Bukan Peti Mati Terakhir


Beta mau berkata lugas saja bahwa perbudakan modern di kampung halaman kita, Flobamora, belum usai bahkan semakin menjadi-jadi.

Di penghujung tahun 2023, Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menerima kiriman peti jenazah Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari negeri seberang.

Malah tiga sekaligus di bulan Desember saat sebagian besar masyarakat di bumi tenggara NKRI ini merayakan Natal.

Mengutip laporan Pos Kupang, ketiga PMI yang meninggal di luar negeri pada Desember 2023 adalah Yohanes Baptista Baga asal Desa Beru Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka.

Lenisius Soba asal Desa Zozozea, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, dan Piter Betan alias Petrus Doni Betan asal Kelurahan Lewolere, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur.

Tahun 2023 sebanyak 151 Pekerja Migran Indonesia (PMI) nonprosedural asal Provinsi NTT meninggal dunia di luar negeri, dominan di Malaysia.

Angka kematian yang bikin merinding. Bulu kuduk berdiri. Bayangkan setiap bulan rata-rata NTT menerima 12 peti mati.

Secara statistik dalam lima tahun terakhir, jumlah kiriman peti mati dari luar negeri ke NTT memang terus menanjak.

Pos Kupang mencatat pada 2018 sebanyak 105 jenazah PMI, 119 jenazah tahun 2019, sebanyak 87 jenazah pada tahun 2020, tahun 2021 sebanyak 121 jenazah, dan 106 jenazah tahun 2022. Tahun 2023 melonjak sampai 151 jenazah.

Sejak tahun 2018 hingga 2023, NTT menerima 689 peti jenazah PMI. Jumlah yang tidak sedikit bukan?

Sebagai pembanding, Kompas.id 23 Juli 2023 mewartakan, selama tahun 2018-2022, sedikitnya 516 pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur meninggal di luar negeri.

Dari jumlah itu, 499 orang di antaranya pekerja migran ilegal karena mereka berangkat ke negara lain tanpa dokumen resmi.

Menurut Koordinator Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia, Gabriel Goa, jumlah PMI asal NTT yang meninggal di luar negeri itu dihitung berdasarkan jumlah peti jenazah yang tiba melalui Bandara internasional El Tari, Kupang.

Selain melalui Bandara El Tari, sebenarnya masih ada peti jenazah PMI asal NTT yang tiba dengan kapal laut karena keluarga mengalami kesulitan biaya memulangkan jenazah dengan pesawat terbang.

Namun, jumlah peti jenazah yang dipulangkan dengan kapal laut itu tidak terdata.

”Dari 516 orang yang meninggal itu, hanya 17 orang yang berstatus pekerja migran prosedural. Pekerja resmi ini mendapatkan santunan yang diterima ahli waris. Sementara pekerja nonprosedural tidak mendapat santunan, bahkan memulangkan peti jenazah ke NTT pun susah payah karena menyangkut biaya,” kata Gabriel, Kamis (20/7/2023).

Kisah klasik memilukan ini entah kapan bisa berakhir. Sejak puluhan tahun lalu pekerja migran asal NTT nekat ke mancanegara bermodal fisik semata.

Mereka pergi mencari sesuap nasi tanpa dokumen resmi yang menjamin keselamatan, kenyamanan dan terutama hak-hak mereka sebagai pekerja.

Pemerintahan berganti rutin di bumi Flobamora. Kepemimpinan daerah pun beralih alami tapi jarum waktu seolah tidak bergerak di sini.

Perbudakan atau istilah tren tindak pidana perdagangan orang masih terjadi dalam langgam dan rupa baru sesuai zaman.

Di luar sana satu orang PMI mati apalagi PMI itu ilegal merupakan tragedi.

Jangan-jangan kita di sini justru menganggap 151 (peti jenazah) sekadar angka tanpa makna. Bukan urusan lu (anda) dan beta.

Peti mati PMI yang terus bertambah jumlahnya saban tahun (mestinya) membuat Nusa Tenggara Timur terluka.

Terluka karena kita benar-benar tak berdaya untuk menekan apalagi memeranginya. Peti mati telah menjadi elegi harian.

Luka mengangga lebar itu mendera pemerintah dan masyarakat. Pemimpin daerah terluka, gereja terluka, perguruan tinggi juga terluka.

Aktivis LSM, civil society, kaum cerdik pandai, tokoh agama, tokoh masyarakat, kaum muda, pun insan media massa terluka.

Kita semua terluka. Anda dan saya termasuk mereka yang sedang gigih berjuang merebut kursi eksekutif dan legislatif pada 14 Februari 2024.

Angka kemiskinan ekstrem di NTT gemuk amat. Lebih dari satu juta orang tertatih-tatih untuk sekadar memenuhi kebutuhan makan dan minum sehari-hari.

Posisi kita belum bergeser dalam klasemen kemiskinan nasional. Tetap tiga besar bersama sesama saudara di Papua yang pulaunya kaya raya.

Maka yakin dan percayalah 151 itu bukan peti mati terakhir! Mungkin segera tiba yang baru di beranda Nusa Tenggara Timur. Dan, kita terluka lagi.

Siapa peduli? 

Sumber: Pos Kupang


Kisah Manis di Hari Kamis


Catatan Sepak Bola Dion DB Putra

Shin Tae-yong

Kisah manis terlahir di hari Kamis, 25 Januari 2024. Sekelompok anak muda sontak riuh berjingkrak ria. 

Mereka berangkulan hangat di ruangan mungil hotel berbintang, di depan layar televisi yang baru saja dimatikan. Wajah sang arsitek Shin Tae-yong pun bersemu merah. Garuda bisa, yes!  

Kegembiraan para pemain Timnas Indonesia pecah setelah wasit Ahmad Alali yang memimpin laga Oman vs Kirgistan meniup peluit panjang di Stadion Abdullah bin Khalifa Qatar. 

Duel pamungkas Grup F berujung imbang 1-1 memastikan skuat Garuda menjadi tim ke-16 atau terakhir lolos ke fase knock out.

Kamis bersejarah bagi Indonesia, negara dengan pemuja sepak bola ratusan juta umat. Untuk pertama kali kesebelasan Merah Putih mencapai fase gugur kejuaraan sepak bola antar negara di benua berpopulasi tergemuk sejagat. 

Kamis malam 25 Januari 2024, seorang pria Korea telah merebut hati Indonesia. Bukan dongeng bukan bualan atau kisah romantis melankolis ala drakor. 

Shin Tae-yong mewujudkan komitmennya mengantar timnas ke level Asia setelah puluhan tahun terlunta-lunta di tenggara Asia.

Mental Shin sungguh setangguh karang. Dia terus bekerja penuh keyakinan dan terukur di tengah badai nyinyir dan pesimistis masyarakat bola. 

Shin Tae-yong tiba di Jakarta Januari 2020 menggantikan Simon McMenemy saat Indonesia hancur lebur di kualifikasi Piala Dunia 2022. Enam kali kalah beruntun. Telak pula.

Kampanye skuad Garuda ke kualifikasi Piala Asia 2023 harus melalui babak playoff karena ranking FIFA kita jeblok. Juli 2020 Indonesia di urutan ke-173. Hanya setara Kamboja di ASEAN dengan poin 964. 

September 2021, kita bahkan di posisi 175. Di tangan Shin perlahan naik meski tak signifikan. Oktober 2021 (165), Agustus 2022 (155), Juli 2023 (150), September 2023 (147), Desember 2023 (146). Januari 2024 berpeluang ke 142.

Ketika lolos ke putaran final Piala Asia, Garuda adalah kontestan dengan ranking FIFA terendah dari 24 finalis. Jauh dibanding sesama ASEAN:  Vietnam, Thailand dan Malaysia. Hari ini di 16 besar Asia setali tiga uang. 

Pasukan Shin benar-benar tak dianggap dari sisi peringkat FIFA. Lawan Garuda hari Minggu (28/1/2024) adalah Australia, tim berperingkat 25 dunia. Rekor kemenangan head to head juga lebih memihak tim Kanguru.

