Watublapi! Nama itu begitu populer. Mengalahkan nama kampungku yang permai di kaki pegunungan Ndura dengan susur alur sungainya yang mengalir sampai jauh hingga Muara Lia Tola, Watuneso di timur Lio, Flores.
Ingat Watublapi, ingat kakao, cengkeh, lamtoro, terasering dan seabrek praktik cerdas yang membuat tanah gersang menjadi hijau menawan hati. Bumi yang seolah tanpa harapan berubah melahirkan senyum dan tawa ceria.
Ayahku sering bercerita tentang kiprah tokoh tersebut dalam aneka kegiatan kemasyarakatan. Pun kepada kami putra-putrinya.
“Sang gembala yang luar biasa,” kata ayahku. Sungguh namanya jadi buah bibir, terutama setelah kepahitan busung lapar di wilayah Paga 1978.
Peristiwa itu membuka mata hati, pikiran dan aksi konkret masyarakat Flores memperlakukan alam secara lebih bijaksana demi kesejahteraan hidup.
Puji Tuhan setelah 1978, Flores belum pernah lagi masuk halaman koran, majalah, layar televisi, audio radio dan media online tentang adanya busung lapar.
Karya sang tokoh di Watublapi menjadi inspirasi. Ditiru dan dipraktikkan masyarakat di berbagai pelosok Kabupaten Sikka, Ende bahkan seluruh Pulau Flores, dan daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) lainnya.
Berkat bimbingan dan motivasinya, masyarakat mau bekerja keras menaman aneka pohon dan tanaman berguna di atas lahan kering dan gersang.
Sungai kering selama bertahun-tahun akhirnya basah jua. Sumber mata air tumbuh di mana-mana. Air yang menghidupkan bumi dan seisinya.
Sang tokoh tak sekadar berkotbah di mimbar gereja. Menyebut ayat kitab suci. Dia ikut masuk kebun, menyiangi rumput, meramas tanah berlumpur. Mandi keringat bersama umatnya yang sederhana.
Dia pun tak hanya beraksi di ladang ilalang. Karya sosialnya segudang termasuk mengurus anak-anak telantar.
Sang gembala juga berperan sebagai pendidik, guru, pemimpin yang melahirkan para pemimpin masa depan Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur bahkan Indonesia.
Murid-muridnya berbakti di aneka lapangan hidup. Ada yang jadi anggota Dewan, birokrat, guru, aktivis sosial, pengusaha bahkan kepala daerah.
Saya ingat beberapa di antaranya seperti Romanus Woga (kini Wakil Bupati Sikka), mantan Ketua DPRD Kabupaten Sikka, Rafael Raga, dan Paolus Nong Susar (mantan Wabup Sikka).
Tokoh luar biasa itu bernama Heinrich Bollen, seorang pastor dari kongregasi Serikat Sabda Allah (bahasa Latin: Societas Verbi Divini, disingkat SVD). Dia lahir di negeri adidaya sepak bola dunia, Jerman.
Heinrich Bollen lahir di Landstuhl Jerman, 2 Juli 1929 dari pasangan Johann Bollen dan Katharina Leithesiser. Dia merupakan anak kedua dari enam bersaudara.
Konon dia penggemar berat sepak bola. Klub idolanya Bayern Muenchen. Ya, kami sama-sama pemuja Die Rotten. Hehehehe…
Dalam keluarga inti akrab disapa Heinrich. Setelah dewasa khususnya di kalangan masyarakat Maumere dan Sikka lebih tenar menyapa dia, tuan (g) Bollen atau Pater Bollen.
Bollen bertumbuh dalam suasana perang dunia. Saat usia 15 tahun, dia menjadi relawan Palang Merah.
Malah pernah ditangkap tentara musuh Jerman lalu dilepaskan lagi. Semula dia bercita-cita menjadi dokter. Tapi pupus seiring waktu.
Setelah lulus SMA tahun 1947, Bollen masuk Seminari Tinggi dan Novisiat di St Agustin tahun 1951. Tanggal 10 Mei 1958 ia ditahbiskan menjadi imam SVD. Setahun kemudian tepatnya 14 Agustus 1959, Heinrich Bollen diutus menuju tanah misi Indonesia.
Dia rupanya berjodoh dengan Pulau Flores, khususnya Sikka. Hampir seluruh karya pastoralnya di wilayah tersebut. Tahun 1960-1962, ia menjabat Pastor Pembantu Paroki St Yoseph Maumere.
Tahun 1962-1974 menjadi Pastor Paroki Watublapi. Tahun 1967-1974 menjadi delegatus sosial (delsos) Keuskupan Agung Ende untuk wilayah Maumere.
Ia sempat menjadi pastor umat Jerman di Jakarta, pastor pariwisata Indonesia Timur, Ketua Pembina Yaspem Maumere serta tugas-tugas lainnya.
