mendatangkan bahan bakar minyak untuk kebutuhan rutin mesin. Bagaimana mereka mengatur stok solar agar selalu ada sepanjang waktu karena listrik harus menyala sesuai jadwal yang dipatok.
Harga seliter solar (untuk kebutuhan industri) pun tidak cuma Rp 6.500,00. Nilainya otomatis membengkak, bisa dua kali lipat karena ditambah ongkos angkut dengan perahu motor dari Kalabahi serta ongkos guling dari bibir pantai.
"Masuk akal kalau PLN selalu terbuka mengumumkan kerugian mereka," kata Ana Djukana. Biaya tinggi itu mendera semua sub ranting PLN di daerah kepulauan seperti Alor. Di kabupaten ini terdapat sembilan unit sub ranting PLN dan satu kantor jaga yaitu Nule, Kabir, Adang, Probur, Bukapiting, Baranusa, Pura, Maritaing, Alor Kecil dan Moru.
Ketika kami tiba tak banyak orang berkumpul di kantor sub ranting Nule siang itu. Suasana nampak lengang. Tapi berubah amat lekas begitu mereka tahu rombongan dari Kupang sudah tiba. Satu demi satu warga Nule berdatangan. Kembali tercipta dialog dengan Manerep Pasaribu, Buce Lioe, John Jari, Untung Haryanto dan Lorens Misa di bawah rindangan pohon jambu. Tenda biru yang sudah disiapkan tuan rumah seolah tak berguna karena matahari yang amat terik.
Maklum, jarum waktu hampir setengah dua siang. "Saya tidak diundang kepala PLN. Saya datang sendiri ke sini karena dengar Bapa dorang datang dari Kupang," kata Soleman Waang membuka pembicaraan siang itu. Soleman adalah seorang tokoh masyarakat Bunga Bali, desa tetangga Nule, Pantar Timur."Saya mewakili masyarakat Bunga Bali. Saya mau tanya Bapa dorang, kenapa listrik belum bisa masuk ke desa kami? Padahal Bunga Bali dekat saja dari Nule ini dan kami juga bisa bayar rekening tiap bulan," ujar Soleman Waang.
Para pejabat PT PLN (Persero) Wilayah NTT memang memberi kesempatan seluas-luasnya kepada semua yang hadir saat itu mengungkapkan aspirasinya, curahan hati, keluh-kesah dan uneg-uneg mereka. Semua bernada dasar sama, betapa masyarakat begitu merindukan pelayanan PLN. Mereka selalu memulai tanya dengan kata mengapa.
Mengapa pelayanan PLN Sub Ranting Nule sangat terbatas? Mengapa PLN tidak menambah jaringan? Tidak menambah mesin baru. Takut rugikah? Kenapa sampai sekarang desa-desa lainnya di Pulau Pantar belum dijamah. Belum dilayani Perusahaan Listrik Negara? *(Dion DB Putra, dipublikasikan Pos Kupang, 22-25 Agustus 2006).