Apakah Shin Tae-yong gentar? Sikap pria kelahiran 11 Oktober 1970 ini tetap dingin dan tenang. 

Tak banyak cakap dan sesumbar. Hanya keyakinan bolanya kukuh bahwa Marselino Ferdinan dkk akan bermain seapik mungkin. 

Memberi perlawanan sepadan, seperti meladeni tim raksasa di Grup D: Irak, Jepang dan musuh bebuyutan Vietnam. 

Filosofi bola Shin simpel saja. Hasil akhir urusan nanti. Bermainlah 90 menit dengan seluruh kemampuan terbaikmu.

Di kubu Australia,  sang arsitek Graham Arnold keliru bila meremehkan racikan Shin yang cukup sering out of the box. 

Sebut misalnya saat melawan Jepang, bek tengah Elkan Baggot dia tugaskan sebagai ujung tombak. 

Shin tentu sudah punya strategi dan taktik demi menjinakkan The Socceroos. Fase gugur membuat kedua tim masuk stadion berbalut rasa berbeda. Kalah, out! 

Shin Tae-yong adalah anugerah buat sepak bola nasional. Kiprahnya sejak 2000 membuat kita bangga. Pilihan PSSI di bawah pimpinan Erick Thohir tepat.

Dibandingkan pelatih sebelumnya, Shin Tae-yong berani mengubah postur timnas. Bahkan dia tanpa kompromi memangkas satu generasi skuat tim nasional yang tak sesuai standar dan target kepelatihannya. 

Di mata Shin tak ada privilese pemain. Nama besar sekelas Evan Dimas, misalnya, bukan jadi pilihan utama ketika kinerja dan karakter tak sejalan. 

Saddil Ramdhani pun dia coret dari daftar 26 pemain untuk Piala Asia 2023.

Pengamat sepak bola Asia mengagumi cara Shin Tae-yong memberi kepercayaan kepada pemain muda. Di event akbar Piala Asia 2023, lebih dari separuh skuat Timnas Indonesia  berusia di bawah 23 tahun. 

Indonesia merupakan tim termuda di Piala Asia kali ini. Situs Transfermarkt mencatat, rata-rata usia pemain Indonesia adalah 23,88 tahun.

Tim belia ini telah menunjukkan kualitasnya pada fase grup. Mereka tak minder melakoni laga berat hadapi tim terkuat Asia langganan finalis Piala Dunia. 

Mereka petarung. Lolos ke babak 16 besar bukan semata faktor dewi fortuna. 

Pencapaian Shin sejak 2020 membanggakan. Putra Korea itu sukses menempatkan Indonesia di level Asia untuk tiga kelompok umur. 

Di tangan Shin, Indonesia lolos ke final Piala Asia U20 2023, Piala Asia 2023 untuk tim senior dan Piala Asia U23 tahun 2024. Prestasi lain adalah runner up Piala AFF 2020, medali perunggu SEA Games 2021. 

Lolos 16 besar Piala Asia 2023 adalah yang terindah karena pertama sejak Indonesia ikut Piala Asia. Di empat edisi sebelumnya, Garuda keok di fase grup Piala Asia 1996, 2000, 2004, dan 2007.

Shin tidak sekadar punya konsep besar membangun tapi teliti hingga urusan detail. Dia seksama menyimak asupan gizi pemain. Super disiplin saat melatih tapi berselera humor tinggi. 

Dia luar arena dia perlakukan pemain laksana teman atau anak. Sifat kebapaannya menonjol. Seorang motivator ulung.

Sebagai epilog catatan ala kadarnya ini, saya tersentuh sentilan seorang warganet pemuja sepak bola bahwa musuh terbesar Timnas Indonesia bukan para raksasa Asia macam Australia, Jepang, Korea Selatan, Iran atau Saudi Arabia.

Lawan terberat mereka adalah bangsa sendiri yang enggan berbakti demi kejayaan timnas, yang berkhianat dengan menikmati uang yang bukan haknya. 

Yang asyik masyuk menunggang PSSI sebagai kendaraan politik praktis. Pun mereka yang doyan nyinyir dan menyangsikan kemajuan timnas tanpa menyumbang solusi logis. 

Mereka, para kaum sumbu pendek yang bersikap timnas kalah artinya pecat pelatih, tanpa menyelisik duduk perkara dan akar masalah sepak bola Indonesia. 

Shin telah mengurai benang kusut dan meletakkan fondasi timnas yang punya masa depan cerah. 

Apapun hasil melawan Australia hari ini, level permainan Garuda sudah berkelas Asia. 

Kamsahaeyo Shin Tae-yong, terima kasih Erick Thohir. Salam bola (*)

Sumber: Pos Kupang

Ignas Kleden: Mendidik agar Taat pada Akal Sehat

Ignas Kleden (kompas)

Gelombang reformasi 1998 mengubah peta politik dan demokrasi bangsa Indonesia. Namun, satu hal yang hingga kini belum berubah secara signifikan adalah pendidikan. 

”Pendidikan kita tidak mengajarkan orang untuk berpikir, tetapi untuk tunduk pada kekuasaan,” ucap sosiolog Ignas Kleden (68), 18 Juni 2016, di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.

Pendidikan yang sangat mengutamakan kontrol dan memasung kreativitas adalah warisan tradisi Orde Baru yang mengajarkan siapa pun untuk taat pada kekuasaan, bukan pada pikiran. Dalam ujian, misalnya, anak-anak disodori dengan pilihan ganda. Mereka dituntut memberikan jawaban kepada pemberi jawaban, bukan berpikir kreatif mengelaborasi sebuah pertanyaan.

Dari sisi kepraktisan, soal-soal yang menyediakan pilihan ganda lebih memudahkan guru atau dosen untuk memeriksa jawaban dan memberikan nilai. Namun, praktik seperti ini memasung kreativitas anak didik.

Praktik pendidikan yang tunduk pada kekuasaan hingga sekarang belum berubah dan belum disadari banyak kalangan sebagai sebuah masalah. Padahal, hal ini adalah ”pekerjaan rumah” besar yang harus segera diselesaikan negara.

”Di Jerman, anak tidak dilatih untuk belajar tentang sesuatu, tetapi bagaimana mempraktikkan sesuatu,” ujar lelaki yang meraih gelar master dan doktor di Jerman tersebut.

Ignas mencontohkan, ketika seorang anak belajar bahasa Inggris di Jerman, sekolah langsung mencarikan anak tersebut kawan pena dari Inggris. Beberapa kosakata yang dikuasai langsung digunakan dalam praktik mengirim surat kepada teman barunya di luar negeri.

”Ketika anak belajar renang, mereka langsung diajak ke kolam renang, bukan membaca buku tentang renang di perpustakaan. Kita belum sampai pada inti filosofi pendidikan seperti ini,” ujar Ignas.

Teori sebagai doktrin

Pendidikan yang mengajarkan agar tunduk pada kekuasaan cenderung mengarahkan seseorang untuk menerima teori sebagai doktrin, bukan sebagai instrumen. Padahal, metode dan teori mestinya dihayati sebagai alat, bukan sebagai doktrin.

”Orang yang punya martil sebagai alat cenderung mengubah segala sesuatu menjadi paku. Hal ini keliru karena alat yang kita pegang mestinya disesuaikan dengan masalah yang sedang kita hadapi,” kata Ignas.

Pendidikan kita tidak mengajarkan orang untuk berpikir, tetapi untuk tunduk pada kekuasaan.

Hal serupa terjadi dalam kehidupan beragama. Dalil-dalil agama sering dipahami sebagai doktrin semata-mata bukan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan diri. Karena itu, tidak mengherankan, ada jurang yang lebar antara tingkat pendidikan dan perilaku masyarakat. Terjadi pula konflik antarpemeluk agama karena setiap pihak menganggap ajaran agama sebagai doktrin.