Nah, mengenai kiprah Pater Heinrich Bollen, SVD, saya berterima kasih kepada abang rasa kawan, Paolus Nong Susar yang menghadiakan saya buku yang disuntingnya berjudul: Berkhotbah di Ladang Ilalang (Penerbit Ledalero, 2008).
Buku tersebut berisi kumpulan karya pastoral P Heinrich Bollen, SVD di tanah misi Pulau Flores. Buku setebal 121 halaman itu terdiri dari tiga bagian utama dilengkap testimoni dari banyak tokoh mengenai karya Pater Bollen.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, Emil Salim mengenal sosok Pater Bollen yang pernah menerima Kalpataru itu secara baik. Emil Salim melukiskan kekagumannya sebagai berikut.
Di hulu Sungai Batik Wair di Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, rakyat berkelompok membangun teras dan menanam pohon di bawah bimbingan Pater Bollen, seorang pemimpin Gereja di sana.
Tanah NTT kering gersang dihempas angina panas dari gurun Australia, Di atas tanah kering ini, alang-alangpun segan hidup. Dan tanpa tanaman tidak ada hewan, tanpa tanaman dan hewan tidak ada kehidupan manusia. Tapi berkat kerja keras bertahun-tahun, Sungai Batik Wair dialiri air kembali. Juga di musim kemarau rakyat bisa tersenyum kembali (Berkhotbah di Ladang Ilalang, hal 104).
Pada perayaan pesta perak imamat Pater Bollen di Watublapi, 28 Mei 1983, Uskup Agung Ende Mgr. Donatus Djagom, SVD memuji dalam nada puitik.
Dalam rangka pesta perak Imamat Pater Heinrich Bollen dan pemberkatan gedung Gereja Paroki Watublapi, manusia berdendang dan melagukan pujian bagi Tuhan. Pujian dan syukur karena umat Watublapi mendapat anugerah iman dan imam.
Karena Imam Yubilaris (Pater Bollen) sudah dengan tabah hati membangun paroki dan umatnya ke arah peningkatan penghayatan iman dan peningkatan taraf hidup. Manusia bersuara memuji Tuhan.
Cengkeh, lamtoro, kakao memuji dan berlagu pujian bagi Pencipta dan Yubilaris. Karena mereka berguna bagi rakyat Watublapi dan sekitarnya, malah sampai jauh-jauh di seluruh Flores dan pulau-pulau lain. Yubilaris mewartakan Tuhan. Cengkeh, kakao dan lamtoro mewartakan Yubilaris (halaman 101).
Drs. Daniel Woda Palle adalah Bupati Sikka yang sukses menghijaukan wilayah itu lewat program lamtoronisasi.
Woda Palle berterima kasih kepada Pater Bollen atas praktik cerdasnya di Watublapi yang menginspirasi. Testimoni lainnya dari Mantan Gubernur NTT, Ben Mboi, Mantan Menteri Dalam Negeri Soeparman, J Mannes Tiwang (mantan ketua DPRD Sikka) dan masih banyak lagi.
Membaca buku karya Paolus Nong Susar menghadirkan kesan sangat kaya tentang Heinrich Bollen. Ada yang bilang dia pater “kakao”, pater “lamotoro”, pater “cengkeh”, pastor “petani”, pastor “pengasuh anak”, pastor “kampung”, pastor “salah ambil jurusan”, pastor “dermawan”, pastor “blusukan dari rumah ke rumah” dan lainnya.
Kesan beragam kiranya lumrah. Yang pasti sebagai imam, Pater Bollen mewariskan karya pastoral yang kontektual. Sesuai kebutuhan masyarakat di zamannya. Pioner pembangunan sejati. Dia guru yang tidak menggurui melulu. Dalam bahasa khas umat Katolik, dia memang sungguh gembala yang baik,
Lukisan Nong Susar tentang sosoknya mengena di hati.
“Bollen berjalan keliling menemui anak-anak burung pipit yang tak pernah sepi berkaok dan mencabik tirai gelagah. Suara mereka memang tak menghalilintar. Tapi cicitannya lirih menyapu langit. Bollen tak jemu-jemunya naik turun gunung untuk mencari dan mendapati anak-anak, tua muda serta laki perempuan yang tengah bergelut dan bergulat dengan situasi padang gurun nan kembara.”
Kembara dan pengembaraan Heinrich Bollen berakhir tiga hari menjelang Natal. Sang empunya kehidupan memanggil pulang hambaNya itu pada Selasa, 22 Desember 2020 di Maumere.
Waktu Tuhan adalah yang seindah-indahnya. Pater Bollen mengakhiri ziarah hidup pada umur 91 tahun lebih. Usia yang panjang bagi manusia.
Pater Bollen sudah menunaikan tugas pastoralnya yang paripurna di ladang ilalang Nusa Bunga yang dia cintai sampai akhir hayatnya.
Anak Jerman ini sudah memberi diri sehabis-habisnya demi kesejahteran sesama serta keagungan Sang Pencipta.
Requiescat in Pace.
Kupang, 23 Desember 2020
Dion DB Putra