Sejarah lahirnya Paroki Simon Petrus, merupakan peristiwa dan dinamika iman yang luar biasa. Berikut sejarah lahirnya gereja ini yang dirangkum dari buku tentang Sejarah Berdirinya Stasi Simon Petrus, karangan Marianus Kleden.
STASI Santo Simon Petrus Tarus dimulai tahun 1948 ketika beberapa orang Katolik berkumpul untuk berdoa dari rumah ke rumah (bdk.Kis.2:42). Mereka adalah Petrus Pehang, Suban Beribe, Yohanis Melo, Bernardus Hipir, Jakobus Klau, Josef Klau, Alex Maulelo, Petrus Herin, Pius Kolin, Yosef Beda Baran, Stanis Lanang, Petrus Lanang yang dikenal dengan Pe'u Gong, Petrus Leway, Lorens Mitang, Yohanes Beribe, Simon Meluk, Agus Pati, Paulus Longo, Petrus Funan, Niko Rianghepat, Martinus Lonek, Paulus Longo, Lamber Nahak, Aloysius Djadjo, Willem Teti, Yos Agamite, Petrus Mau, Philipus Pali, Petrus Bolang, Thomas Tego Hayon, Philipus Padak, Andreas Dendo dan Simon Klau.
Andreas Dendo yang disebut sebelum Simon Klau adalah seorang polisi asal Sumba yang tinggal di sebuah perkampungan kecil di Kilometer 10 Jalan Timor Raya. Karena jarak Lasiana-Tarus cukup jauh, disepakati bahwa Andreas Dendo membentuk persekutuan doanya sendiri di Lasiana. Apalagi karena adiknya Dominikus Dendo bisa memimpin doa, membaca Alkitab dan memberikan renungan. Sebuah areal yang cukup luas di sekitar rumahnya kemudian dibebaskan untuk pembangunan sebuah kapela yang mengabadikan nama perintis: Kapela Santo Andreas Lasiana. Kita dapat mengerti sekarang mengapa bentangan wilayah dari Km 9 hingga Km 10 dipenuhi dengan warga Katolik asal Pulau Sumba.
Lahirnya persekutuan doa di ujung barat tahun 1950-an yang kemudian berkembang menjadi Stasi Santo Andreas ternyata merupakan sebuah peristiwa antisipatoris dari lahirnya Stasi Maria dari Ibu Anjelina di ujung Timur tahun 2000-an. Stasi Maria dari Ibu Anjelina sebelumnya merupakan Kelompok V yang kemudian berubah nama menjadi KUB Ave Maria. Untuk mengenang sejarah, nama "KUB Ave Maria" tetap dipertahankan untuk salah satu KUB di seputaran gedung gereja dan gua Maria di Stasi yang baru ini.
Warga jemaat awal cikal bakal Stasi Tarus datang dari sembilan rumah tangga yang tersebar dari Lasiana hingga Noelbaki, yang bentangan wilayahnya mencapai 5 kilometer. Angka 'sembilan' inilah yang kadang-kadang menimbulkan salah kaprah bahwa jemaat perdana Tarus terdiri atas sembilan orang atau sembilan KK. Bukan sembilan orang, bukan juga sembilan kepala keluarga melainkan sembilan rumah tangga. Waktu itu paham dan praktik keluarga luas masih jamak dilakukan sehingga dalam satu rumah tangga bisa terdapat beberapa KK.
Orang-orang yang disebutkan ini bukan datang serempak tetapi datang dalam kurun waktu 1950-an sampai 1970-an. Sebagai pengurus gereja Simon Klau ditunjuk menjadi Guru Agama, Paulus Longo sebagai koster dan Petrus Pehang menjadi Ketua Umat.
Keberadaan umat Katolik yang terikat dalam persekutuan kasih dan doa ini tidak luput dari pengamatan dan perhatian hirarki gereja. Namun hingga tahun 1940-an pelayanan rohani bagi umat Katolik di wilayah TTS dan Kupang (termasuk Tarus) tidak selamanya mudah dilakukan karena berdasarkan perjanjian yang dilakukan antara Pemerintah Belanda dan Portugis, wilayah Belu dan TTU masuk wilayah pelayanan misi Katolik, sementara kawasan TTS, Kupang, Rote, Sabu dan Alor menjadi wilayah karya Zending Protestan.
Tetapi sejarah berubah, diplomasi berjalan dan di atas segalanya Tuhan berkarya. Memang, tahun 1927 Timor menjadi Dekenat dengan Pater Schroder sebagai Rektor yang menetap di Halilulik dan dalam tahun yang sama P. Schroder diangkat menjadi Penilik Sekolah untuk seluruh Pulau Timor. Ini berarti akses ke kawasan TTS dan Kupang mulai terbuka, tetapi suasana belum kondusif untuk pelayanan rohani bagi umat Katolik. Tahun 1936 P. Jacobus Passers, SVD sempat merayakan misa di Nunhila, tetapi beliau dilempari batu oleh pihak-pihak yang tidak suka. Suasana yang tidak kondusif ini membuat peran awam menjadi amat menonjol.
Salah seorang di antaranya yang cukup dikenal luas untuk kawasan Kupang adalah Bapak Piet Parera. Tidak mengherankan kalau dalam komunitas yang lebih kecil selalu ada tokoh awam yang menonjol, seperti misalnya Petrus Pehang atau Simon Klau untuk komunitas Tarus.
Tanggal 1 Desember 1938 berdiri paroki sulung untuk kawasan Kupang yaitu Paroki Bonipoi yang kemudian berganti nama menjadi Paroki Kristus Raja Kupang. Sesudah itu berturut-turut berdiri banyak paroki baru di wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah eksklusif Zending. Tahun 1949 berdiri Paroki Gembala Baik Kalabahi, Alor. Empat tahun kemudian, tahun 1953, diresmikan berdirinya paroki perdana di TTS, Paroki St. Maria Dolorosa SoE dengan P. Vincent Lechovic (atau lebih dikenal sebagai P. Vinsen Leko) sebagai pastor paroki pertama. Tahun 1962 lahir Paroki Niki-Niki dengan P.C.W. Kooy SVD sebagai pastor perdana. Tahun 1967 berdiri Paroki Put'ain yang digembalakan oleh P. Erich Breunig SVD, dan tahun berikutnya (1968) dibuka paroki baru pemekaran dari Paroki Kritus Raja, yaitu Paroki St. Yoseph Naikoten dengan pastor pertama P. C.W.Nellisen SVD.
|
Uskup Agung Kupang Mgr. Petrus Turang, Pr |
Selanjutnya tahun 1969 merupakan tahun yang penting bagi Stasi Santo Simon Petrus Tarus karena dalam tahun ini diresmikan berdirinya Paroki Santo Yoseph Pekerja Penfui (di mana komunitas Tarus berada) dengan P. Konijn SVD sebagai pastor paroki pertama. Suasana sebelum berdirinya Paroki Penfui tidak jauh berbeda dari apa yang terjadi di Tarus. Lebih dari dua dasawarsa sebelum berdirinya Paroki, persekutuan doa dan kasih sudah berlangsung di antara orang-orang Katolik asal Flores Timur yang datang sejak tahun 1946 sebagai tukang atau buruh yang mengerjakan Bandara El Tari.
Pater Zenon Jual Mobil Jeep, Umat Jual Babi
PATER Konijn yang sudah berpengalaman sebagai misionaris perintis di Rote dan Sabu selalu melakukan kunjungan ke komunitas-komunitas kecil yang menjadi cikal-bakal kapela yang kemudian meningkat menjadi stasi. Maka di sekitar tahun 70-an Pater Konijn paling kurang sebulan sekali menyempatkan diri mengunjungi umat Katolik di kawasan Tarus dan merayakan misa di sebuah kapela di mana sekarang berdiri Rumah Makan Mamami.
Tanah tempat dibangunnya gereja pertama itu dihibahkan oleh Petrus Lanang. Biasanya sesudah misa Pater makan di rumah Bapa Simon Klau, sehingga Mama Orpa Klau, istri Bapa Simon Klau tidak bisa menghadiri misa karena menyiapkan konsumsi Pastor. Pater Konijn kemudian digantikan oleh Pater Zenon, SVD. Di masa Pater Zenon inilah, gagasan pendirian sebuah gedung gereja mulai dikemukakan, didiskusikan dan direalisasikan dalam kepanitiaan.