”Pendidikan kita masih mendidik seseorang untuk taat pada kekuasaan, bukan untuk taat pada akal sehatnya. Ini proyek besar yang harus segera diselesaikan bersama. Pendidikan hanya bisa berubah kalau kita membenahi infrastrukturnya. Pertama, gaji pengajar harus mencukupi karena peran mereka sangat penting untuk membangun kebudayaan dan politik yang benar. Kedua, pendidikan harus menjadi isu politik yang sentral, bukan sekadar persoalan teknis semata,” tuturnya.

Dari filsafat ke sosiologi

Refleksi Ignas tentang pendidikan merupakan buah dari studi panjangnya di Jerman. 

Lima tahun setelah keluar dari pendidikan calon imam Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero, Maumere, Nusa Tenggara Timur, Ignas mengambil master filsafat di Hochschule für Philosophie München pada 1979-1982. 

Kemudian, antara tahun 1989 dan 1995, Ignas melanjutkan studi doktoral bidang sosiologi di Universitas Bielefeld, Jerman.

Ignas merasa sangat beruntung pada 1979 mendapat kesempatan belajar di Jerman melalui beasiswa Katholischer Akademischer Ausländer-Dienst (KAAD). Sejak awal, ia memang ingin belajar pendidikan ilmu sosial di negara tersebut.

”Untuk menyiapkan tesis, saya menulis selama enam bulan. Berbeda dengan ujian di Indonesia, pengajar di Jerman menguji apa yang mahasiswa ketahui. Jadi, kami betul-betul mendalami apa yang kami pelajari. (Pengalaman) ini benar-benar pencerahan buat saya,” kata Ignas.

Pada tahun 1981, Ignas menyelesaikan pendidikan S-2 filsafat. Awal 1982, ia pulang ke Indonesia dan bekerja di redaksi majalah Prisma yang dipimpin Daniel Dhakidae sembari menunggu istrinya menyelesaikan studi doktoral. Bertepatan dengan peristiwa runtuhnya Tembok Berlin, November 1989, Ignas kembali ke Jerman memulai studi doktoralnya di Universitas Bielefeld.

Pergolakan sosial

Sebelum belajar di Jerman, Ignas mengalami pergolakan peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Pada waktu yang hampir bersamaan, Gereja Katolik mengalami perubahan radikal seiring digelarnya Konsili Vatikan II (1962-1965).

”Kelas kami mengalami peristiwa-peristiwa pergolakan itu. Saya kemudian ragu dan keluar dari pendidikan calon imam,” ungkapnya.

Begitu keluar dari seminari tahun 1974, Ignas langsung merantau ke Jakarta. Berbekal pengalaman menulis di beberapa majalah, seperti Horison, Budaya Jaya, dan Basis, Ignas mantap hijrah ke Ibu Kota.

Sesampai di Jakarta, Ignas bekerja di kantor Konferensi Waligereja Indonesia pada bagian dokumentasi. Ia kemudian pindah bekerja ke Yayasan Obor Indonesia yang dipimpin Mochtar Lubis. Di sana, Ignas dipercaya sebagai editor penerjemahan buku.

Di Yayasan Obor Indonesia, Ignas ditawari Selo Sumardjan untuk bekerja di Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Dari sini pula ia mulai tertarik untuk menekuni ilmu sosial.

Yayasan Ilmu-ilmu Sosial fokus pada tiga program utama. Pertama, latihan penelitian lapangan di empat daerah, yaitu Aceh, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Kedua, mengirimkan para peserta latihan terbaik untuk studi program master dan S-3 ke luar negeri. Ketiga, menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku klasik ilmu sosial.

Tawaran kerja dari Selo Sumardjan akhirnya diterima Ignas. Ia mendapat tugas menjalankan program ketiga pada penerjemahan dan penerbitan buku-buku klasik ilmu sosial.

Pada kurun 1976-1979, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial sangat aktif menjalankan program-programnya. Waktu itu, yayasan ini mendapatkan anggaran besar dari Asia Foundation. ”Setiap hari Rabu, di Yayasan Ilmu-ilmu Sosial saya selalu menyimak diskusi dari para tokoh besar sosiologi, seperti Selo Sumardjan, Soedjatmoko, dan Harsja Bachtiar,” ujarnya.

Dalam berbagai diskusi, para sosiolog itu memberikan penilaian terhadap para peserta pelatihan penelitian lapangan. Mereka juga memberikan rekomendasi kepada para lulusan pelatihan yang memenuhi syarat untuk melanjutkan studi ke luar negeri serta membahas buku-buku sosiologi yang akan diterjemahkan dan dibukukan.

Pada waktu itu, peminat pelatihan penelitian lapangan sangat tinggi. Penelitian ini memang menarik karena Clifford Geertz saat itu didatangkan ke Indonesia guna membantu memperkuat pengamatan empiris di lapangan yang dirasa masih kurang.

Ignas selalu mendengarkan diskusi-diskusi hebat para sosiolog. Hanya saja, dia gelisah karena pembicaraannya tidak pernah membahas nilai-nilai di dalam ilmu sosial. Karena itu, dalam disertasi, ia kemudian mengevaluasi seluruh penelitian Clifford Geertz tentang Indonesia, mulai dari pertanian, perdagangan, perkotaan, aliran politik, hingga agama.

(Artikel di atas pernah terbit di harian Kompas, 27 Juni 2016, sehari sebelum Ignas Kleden menerima Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2016 dari harian Kompas)

Pada hari ini, Senin (22/1/2024), pukul 03.46 WIB, Ignas mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Suyoto, Jakarta Selatan, setelah sekian lama menderita sakit. Saat ini, jenazah Ignas disemayamkan di Rumah Duka St Carolus, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. Mewakili keluarga, Bona Beding menyampaikan bahwa misa requiem dan pemakaman Ignas Kleden akan diinformasikan kemudian.

RIP... Ignas Kleden... meski jasadmu pergi, pemikiranmu akan tetap abadi....

Sumber: Kompas.id

Ignas Kleden: dari ”Ars Inveniendi” ke ”Ars Tradendi”

Ignas Kleden

Oleh Charles Beraf

Sosiolog; Direktur Detukeli Research Centre, Ende, Flores

Di kalangan ilmuwan sosial Indonesia, Ignas Kleden yang lahir di Waibalun, Flores Timur pada 19 Mei 1948, tercatat sebagai cendekiawan yang amat disegani. 

Hal itu terutama karena daya upaya kritisnya untuk melihat persoalan kebangsaan dengan sisi tilik yang tak umum dan tak disangka kebanyakan orang.

Ditempa dengan tradisi filsafat yang kuat sejak di Seminari Agung Ledalero, Flores, hingga ketika menerabas masuk ke dalam dunia ilmu sosial ketika mengenyam pendidikan di Jerman, Ignas akhirnya membuktikan ketangguhannya sebagai ilmuwan sosial.

Ia menjadi salah satu dari sedikit ilmuwan sosial yang selalu bisa merambah ke bidang apa pun—sastra, politik, hukum, budaya, dan teologi—dengan tetap kokoh pada kritiknya yang kaya dengan perspektif-perspektif baru.

Namun, pengetahuan yang luas dan dalam itu sama sekali tidak membuat Ignas dengan gampangnya digoda untuk sekadar mencari popularitas karbitan, seperti banyak terjadi di ruang media sosial atau pada kesempatan talk show di TV.

Ignas, seperti sahabatnya Daniel Dhakidae atau Mochtar Pabottingi, adalah intelektual yang memilih meruangkan intelektualitasnya dalam wadah yang selalu lebih berdaya menarik orang lain untuk turut berpikir secara mendalam, bukan instan dan remeh-temeh.

Buah pemikirannya dalam rupa esai-esai bernas yang hampir tak terhitung jumlahnya tersebar di berbagai media, seperti jurnal ilmiah, buku, dan majalah.

Ketika berbicara sebagai narasumber dalam seminar, kongres, atau konferensi, entah pada tingkat lokal, nasional, ataupun internasional, Ignas amat didengarkan. 

Bukan hanya karena perlakuan yang layaknya diterima seorang narasumber, tetapi terutama karena tentu selalu ada hal yang baru, rasional, dan mendalam dalam penyampaiannya.

Ketika berbicara sebagai narasumber dalam seminar, kongres, atau konferensi, entah pada tingkat lokal, nasional, ataupun internasional, Ignas amat didengarkan.

Dari ”ars inveniendi” ke ”ars tradendi”

Dari mana atau dengan cara manakah Ignas menemukan perspektif-perspektif baru, rasional, dan mendalam? Jika kita mengendus perjalanan intelektualnya sejak dari rumah filsafat Ledalero, maka kita bisa mendapatkan gambaran bahwa kedalaman pengetahuan itu bukan perkara ”sekali jadi”.

Kedalaman pengetahuan itu dibuahkan melalui proses penenggelaman diri yang sungguh sejak dini dalam jagat ilmu pengetahuan. 

Kedisiplinan dalam hal ini sungguh terbentuk sejak dari keluarga kecil di Waibalun, kampung halamannya, lalu tumbuh dan hidup dalam debut intelektualnya kemudian.

Namun, patut dicatat bahwa Ignas bukan seorang intelektual yang mudah terkungkung dalam perspektif yang umumnya dipandang sudah baku dan selesai. 

Dengan selalu memiliki sikap kritis dan dialektis, Ignas berani menunjukkan bahwa perkara pengetahuan adalah perkara makna dan pemaknaan yang bisa dilahirkan dari konteks mana pun.

Dengan menaruh perhatian pada soal makna dan pada kemungkinan pluralitas makna, dalam keyakinan Ignas, otonomi sebuah konteks dapat terjaga dari kesewenangan menunggalkan makna di satu sisi, dan di sisi lain, ruang kebebasan dalam menemukan makna bisa terbuka lebar.

Untuk lebih jelas tentang hal ini, pandangan yang dilontarkan misalnya oleh filsuf Inggris, Peter Winch, tentang hubungan bahasa dan realitas bisa dipakai. 

Menurut Winch, ada banyak bentuk kehidupan yang bisa diakses dan ada banyak pula bahasa yang digunakan untuk melekatkan makna pada bentuk kehidupan tertentu.

Tidak ada bahasa super yang memiliki akses khusus terhadap realitas yang riil karena semua realitas adalah riil dalam konteks bahasa yang mendefinisikannya.

Asal-muasal pandangan Winch ini ditemukan dalam kritiknya terhadap antropolog Evans Pritchard yang, setelah membuat penelitian cukup lama atas masyarakat suku Azande di Afrika, menilai bahwa praktik perdukunan pada masyarakat suku Azande lebih rendah dibandingkan dengan ilmu pengetahuan pada masyarakat Barat.

Pritchard, dalam perspektif Winch, jatuh dalam cathaconic error, yakni menjadikan ilmu Barat sebagai standar untuk menilai praktik-praktik tradisional suku Azande—suatu standar asing yang menjauhkannya dari upaya menilai apa yang sesungguhnya dihayati atau dihidupi oleh masyarakat suku dimaksud.

Dapat pula dikatakan bahwa tanpa perlu terperangkap dalam penilaian ”hitam putih” atau ”benar salah”, suatu obyek atau fakta tertentu sangat boleh jadi merepresentasikan makna tertentu menurut sudut pandang seseorang, tetapi tidak dengan itu tertutup untuk dimaknai dengan cara tertentu pula dengan sudut pandang orang lain.

Atau secara berbeda, hal itu bisa diungkapkan dengan aforisme Latin berikut ini: “cognitum est in cognoscente secundum modum cognoscentis” (apa yang diketahui eksis pada orang yang mengetahui menurut caranya sendiri).

Dengan selalu memiliki sikap kritis dan dialektis, Ignas berani menunjukkan bahwa perkara pengetahuan adalah perkara makna dan pemaknaan yang bisa dilahirkan dari konteks mana pun.

Namun, lebih jauh dari sekadar perkara subyek dengan aktus memaknai, persoalan yang paling penting untuk dicari jawabannya, bagi Ignas, adalah apakah realitas tertentu hadir sebagai obyek yang sungguh bermakna tanpa harus bergantung pada subyek tertentu?

Dengan patokan manakah suatu realitas bisa terukur sebagai yang bermakna? Apakah makna itu ada seturut patokan sosial dan normatif yang ada pada masyarakat?

Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan-pertanyaan filosofis yang selalu mendorong Ignas untuk berusaha menemukan (inveniendi) hal (makna) baru dari konteks tertentu dan bahkan mengajarkannya (tradendi) dalam rupa esai-esainya yang bernas.

Ignas memang amat mencintai filsafat, tetapi dia tak hanya tinggal dalam ruang spekulatif-filosofis untuk melihat persoalan sosial.

Malah dia berhasil mengawinkan filsafat dan sosiologi, suatu pendekatan baru dalam jagat ilmu sosial yang cenderung positivistik-empiristik.

Itu sebabnya Ignas dikenal sebagai ilmuwan sosial yang amat kontekstual dalam pemikirannya tentang apa saja yang hidup dalam masyarakat (budaya, sastra, politik, hukum, teologi, dan lain-lain), tetapi tetap kritis dan dialektis melihat persoalan sosial.

Dia dapat dikenang sebagai satu dari sedikit ilmuwan sosial Indonesia yang percaya bahwa indigenisasi ilmu sosial, juga filsafat, adalah cara terbaik untuk mendekatkan ilmu dengan masyarakat sekaligus memungkinkan tumbuhnya rationalized life world dalam masyarakat.

Kita mengucapkan selamat jalan untuk Ignas, yang berpulang di Jakarta pada 22 Januari 2024, sembari meneruskan jejak pengetahuannya yang amat kaya dan dalam bagi Indonesia. 

Sumber: Kompas.id

Ignas Kleden, Postcript Sebuah Kesungguhan Intelektual

 Oleh Hamid Basyaib

Ignas Kleden

SANGAT sedikit intelektual Indonesia seperti Ignas Kleden. Ia tak pernah mau berkompromi dalam soal kualitas ide dan kesungguhan dalam menghadapi masalah. Mungkin ini sebabnya ia tak pernah tampil di acara talk show televisi — sebuah medium komunikasi yang tekun memerosotkan mutu percakapan intelektual, selain mengumbar kedangkalan kultural tanpa putus melalui acara-acara hiburan yang keburukannya sulit dipercaya. 

Ia meminati percakapan intelektual sejak masih belia, sejak ia, dari kampungnya di Waibalun, Nusa Tenggara Timur, memandangi orang-orang pintar Jakarta menyajikan ide-ide mereka atau berpolemik di media massa. 

Ia menikmati semua itu dari perpustakaan yang baik di seminari Larantuka, yang selalu menerima kiriman edisi terbaru majalah apapun. Ia menawarkan diri untuk bekerja di sana, supaya bisa menikmati bahan bacaan yang melimpah.

Ia menerjemahkan teks-teks berbahasa Inggris (atau Jerman) untuk Nusa Indah, sebuah penerbit yang komited menerbitkan buku-buku bermutu, menerapkan standar intelektual para pastur pembinanya.

“Saya membicarakan mereka (para intelektual Jakarta) seolah-olah saya mengenal mereka secara pribadi,” katanya, tersenyum geli, mengenang sikap “sok tahu”nya. 

Dan ia pun berani menyodorkan ide-idenya sendiri di forum media ibukota, bersanding dengan nama-nama besar seperti Asrul Sani atau Wiratmo Sukito. Waktu itu ia baru awal 20an, dan menulis kolom-kolom yang bagus di mingguan Tempo atau bulanan Budaya Jaya. 

Ia tampak berupaya menawarkan pendekatan akademis terhadap isu-isu sastra, bahasa dan budaya. Ia, misalnya, mengutip Sigmund Freud untuk kolomnya tentang bahasa. 

