Studi Banding ke Suku Boti...

NUNE Benu. Nama ini cukup melegenda. Membekas di sanubari warga Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) atau siapa pun yang pernah mengenal atau bersua dengannya. Pemimpin spiritual Suku Boti di pedalaman kabupaten itu telah mangkat pada 20 Maret 2005. Ia telah digantikan oleh putra mahkota bernama Nama Benu.

Meski ia telah menghadap Sang Khalik, namanya tetap abadi. Mengapa? Ketika orang mempertentangkan ajaran agama, soal tradisi, doktrin dan radikalisme agama, Nune Benu hidup tenang bersama pengikutnya yang animisme ini.

Ketika jagat ini ribut-ribut soal pemanasan global, Nune Benu bersama pengikutnya hidup di bawah rimbunan pepohonan hijau. Bebukitan pun dirawat agar tak gersang. Dan, air tentu saja tak pernah kering sepanjang musim. Sikap batin ini ia tunjukkan dan selalu memberi inspirasi kehidupan bagi kita. Dengan kata lain, kehidupan mereka tak pernah bergesekan baik dengan sesama maupun dengan alam sekitarnya.

Dekade lalu saat Nune Benu masih kuat, wawancara itu berlangsung. Tatapan matanya membersitkan kepemimpinan sejati yang diemban di tanah leluhurnya. Dengan tutur kata yang lembut, sorot mata yang membiaskan kemurnian dan ketulusan hidup, Nune Benu mewariskan keteladanan ini.

Wawancara saya bersama Ampera Seke Selan, S.H, yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD TTS itu masih membayang. Lelaki berkonde itu sambil mengunyah sirih pinang mengatakan, mengapa mesti ribut-ribut soal agama?

Bukankah soal keyakinan adalah hubungan personal antara manusia dan penciptanya? "Banyak orang mengatakan bahwa kami tak punya agama. Tapi pertanyaan saya, mereka yang beragama justru sering melecehkan, saling berkelahi, bahkan saling membunuh. Kami di Boti hidup tenang dan saling menghargai," katanya sembari menyilahkan kami menikmati pisang rebus di siang yang terik itu.
Mengapa warga Boti hidup rukun? Nune Benu pun menjelaskan prinsip-prinsip dasar kehidupan suku yang berjarak 60 kilometer timur tenggara Kota SoE, Ibu kota TTS atau sekitar 170 kilometer timur Kota Kupang ini.

Menurut kepercayaan masyarakat suku Boti, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya di antara makhluk ciptaan lainnya. Menurut kepercayaan tersebut di dalam hidup ini manusia memiliki dua penguasa jagad yang harus ditaati, yaitu penguasa alam dunia yang disebut Uis Pah dan penguasa alam baka yang disebut Uis Neno.

Uis Pah dihormati dan disembah karena dialah yang menjaga manusia dan melindungi manusia dan seluruh isinya, sedangkan Uis Neno disembah karena peran-Nya yang menentukan apakah manusia masuk surga atau neraka. Oleh karena itu sesuai dengan ajaran yang dianutnya manusia Boti percaya bahwa apa yang diperbuat manusia selama hidup di dunia akan ikut menentukan jalan hidupnya di akhirat nanti. Sikap hidup baik dan benar semasa di dunia akan menuntun manusia kepada kehidupan kekal abadi di surga.

Nune Benu juga menyebut dalam hidup ini ada sembilan hari yang diyakini sangat penting. Ada Neon Kaet (hari keramat),

Neon Li'ana (hari anak), Neon Ai (hari api), Neon Onen (hari berdoa), Neon Masikat (hari bersaing), Neon Suli (hari salah paham), Neon Pah (hari berhala), Neon Besi (hari besi/logam) dan Neno Snasat (hari perhentian). Dan, hari-hari yang ditetapkan ini dijalani dengan sarat makna. Penuh ritual.

Nune Benu sebenarnya menjadi contoh, panutan dan teladan ketika kini kita masih terus mempersoalkan atau mempertentangkan keyakinan yang sebenarnya sudah final. Sudah harga mati. Mempersoalkan agama sama saja kita memicu keretakan yang tak berkesudahan. Kita boleh belajar dari kondisi negeri kita saat ini.

Perpecahan berlatarbelakang agama masih saja terjadi. Belum lagi upaya separatisme, memisahkan diri dari NKRI yang begitu kuat. Sungguh terasa akhir- akhir ini.

Yang patut menjadi diskursus adalah toleransi antarumat beragama. Di titik inilah barangkali kita duduk satu meja, satu atap untuk membedahnya. Mendiskusikannya. Dengan demikian kita akan saling memahami keanekaragaman ini dan berusaha menghindari bila terjadi gesekan-gesekan.

Begitu pula ketika alam kita terus dirusaki. Tengoklah ke suku "terasing" ini. Di sana antara manusia dan alam tak pernah ternoda. Tak ada "cekcok" atau perseteruan.
Kita di "belahan bumi" lain ini masih saja mempersoalkan hal-hal yang sepantasnya tak boleh. Seandainya Nune Benu masih hidup, kita patut melakukan studi banding ke kampung yang dikelilingi bukit dan ngarai itu.

Studi banding tentang harmoni kehidupan ini. Ternyata keteladanan, kepamongan, hidup bertoleransi masih banyak kita temukan di kampung-kampung. Nun jauh di sana seperti di Boti atau perkampungan adat Tamkesi di Kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Kita yang tinggal di kota belajarlah tentang kebajikan yang kini perlahan tapi pasti terus meninggalkan kemanusiaan kita. Kita akhirnya menjadi manusia yang mirip "robot", tak punya mata hati.(Paul Burin)

Pos Kupang 26 Juni 2010 halaman 5
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes