Ignas Kleden (kanan) |
Oleh Cecep Burdansyah
Penulis, tinggal di Bandung
POS-KUPANG.COM - “Menurut pengalaman, seorang belajar menulis hanya dengan mulai menulis, dan kemudian menjadi penulis karena membiasakan diri menulis secara teratur. Proses seseorang akhirnya menjadi penulis atau diterima sebagai penulis oleh khalayak pembacanya, adalah suatu proses yang – karena watak dari proses itu sendiri – relatif terjamin otentisitasnya, karena sifat dan fungsi kepenulisan hampir tidak dapat didukung oleh berbagai praktek KKN.”
Ignas Kleden, Pengalaman Menulis: Menuliskan Pengalaman, dalam bukunya “Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia”, Penerbit Buku Kompas, 2001.
Setahun lebih saya kehilangan tulisan Ignas Kleden. Biasanya ia rutin menulis opini di Harian Kompas atau Majalah Tempo, setiap bulan selalu ada.
Sepanjang 30 tahun saya mengikuti jejak tulisannya, termasuk mengoleksi dua bukunya “Kritik Kebudayaan” dan “Indonesia sebagai Utopia”, sedangkan bukunya tentang “Kesusastraan Indonesia Dalam Enam Pertanyaan” hingga sekarang masih sulit saya dapatkan karena sudah langka.
Teman saya, Kang Abdullah Mustappa yang juga selalu mengikuti tulisan Ignas Kleden sempat mengirim pesan aplikasi dua bulan lalu, mengeluhkan ia sudah lama tidak membaca tulisan Ignas Kleden. Saya menjawab, “Sama Kang, saya juga kehilangan. Mungkin Ignas sakit.”
Tadi pagi saya membaca berita di Pos Kupang berjudul “Ignas Kleden Berpulang dalam Usia 76 Tahun.” Innalillahi wa inna illaihi rojiun. Lalu saya mengirim pesan aplikasi ke sahabat saya, Dion BB Putra yang juga Pemimpin Redaksi Pos Kupang di NTT. Menurut Om Dion – begitu saya menyapa - Ignas berpulang karena sakit.
Dugaan saya benar, Ignas selama ini sakit. Mengapa saya menduga sakit? Karena yang bisa menghentikan seorang penulis seperti Ignas yang hidupnya total dari menulis, hanya satu, yaitu sakit.
Rasanya, sampai kapan pun sepanjang ia sehat, sebagai intelektual sejati, Ignas tak akan berhenti menulis. Menulis tidak pernah mengenal pensiun.
***
Perkenalan saya dengan Ignas dilandasi kesukaan saya ikut diskusi sastra dan kebudayaan. Suatu saat, sekitar akhir tahun 1980-an Kang Abdullah memperkenalkan buku berjudul “Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan” terbitan LP3ES.
Seperti biasa, kalau sudah membahas buku, saya selalu mencari bukunya ingin tahu sejauh mana bagusnya buku tersebut. Ternyata, buku Ignas itu seperti magnet. Saya membacanya sampai rampung dan sejak itulah, saya ketaginan membaca tulisan Ignas Kleden.
Saking terpesona oleh cara berpikir Ignas dan caranya menulis, sempat berkeinginan untuk mengenal secara pribadi. Tapi karena jarak cukup jauh dan saya merasa belum masanya untuk bergaul lebih luas, saya mengurungkan niat.
Pernah di tahun 1990-an ada acara seminar kebudayaan yang diselenggarakan oleh para alumni ITB yang sudah sukses di masyarakat. Pembicara di acara seminar yang digelar di Sabuga ITB itu antara lain Ignas Kleden.
Karena sudah jadi wartawan, saya berusaha datang, meliput tapi sesungguhnya saya ingin mengikuti diskusi Ignas. Hingga selesai, saya menyimak dan bisa menikmati gaya bicara Ignas.
Apa yang ia katakan, gayanya dan materinya, tidak jauh berbeda dengan tulisannya, berbobot tapi mengandung seni. Tapi orangnya terkesan angker dan kurang humor, sehingga mengurungkan niat saya untuk berkenalan.
Saya semakin ketagihan membaca tulisan Ignas Kleden. Semua buku yang diberi pengantar Ignas Kleden, saya beli dan saya baca, di antaranya adalah Kumpulan Cerpen Kompas tahun 1997 “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan”.