Perujukan kepada para sarjana ilmu sosial ini, untuk isu-isu budaya, jarang dikerjakan oleh para penulis yang menekuni bidang itu. Mereka enggan membaca buku, dan lebih mengandalkan “pengolahan batin yang otentik” — agar tak dikotori oleh ide-ide intelektual para sarjana. 

*

Tawaran akademis semacan ini terus diupayakannya sampai puluhan tahun kemudian. 

Dalam kritik sastra, misalnya, ia akhirnya terang-terangan mengungkap motifnya ketika ia mengritik tulisan penyair Afrizal Malna untuk sebuah kumpulan cerita pendek Kompas (karena tanpa keterusterangan itu rupanya ia merasa maksud tawaran yang sudah sering diajukannya tak dimengerti). 

Ia, katanya, ingin menyarankan supaya kritik sastra kita punya referensi teoretis, misalnya pada Paul Ricour, yang sudah banyak mengulas soal ini dengan baik. Mengapa teori orang-orang seperti itu tidak dimanfaatkan? 

Tanpa rujukan teoretis, kritik sastra kita hanya akan berputar-putar dengan mengandalkan “kreatifitas” dadakan sang kritikus, sambil mengumbar aneka peristilahan mentereng atau serampangan yang tak tentu maknanya. 

Itulah yang dia lihat pada pengantar berjudul “Upaya Membuat Telinga” tersebut — tentu ini ia maksudkan sebagai sekadar contoh terdekat. 

Dengan kekocakan yang cerdas, ia mengibaratkan tulisan itu dengan pemain yang sibuk membawa bola, asyik menggoreng bola dengan berputar-putar di dekat gawang lawan, tapi tak pernah menendang untuk mencetak gol. Pembaca dibiarkan dalam ketidakmengertian atas maksud si kritikus.

Tulisan itu, katanya, seperti menjanjikan hal-hal yang istimewa, seakan mau mengajak pembacanya menikmati steak yang enak, tapi ternyata hanya menyajikan makanan sehari-hari yang biasa saja. 

*

Ketajamannya dalam mengidentifikasi pemikiran orang, dengan bahasa Indonesia yang sangat baik, tak tertara. Ia menulis pengantar panjang yang sangat bagus untuk antologi Soedjatmoko (“Etika Pembebasan”, LP3ES, 1984). Baginya, seluruh kerja intelektual Soedjatmoko bertumpu pada martabat manusia, dan dapat dirangkum dalam dua kata: otonomi dan kebebasan. 

 Ia dengan gemilang mempertanggungjawabkan klaim itu, dengan secara konsisten menunjukkan dua pokok ide tersebut dalam begitu banyak tulisan Soedjatmoko yang tersebar di jurnal maupun sumbangan artikel di buku-buku yang kebanyakan disunting sarjana lain dan diterbitkan di luar negeri, selain tulisan-tulisan editorial di mingguan “Siasat” milik Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Soedjatmoko di tahun 1950an. 

Temuannya seperti menjawab kebingungan Arief Budiman dalam menghadapi lanskap luas pemikiran Soedjatmoko, setidaknya yang terhimpun dalam antologi “Dimensi Manusia dalam Pembangunan” (LP3ES, 1981). 

Dalam resensi atas buku itu di majalah Tempo, Arief mengeluh bahwa ia gamang menghadapi Soedjatmoko. “Ia seperti melukis di kanvas besar, dengan sapuan-sapuan kuas yang juga besar-besar,” tulis Arief. 

Maksud Arief: sebagai pemikir Soedjatmoko tidak menganut suatu mazhab atau pendekatan tertentu seperti lazimnya para sarjana di kancah ilmu-ilmu sosial, sehingga orang kesulitan untuk melacak dan menggeledah pikirannya. 

Ignas Kleden menyanggahnya dan mengajukan dua kata kunci itu (otonomi dan kebebasan), sambil menunjukkan bahwa Soedjatmoko tampaknya banyak terpengaruh oleh Karl Jaspers, seorang psikiater-filosof Swiss-Jerman. 

*

Ia juga menulis pengantar panjang yang kuat untuk kumpulan “Catatan Pinggir 2” karya Goenawan Mohamad (1989) — sebuah tinjauan brilian yang sangat mungkin tidak disukai penulis bukunya karena ulasannya yang tajam dan sulit dibantah. 

Baginya, meskipun Goenawan menebar begitu banyak tema dalam esai pendek yang terbit setiap minggu di majalah Tempo itu, untuk memahaminya (tapi terutama memahami sikap dan gaya, bukan substansinya), pertama-tama Goenawan harus dilihat sebagai wartawan, dan kedua sebagai penyair. 

Konsekuensi dari kedua predikat itu terlihat jelas pada pendekatan jurnalistisnya — yang serba sekilas dan terpotong-potong — dalam menangani isu apapun, dan pada semangat artistiknya dalam membahas isu apapun. Sikap Goenawan, katanya, tidak pernah jelas dalam hampir semua masalah, kecuali dalam soal kebebasan. 

Sebab kedua profesi itu, wartawan dan penyair, sangat mementingkan kebebasan sebagai prasyarat — tapi tentang ini pun tidak ada elaborasi yang memadai yang ditawarkan Goenawan, berbeda dari semua isu lain yang disentuhnya, yang selalu ditandai dengan tendensi philosophizing; seakan-akan kebebasan tak memerlukan bahasan filosofis lagi karena sudah sangat jelas manfaatnya bagi manusia/warganegara. 

Terhadap obsesi Goenawan pada keindahan bentuk, pada ketekunannya mendekorasi kalimat atau merumuskan proposisi ide dengan elan artistik khas penyair, Ignas berkomentar: Goenawan menebar begitu banyak kembang dalam esai-esainya, tapi susah ditebak apa jenis tanamannya. 

Dengan kata lain: keluhan Ignas terhadap Goenawan Mohamad mirip keluhan Arief Budiman tentang Soedjatmoko, yaitu ketiadaan disiplin metodologis pada keduanya. 

Esai-esai pendek Goenawan itu, setidaknya bagian-bagiannya, menurut Ignas, tidak dimaksudkan oleh penulisnya sebagai pernyataan diskursif yang bisa didiskusikan, melainkan sekadar cetusan keluar dari suatu perenungan batin yang intim. 

Inilah yang disebut Karl Raimund Popper dengan “expressionism epistemology” — ia memang terpengaruh Popper sejak sebelum kuliah di Jerman. Konsekuensi dari karakter tulisan seperti itu, menurutnya, ialah: kita hanya bisa menerima atau menolaknya — tidak ada peluang untuk diskusi. 

*

Kecemelangan Ignas Kleden semakin terlihat saat ia merangkum percakapan di seminar HIPIIS di Palembang, 1996. Ia menulis postcript itu di jurnal Prisma. 

Ia menjahit dengan sangat rapi begitu banyak gagasan — dari soal strategi besar pembangunan negara hingga perhitungan konsumsi kalori rakyat Indonesia dan rasio gini nasional — dan menjadikannya masuk akal bahwa semua itu memang saling terkait, dan terutama membuat kita mendapat kebulatan pemahaman yang memadai terhadap perhelatan keilmuan yang meriah itu.

Siapapun tahu bahwa membuat catatan akhir semacam itu — yang berhasil mengaitkan paparan semua pemrasaran, dengan menangkap ide-ide besar mereka sambil melayani detail-detail dan ilustrasinya — merupakan pekerjaan yang saya duga bahkan panitia penyelenggara seminar  pun tidak sanggup mengerjakannya.

Dan yang lebih mengagumkan: ia memotret seluruh ide yang dipertukarkan di sana semata-mata dari meneliti makalah-makalah para peserta. Ia tidak hadir di Palembang.

Ia pernah mencoba membentuk lembaga riset yang lebih berorientasi aksi, bertumpu pada upaya menumbuhkan spirit demokrasi, terutama untuk Indonesia Timur. Sangat sedikit kiprahnya yang kita dengar. 

*

Seperti kebanyakan pemikir serius, ia tampak kurang peduli pada harta, dan tidak pandai mencari uang. Ia berangkat diam-diam tadi subuh. 