Sebagai Pastor Paroki, Pater Zenon juga mengatur agar perayaan ekaristi dapat dilakukan setiap minggu. Maka Pater Dan Siga, SVD, Pater Gabriel Atok, SVD, Pater Theo Tidja Balela, SVD, Pater Hendrik Molan Tokan, SVD, Pater Willem Laga, SVD bahkan Mgr. Gregorius Manteiro sendiri secara bergantian datang melayani misa di Tarus. Sesudah Pater Zenon, Rm. Arnold Bria dapat dipandang sebagai 'kapelan tetap' untuk jangka waktu yang cukup panjang hingga digantikan oleh Pater Herman Embuiru, SVD yang juga mengabdi untuk jangka waktu yang cukup panjang. Sesudah Pater Herman, model 'kapelan tetap' dipandang tidak bagus untuk manajemen keparokian, sehingga pastor yang bertugas di stasi dirotasi secara mingguan atau paling lama dua mingguan.
Sampai tahun 1977, Bapa Simon Klau merasa dirinya sudah terlalu tua, sehingga diadakanlah beberapa kali pertemuan secara bergantian di rumah Bapak Petrus Pehang dan Bapak Simon Klau untuk membahas perlu dibentuknya kepengurusan baru umat Katolik di wilayah Tarus hingga Noelbaki. Diputuskanlah melakukan Novena untuk meminta petunjuk Roh Kudus agar mereka dapat memilih orang yang tepat untuk menggantikan posisi Simon Klau sebagai guru agama.
Setelah Novena berakhir Bapa Simon Klau mendatangi Petrus Golok (lengkapnya Petrus Buga Una Golok) dan menyampaikan kepadanya bahwa sesuai petunjuk Tuhan, Petrus Golok harus menggantikan dirinya menjadi guru agama. Tanggal 26 Desember 1977 dalam misa yang dipimpin oleh Pater Zenon, SVD, dilantiklah badan kepengurusan baru Kapela Tarus dengan susunan sebagai berikut. Ketua Umat: Yohanes Mello, Guru Agama: Petrus Golok, Wakil Guru Agama: Titus Akoit, Ketua Pembangunan: Lamber Nahak. Upacara pelantikan berlangsung di kapela yang berlokasi di SDK St. Yosef Noelbaki sekarang. Tanah ini dihibahkan oleh Hendrik Matara seorang pensiunan tentara dan Yoksan Matara sebagai ucapan terima kasih atas biaya pendidikan yang mereka terima dari seorang pastor.
***
KALAU nama Simon Klau tidak lagi muncul dalam kepengurusan baru umat Katolik di wilayah Tarus karena usia tua, maka tidak dimunculkannya nama Petrus Pehang dilatarbelakangi pertimbangan praktis belaka. Petrus Pehang ketika itu menjabat sebagai Kepala Desa Noelbaki yang seluruh waktu dan tenaganya tersita untuk berbagai urusan kemasyarakatan dan pemerintahan, sementara kepengurusan baru Kapela Tarus ini bertanggung jawab atas rencana pembangunan gereja yang membutuhkan komitmen total waktu dan tenaga.
Demikian pula manajemen keuangan dalam kaitan dengan pembangunan juga perlu dilakukan dengan teliti dan cermat (atau transparan dan akuntabel menurut istilah sekarang) sementara dalam kepemimpinan Petrus Pehang hal ini belum dilakukan dengan cukup profesional. Hal ini sedikit menimbulkan ketersinggungan bahkan ketegangan di antara para pihak tetapi akhirnya masing-masing pihak menyadari bahwa inilah jalan terbaik demi pembangunan gereja.
Gereja Tarus mula-mula berlokasi di Rumah Makan Mamami yang sekarang, beberapa meter sebelah barat PDAM Tarus. Gedung gereja dan halaman gereja tidak begitu luas sehingga di antara umat terjadi pembicaraan untuk mencari lokasi yang baru yang lebih luas, tempat membangunan gedung gereja dengan daya tampung lebih besar. Umat waktu itu, menurut kesaksian Bapa Yohanes Mello, berjumlah 60 - 70 KK.
Dalam pada itu ada seorang Kristen Protestan bernama Titus Tuka mendengar informasi bahwa orang Katolik mencari sebidang tanah yang lebih luas untuk ditukarkan dengan tanah gereja yang kala itu sudah dimiliki. Kebetulan Titus Tuka juga menginginkan tanah milik gereja Katolik itu karena letaknya yang strategis. Dia mau menukarkannya dengan tanah miliknya yang lebih luas (yaitu tanah di mana dibangun gereja Stasi St. Simon Petrus Tarus yang sekarang) yang terbentang dari pinggir jalan Timor Raya sampai tangga pertama gereja lama.
Tahun 1978 dibentuklah panitia pembangunan dengan ketua Bapak Lamber Nahak. Pencarian dana dilakukan secara swadaya. Petrus Mau bolehlah dibilang sebagai orang pertama yang memberi sumbangan dalam bentuk seekor babi. Babi miliknya 'dileis' dan dagingnya dijual oleh Bapa Petrus Golok. Dalam pada itu Pater Zenon menjual mobil jeepnya seharga Rp 3 juta. Selanjutnya pencarian dana terus dilakukan dengan cara 'meleis' hewan tetapi hasilnya tidak selamanya memuaskan. Ada pula pejabat pemerintah yang menolak memberi sumbangan dengan alasan-alasan yang tidak selamanya jelas. Umat dimintai sumbangan Rp 2.000 per KK, dengan cara mencicil hingga selesai, artinya waktunya tidak ditentukan. Jumlah ini kurang lebih setara dengan Rp 200.000 sekarang.
Ketika hendak dilakukan peletakan batu pertama, Pater Zenon berkeberatan dan mengusulkan, alangkah bagusnya kalau gereja dibangun di atas ketinggian. Dilakukanlah pendekatan kepada pemilik tanah, yaitu Soleman Matara dan Tobias Costa. Karena beberapa gadis dari marga Matara menikah dengan orang Katolik, kedua tokoh Protestan ini menghibahkan daerah berbukit untuk dibangun gereja Katolik. "Supaya saudara perempuan kami juga bisa mempunyai tempat ibadat yang pantas," begitu kurang lebih perasaan hati Bapa Soleman dan Tobias. Maka dibangunlah gereja di atas bukit, yang mengingatkan kita akan kata-kata Yesus, "Di atas bukit batu ini akan Kudirikan GerejaKu" (Mat.16:18). Masa kepemimpinan Yohanes Mello berakhir tahun 1981 dan digantikan oleh Ignas Suban Beribe untuk masa bakti 1981-1985.
Gunakan Konsep 'Bapa Ani' dan 'Mama Ani'
POLA ketua umat dirasakan tidak cocok lagi dengan perkembangan modern gereja sehingga dimulailah struktur baru kepengurusan gereja. Maka dibentuklah Dewan Pastoral Stasi Tarus dengan ketua yang pertama Bapak Lorens Mitang. Beliau dibantu oleh Lorens Ensy sebagai wakil ketua, Andreas Ila sebagai sekretaris dan John Lowo sebagai bendahara. Kepemimpinan Loreng Mitang berlangsung dari 1985 hingga 1988.
Dalam sebuah wawancara dengan beliau, salah satu kesan yang amat kuat ialah usaha beliau untuk menciptakan tali persaudaraan di antara warga jemaat dengan saling menjadi wali baptis atau wali nikah untuk anak-anak yang dibaptis atau pemuda-pemudi yang menerima sakramen perkawinan.
Orang Kupang menyebut dengan istilah 'Bapa Ani' dan 'Mama Ani'. Persaudaraan tidak didasarkan atas ikatan darah melainkan ikatan rohani. Lorens Mitang kemudian digantikan oleh Welem Tety (masa bakti 1988-1991) dengan susunan kepengurusan, Ketua DPS: Welem Tety, Wakil Ketua: Yan Muda Mite, Sekretaris: Andreas Ila, Bendahara: Magdalena Kova. Welem Tety kemudian digantikan oleh Sipri Djiling (1991-1994) dengan susunan kepengurusan, Ketua DPS: Sipri Djiling, Wakil Ketua: Yohanes Mello, Sekretaris: Petrus G Hayon, Bendahara: Magdalena Kova. Dalam masa kepemimpinan Sipri Djiling, pagar gereja dibangun, meskipun masih berwujud kawat berduri.