Dalam buku itu Ignas menulis catatan berjudul “Simbolisme Cerita Pendek”. Lalu Buku Catatan Pinggir (2) karya Goenawan Mohamad juga diberi pengantar Ignas berjudul “Eskperimen Seorang Penyair”.
Entah mengapa, buku yang diberi catatan penganatar Ignas rata-rata memang berkualitas dan seksi untuk dibaca sampai tuntas.
Tulisan Ignas itu tidak saja menambah wawasan, tapi kita merasakannya. Tulisannya seperti tarian yang meliuk-liuk.
Ignas menulis tidak dalam kapasitas sebagai akademisi, menulis perihal dengan cara kaku disertai seabreg terminologi yang bikin berkerut dahi.
Ignas menulis dalam kapasitasnya seorang penulis, seorang inetelektual pengembara, yang bisa hinggap dari satu persoalan ke persoalan lain dengan loncat-loncat, tapi loncatannya seindah atlet loncat indah.
Tulisannya yang sampai sekarang saya simpan baik-baik adalah tulisan Ignas berjudul “Esei” di Majalah Prisma terbitan tahun 1988. Esai, dalam kacamata Ignas, adalah tulisan tentang suatu hal yang berbobot tapi membawa pembacanya tamasya dan bergembira.
Di dalam tulisan bentuk esai ada hal yang ingin disampaikan penulisnya, tapi tidak dengan cara menggurui apalagi mendikte, tapi pembacanya diajak jalan-jalan, joging, bahkan diajak berdansa sehingga tulisan itu bisa teraba dan terasa, bukan saja terpikirkan.
Tulisan Ignas Kleden selalu mengenai hal yang berbobot - mulai dari politik, kebudayaan, sastra, pendidikan - tapi ditulis untuk mengajak pembaca ikut merasakannya, bukan sekadar memikirkan.
Tulisan bentuk esai bukan tulisan yang sifatnya akademis. Esai lebih bersifat sastra. Tidak heran, penulis esai seperti Bertrand Russel dan Henri Bergson mendapat hadiah nobel sastra karena esai-esainya yang cemerlang.
***
Saya pernah menduga Ignas Kleden seorang akademisi yang mengajar di berbagai universitas. Ternyata, sepanjang saya membaca tulisannya, ia tak pernah sekalipun menjelaskan bahwa ia pernah mengajar.
Ia hanya menjelaskan bahwa ia bekerja sebagai redaktur di penerbit Yayasan Obor dan di Majalah Prisma, majalah yang fokus di lapangan pemikiran. Ia juga mendirikan semacam lembaga yang mendorong tegaknya demokrasi di Indonesia.
Saya tidak tahu mengapa ia seperti tak tertarik dengan dunia akademik, padahal pengetahuannya melampaui para guru besar yang bertebaran di berbagai universitas.
Ignas Kleden kelahiran Waibalun, Larantuka, Flores Timur, NTT pada 19 Mei 1948. Ia termasuk tertib dalam berbusana, setertib menulis dan berbicara. Ia tampak lebih sering mengenakan batik untuk menunjukkan ke-Indonesiaannya.
Ignas lebih pas disebut sebagai sastrawan dan intelektual, sebagaimana dilekatkan oleh Pos Kupang. Ia menulis sejak tahun 1970-an. Awalnya ia menulis kritik terhadap karya-karya sastra Indonesia.
Ignas seorang yang jujur dalam menulis. Ia pernah terlibat polemik dengan Afrizal Malna, penyair yang sering dicap sebagai penyair gelap karena sajak-sajaknya yang sulit dipahami dan dirasakan.
Ignas tak pernah pura-pura memahami dan menikmati sajak-sajak Afrizal, karena itulah sang penyair mendebatnya. Sebagai intelektual, Ignas Kleden membuka diri untuk berdebat.
Tradisi berpikirnya terbentuk karena latar belakang pendidikannya memang filsafat dan ia terbiasa di lingkungan Katolik yang juga kuat disiplin berpikirnya.
Ignas mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Ledalero, Maumere Flores pada tahun 1972, kemudian menggondol gelar Master of Arts di bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman pada 1982, dan doktor bidang sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman pada 1995.
Mungkin karena tradisi filsafat itulah, Ignas kukuh dalam sikapnya sebagai intelektual dengan kekuatan iman Katolik yang tak mudah terjerumus pada godaan duniawi.
Selamat beristirahat, Pak Ignas. Tulisan indahmu akan tetap mengalir bak sungai bermata air jernih dan pemandangan yang hijau. *
Sumber: Pos Kupang