Ia tak akan pernah hadir lagi di kota manapun — ia memulai perjalanan dari stasiun Waibalun pada Mei 1948, dan berakhir di Jakarta, Januari 2024. 

Ia tak menitipkan apa-apa kepada kita. Tapi kita tahu: sejak lama generasi-generasi intelektual Indonesia terinspirasi oleh titipan karya-karya cemerlang Ignas Kleden — suatu inspirasi penting yang dulu tak mudah kita dapatkan dari intelektual lain, dan makin sulit kita raih hari-hari ini. *

Ignas Kleden, Catatan Seorang Pembaca

Ignas Kleden (kanan)

Oleh Cecep Burdansyah

Penulis, tinggal di Bandung

POS-KUPANG.COM - “Menurut pengalaman, seorang belajar menulis hanya dengan mulai menulis, dan kemudian menjadi penulis karena membiasakan diri menulis secara teratur. Proses seseorang akhirnya menjadi penulis atau diterima sebagai penulis oleh khalayak pembacanya, adalah suatu proses yang – karena watak dari proses itu sendiri – relatif terjamin otentisitasnya, karena sifat dan fungsi kepenulisan hampir tidak dapat didukung oleh berbagai praktek KKN.”

Ignas Kleden, Pengalaman Menulis: Menuliskan Pengalaman, dalam bukunya “Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia”, Penerbit Buku Kompas, 2001.

Setahun lebih saya kehilangan tulisan Ignas Kleden. Biasanya ia rutin menulis opini di Harian Kompas atau Majalah Tempo, setiap bulan selalu ada.

Sepanjang 30 tahun saya mengikuti jejak tulisannya, termasuk mengoleksi dua bukunya “Kritik Kebudayaan” dan “Indonesia sebagai Utopia”, sedangkan bukunya tentang “Kesusastraan Indonesia Dalam Enam Pertanyaan” hingga sekarang masih sulit saya dapatkan karena sudah langka.

Teman saya, Kang Abdullah Mustappa yang juga selalu mengikuti tulisan Ignas Kleden sempat mengirim pesan aplikasi dua bulan lalu, mengeluhkan ia sudah lama tidak membaca tulisan Ignas Kleden. Saya menjawab, “Sama Kang, saya juga kehilangan. Mungkin Ignas sakit.”

Tadi pagi saya membaca berita di Pos Kupang berjudul “Ignas Kleden Berpulang dalam Usia 76 Tahun.” Innalillahi wa inna illaihi rojiun. Lalu saya mengirim pesan aplikasi ke sahabat saya, Dion BB Putra yang juga Pemimpin Redaksi Pos Kupang di NTT. Menurut Om Dion – begitu saya menyapa - Ignas berpulang karena sakit.

Dugaan saya benar, Ignas selama ini sakit. Mengapa saya menduga sakit? Karena yang bisa menghentikan seorang penulis seperti Ignas yang hidupnya total dari menulis, hanya satu, yaitu sakit.

Rasanya, sampai kapan pun sepanjang ia sehat, sebagai intelektual sejati, Ignas tak akan berhenti menulis. Menulis tidak pernah mengenal pensiun.

***

Perkenalan saya dengan Ignas dilandasi kesukaan saya ikut diskusi sastra dan kebudayaan. Suatu saat, sekitar akhir tahun 1980-an Kang Abdullah memperkenalkan buku berjudul “Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan” terbitan LP3ES.

Seperti biasa, kalau sudah membahas buku, saya selalu mencari bukunya ingin tahu sejauh mana bagusnya buku tersebut. Ternyata, buku Ignas itu seperti magnet. Saya membacanya sampai rampung dan sejak itulah, saya ketaginan membaca tulisan Ignas Kleden.

Saking terpesona oleh cara berpikir Ignas dan caranya menulis, sempat berkeinginan untuk mengenal secara pribadi. Tapi karena jarak cukup jauh dan saya merasa belum masanya untuk bergaul lebih luas, saya mengurungkan niat.

Pernah di tahun 1990-an ada acara seminar kebudayaan yang diselenggarakan oleh para alumni ITB yang sudah sukses di masyarakat. Pembicara di acara seminar yang digelar di Sabuga ITB itu antara lain Ignas Kleden.

Karena sudah jadi wartawan, saya berusaha datang, meliput tapi sesungguhnya saya ingin mengikuti diskusi Ignas. Hingga selesai, saya menyimak dan bisa menikmati gaya bicara Ignas.

Apa yang ia katakan, gayanya dan materinya, tidak jauh berbeda dengan tulisannya, berbobot tapi mengandung seni. Tapi orangnya terkesan angker dan kurang humor, sehingga mengurungkan niat saya untuk berkenalan.

Saya semakin ketagihan membaca tulisan Ignas Kleden. Semua buku yang diberi pengantar Ignas Kleden, saya beli dan saya baca, di antaranya adalah Kumpulan Cerpen Kompas tahun 1997 “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan”.

Dalam buku itu Ignas menulis catatan berjudul “Simbolisme Cerita Pendek”. Lalu Buku Catatan Pinggir (2) karya Goenawan Mohamad juga diberi pengantar Ignas berjudul “Eskperimen Seorang Penyair”.

Entah mengapa, buku yang diberi catatan penganatar Ignas rata-rata memang berkualitas dan seksi untuk dibaca sampai tuntas.

Tulisan Ignas itu tidak saja menambah wawasan, tapi kita merasakannya. Tulisannya seperti tarian yang meliuk-liuk.

Ignas menulis tidak dalam kapasitas sebagai akademisi, menulis perihal dengan cara kaku disertai seabreg terminologi yang bikin berkerut dahi.

Ignas menulis dalam kapasitasnya seorang penulis, seorang inetelektual pengembara, yang bisa hinggap dari satu persoalan ke persoalan lain dengan loncat-loncat, tapi loncatannya seindah atlet loncat indah.

Tulisannya yang sampai sekarang saya simpan baik-baik adalah tulisan Ignas berjudul “Esei” di Majalah Prisma terbitan tahun 1988. Esai, dalam kacamata Ignas, adalah tulisan tentang suatu hal yang berbobot tapi membawa pembacanya tamasya dan bergembira.

Di dalam tulisan bentuk esai ada hal yang ingin disampaikan penulisnya, tapi tidak dengan cara menggurui apalagi mendikte, tapi pembacanya diajak jalan-jalan, joging, bahkan diajak berdansa sehingga tulisan itu bisa teraba dan terasa, bukan saja terpikirkan.

Tulisan Ignas Kleden selalu mengenai hal yang berbobot - mulai dari politik, kebudayaan, sastra, pendidikan - tapi ditulis untuk mengajak pembaca ikut merasakannya, bukan sekadar memikirkan.

Tulisan bentuk esai bukan tulisan yang sifatnya akademis. Esai lebih bersifat sastra. Tidak heran, penulis esai seperti Bertrand Russel dan Henri Bergson mendapat hadiah nobel sastra karena esai-esainya yang cemerlang.

***

Saya pernah menduga Ignas Kleden seorang akademisi yang mengajar di berbagai universitas. Ternyata, sepanjang saya membaca tulisannya, ia tak pernah sekalipun menjelaskan bahwa ia pernah mengajar.

Ia hanya menjelaskan bahwa ia bekerja sebagai redaktur di penerbit Yayasan Obor dan di Majalah Prisma, majalah yang fokus di lapangan pemikiran. Ia juga mendirikan semacam lembaga yang mendorong tegaknya demokrasi di Indonesia.

Saya tidak tahu mengapa ia seperti tak tertarik dengan dunia akademik, padahal pengetahuannya melampaui para guru besar yang bertebaran di berbagai universitas.

Ignas Kleden kelahiran Waibalun, Larantuka, Flores Timur, NTT pada 19 Mei 1948. Ia termasuk tertib dalam berbusana, setertib menulis dan berbicara. Ia tampak lebih sering mengenakan batik untuk menunjukkan ke-Indonesiaannya.

