RAMAH dan murah senyum. Itulah kesan pertama ketika bertemu dengan Suster Ludgardis, CIJ. Menjalankan tugas ganda sebagai dokter dan penanggung jawab Rumah Sakit Lepra St.Damian - Lewoleba, Kabupaten Lembata, bukan tugas ringan bagi dokter Ludgardis.
Tugas kesehariannya mengelola administrasi rumah sakit dan memberikan pelayanan kepada pasien. Baik pasien yang dirawat di rumah sakit lepra tersebut maupun pasien rawat jalan yang setiap hari selalu mengunjungi rumah sakit itu. Untuk menjalankan dua tugas itu, Suster Ludgardis harus pandai-pandai membagi waktu. Jika tidak demikian, suster murah senyum ini bisa kewalahan.
Suster kelahiran Manggarai, 20 Mei 1974, itu punya cara tersendiri menjalankan dua tugasnya itu. Pagi pukul 07.30 Wita hingga pukul 08.30 Wita, ia memeriksa dan memberi pengobatan kepada pasien. Jika tidak ada pasien rawat jalan yang diperiksa, Suster Ludgardis kembali ke kantor mengurus berkas administrasi rumah sakit.
Jika ada pasien baru dan harus diperiksa, Suster Ludgardis akan mengutamakan pasien. Setelah itu baru mengurus administrasi rumah sakit, setelah Poli Umum ditutup pukul 14.00 Wita. Itulah tugas keseharian dokter Ludgardis, CIJ.
"Syukurlah walau harus menjadi satu-satunya dokter di sini, urusan administrasi tidak serumit di rumah sakit umum. Saya masih bisa urus dengan baik. Pasien yang ke sini hanya pasien penyakit kulit. Frekuensinya tidak selalu padat. Itulah misi kongregasi kami, yakni memperhatikan orang kecil. Kami semua di sini berusaha untuk melakukannya dengan senang hati," kata anak ketiga dari enam bersaudara buah kasih
Gregorius Gelo dan Maria Embes.
Suster Ludgardis menerima FloresStar di ruang tata usaha rumah sakit itu, Rabu (26/5/2010). Dokter tamatan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta pada Desember 2006, itu menuturkan, menjadi satu-satunya dokter sekaligus kepala rumah sakit ada suka-duka tersendiri.
Apalagi mengurus dan merawat pasien lepra, kata Suster Ludgardis, membutuhkan kesabaran. Sebab, mereka umumnya ditolak masyarakat ketika kembali setelah mereka sembuh. Dan, ketika mereka ditolak di lingkungan asalanya, maka pilihannya mereka kembali ke Rumah Sakit Lepra St. Damian. "Jadi, kondisi psikologis mereka tidak stabil. Mengurus pasien yang demikian, saya dan semua karyawan di sini dituntut lebih sabar. Hanya dengan cara itu semua kegiatan pelayanan dapat berjalan baik," kata lulusan SMP Benteng Jawa, Manggarai Timur tahun 1990.
Suster Ludgardis mengaku sulit menghadapi pasien yang memiliki kondisi psikologis yang kurang stabil. "Mereka cenderung berbuat ulah. Sebagai orang normal, kita sabar saja melayani mereka. Saya melihat kehadiran dan karya Allah dalam diri mereka. Karena yang pasti Tuhan akan selalu menyediakan segalanya pada waktunya," katanya.
Walau peralatan dan obat-obatan serba terbatas, dr. Ludgardis berusaha melayani semua pasien dengan senyum. Ia pun tak lupa bersyukur kepada Tuhan. Doa selalu dia panjatkan agar Tuhan senantiasa memberi kekuatan kepadanya dalam menjalanakn tugas kemanusiaan.
"Peralatan medis dan obat-obatan kami di sini terbatas. Tetapi, mungkin karena saya selalu berdoa untuk kesembuhan setiap pasien yag saya rawat, sehingga mereka sembuh. Padahal ada yang sudah berobat ke rumah sakit-rumah sakit besar di Jawa. Malah mereka sembuh di sini (RS Lepra St. Damian). Itulah anugerah Tuhan. Tuhan melihat keterbatasan kami dan penyakit yang diderita setiap pasien yang datang ke sini," ujarnya.
Dalam menjalankan tugasnya, ada hal melelahkan Suster Ludgardis, yaitu mendengarkan keluhan pasien yang datang dalam kondisi ganguan psikis. "Mereka memaksa saya untuk mengikuti mereka. Kalau pasien yang hanya sakit fisik, itu saya percaya dengan pemberian pelayanan yang baik ditambah doa, akan mendapatkan kesembuhan. Tetapi yang paling melelahkan berhadapan dengan pasien yang memiliki gangguan psikis. Walau hanya dua orang yang saya layani ehari, terasa sangat melelahkan. Mungkin karena saya terlalu masuk ke dalam persoalan mereka," kata Ludgardis. (jumal hauteas)
FloresStar 2 Juni 2010 halaman 1