Andreas Ila yang dalam dua kepengurusan sebelumnya menjadi sekretaris kini tampil menggantikan Sipri Djiling. Dalam masa kepemimpinan Andreas Ila -- yang oleh umat disapa Pak Ande -- kepengurusan diperluas dan semangat kemandirian digalakkan. Pak Ande dibantu oleh Alfons Bunga Naen sebagai ketua I, Arnold Seme sebagai ketua II, Kristianus Manek sebagai sekretaris umum, Dasi Sura Rafel sebagai sekretaris I, Sergius Se sebagai sekretaris II dan Frans Jakatamu sebagai bendahara umum. Masa bakti Pak Ande 1994-1997. Dalam masa ini pagar gereja yang sudah dirintis oleh Sipri Djiling dalam bentuk rentangan kawat ditingkatkan mutunya menjadi tembok.
Andreas Ila kemudian digantikan oleh Alfons Bunga Naen (1997-2000) dengan struktur kepengurusan yang kurang lebih sama. Pak Alfons dibantu oleh ketua I yang kemudian menjadi ketua umum antarwaktu: Arnold Seme, sekretaris I: Dasi Sura Rafael, sekretaris II: Sergius Se, bendahara umum: Yoseph Belang. Arnold Seme bertindak sebagai ketua umum antarwaktu karena di pertengahan 1998, Pak Alfons melanjutkan studi ke jenjang strata 2 di Yogyakarta hingga meraih geral Magister Pendidikan.
***
TAHUN 1998, ketika Gereja Tarus merayakan 50 tahun, gereja 'dibaptis' ulang dengan nama Stasi Santo Simon Petrus Tarus. Nama ini diusulkan oleh Pak Alfons Bunga Naen, ketua Dewan Stasi waktu itu. Pak Alfons sendiri adalah dosen fisika pada Unika Widya Mandira. Adalah sebuah koinsidensi yang menarik, bahwa Gereja Stasi Tarus mempunyai guru agama pertama bernama Simon dan ketua umat pertama bernama Petrus, serta guru agama kedua yang masih hidup sampai sekarang yang juga bernama Petrus. Nama Simon Petrus mengingatkan kita akan Santo Petrus yang di atas namanya dan tubuhnya dibangun Basilika Roma, gereja terbesar di dunia yang menjadi simbol Gereja Katolik universal.
Ada banyak orang yang telah menjadi pengurus DPS Simon Petrus Tarus. Jika ditulis tidak akan cukup halaman untuk membeberkan pengorbanan keringat dan air mata mereka. Ada yang masih hidup, ada yang sudah pergi.
Saat kepemimpinan Ande Illa sebagai Ketua DPS, gereja dibangun baru sama sekali dengan perencanaan yang jauh lebih matang. Yang membanggakan dari Kapela Tarus ini ialah bahwa bangunan ini dikerjakan dengan swadaya murni umat. Panitia pembangunan dibentuk dengan ketua Pak Gaspar Ga'a, dibantu Moses Bheo sebagai wakil, Sergius Se sebagai sekretaris dan Herman Taek sebagai bendahara. Keempat tokoh ini praktis selalu berada di gereja, entah pagi, entah sore, entah secara bersama, entah secara sendiri-sendiri untuk memantau jalannya pembangunan. Umat memberikan sumbangan dalam bentuk ucapan syukur. Sumbangan bagi pembangunan gereja diberi nama pernyataan syukur. Istilah ini diusulkan oleh Marianus Kleden. Menurut Marianus, ada begitu banyak berkat yang kita terima dari Tuhan, dan sebagai tanda ucapan syukur kita menyisihkan sebagian dari pemberian Tuhan itu untuk diserahkan lagi kepada Tuhan. (julianus akoit)
Sumber: Pos Kupang edisi 27, 28 dan 29 Oktober 2014 hal 9-15