Ignas lebih pas disebut sebagai sastrawan dan intelektual, sebagaimana dilekatkan oleh Pos Kupang. Ia menulis sejak tahun 1970-an. Awalnya ia menulis kritik terhadap karya-karya sastra Indonesia.

Ignas seorang yang jujur dalam menulis. Ia pernah terlibat polemik dengan Afrizal Malna, penyair yang sering dicap sebagai penyair gelap karena sajak-sajaknya yang sulit dipahami dan dirasakan.

Ignas tak pernah pura-pura memahami dan menikmati sajak-sajak Afrizal, karena itulah sang penyair mendebatnya. Sebagai intelektual, Ignas Kleden membuka diri untuk berdebat.

Tradisi berpikirnya terbentuk karena latar belakang pendidikannya memang filsafat dan ia terbiasa di lingkungan Katolik yang juga kuat disiplin berpikirnya.

Ignas mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Ledalero, Maumere Flores pada tahun 1972, kemudian menggondol gelar Master of Arts di bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman pada 1982, dan doktor bidang sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman pada 1995.

Mungkin karena tradisi filsafat itulah, Ignas kukuh dalam sikapnya sebagai intelektual dengan kekuatan iman Katolik yang tak mudah terjerumus pada godaan duniawi.

Selamat beristirahat, Pak Ignas. Tulisan indahmu akan tetap mengalir bak sungai bermata air jernih dan pemandangan yang hijau. *

Sumber: Pos Kupang 

Profil Ignas Kleden, Sosiolog Kenamaan Kelahiran Flores Timur

Ignas Kleden
 Indonesia memiliki seorang intelektual terkenal kelahiran Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur atau NTT.

Dia adalah Dr. Ignas Kleden, MA.  Mengutip wikipedia, Ignas Kleden lahir pada tanggal 19 Mei 1948 di Waibalun, Larantuka, Kabupaten Flores Timur.

Suami dari  Ninuk Probonegoro ini aktif sebagai sastrawan, sosiolog, cendekiawan, dan kritikus sastra sejak awal tahun 1970-an.

Setelah tamat pendidikan dasar dan menengah, ia menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi  Ledalero, Maumere, Flores  (1972).

Ignas  meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman pada tahun 1982.

Pada tahun 1995, Ignas Kleden  meraih gelar Doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman.

Ignas juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores. 

Ia sempat pula bekerja sebagai editor pada yayasan Obor Jakarta (1976-1977), Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta (1977-1978), dan Society For Political and Economic Studies, Jakarta.Tahun 2000 ia turut mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur.

Saat masih di tinggal Flores, ia sudah mengenal majalah Basis Yogyakarta dan rutin mengirimkan tulisannya ke majalah itu. Dia juga menulis artikel di majalah Budaya Jaya Jakarta, dan menulis artikel semipolemik untuk majalah Tempo. 

Setelah hijrah ke Ibu Kota Jakarta tahun 1974, Ignas makin aktif menulis, baik di majalah maupun jurnal, dan menjadi kolumnis tetap majalah Tempo. 

Esainya mengenai sastra dimuat di majalah Basis, Horison, Budaya Jaya, Kalam, harian Kompas, dan lain-lain.

Buku Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (Cerpen Pilihan Kompas 1997) juga memuat esainya, "Simbolis Cerita Pendek". 

Kumpulan esai tentang perbukuan, Buku dalam Indonesia Baru (1999), memuat salah satu tulisannya, "Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik tentang Kebudayaan".[2] Buku kumpulan esainya adalah Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (1988) dan Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (2004).

Ia menulis kata pengantar untuk Mempertimbangkan Tradisi karya Rendra (1993), Catatan Pinggir 2 karya Goenawan Mohamad (1989), dan Yel karya Putu Wijaya (1995).

Tahun 2003, bersama sastrawan Sapardi Djoko Damono, menerima Penghargaan Achmad Bakrie. 

Ia dinilai telah mendorong dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih tajam lewat esai dan kritik kebudayaannya. (*)

Sumber: Pos Kupang

Mengenang Abang Kami, Dr. Ignas Kleden, M.A

Ignas Kleden

Oleh Tony Kleden

Saya menulis kisah kenangan ini dengan perasaan mengharubiru.  Perasaan itu muncul terutama karena sudah hampir tiga bulan saya lebih banyak berada di Waibalun, Flores Timur.

Bagi saya, dan hampir pasti bagi semua  orang dari desa mana pun,  desa/kelurahan  tempat lahir itu seperti punya ‘kekuatan  supranatural’  yang selalu  menyertai di setiap jejak langkah.

Kekuatan itulah yang memompa spirit, menghembuskan  ausdauer dan lalu membangkitkan  ‘ike kewaat’  (semacam ‘korsa’)  hingga  menjadi ‘atadiken’ (orang dengan kekuatan) di mana pun berada.

Meski dirundung duka dan diselimuti rasa kehilangan,   saya dengan bangga menulis kisah kenangan serba ringkas ini. Bangga sebagai orang (ata) Waibalun.  Kebanggaan itu terutama juga karena nama abangku, Dr. Ignas Kleden,  lahir, hidup dan berkarya menerabas batas Waibalun, menembus sekat  suku, melampaui ike kewaat ata Waibalun.

Maka tulisan ini  ini menjadi ungkapan kebanggaan, kekaguman dan  apresiasi terhadap Ignas, yang sudah menutup mata untuk selamanya, kembali ke Tuhannya yang tidak saja disembahnya, tetapi juga Tuhan yang diimani menurut akal sehatnya.

Terus terang, secara  personal saya tidak terlalu dekat dengan Ignas. Selain karena terpaut  usia yang jauh sekitar 19 tahun, juga karena kami sangat jarang bertemu.

Di rumah dan di kalangan keluarga dekat, Ignas dipanggil dengan nama Ite, sapaan halus dari  Piter. Nama baptisnya Ignatius Nasu Kleden. Nama Piter diambil dari nama kakeknya (dari garis keturunan mama), Petrus Gege Hadjon.

Seringat saya,  pertama kali menemukan nama Ignas saat saya masih anak ingusan di kampung. Masih duduk di bangku sekolah dasar. Nama  Ignas muncul sebagai penulis esai di Majalah Tempo. Saya tidak mengerti  mengapa majalah terbitan Jakarta itu bisa muncul di Waibalun pada masa sekitar  tahun  1976.

Sebagaimana biasa, foto penulis opini di Tempo selalu disertakan di halaman opini. Dan, foto Ignas yang kala itu belum berusia 30 tahun tampil dengan gaya pada zamannya.  Difoto dengan wajah menyamping,  rambut agak panjang terurai dengan rokok yang mengepul  dari  bibirnya. Matanya bulat terang agak melotot. Konon, itu mata orang-orang pintar.

Sungguh mati, saya  sangat penasaran mengapa Ignas bisa muncul dan menulis di majalah itu?

Belakangan, saat menempuh pendidikan di Seminari San Dominggo Hokeng (1983-1987), saya jadi tahu seperti  apa sosoknya, seberapa  hebatnya nama Ignas. Tulisannya sangat sering muncul di Harian  Kompas, majalah Tempo, juga di majalah  kebudayaan Basis.  Saya juga membaca dan mengikuti polemik kebudayaan yang menghiasi halaman harian Kompas  yang juga sering menampilkan tulisan Ignas.Tulisannya selalu jadi buruan utama.

Sebagai sastrawan, sosiolog, cendekiawan, dan kritikus sastra hebat, tulisan-tulisan Ignas menyebar di beragam media cetak. Beragam tulisannya itu, harus diakui, menjadikan Ignas salah satu sosiolog terkemuka Indonesia saat ini, kritikus sastra paling tajam dan telanjang membedah karya sastra berbagai penulis.

Dari beragam tulisannya itu kuat tertangkap kalau Ignas  menempatkan diri sebagai satu dari segelintir intelektual  Tanah Air yang total berbakti pada ilmu.   Totalitas baktinya pada ilmu itu bisa dilihat dari gaya dan pola hidupnya yang sederhana dan apa adanya.  Tidak punya rumah  mewah, tidak punya mobil mahal, tidak pernah menjadi konsultan  politik partai, tidak menerima  jabatan seperti dirjen, wakil menteri, komisaris perusahaan ini dan itu.

Konon saat Soeharto berkuasa, Ignas  beberapa kali mendapat undangan kehormatan untuk hadir pada upacara-upacara kenegaraan.   Undangan itu ditolaknya dengan halus. Dia ingin berdiri di sudut netral dan kemudian mengemukakan pikirannya.

Pikirannya yang jernih tertuang dalam teks-teks berupa esai, kolom, makalah dan juga buku-buku. Namanya jadi populer bukan  karena tampangnya   yang sering terlihat di berbagai acara talk show  di  televisi. Juga bukan karena sering muncul di media sosial karena komentar nyinyir tentang suatu  fenomena di republik ini.

Secara intelektual, Ignas memang cerdas.  Pria yang lahir 19 Mei 1948 ini bintang kelas sejak sekolah dasar.  Saat ayahnya,  Yohanes Djuan  Kleden, seorang guru sekolah rakyat (SR/SD) pindah tugas dari Pamakayo, Solor ke Lewotala  (di Kecamatan Lewolema  sekarang), Ignas loncat kelas.  Ketika keluarga guru ini pindah ke Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Ignas masuk Seminari San Dominggo Hokeng.

Guru Djuan dan istri, Katharina Sabu Hadjon, dianugerahi sepuluh orang anak.  Enam laki-laki dan empat perempuan.  Ignas anak laki-laki besar.  Didikan dan tempaan guru Djuan dan Mama Katharina menjadikan sepuluh anaknya benar-benar jadi manusia, jadi atadiken.

Beberapa nama keluarga ini patut disebut. Suster Stephania Kleden CIJ (alm),  Pater Dr. Leo Kleden, SVD  (dosen IFTK Ledalero),  Stephie Kleden Beetz (alm, penulis, penerjemah),  Ansis Kleden (penulis, editor dan penerjemah di Jakarta),   Kons Kleden (alm, wartawan dan penulis), Drs. Marianus Kleden, M.Si (dosen Unwira Kupang), Hermien Y Kleden (mantan wartawan Tempo)  dan Emil Kleden (aktivis LSM di Jakarta).

Saya melihat didikan keras penuh disiplin sang ayah dan sentuhan lembut sang mama, menjadikan semua anggota keluarga ini bisa mengenyam pendidikan  tinggi.  Mereka bisa menikmati pendidikan tinggi juga karena kecemerlangan otak.  Semua mereka selalu jadi bintang di sekolah. Semua mereka sukses merenda hidup di berbagai medan bakti.

Saya ingat, ketika masih di bangku SD saya sering tidur malam  dengan si bungsu  Emil Kleden, ketika keluarga ini kembali ke Waibalun  saat sang ayah memasuki masa purnabakti.  Di rumah hanya tertinggal  Emil. Semua kakaknya menyebar di mana-mana, untuk sekolah dan juga untuk kerja.

Keteraturan  hidup keluarga sangat terasa di rumah. Makan mesti bareng di meja makan. Doa makan wajib hukumnya. Setelah makan Guru Djuan membagi kisah. Macam-macam kisah.  Dari tugas sebagai guru di begitu banyak tempat sampai  pengalaman-pengalaman unik dan heroik ketika  mengejar anak-anak kampung yang lari ke hutan dan dan kebun untuk dibawa ke sekolah.

Cerita paling seru dan paling suka saya dengar adalah kisah sekolah anak-anaknya.  Guru Djuan bangga mengisahkan prestasi  anak-anaknya  di sekolah.

Ignas, menurut Guru Djuan, memiliki kemampuan bahasa yang  baik sekali.  Tak heran, saat masih di bangku SMA Seminari San Dominggo Hokeng, Ignas sudah lancar berpidato dalam bahasa Jerman.  Bahasa Inggris, tentu saja,  juga dikuasainya sejak masa itu. Dari tulisan-tulisannya, buku-buku yang jadi referensinya kebanyakan dalam bahasa Inggris dan Jerman.

Ada cerita menarik. Usai berhenti dari Seminari Tinggi  St.  Paulus Ledalero,  tahun 1973, Ignas mengadu nasib di Jakarta.  Ketika meletus peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) 1974, Ignas yang baru beberapa bulan di Jakarta  tampil  dan menyita perhatian luas.  Sejumlah wartawan luar negeri ingin mewawancarai para mahasiswa yang tumpah berdemo di jalan.

Tidak banyak  mahasiswa  yang  bisa berbahasa Inggris, apalagi Jerman.   Maka Ignas yang diwawancarai. Dia bicara bahasa Inggris dan Jerman meladeni para wartawan luar negeri.

Konon, sejak itulah  nama Ignas jadi sangat terkenal di kalangan para aktivis mahasiswa Indonesia. Apalagi sejak itu Ignas mulai  menulis di majalah dan koran-koran Jakarta. Namanya  kian kesohor.

Ada cerita lain lagi. Ketika hendak melanjutkan pendidikan S2 di Jerman, Ignas tidak punya ijazah S1. Universitas Munchen Jerman,  tempatnya melamar,  bingung.  Pengelola universitas mencari tahu sosok yang melamar S2 tanpa  ijazah S1 ini.  Mereka bingung karena Ignas  menulis lamaran S2 dalam bahasa Jerman yang sempurna.

Seorang pastor SVD dari Polandia dikontak Kedubes Jerman di Jakarta. Pastor yang profesor  itu meyakini mahasiswa itu tak lain Ignas. “Terima saja orang itu. Dia cerdas dan tidak perlu diragukan,” kata Pastor itu meyakini.  Dan terjadilah, Ignas melanjutkan  pendidikan S2 tanpa  ijazah S1.

Dia meraih gelar M.A dengan predikat summa cum laude (dengan pujian setinggi-tingginya).  Tesis S2 tentang filsuf  ilmu pengetahuan Karl R Popper ditulisnya  dalam bahasa Jerman.

Sedangkan untuk disertasi  S3  di Univesitas  Bielefeld, Jerman, Ignas menggugat studi Clifford Geertz   tentang Indonesia secara keseluruhan. Disertasi ini ditulisnya dalam bahasa Inggris.

Cendekiwan Indonesia itu sudah kembali ke Sang Pengasal, Senin (22/1/2024) pagi.  Orang, atadiken  Lamaholot  itu sudah tutup mata. Tetapi Ignas pergi meninggalkan  nama besarnya.  Ignas mewarisi pikiran-pikiran bernasnya untuk bangsa ini.  Ignas sudah mengharumkan nama suku, nama Waibalun, nama   Flores Timur, NTT dan bahkan Indonesia.

Kepergiannya tentu saja meninggalkan duka lara bagi keluarga. Tetapi keharuman nama dan buah pikirannya yang bernas dan berguna  bagi banyak orang menjadi alasan bagi keluarga untuk menyatakan terima kasih kepada Dia yang  memberi hidup. Memberi seorang anak suku bernama Ignatius Nasu Kleden.

Untuk menghormatinya sebagai seorang kritikus sastra, saya mengutip sajak karya Sapardi Djoko Damono berjudul ‘Pada Suatu Hari Nanti’ berikut ini:

Pada suatu hari nanti

Jasadku tak akan ada lagi

Tapi dalam bait-bait sajak ini

Kau takkan kurelakan sendiri


Pada suatu hari nanti

Suaraku tak terdengar lagi

Tapi di antara larik-larik sajak ini

Kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti

Impianku pun tak dikenal lagi

Namun di sela-sela huruf sajak ini

Kau takkan letih-letihnya kucari

Selamat jalan  kakak, saudara kami Ignatius Nasu Kleden. Requiem aeternam, dona ei, Domine!*

Sumber: Kabar NTT

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes