Miskin hati, berhentilah mengeluh

Oleh Dion DB Putra
Catatan tentang kemiskinan di NTT

Alas kata
TATKALA menerima dan membaca surat dari Pengurus Pemuda Katolik Komisariat Cabang Kota Kupang pimpinan Sdr. Viktor Manek No. 03/PK/X/2007 tanggal 12 Oktober 2007 saya tersenyum kecut. Perihal surat itu meminta saya ikut menulis tentang kemiskinan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), setidaknya dari sudut pandang sebagai insan pers.
Saya tertegun dan bergumam. Apakah Pemuda Katolik kurang kerjaan sehingga mau membuat Buku Pintar Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur? Bukankah masalah kemiskinan di NTT sudah puluhan bahkan ratusan kali dibahas dan dikupas melalui forum diskusi, workshop, seminar dan lain-lain? Banyak buku dan artikel toh sudah menulis tentang masalah itu.
Bukankah para pejabat daerah NTT begitu piawai kalau berbicara tentang kemiskinan. Dan, bukankah telah begitu banyak program yang dijalankan dengan sokongan dana triliunan rupiah untuk mengentaskan kemiskinan?
Saya tersenyum hambar karena hampir sampai pada fase tidak begitu percaya lagi kepada siapa pun yang omong dan bekerja untuk mengentaskan kemiskinan di daerah ini apalagi dari unsur suprastruktur yang berwatak korup dan ingat diri!
Ada 16 instansi Pemerintah Pusat yang tugas pokoknya mengurus masalah kemiskinan. Jumlah yang kurang lebih sama juga ada di level pemerintahan daerah. Tidak sedikit pula lembaga non pemerintah yang berkiprah di bidang yang sama. Kenyataannya semua berjalan sendiri-sendiri. Mereka tidak menjadi tim yang solid untuk menggempur kemiskinan. Dan, sebagian besar rakyat NTT tetap miskin sampai hari ini. Data terbaru tegas memperlihatkan fakta itu. Menurut data tahun 2007, jumlah Kepala Keluarga (KK) Miskin di Propinsi NTT sebanyak 952.107 KK dan jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) sebanyak 623.137 RTM.
Kita cuma pintar bicara dan berteori. Cakap berwacana, tetapi gagap, canggung dan tidak cerdas mengeksekusinya lewat karya nyata. Bahkan sebagian orang kita jua tega menjual kemiskinan rakyat NTT untuk memperkaya diri sendiri.
Saya pun tersenyum getir karena setiap kali kita membuka lembaran data dan fakta kemiskinan rakyat NTT, yang marak meriah adalah kebiasaan saling menghujat, saling menyalahkan dan menunjuk kambing hitam. Setiap kali membahas kemiskinan, keluhan demi keluhan yang lebih mengental ketimbang menawarkan solusi obyektif-realistis serta pengakuan jujur dan ikhlas akan ketidakmampuan kita. Kita cenderung ribut melulu. Ribut antara sesama saudara sendiri. Ribut tanpa ujung yang jelas. Sekadar membuang-buang waktu, tenaga, pikiran dan energi tubuh.
Tentang kemiskinan, pemerintah acapkali menuduh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di daerah ini "menjual" kemiskinan rakyat NTT untuk kepentingan aktivis LSM yang bersangkutan. Kepentingan ekonomis dan politis. Juga menuding media massa melaporkan realitas miskin itu secara berlebihan. Sebaliknya LSM tiada henti berteriak lantang tentang ketidakmampuan pemerintah mengelola program dan dana kemiskinan.
Saling tuding semacam itu tidak hanya mencederai perasaan sejumlah aktivis LSM, aparat pemerintah serta stakeholder lain yang bekerja sungguh-sungguh membantu rakyat keluar dari belenggu kemiskinan -- tetapi tidak menyelesaikan masalah pokok. Saling tuding dan menyalahkan tidak menghasilkan apa-apa, kecuali sekadar publisitas murahan yang memuakkan. Melahirkan masalah baru sekaligus mencerminkan betapa kita mengalami kemiskinan yang lebih parah yakni miskin hati.
Atas kesadaran itulah pada tempat pertama saya ingin mengajak semua pemangku kepentingan di NTT yang peduli terhadap masalah kemiskinan untuk berhenti mengeluh dan saling menyalahkan! Mari kita hadapi persoalan tersebut dengan akal sehat serta hati yang bersih. Perkaya hati dan otak kita dengan memilih fokus pada tawaran solusi serta berani mengeksekusi. Biar kecil tetapi realistis dan tidak sulit dalam usaha pencapaiannya. Asalkan ada kemauan serta keberanian untuk memikul risiko.

Pengangguran = kemiskinan
Salah satu masalah klasik yang dihadapi NTT adalah pengangguran. Musababnya adalah terbatasnya lapangan kerja yang tersedia di daerah ini. Lapangan kerja yang ada tidak sanggup menyerap ledakan angkatan kerja yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pengangguran merupakan salah satu masalah serius dalam lingkaran setan persoalan NTT yang bernama kemiskinan itu.
Setiap kali pemerintah membuka kesempatan menerima Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD), kita selalu menyaksikan pemandangan yang memilukan hati. Ribuan pencari kerja berbondong-bondong ke kantor Dinas Tenaga Kerja mengurus kartu kuning, menyiapkan segala macam persyaratan demi mengadu nasib menjadi PNS. Formasi yang tersedia di suatu kabupaten/kota maksimum berkisar antara 100 sampai 150 tetapi yang mengikuti tes 3.000 hingga 5.000 orang. Berat nian peluang seseorang untuk lolos. Sejujur-jujurnya panitia bekerja dengan sistem seleksi yang obyektif sekalipun tetap saja kita mencium aroma nepotisme di sana. Mereka yang kuat kuasalah yang memenangi pertarungan.
Gara-gara tes CPNSD kita pernah mengalami peristiwa pahit, misalnya kejadian di Kabupaten Sumba Barat pada tanggal 5 November 1998 dimana 23 orang tewas terbunuh. Pemicu tragedi itu adalah rasa tersinggung berkaitan dengan tes PNS. Ada peserta yang tidak mengikuti tes tetapi diumumkan lulus oleh panitia. Dari sanalah tragedi berdarah tersebut berawal dan meletus hingga berujung korban jiwa berjatuhan.
Masih banyak contoh lain yang dapat disebut tentang kekisruhan yang berkaitan dengan tes PNS. Sebagai satu-satunya lapangan kerja primadona di NTT, PNS menjadi ajang rebutan. Situasi itu belum berubah banyak hingga Propinsi NTT memasuki usia 49 tahun tanggal 20 Desember 2007.
Angka pengangguran di NTT terus menumpuk dari waktu ke waktu. Surat Kabar Harian Pos Kupang edisi Rabu, 3 Oktober 2007 merilis data penganggur di NTT sebanyak 118.082 orang dari total angkatan kerja 2.100.000 orang. Jumlah ini lebih banyak 4.000 orang jika dibandingkan dengan angka tahun 2006 yaitu 114.000 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 32 persen berijazah sarjana dan 11 persen sarjana muda.
Data ini disampaikan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Propinsi NTT, Drs. IN Conterius. Data tersebut sesuai hasil Sensus Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja berdasarkan laporan kabupaten/kota tentang pencari kerja. "Ketika seseorang mengurus kartu kuning maka dia tercatat sebagai pencari kerja," kata Conterius di ruang kerjanya, 2 Oktober 2007. Dengan hanya mengacu pada pengurusan kartu kuning, maka terbuka kemungkinan cukup banyak tenaga kerja di NTT yang belum tercatat sehingga jumlah penganggur bisa lebih dari angka 118.082 tersebut. Angka tersebut bisa dilukiskan sebagai puncak gunung es dari masalah pengangguran di NTT.
Data tersebut memberi gambaran suram. Artinya separuh dari pengangguran terbuka di NTT adalah sarjana dan sarjana muda. Sisanya berijazah SMA, SMP dan SD. Tingginya angka pengangguran ini menandakan pertambahan angkatan kerja tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia. Penyerapan tenaga kerja di sektor pemerintah dan non pemerintah di NTT rata-rata per tahun 20 ribu sampai 30 ribu. Di sektor pemerintah terserap sekitar 8.000 tenaga kerja yaitu melalui penerimaan CPNSD. Tetapi tidak setiap tahun pemerintah menerima CPNSD. Ditambah kultur masyarakat terdidik kita enggan kembali ke desa serta tidak berani memulai usaha sendiri -- maka lengkaplah sudah problem pengangguran di daerah ini.
Rata-rata keluarga petani-nelayan di pedesaan NTT menyekolahkan anaknya dengan susah payah. Bukan cerita baru kalau ada yang sampai menjual harta berupa tanah produktif bahkan warisan leluhur demi membiayai anak sekolah. Selesai studi sang anak tidak langsung mendapat pekerjaan. Beban orangtua dan keluarga bertambah. Proses pemiskinan terus bergulir dan bergilir. Beban sosial semakin tinggi.

Bukan tanpa peluang
Tidak dipungkiri bahwa PNS merupakan lahan rebutan utama pencari kerja di Propinsi NTT. Namun, sesungguhnya masih ada peluang kerja lain yang tersedia dalam jumlah tak terbatas. Di sektor informal, misalnya, begitu banyak peluang yang tersedia, namun tidak banyak diminati anak-anak NTT. Peluang itu diambil oleh saudara-saudari kita dari daerah lain. Hal ini berkaitan dengan etos dan kultur. Pegawai Negeri masih dianggap lebih prestisius ketimbang bidang pekerjaan lainnya.
Mungkin tidak sungguh tepat tetapi sebagai ilustrasi saya mengungkap fakta tentang bidang pekerjaan di dunia kewartawanan (pers). Saya berkarier di Harian Pos Kupang sejak 1 Desember 1992 atau lima belas tahun. Selama periode itu, lebih dari 100 orang telah meninggalkan Pos Kupang dan pindah ke profesi lain. Dari sekian banyak profesi, tidak sedikit jumlah mantan wartawan/karyawan-karyawati Pos Kupang memilih menjadi PNS. Artinya, profesi wartawan belum dipandang sama seperti PNS. Wartawan kerap dijadikan sekadar batu loncatan untuk alih profesi menjadi PNS.
Salah satu alasan pindah barangkali soal kesejahteraan dan jaminan hidup masa depan. Bisa benar, bisa juga tidak. Karena bukankah ada kenyataan banyak orang dapat hidup dari profesinya sebagai wartawan di daerah ini? Akhirnya kembali kepada pilihan hidup dan bagaimana orang mengelola pilihan itu menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan sesama.
Daya serap tenaga kerja dari bidang industri jelas amat minim di daerah ini karena kenyataannya industri belum tumbuh. Sektor tradisional yaitu pertanian paling banyak menyerap tenaga kerja, tetapi kita semua maklum bagaimana potretnya. Lebih banyak mewartakan kisah kelam dan pilu. Sektor kelautan dan perikanan pun belum digarap maksimal. Program Gemala (Gerakan Masuk Laut) baru pada tataran omong-omong saja. Kebiasaan rakyat NTT yang membangun rumah "membelakangi laut" menggenapi peliknya masalah tersebut.
Namun, NTT tidak selalu bertutur tentang kepiluan. Tidak selamanya menggelar konser muram durja. Rakyat daerah ini terkenal pekerja keras, ulet dan tidak mudah menyerah pada nasib. Jauh sebelum apa yang kita ketahui sekarang sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengadu nasib (kebanyakan) di Malaysia, anak NTT telah dikenal sebagai anak-anak rantau. Merantau hingga ke negeri seberang. Mereka meninggalkan kampung halaman untuk mencari kehidupan yang lebih baik di daerah bahkan negara lain. Acapkali cuma bermodal nekat dan berani menantang bahaya dan maut.
Terlepas dari kabar buruk tentang TKI di Malaysia, medan ini merupakan lapangan kerja yang menggiurkan. Wartawan Kompas, Jannes Eudes Wawa dalam buku Ironi Pahlawan Devisa (Penerbit Kompas, 2005), memberi gambaran utuh dan jelas bagi kita tentang TKI. Jannes mengungkapkan bahwa TKI asal Propinsi NTT yang ada di Malaysia sekitar 25.000 orang dan sekitar 80 persen ilegal karena masuknya hanya mengandalkan visa kunjungan. Paspor dan visa diterbitkan di Nunukan, Dumai, Entikong, Pontianak, Batam dan Tanjung Pinang. Ada juga yang masuk resmi tetapi setelah masa kontraknya berakhir tetap bertahan di Malaysia dan tidak memperpanjang kontrak sehingga menjadi pekerja ilegal. Ada yang sudah belasan tahun bertahan hidup di Malaysia dengan cara semacam itu.
Kalau 25.000 orang TKI asal itu kirim uang dalam setahun minimal 2.000 ringit per orang, maka totalnya 51 juta ringgit. Satu ringgit setara dengan Rp 2.700,- berarti sama dengan Rp 137,7 miliar. Ini angka yang minimal tetapi sudah melebihi total PAD seluruh kabupaten/kota se-NTT.
TKI asal NTT menyumbang dana yang tidak kecil untuk kesejahteraan saudara-saudari dan anggota keluarganya di kampung halaman. Maka tidak mengherankan setiap waktu selalu saja tenaga produktif NTT yang berangkat ke Malaysia. Mereka tidak peduli masuk dengan cara ilegal sekalipun.
Bandingkan dengan contoh berikut. Di Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat (Jabar), uang yang dikirim TKI via bank (tidak termasuk via kantor Pos) selama bulan Januari-Juni 2007 sebesar Rp 187,4 miliar. Padahal PAD di kabupaten itu hanya Rp 40 miliar per tahun. Bahkan uang TKI yang masuk via Pos di Jabar selama Januari-Juni 2007 sebesar Rp 598,64 miliar (Kompas, edisi Sabtu 6 Oktober 2007).
Bekerja di luar negeri merupakan pilihan yang tidak buruk. Mereka membawa devisa langsung ke desa-desa, langsung ke kampung dan dusun-dusun terpencil. Profesi mereka adalah solusi alternatif yang masuk akal di saat pemerintah negeri kita sendiri belum sanggup mencari jalan keluar terbaik untuk mengatasi pengangguran.


Kirim tenaga terdidik
Dalam inspirasi dan terang masalah TKI tersebut saya coba menawarkan sesuatu. Sudah saatnya Propinsi NTT mengirim tenaga terdidik ke luar daerah, baik untuk memenuhi pasar kerja regional maupun internasional. Akhiri sudah kemampuan kita sekadar mengirim TKI bermodal otot saja.
Ikhwal pasar kerja internasional (manca negara) saya kembali mengutip pernyataan IN Conterius sebagaimana diberitakan Pos Kupang edisi Selasa 26 September 2007, halaman 4. Menurut Conterius, pemerintah Australia membutuhkan 500 orang tenaga perawat asal NTT untuk dipekerjakan pada rumah sakit‑rumah sakit milik pemerintah dan swasta di negeri benua itu. Dari 500 tenaga yang dibutuhkan sejak tahun 2005 ternyata baru empat orang yang dikirim ke sana tahun 2006. Penyebab utama minimnya tenaga perawat NTT bisa dikirim ke Australia karena kalah dalam hal penguasaan bahasa Inggris.
Angka 500 yang disebut Conterius itu persis sama seperti disampaikan Wakil Gubernur NTT, Drs. Johanes Pake Pani lima tahun silam. Ketika itu Pake Pani menyebut 500 perawat dibutuhkan pemerintah Belanda. "Kita sudah mendapat kepastian dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) , Yacob Nuwa Wea, untuk jatah 30 sampai 50 orang tenaga perawat dari 500 perawat yang dibutuhkan di Belanda," kata Wakil Gubernur NTT, Drs. Johanes Pake Pani, di Kupang, Rabu 21 Agustus 2002 (Pos Kupang edisi 22 Agustus 2002). Sejak itu pemerintah NTT tidak pernah mengumumkan kepada publik apakah sanggup memenuhi permintaan dari Belanda atau tidak sama sekali.
Rasanya tidak karena tidak tercatat dalam data Dinas Nakertrans NTT. Dengan hanya mengirim empat tenaga perawat ke Australia pada tahun 2006, betapa menyedihkan daya saing tenaga kerja NTT. Di mana keseriusan kita memanfaatkan peluang yang bagus itu? Data itu memberi pesan lugas, kita belum bekerja apa-apa. Padahal pasar kerja manca negara terbuka luas. Selain Australia, kita bertetangga dengan negara Republik Demokratik Timor Leste. Timor Leste juga membutuhkan tenaga kerja asal NTT seperti guru, perawat, montir, sopir dan lain-lain.
Bulan Oktober 2007 lalu ketika mewawancarai Konsul RI di Perth, Australia Barat, Dr. Aloysius L Madja, saya mendapat kenyataan yang kurang lebih sama. Dr. Alo Madja menyatakan negara bagian Australia Barat saat ini mengalami kekurangan 40.000 tenaga kerja dan pemerintah negara bagian itu membuka kesempatan bagi tenaga kerja dari luar negeri. Tenaga asal NTT malah "diprioritaskan" karena dalam banyak hal ada kesamaan dengan kultur dan kondisi sosiologis masyarakat Australia.
Aloysius Madja yang asal Mataloko, Kabupaten Ngada itu menyebutkan, Australia Barat membutuhkan tenaga perawat, sopir, pekerja restoran, pengasuh anak dan sebagainya. Tetapi kebutuhan tersebut sulit dipenuhi. Tidak banyak pekerja asal Indonesia atau NTT khususnya yang bekerja di sana. Lagi-lagi kendala utama kita adalah kecakapan berbahasa Inggris, selain gagal memenuhi standar kompetensi profesi yang dipersyaratkan di Australia (Pos Kupang, 28 Oktober 2007, halaman 3).

Cakap Bahasa Inggris
Kalau masalah kita adalah kecakapan berbahasa Inggris, maka fokus program kita harus ke sana. Taruhlah pemerintah propinsi dalam semangat kolektif-kolegial dengan seluruh pemerintah kabupaten/kota di NTT membuat program "1 Juta Angkatan kerja NTT cakap Berbahasa Inggris dalam lima tahun!" Boleh jadi ada yang serta merta menganggap tawaran program ini bombastis, tetapi kalau ada komitmen serta kemauan untuk memulai, saya kira tidak ada yang tak mungkin.
Bapak NTT, El Tari dulu cuma bermodal semangat ketika mengkampanyekan program Tanam, sekali lagi Tanam dan mendorong masyarakat di berbagai daerah membuka lapangan terbang secara swadaya sehingga memudahkan moda transportasi udara yang manfaatnya kita nikmati sampai sekarang.
Gubernur Ben Mboi melalui ONM,ONH, Hendrik Fernandez lewat Gempar dan Gerbades, Herman Musakabe dengan Tujuh Program Strategis yang salah satu warisan fenomenal adalah pemakaian tenun ikat. Nilai ekonomis tenun ikat NTT meningkat bahkan kini menjadi ikon daerah. Gubernur Piet A Tallo juga demikian lewat filosofinya Mulai dari Apa yang dimiliki Rakyat.
Ketika menjadi Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), Piet Tallo melakukan tindakan berani. Memberi makan tanah kepada rakyat yang malas. Langkah itu dianggap kontroversial oleh sebagian kalangan, tetapi terobosan Piet Tallo dalam ilmu manajemen disebut rekayasa sosial untuk mendorong perubahan masyarakat ke arah yang produktif. Mengubah malas menjadi rajin.
Semuanya hanya soal kemauan dan keberanian memulai. Untuk menciptakan 1 juta angkatan kerja NTT cakap berbahasa Inggris dalam lima tahun, misalnya dalam kurun waktu 2008-2013, hemat saya bukan pekerjaan berat jika semua kekuatan di daerah ini dikerahkan untuk menggolkan tujuan itu.
Kita di NTT tidak kekurangan tenaga profesional dalam bidang Bahasa Inggris. Ada puluhan orang doktor (S3) dan magister Bahasa Inggris di Universitas Nusa Cendana (Undana), Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira), Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Universitas Muhammadyah, seminari tinggi di Kupang dan Ledalero-Maumere serta puluhan perguruan tinggi lainnya di daerah ini. Belum lagi lembaga-lembaga kursus Bahasa Inggris yang jumlahnya sangat banyak.
Aset berlimpah ruah itu belum dimanfaatkan selama ini kecuali untuk kebutuhan intern lembaga masing-masing. Mereka perlu ditarik keluar dari sangkarnya masing-masing, disatukan kekuatannya, entah dalam bentuk lembaga kursus atau apapun namanya bisa dipikirkan kemudian.
Talenta mereka yang besar itu kita dayagunakan untuk mencapai tujuan menyiapkan tenaga kerja terdidik NTT yang cakap berbahasa Inggris sehingga bisa memenuhi kebutuhan pasar kerja luar negeri. Kita "mengekspor" skilled labor sebagaimana sukses dilakukan Filipina satu dasawarsa terakhir.
Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Dinas Nakertrans di setiap daerah menjadi fasilitator atau penyelia untuk merumuskan rencana kerja serta menjabarkan program itu sampai ke level pelaksanaan serta memonitoring output-nya. Peranan DPRD hadir melalui komitmen anggaran (APBD) untuk mendukung terealisasinya program tersebut.
Tentu saja kemampuan berbahasa Inggris tidak standar saja sebagaimana pelajaran SD, SLTP hingga perguruan tinggi. Kecakapan Bahasa Inggris yang perlu dicapai harus sesuai dengan kebutuhan dunia kerja yang konkret. Tidak sekadar bisa baca dan tulis tetapi yang utama mampu berkomunikasi.
Misalnya untuk tenaga perawat/kebidanan mutlak ditambah satu masa kursus bahasa Inggris selama minimal 3-6 bulan bahkan sampai 9 bulan buat tamatan Akper dan Kebidanan. Pengajar atau mentor mesti native speaker dan sungguh seorang guru yang mempunyai latar belakang medis agar bahasa Inggris yang diajarkan "nyambung" dengan suasana kerja rumah sakit di manca negara. Untuk keperluan ini kita bisa mencontohi atau belajar dari lembaga kursus terkemuka di Indonesia yakni Indonesia-Australia Language Foundation (IALF) yang berada di Bali, Surabaya dan Jakarta. Di NTT cukup banyak alumni lembaga tersebut. Bukan mustahil Pemda NTT membangun kerja sama dengan lembaga terakreditasi internasional itu.
Kursus Bahasa Inggris juga perlu diberikan kepada angkatan kerja lain misalnya tamatan SMK (SMEA,STM, SMKK) untuk tenaga montir, sopir, tukang las, karyawan restoran, perhotelan, pengasuh anak, pembantu rumah tangga dan sebagainya. Selama kursus mereka langsung dikondisikan ke suasana kerja riil yang akan mereka hadapi nanti. Perlu ditambahkan pelajaran cross culture agar tenaga kerja NTT tidak menjadi korban "kejutan budaya" di negara tempat dia bekerja. Tawaran ini menjawab problem sebagaimana digambarkan Conterius dan Konsul RI di Perth, Dr. Aloysius Madja.
Program besar kita mencetak Satu Juta Angkatan Kerja NTT yang cakap Berbahasa Inggris dalam lima tahun. Itu berarti kita perlu membuat target jumlah peserta kursus setiap tahun anggaran. Sudah pasti disesuaikan dengan kemampuan anggaran daerah (APBD). Jumlahnya akan bervariasi setiap daerah.
Saya tidak menyarankan kursus Bahasa Inggris itu gratis karena selain tidak mendidik, kita hanya menciptakan manusia NTT bermental enak. Tidak mau kerja keras. Setiap calon tenaga kerja perlu membayar tetapi dalam jumlah yang terjangkau dan pantas karena sebagian dana ditopang oleh APBD. Bersumber dari uang rakyat sendiri.

Standar kompetensi
Tak kalah penting adalah standar kompetensi profesi. Setiap negara memiliki standar kompetensi masing-masing. Australia dan negara-negara Eropa paling ketat. Sebagian negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Malaysia juga telah menerapkan hal itu. Sedangkan Indonesia baru memulai di beberapa profesi. Proses sertifikasi guru yang sedang dijalankan dewasa ini bisa diangkat sebagai contoh.
Adalah tugas pemerintah (Dinas Nakertrans) untuk mensosialisasikan standar kompetensi profesi yang berlaku di setiap negara tujuan tenaga kerja NTT. Saya membayangkan aparat Dinas Nakertrans adalah sekelompok PNS profesional dan terpercaya. Memiliki kemampuan lobi dan komunikasi dalam bahasa pergaulan internasional. Mereka mengetahui seluk-beluk pasar kerja regional dan manca negara. Secara periodik mereka berkeliling ke berbagai daerah dan negara untuk mencari tahu peluang kerja di sana sekaligus membagun lobi dengan pemerintah serta pihak-pihak terkait.
Langkah ini jauh lebih produktif dan berguna ketimbang jalan-jalan ke berbagai negara yang dilakukan sejumlah kepala dinas atau badan dengan hasil nol besar. Jalan ke mana-mana sekadar menghabiskan uang negara. Buat perjalanan dinas lebih dari 31 hari dalam sebulan tapi hasilnya tidak pernah dipertanggungjawabkan kepada publik. Rajin berkeliling tetapi hanya bisa nganga (bisa dibaca: tak mampu berbuat apa-apa) sebagaimana sentilan Gubernur NTT, Piet A Tallo, S.H dalam beberapa kesempatan.
Seorang aparat Nakertrans hendaknya memahami seluruh item kompetensi yang dipersyaratkan setiap bidang pekerjaan. Sebagai misal, apa saja standar kompetensi perawat di Australia? Apa saja standar kompetensi seorang sopir, montir, tukang las, pengasuh anak, pelayan restoran dan sebagainya di negara tujuan lainnya?
Pengetahuan itu mereka bawa pulang ke NTT. Diterjemahkan ke dalam rencana kebutuhan tenaga kerja yang rasional lalu membuat program pelatihan dengan melibatkan semua instansi terkait. Sebelum dikirim tenaga kerja NTT digodok sedemikian rupa di Badan Diklat atau BLK yang ada agar memenuhi standar kompetensi yang dipersyaratkan negara tujuan.
Bersamaan dengan itu, sudah saatnya pula NTT menggelorakan pentingnya menerapkan standar kompetensi profesi. Bisa dimulai dari hal-hal kecil di lingkungan instansi pemerintahan dan swasta yang strategis. Banyak lembaga privat/swasta sebenarnya sudah lama menerapkan itu untuk kebutuhan internal mereka. Pemerintah saja yang belum bergerak karena sistem dan kultur birokrasi yang menghambat.
Birokrasi kita kelewat tambun dengan regulasi dan mekanisme kerja tumpang-tindih sehingga lamban jalannya. Sudah beribu kali pemerintah bicara keahlian berbasis kompetensi, tetapi efeknya belum tampak dalam pelayanan mereka sehari-hari. Apakah sampai saat ini aparat Dinas Nakertrans sanggup mengontrol cara kerja PJTKI? Apakah mereka cukup berwibawa, cerdas dan mampu meminimalisir praktik percaloan dan pemerasan terhadap TKI? Rakyat NTT tahu seperti apa bentuk dan wujudnya.
Berbicara tentang standar kompetensi profesi, maka ada tahap yang harus dilewati yaitu asessment atau penilaian. Seseorang hanya boleh dikatakan kompeten atau tidak dalam suatu bidang pekerjaan kalau telah di-ases oleh asesor yang kredibel.
Barangkali di sini akan menjadi masalah bagi kita di NTT ketika menilai seorang calon tenaga kerja, misalnya perawat untuk pasar Australia. Pertanyaan besar, siapa asesornya? Apakah aparat Dinas Nakertrans atau pengajar Akper? Apakah asesor itu kredibel, kompeten dan diakui sebagai asesor?
Ini merupakan Pekerjaan Rumah bagi kita. Tetapi tidak ada yang tak mungkin digapai. Kita dapat mengirim sejumlah tenaga mengikuti pelatihan asessment pada lembaga yang terakreditasi secara internasional. Mereka itulah yang akan menjadi asesor. Asessment bukan isu baru bagi aparat pemerintah di NTT. Saya memiliki data tentang pejabat atau aparat pemerintah yang sudah mengikuti program tersebut dan mereka kompeten sebagai asesor. Persoalannya, talenta semacam itu belum diberi panggung untuk mempraktekkan ilmu serta keahliannya. Sekali lagi birokrasi kita memiliki persoalan sendiri yang rumit.
Guna memenuhi kebutuhan pasar kerja manca negara, seperti tenaga perawat di Australia, pemerintah NTT toh dapat membangun kerja sama dengan pemerintah negara tersebut. Apalagi bukan hal baru pemerintah daerah ini menjalin kerja sama dengan Australia. Kerja sama itu sudah berlangsung sejak 20-an tahun lalu, salah satunya dan paling intens dengan negara bagian Australia Utara (Northern Territory Australia). Problem kita terletak pada agenda aksi yang tidak terencana dan terukur sehingga jalinan kerja sama itu seolah sia-sia belaka. Hasilnya tidak cukup signifikan bagi kemajuan daerah kita.
Untuk kebutuhan asesor bagi tenaga kerja NTT pada sejumlah profesi yang dibutuhkan Australia Barat, misalnya, kita dapat menjalin kerja sama lewat Memorandum of Understanding (MoU) dengan Departemen Tenaga Kerja Australia Barat. Melalui MoU itu, pemerintah Australia Barat dapat mengutus asesor mereka untuk menilai kompeten tidaknya tenaga kerja NTT yang akan dikirim ke sana.
Kalau Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer pada 7 November 2007 lalu memimpin sendiri tim lengkap pemerintah Federal Australia turun ke Kupang dan Pulau Rote guna mensosialisasikan praktik illegal fishing serta program lainnya di NTT dalam bidang pendidikan dan kesehatan, sekadar menjalin kerja sama menghadirkan asesor agaknya bukan perkara besar. Sudah beratus bahkan beribu-ribu kali pejabat pemerintah Australia menegaskan, mereka tidak mungkin berpaling dari tetangganya Indonesia.

Akhir kata
Di sela-sela menulis catatan ini saya membolak-balik halaman buku 70 Tahun Seminari Tinggi Ledalero: Setia menggemakan Suara, Berkanjang memantulkan Cahaya (penerbit Ledalero, Agustus 2007). Buku tersebut diterbitkan guna memperingati 70 tahun seminari tinggi tersebut, 5 Mei 2007.
Bola mataku tiba-tiba menukik ke halaman 3 buku itu, tertuju pada bagian akhir paragraf kedua sambutan Rektor Seminari Tinggi Filsafat Katolik (STFK) St. Paulus Ledalero, P. Philipus Tule,SVD.
Data yang disampaikan Pater Philipus Tule menarik perhatian. Mencengangkanku. Setidaknya dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, Seminari Tinggi Ledalero telah mengutus 350 putra terbaik sebagai misionaris ke 46 negara di lima benua. Dan mereka itu "anak tanah" Flobamora. Ah, saya bangga sebagai anak NTT.
Tiga ratus lima puluh orang itu bukan jumlah yang kecil. Mereka memang pergi dan diutus ke seluruh penjuru bumi sebagai imam Tuhan, sang gembala, misionaris SVD. Tetapi jangan lupa bahwa mereka adalah sumber daya manusia (SDM) NTT, tenaga terdidik dan terbaik asal NTT. Mereka sama dengan saya yang bisa baca dan tulis dengan sumber gizi utama makan ubi kayu, jagung titi, jagung katemak, pisang bakar dan minum air kelapa.
Dengan bekal ilmu, pengalaman serta spiritualitasnya mereka ikut memanusiakan manusia lain di belahan bumi lain yang masih tertinggal dalam banyak aspek kehidupan. Siapa bilang NTT hanya dapat mengirim TKI bermodal otot dan TKW tak terampil yang cuma mendatangkan kisah pahit dan sedih seperti tragedi saudari kita terkasih, Nirmala Bonat?
Prestasi anak Flobamora utusan bukit Ledalero itu harus digemagaungkan, disuarakan kepada Indonesia demi menegaskan satu hal: NTT ini bukanlah yang terkecil di antara gunung-gemunung Nusantara. Suatu bukti sudah lama kita mengirim para manajer, para pemimpin andalan yang mengabdi di lain benua, bagi lain bangsa, bahasa dan budaya.
Tiba-tiba saya bergumam lagi dan bertanya. Bertanya entah kepada siapa yang lebih pantas ditanya. Mengapa kebanggaan itu tidak menular ke bidang profesi yang lain seperti guru, perawat, sopir, tukang las? Apakah bedanya? Di Jakarta, Medan, Balikpapan, Bandung, Surabaya dan banyak tempat di negeri ini yang pernah saya jejaki, saya melihat para manajer berwajah India, Filipina, Singapura, Taiwan atau Malaysia. Mereka berdasi, gagah dan cakap. Piawai berbicara dalam bahasa Inggris dan bahasa internasional lainnya. Mereka ekspatriat yang dipercaya sebagai manajer perusahaan multinasional seperti Nokia, Samsung, Adidas, Nike, Sony Ericsson dan lainnya. Mereka memimpin dan memerintah anak Indonesia yang cuma "menjadi buruh" di negeri sendiri.
India dan Filipina, bukankah mereka sama miskin dan sama papanya dengan Indonesia dan lebih khusus Flobamora? Kok mereka bisa menjadi tenaga terdidik di negeri tercinta? Kemiskinan negerinya tidak menghalangi tekad mereka melanglang buana menguasai pasar kerja global.
Mungkin mimpiku ini terlalu tinggi, paling lambat tahun 2015, yang berdasi seperti itu adalah anak Timor, Rote, Sabu, Sumba, Flores, Alor, Adonara, Solor atau Lembata. Dan, mereka ada di Canberra, Perth, Darwin, Seoul, Yokohama, Amsterdam, Bonn, Kuala Lumpur, Bangkok, Manila, New Dehli, Tokyo, Jeddah, Qatar, Cape Town, Beijing, Birmingham. Mereka sudah menjadi warga dunia karena globalisasi hari ini pun sudah sulit dibendung dan dikekang. Kenari 1 Kupang, Sabtu dinihari 17 November 2007. Tulisan untuk buku "Kemiskinan yang akan diterbitkan Pemuda Katolik Kota Kupang.*


Sumber bacaan:
1. Jannes Eudes Wawa, Ironi Pahlawan Devisa, Penerbit Kompas, September 2005.
2. Paul Budi Kleden dkk (editor): 70 Tahun Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero: Setia Menggemakan suara, Berkanjang memantulkan Cahaya (Penerbit Ledalero, Agustus 2007).
3. NTT kirim empat perawat ke Australia, Pos Kupang 26 September 2007, halaman 4.
4. Penganggur di NTT 118.082 orang, Pos Kupang edisi Rabu 3 Oktober 2007, halaman 1.
5. Poltekes Kupang menunju standar internasional, Pos Kupang edisi Kamis 4 Oktober 2007, halaman 1.
6. Dr. Aloysius Madja: Tidak bermimpi jadi diplomat, Pos Kupang edisi Minggu 28 Oktober 2007, halaman 3.
7. Pemerintah Belanda butuh perawat asal NTT, Pos Kupang edisi 22 Agustus 2002.
8. Tragedi PNS di Sumba Barat, Pos Kupang edisi 6, 7 dan 8 November 1998, halaman 1.


Data diri
Dion DB Putra
lahir di Ende, 13 Juni 1969. Dion adalah anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Thomas Bata (alm) dan Theresia Masi. Pendidikan SD hingga SMA dijalani di kampung halamannya. Tahun 1995 menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Undana Kupang. Aktif menulis sejak SMA dan bertambah giat ketika mahasiswa. Talenta menulis turun dari ayahnya, seorang guru SD yang mengabdi sejak awal kemerdekaan.
Sebelum bergabung dengan Pos Kupang sejak titik nol yakni 1 Desember 1992, dia menjadi koresponden sejumlah mingguan seperti Dian (Ende), Union Catholic Asian News (UCAN) dan menulis artikel untuk beberapa media terbitan Denpasar, Surabaya dan Jakarta. Dia juga aktivis organisasi, baik intra kampus maupun organisasi ekstra mahasiswa.
Dion yang sejak 2005 menjadi Pemimpin Redaksi Pos Kupang selalu menyebut PMKRI memberi kontribusi besar dalam pembinaan dirinya di saat muda usia. Terakhir ia menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PMKRI Cabang Kupang 1992-1993. Aktivitasnya di organisasi masih bertahan sampai sekarang, terutama organisasi pembinaan olahraga. Kini dia menjabat Ketua Bidang Humas KONI Propinsi NTT.
Dion tidak asing dengan Australia. Selain lebih dari sekali mengunjungi negara tetangga Indonesia itu dalam tugas jurnalistik, sejak tahun 2005, dia intens mengikuti program pelatihan yang diselenggarakan lembaga kemitraan Indonesia-Australia, IASTP Phase III. Dia tercatat sebagai salah seorang mentor IASTP di NTT. Dion menikah dengan Florida Emanuela Coo asal Nagekeo dan dikaruniai dua orang putra, Cletus Rivaldo Dedo Bata (7 tahun) dan Albertus Trapani Dede Bata (3 tahun). *

Tawanya yang Menggelegar Itu...

Valens Goa Doy di Balikpapan  2003 (foto Adrizon Zuibir)
Oleh Dion DB Putra*

INFORMASI itu berkembang dari mulut ke mulut sebagian orang NTT di tengah kebisingan ibu kota Jakarta. Orang pertama yang menyampaikan kepada saya adalah Raymundus Jeghe Tiwa.

"Aji (adik, bahasa Flores Tengah, Red)) akan ada koran terbit di Kupang," begitu kata Mundus, anak Maukeli itu di Jl. Sam Ratulangi, Menteng-Jakarta Pusat medio Juli 1992.

Saat itu kami baru selesai mengikuti pendidikan dan latihan jurnalistik yang diselenggarakan bersama oleh Pengurus Pusat PMKRI dan PMII.

"Yang punya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) Om Damyan Godho, wartawan Kompas," tambah Mundus yang belakangan ketika menjadi wartawan mengubah sapaan akrab dengan Rey. "Biar lebih keren ko," katanya enteng dengan logat Maukeli, Mauponggo.

Kami mengikuti Pendidikan Pers Pancasila di lokasi Diklat Kejaksaan di Cinere, tanggal 5-12 Juli 1992. Kegiatan ini atas kerja sama Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). PMKRI kala itu dipimpin Ir. Cyrilus Kerong, kini salah seorang pimpinan koran bisnis terkemuka, Harian Bisnis Indonesia. Sedangkan PMII dipimpin Ali Masykur Musa. Pembicara antara Matori Abdul Jalil, Mensesneg Moerdiono, Dr. Alberth Hasibuan, Drs. Cosmas Batubara, Rikard Bagun (kini Wakil Pemimpin Redaksi Kompas), Choirie Effendi dan lainnya.

Informasi itu makin berembus kencang setelah kami mendapat pesan telepon dari Kupang, antara lain dari Johny Pari agar segera pulang karena masa pendaftaran wartawan baru sudah dibuka. Johny Pari, senior di PMKRI Kupang menginformasikan bahwa salah satu lokasi pendaftaran melalui Kantor Wilayah Departemen Penerangan (Deppen) Propinsi NTT di Jl. Palapa Kupang (kini Kantor Badan Infokom NTT). Johny bertugas menerima pendaftaran. Niat kami untuk lebih lama lagi di Jakarta memudar. Kupang seolah terus memanggil pulang. "Terlambat datang berarti rugi besar," kata Johny.

Tapi apa daya, uang di kantong nyaris habis. Tak cukup lagi buat tiket pulang dengan kapal. Modal dana bantuan dari Gubernur NTT, Bapak dr. Hendrik Fernandez sudah habis dipakai kami bertiga, Dion, Mundus dan Paul Burin -- utusan PMKRI Cabang Kupang ke diklat jurnalistik itu.

Sudah mengadu kepada Cyrilus Kerong, Ketua Presidium PP PMKRI. "Ade, saya juga berat. Caya akan coba dekati beberapa senior di Jakarta," katanya. Bergerilia ke sana-sini. Cari keluarga di Jakarta tapi uang belum cukup buat tiket pulang dan ongkos makan dalam perjalanan.

Setelah sepekan berlalu, datang malaikat penolong, Drs. Markus Mali (alm) di margasiswa Menteng-Jakarta. Anton Doni yang bisikan aspirasi bahwa kami kehabisan duit. Maklum saja, tiga pekan ikut pelatihan jurnalistik di Cinere. Di Jakarta sudah seminggu. Hampir satu bulan. Modal Rp 750 ribu dari Kupang telah terkuras. Nyaris tak tersisa di dompet kumal yang lebih banyak berisi kertas biar kelihatan tetap padat.

"Besok tunggu saya di sini jam tiga sore," kata Markus Mali. Kala itu Purek III Universitas Krisna Dwipayana. Markus, anak Ende-Lio yang memimpin PMKRI Pusat selama lima tahun itu memenuhi janjinya. Datang ke Menteng dengan mobil kijang mulus. Mobil dinas Purek III. "Ini uang Rp 200 ribu. Kalian pakai bae-bae, usahakan bisa sampai di Kupang. Tiba di sana, lapor Alo Jong Djoko. Beritahu dia kenapa tidak bisa kasi uang lebih," katanya sambil terbahak-bahak. Markus Mali dan Alo Jong Djoko adalah sahabat karib. Sama-sama alumni PMKRI.

Begitulah gaya Markus Mali. Orang Lise yang blak-blakan. Puji Tuhan. Berbagilah saya dengan Mundus dan Paul. Saya bergerak ke Stasiun Gambir. Naik kereta api kelas ekonomi menuju Surabaya. Berdesak-desakan dengan penumpang yang bergelantungan, pedagang asongan dan pengamen yang naik turun semaunya di tiap stasiun. Tak karuan. Besok pagi sampai Surabaya. Cari tahu informasi, jadwal KM Kelimutu ke Pelabuhan Tenau- Kupang masih seminggu lagi. Gawat!

Lagi-lagi Marga PMKRI Surabaya menjadi tempat bernaung. Dua hari lewat, sudah tak tahan. Muncul solusi pulang via jalur darat saja daripada uang habis dan keleleran di Kota Pahlawan. Saya pulang dengan bus Jawa Baru melintasi rute Surabaya-Labuan Bajo. Tiga hari tiga malam dalam perjalanan. Nyeberang selat Bali-Lombok, Bima, Sape, Labuan Bajo. Sampai juga di ujung barat Flores. Dengan bus malam ke Ruteng terus ke Ende. Menginap semalam di rumah orangtua di Onekore dan melajutkan perjalanan ke Kupang via Larantuka (Flores Timur) dengan kapal fery.

"Cepat sudah buat surat lamaran," kata teman-teman di marga St. Fransiskus Xaverius, Jl. Soeharto No. 20 Kupang seperti Alo Min, Marthen Darmonsi, Hardi Himan, Eman Laba, Gabriel Dala, Jannes Eudes Wawa, John Lalongkoe. Bagaimana mungkin? Saya baru masuk semester VII di FIA Undana, belum sarjana sebagai dipersyaratkan.

"Sudah, tulis saja sarjana dalam kurung belum diwisuda. Mereka sonde (tidak, Bahasa Kupang) mungkin periksa semua. Kita kan sudah biasa menulis. Yang penting lampirkan kliping tulisan di berbagai media massa. Fotokopi surat tugas dari mingguan Dian dan UCAN (Union Catholic Asian News)," kata Mundus yang paling rajin mengumpulkan informasi.

Berbondong-bondonglah kami memasukkan lamaran ke Kanwil Deppen NTT. Semua kru Mingguan Dian Biro Kupang di bawah pimpinan Pius Rengka memasukkan lamaran. Ferry Jahang, Lorens Gabur, Viktus Murin, Cyriakus Kiik, Paul K Burin, Karolus Kia Burin, Key Tokan Abdul Azis, Ans Marsali, Kons Kleden, Joss Gerrard Lema, Karolus Kopong Medan dan lainnya. Calon wartawati, antara lain Mariana Dohu, Renata Fernandez, Esther Gah, Evie Pello.

Iklan penerimaan calon wartawan juga diumumkan melalui Harian Surya - Surabaya. Maka banyaklah yang mendaftar. Tidak hanya dari NTT. Belakangan baru saya tahu, putra daerah dan calon yang sudah berpengalaman menulis lebih diutamakan koran baru yang segera terbit itu.

Kelompok 5W + 1H

Bulan Oktober 1992, kehadiran koran baru itu mendekati kenyataan. Kami para calon wartawan dan karyawan-karyawati divisi bisnis dipanggil menjalani tes. Itulah pertama kali saya bertemu dengan Valens Goa Doy, nama besar dalam jagat pers nasional. Orangnya ternyata berbadan kecil, tidak terlalu tinggi, rambut keriting, senyum ramah. Ciri khas utama suara dan tawanya menggelegar. Tatapan matanya tajam, seperti menembus dinding-dinding hati dan otak.

Proses rekruitmen itu berlangsung ketat. Hanya yang lolos seleksi administrasi yang dipanggil untuk wawancara dan tes tertulis. Jumlahnya kurang lebih 70 orang dan terseleksi mengikuti pelatihan wartawan 40 orang. Di kantor sederhana di Jl. Soeharto No. 53 Kupang, seluruh kegiatan itu berlangsung. Di sanalah markas besar redaksi dan bisnis koran Pos Kupang. Letaknya berdampingan dengan tempat fotokopi dan Percetakan Sylvia. Kalau Rudolf Nggai dan Damyan Godho tidak asing lagi. Tempat usaha Om Rudolf adalah langganan kami mahasiswa fotokopi tugas dan jilid makalah. Om Damy pun bukan orang baru. Biasa memberikan materi dalam pelatihan jurnalistik di Kupang.

Pelatihan dikendalikan langsung Om Valens Doy. Mentor lainnya Damyan Godho, Hilarius Japi, Pius Rengka.Wens John Rumung juga ikut membantu dengan kebiasaannya memasang wajah angker dan suara keras. Seluruh materi pelatihan (teori dan praktek) dikendalikan Om Valens Doy. Setiap calon wartawan wajib membawa mesin ketik. Tidak soal apakah milik sendiri atau pinjaman. "Lancar dulu pakai mesin ketik baru kalian boleh rubu-raba (menggunakan) komputer," kata Om Damyan dalam berbagai kesempatan. Komputer di tahun 1992 bagi warga NTT masih merupakan barang luks dan langka.

Om Valens tahu betul kemampuan setiap calon wartawan yang dilatih. Kami dikelompokkan sesuai level kemampuan. Ada grup 5W1H, grup deskripsi, kelompok angle, grup judul dan lead. Grup 5W1H artinya belum cakap dalam mengumpulkan bahan berita. Maka saban hari Anda turun lapangan menggarap sedalam-dalamnya 5W1H itu. Kalau sudah mahir melangkah ke grup angle (mengambil sudut pandang berita).

Menurut Om Valens, bila angle oke berarti akan mudah membuat lead dan judul berita. Pengelompokkan semacam itu menghidupkan suasana pelatihan yang berlangsung meletihkan sejak pukul 08.00 Wita sampai malam hari. "Kalau masih di kelas 5W1H jangan dulu sombong. Belajar lebih keras agar segera masuk kelompok lead dan judul," demikian salah satu cara Om Valens memotivasi.

Setelah menjalani pelatihan selama satu setengah bulan, kami memasuki ujian akhir dan dinyatakan lulus.
Sebanyak 27 orang resmi tercatat sebagai wartawan Pos Kupang angkatan pertama. Kami mulai dibagi ke setiap desk dan beat. Saya merasa beruntung karena mendapat tugas di Kupang khususnya Desk Politik dan Keamanan (Polkam). Banyak teman yang dikirim ke 12 kabupaten se-NTT.

Tanggal 16 November 1991 terbit edisi percobaan yang dibagi-bagikan secara gratis kepada warga Kota Kupang. Setelah enam kali terbit percobaan, tepat hari Selasa tanggal 1 Desember 1991 Pos Kupang terbit reguler enam hari sepekan. Tanggal tersebut menjadi tonggak sejarah lahirnya Pos Kupang, koran harian pertama di Propinsi Nusa Tenggara Timur.

SKH Pos Kupang resmi beredar di Nusa Tenggara Timur dari Jl. Soeharto No. 53 Kupang dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) No. 282/SK/Menpen/SIUPP/A.6/1992 tanggal 6 Oktober 1992.

Komposisi pengelola sebagai berikut:
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: Damyan Godho
Pj. Pemimpin Perusahaan: Rudolf Nggai
Redaktur Pelaksana : Valens Doy
Redaktur Khusus: Gerson Poyk, Julius R Siyaranamual, Pieter Gontani.
Staf Redaksi: Pius Rengka, Hilarius Japi, Hans Ita, Wens John Rumung, RJ Mardjuki.
Wartawan Daerah: Yulius Lopo (Alor), Yohanes Tende (Waikabubak/Sumba Barat), Domu Warandoy (Waingapu/Sumba Timur), Karolus Kia Burin (Larantuka/Flotim), Ans Marsali, Yos Gerald Lema (Maumere/Sikka), Bone Pukan, (Ende), Yosafat Koli (Bajawa/Ngada), Lorens Gabur (Ruteng/Manggarai), Cyriakus Kiik (Atambua/Belu), Anton Gelat (Kefamenanu/TTU), Marthen Manuain (SoE/TTS). Kupang: Dion DB Putra, Hilarius F Jahang, Evie Pello, Beny Dasman, Renata Fernandez, Mariana Dohu, Karolus Kopong Medan, Azis Tokan, Viktus YK Murin, Bonevantura Sumarmo, Esther Gah, Paul K Burin, MAP Dethan.
Jakarta: J Soetardjo, Marcel W Gobang, Raymundus Tiwa. Koresponden: Emanuel Tukan (Denpasar), Vianey K Burin (Surabaya), Ruston Ndapanga (Malang). Manajer Iklan: Johny Juang. Manajer Sirkulasi: Rudolf Nggai.

"Promosi tsunami"
SKH Pos Kupang terbit dengan promosi yang unik. Selain melalui radio terutama RRI Kupang, tim bisnis harian ini menyebarkan brosur lewat udara. Om Damy memanfaatkan hubungan baiknya dengan Dan Lanud El Tari-Kupang saat itu, Lektol (Pnb) Djoko Purwoko.

Djoko yang merupakan instruktur penerbang pesawat F16 didikan Amerika Serikat mengizinkan penyebaran brosur Pos Kupang dari pesawat Hercules yang terbang keliling Kota Kupang dan sekitarnya. Maka dalam sekejap ribuan brosur itu tersebar luas.

Gara-gara cara ini, Walikota Kota Administratif (Kotif) Kupang, SK Lerik sempat berguyon, Pos Kupang bikin repot pasukan kuning (petugas kebersihan kota) yang harus membersihkan sampah berupa brosur yang tersebar di mana-mana.

Promosi dengan cara semacam itu jelas tidak memadai. Tidak banyak orang NTT segera mengenal Pos Kupang dan menyadari kehadirannya di tengah mereka. Alam rupanya berbaik hati, alam tidak selamanya kejam. Baru dua pekan Pos Kupang hadir, terjadi peristiwa besar dalam sejarah Propinsi NTT. Hari Sabtu tanggal 12 Desember 1992 pukul 13:29:25 Wita gempa tektonik berkekuatan 7,5 skala Richter menghantam Pulau Flores dengan Maumere paling parah terkena dampaknya. Pusat gempa pada kedalaman 15 km di Laut Flores itu sangat kuat yang segera diikuti dengan gelombang tsunami.

Dalam sekejap 2.080 orang meninggal dunia dan lebih dari 500 orang luka berat. Jumlah bangunan yang roboh atau rusak berat sebanyak 28.118 rumah, 785 gedung sekolah, 307 rumah ibadah, 493 kantor dan toko. Banyak terjadi tanah terbelah antara Maumere dan Ende, hubungan darat antara Maumere dan Larantuka terputus karena jalan utama tertutup tanah longsor.

Gempa diikuti dengan gempa susulan yang masih terpantau hingga tanggal 5 Januari 1993. Flores seolah mengalami kiamat kecil. Presiden Soeharto menetapkannya sebagai bencana nasional. Pak Harto juga mengunjungi para korban di Maumere. Dengan sedih tokoh nasional asal Sikka, Drs. Frans Seda melukiskan Flores mengalami kemunduran selama 25 tahun.

Peristiwa alam itu menjadi jualan utama Pos Kupang berbulan-bulan kemudian. Dalam waktu singkat Pos Kupang menjadi populer di NTT serta Indonesia. Koran selalu habis terjual. Bayangkan saja Pos Kupang yang pada dua pekan pertama hanya dicetak 3.000 eksemplar, melonjak drastis menjadi 16.000 eksemplar per hari karena tingginya permintaan. Dalam dua minggu pertama pasca gempa, berita Pos Kupang bahkan difotokopi lalu perjualbelikan. Kejadian seperti ini antara lain berlangsung di Flores Timur, Manggarai dan Sumba.

Gempa Flores 1992 juga mengantar Pos Kupang masuk jaringan surat kabar dunia. Berita dan foto Pos Kupang dimuat hampir semua kantor berita internasional seperti Reuters, AFP, AP, Yonhap, Xinhua, NHK, Bernama, Antara. Tentu saja merupakan kebanggaan tersendiri bagi kami ketika itu. Foto kapal yang dihempas tsunami hingga terlempar ke darat hampir 100 meter di bibir pantai Maumere karya Wens John Rumung, misalnya, menjadi foto utama Reuters.

Hampir saban malam, Pos Kupang juga mensuplai berita untuk koran-koran daerah yang dirintis Om Valens Doy seperti Surya, Sriwijaya Pos, Serambi Indonesia, Bernas. Cukup sering deadline Pos Kupang terlambat karena kami harus mengutamakan berita untuk koran lain. Om Damy "muka asam" kalau melihat Om Valens Doy sibuk menghubungi berbagai redaksi di daerah lain.

Salah satu pengalaman berkesan saat gempa adalah tentang Kelimutu. Ketika itu Pos Kupang 'kecolongan' dari salah satu koran terbitan Surabaya yang memberitakan danau Tri Warna itu telah kering gara-gara gempa 12 Desember 1992. Om Valens Doy penasaran hebat. "Pos Kupang harus buktikan apakah danau kebanggaan nasional itu sudah kering atau belum," katanya di ruang rapat redaksi.

Om Valens memutuskan untuk menugaskan wartawan daerah di Bajawa, Yosafat Koli yang ketika itu sedang membantu Bonne Pukan di Ende untuk liputan gempa Flores. "Yos, you bagus dalam menulis features. Sekarang you ke Kelimutu," perintah Om Valens via telepon.

Jarak Ende-Kelimutu tidak lebih dari 60 km. Bukan perkara besar kalau kondisi normal. Hanya memerlukan waktu sekitar dua jam untuk sampai di puncak Kelimutu. Nah, masalahnya jalan trans Ende-Maumere putus total akibat longsoran. Yos harus ke Kelimutu dengan berjalan kaki saja. Pengamalan jurnalistik yang fantastik!

Yos patuh pada perintah Om Valens -- meskipun Om Damy sebenarnya agak keberatan karena gempa susulan masih terjadi dan Yos bisa celaka dalam perjalanan. Yos menghabiskan waktu enam hari pergi-pulang Ende-Kelimutu. Tidur di rumah penduduk dalam perjalanan. Om Valens bangga padanya.

Dia membuat tulisan dan gambar yang mematahkan laporan koran Surabaya bahwa Kelimutu kering. Berita itu bohong, spekulatif. Danau Kelimutu masih tetap Triwarna, meskipun akibat gempa terjadi penurunan permukaan tanah di sekitar bibir danau. Pos Kupang menampilkan foto Yosafat Koli dengan latar belakang danau tiga warna.

Celakanya pada kredit foto kiriman Yos yang kini Ketua KPU Kabupaten Ngada itu tertulis: Foto Pos Kupang/Yosafat Koli. Yos kok bisa mengambil gambar dirinya sendiri. Padahal kami semua tahu, kamera yang dipakainya cuma sebuah kodak tua, bukan kamera otomatis. Hans Itta yang mengelola halaman Flobamora bercanda, "Yos apakah yang foto engkau itu setan di Gunung Kelimutu?" Yos pun terbahak-bahak menyadari kekeliruannya.

Mengenang masa-masa awal di Pos Kupang sungguh jauh berbeda dengan kondisi sekarang yang semuanya sudah jauh lebih lengkap dan memadai. Dulu wartawan ke mana-mana mencari berita mengandalkan jalan kaki atau naik angkutan umum. Sekarang umumnya sudah memiliki kendaraan sendiri. Dulu di halaman parkir cuma satu dua sepeda motor, sekarang jumlahnya lusinan. Teknologi komunikasi dan informasi pun begitu pesat. Memudahkan pekerjaan menjadi lebih efisien dan efektif. Zaman memang berubah.


Orang Gila

SKH Pos Kupang hadir di tengah pesismisme sebagian besar pembaca di NTT. Pertanyaan besar adalah apakah koran ini bisa bertahan hidup? Pengalaman kegagalan Kupang Pos kerap menjadi referensi pembanding. Apalagi salah satu tokoh kunci koran harian ini adalah Damyan Godho, koresponden Harian Kompas yang juga merintis lahirnya Kupang Pos yang dengan susah payah sempat melayani pembaca di NTT antara tahun 1978-1986.

Saat acara launching Pos Kupang di Hotel Pantai Timor Kupang, Gubernur NTT dr. Hendrik Fernandez melukiskan para perintis koran ini sebagai "orang-orang gila". Gila karena begitu berani menerbitkan koran harian di daerah minus NTT. Gubernur Fernandez membayangkan betapa beratnya bisnis Pos Kupang karena semua bahan baku harus didatangkan dari Pulau Jawa. Juga sulitnya mendistribusikan koran ke seluruh pelosok Flobamora -- di tengah kendala isolasi wilayah dan sarana prasarana transportasi dan komunikasi yang jauh dari memadai.

"Tetapi NTT ini memang memerlukan 'orang-orang gila' seperti pak Damyan Godho, Valens Doy. Pak Rudolf Nggai. Demi perubahan, harus ada keberanian mengambil resiko. Saya menyambut baik hadirnya Pos Kupang yang akan memberikan pencerahan kepada masyarakat NTT," kata Gubernur Fernandez ketika itu.

Teman-teman kami yang bertugas di kabupaten se-NTT rata-rata mengalami pengalaman yang sama. Ketika memperkenalkan diri sebagai wartawan Pos Kupang, ada saja yang menyambut dengan cibiran. Tidak percaya dan sinis. Ada yang menantang apakah Pos Kupang sanggup melewati masa enam bulan. "Jangan-jangan cuma terbit tiga bulan lalu selesai," demikian komentar dari beberapa orang. Kecaman dan hujatan begitu sering mampir ke redaksi manakala Pos Kupang mulai menjalankan salah satu perannya sebagai alat kontrol sosial.

Ada pengalaman menarik ketika dalam enam bulan pertama kami menerima ribuan pucuk surat kaleng. Surat tanpa nama dan alamat pengirimnya. Kalaupun ada, nama dan alamat palsu. Kantor kami di Jl. Soeharto No. 53 juga sering dihujani batu kelikir pada malam hari. Kami pun digugat secara hukum hingga pengadilan. Kehadiran Pos Kupang mulai dirasakan sebagai 'pengganggu tidur malam' bagi sebagian orang yang merasa kemapanannya terusik.

Kisah di atas cuma secuil kenangan. Setiap angkatan tentu memiliki kisah masing-masing. Semua punya kontribusi membesarkan harian ini sampai usianya 15 tahun (2007)  bahkan hingga kapanpun Pos Kupang bertahan hidup sesuai takdir sejarahnya.

Menjadi wartawan Pos Kupang berarti menjadi anak Nusa Tenggara Timur, anak bangsa Indonesia yang mengabdi untuk sebagian besar yang masih miskin dan papa, tertinggal, terpinggirkan. Mungkin terlalu ideal disebutkan menjadi garam dan lilin bagi sesama. Wartawan Pos Kupang coba merealiasikan visi dan misinya dalam pekerjaan sehari-hari. 

Membantu sesama keluar dari persoalannya atau dalam kata-kata Valens Doy media itu harus memberi benefit bagi publik. Menjelaskan suatu masalah secara proporsional sehingga menjadi referensi, inspirasi, penuntun, pedoman bagi masyarakat. Menyentil tanpa menyakiti. Mengeritik untuk dimaklumi dan menemukan solusi. 

Hanya dengan semangat itulah saya dan siapa pun yang bergabung di lembaga ini boleh dengan bangga memperkenalkan diri: Saya wartawan Pos Kupang, Suara Nusa Tenggara Timur. Wartawan dengan integritas baik. Wartawan yang bisa dipercaya. Keutamaan sikap itu harus tetap terpelihara pada setiap insan yang memilih medan pengabdian lewat lembaga ini. Jika tidak, maka Pos Kupang akan ditinggalkan pembacanya, akan dilupakan dalam penggalan sejarah.  Dari buku: 15 Tahun Pos Kupang.**

Kami tahu diri

PERS mudah tergoda atau terbuai. Tergoda untuk memonopoli informasi. Dan karena itu memonopoli kebenaran yang sesungguhnya tabu bagi siapapun. Pers gampang terbuai situasi dan kondisi. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang otoriter dan represif, pers harus piawai berkelit. Tanpa sadar malah larut dalam iklim anti-demokrasi. Tak berani beda pendapat apalagi melawan arus. Berani melawan berarti menerima resiko pemberangusan.
Maka hadirlah institusi pers yang memang bertahan hidup, tetapi tidak pernah sungguh-sungguh bebas. Dia terbelenggu dalam dunianya sendiri yang dibayangi ketakutan dan tekanan. Sensor ketat adalah pilihan sikap. Mengeritik secara halus menjadi trend pemberitaan hari demi hari. Tak berani menyentuh langsung lembaga kekuasaan apalagi aktor-aktor utama dalam lingkaran kekuasaan itu.
Jelas amat mana yang boleh dan tidak boleh diwartakan. Ada saja yang sakral-sensitif meskipun berhubungan dengan urusan publik. Informasi cenderung top down. Bukan timbal balik. Suara pemerintah adalah menu harian. Apa kata penguasa itulah yang dianggap benar. Padahal fakta yang dilaporkan tidak lagi suci.
Syukurlah. Kita sudah masuk era baru bernama reformasi. Kran kebebasan terbuka lebar. Pers kian independen, tidak lagi menghadapi resiko pemberangusan. Tak ada lagi regulasi yang berbelit dan rumit. Persoalan terbesar justru terletak pada insan pers sendiri karena kebebasan yang lebih besar tidak serta merta mengubah wataknya yang mudah tergoda dan terbuai itu. Pers harus terlibat, tetapi perlu menjaga jarak dan tidak boleh hanyut.
Persoalan pers tetaplah sama. Apakah ia mewartakan yang serba baik dari sisi penguasa atau memihak kepentingan rakyat banyak, mereka yang terpinggirkan? Apakah atas nama kesejahteraan dan demi hidup langgeng -- ia rela berselingkuh dengan kekuasaan yang menindas, berlepotan praktek KKN serta tega menjual kemiskinan untuk keuntungan sekelompok orang?
Zaman berubah, kita tak sanggup menahannya. Kebebasan pers harus disertai tanggung jawab yang nyata wujudnya dalam pengabdian sehari-hari kepada masyarakat luas. Sekali pers mengabaikan aspirasi masyarakat, menomorduakan kebutuhan mereka akan informasi yang jujur dan benar, memetakan persoalan secara adil dan berimbang, maka siap-siaplah untuk ditinggalkan. Kematian pers era keterbukaan ini bukan karena kurang uang atau kurang keterampilan. Pers bisa mati karena dia tidak lagi dipercaya. Menjaga kepercayaan. Itulah tantangan terbesar insan pers, kapan dan di manapun dia berada.
Kami keluarga besar Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang yang hari ini, Kamis tanggal 1 Desember 2005 merayakan ulang tahun ke-13 menyadari pergulatan itu. Pergumulan hidup yang tidaklah enteng dan mudah, semudah membalik telapak tangan untuk menyelesaikannya.
Kami tahu diri. Kami selalu merasa belum memberikan pengabdian terbaik kepada rakyat Nusa Tenggara Timur -- medan pelayanan kami sejak 1 Desember 1992 -- melalui berita yang terbit dalam 4.362 edisi hingga 30 November 2005 kemarin. Puji Tuhan Yang Maha Besar, terima kasih pembaca, mitra kerja terkasih, karena kami tidak pernah tidak terbit selama 13 tahun ini. Kami hanya pernah terlambat terbit. Cukup sering karena beragam kendala teknis.
Kami segera memulai hari baru. Hari pertama tahun ke-14. Kami belum apa-apa. Baru 13 tahun mengabdikan diri untuk masyarakat daerah ini. Tentu saja penuh onak dan duri. Banyak kekurangan. Tapi kami tidak ingin berhenti. Kami terus berikhtiar memberi yang terbaik.
Bermacamragam perasaan kami, warga Pos Kupang pada hari ulang tahun ke-13 ini. Penuh syukur kepada Allah Maha Pengasih, penuh terima kasih kepada khalayak pembaca dan mitra kerja, kami tahu diri dan terbuka akan tuntutan perubahan di dalam lembaga maupun dalam masyarakat NTT. Kehendak dan komitmen untuk tiada henti belajar, berbenah diri serta menghargai tegur sapa. Mohon maaf atas khilaf dan salah. Kami butuh dukungan, butuh kritik. Terima kasih. Salam Pos Kupang, Kamis 1 Desember 2005. (dion db putra)

Tidak ada pilihan lain

KECELAKAAN lalulintas di Timor Tengah Selatan (TTS) tanggal 4 November lalu sungguh membuat kita sedih dan prihatin. Lima warga Desa Naukae, Kecamatan Amanuban Barat tewas setelah truk Putra Mulia yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Truk naas yang mengangkut 64 penumpang itu terbalik dan masuk jurang.
Menurut keterangan pihak kepolisian, sopir truk kehilangan kendali saat melewati tingkungan tajam di Desa Neonmat, Kecamatan Amanuban Barat, TTS. Selain lima orang tewas, sebanyak 45 penumpang lainnya mengalami luka berat. Warga Desa Naukae yang menumpang truk itu sedang dalam perjalanan pulang dari Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang mengikuti acara pesta pernikahan.
Kebahagiaan keluarga mengikuti perta pernikahan berakhir duka. Kita turut berduka cita untuk keluarga korban yang tewas serta mengharapkan para korban luka-luka segera sembuh dan kembali ke tengah keluarganya. Untuk sopir dan pemilik truk naas itu proses hukumnya sedang ditangani aparat kepolisian setempat.
Bukan pertama kali terjadi kecelakaan lalulintas seperti di TTS itu. Kecelakaan serupa sudah berulangkali terjadi di berbagai daerah di NTT. Dan, kita pun tidak merasa terkejut jika truk yang seharusnya untuk memuat barang malah mengangkut manusia dalam jumlah melebihi kapasitas angkutnya. Memang demikianlah kenyataan sehari-hari di wilayah ini. Wilayah yang serba kekurangan, serba terbatas terutama bagi warga pedalamaan atau masyarakat pedesaaan. Begitulah, kita merasa wajar-wajar saja melihat truk mengangkut manusia -- sesuatu yang tampak ganjil bagi orang dari daerah lain yang sudah lebih maju dan berkembang.
Kenapa mereka tidak menggunakan angkutan bus antar kota dalam propinsi yang lebih nyaman dengan kapasitas angkut sesuai kursi yang tersedia? Mudah menjawab mengapa warga Desa Naukae memilih truk sebagai sarana angkutan menuju Oesao dan kembali lagi ke kampung halamannya. Itulah sarana angkutan darat yang mudah dan murah. Truk mudah didapat dan biayanya terjangkau kantong masyarakat desa. Bagi mereka tak ada pilihan lain. Truk mengangkut manusia. Kita tidak perlu merasa malu mengakui kenyataan ini.
Sarana angkutan pedesaan di wilayah kita sangatlah minim. Jika menelusuri lebih jauh kita akan menemukan banyak fakta menarik. Misalnya, jarang kita temukan bus angkutan pedesaan adalah kendaraan yang baru dibeli pengusaha angkutan. Umumnya masyarakat desa memakai kendaraan bekas yang usia pemakaiannya sudah melampuai batas normal.
Celakanya lagi kondisi laik jalan bagi kendaraan umum itu tidak terdeteksi. Dalam bahasa masyarakat, mobil tua masuk kecamatan dan desa. Yang baru khusus warga kota. Ada juga pengusaha yang berkreasi dengan memodifikasi jenis kendaraan tertentu seperti mobil pick-up menjadi angkutan umum. Sekali lagi fakta semacam itu kita anggap biasa-biasa saja dan mereka yang seharusnya bertanggung jawab merasa tak peduli. Bukan urusannya!
Masalah lain yang juga mengiris perasaan adalah kondisi jalan ke desa-desa di NTT. Secara umum sarana vital bagi masyarakat itu sangat buruk. Jangan bayangkan jalan berlapis aspal hotmix. Yang jamak adalah jalan tanah-berkerikil-berbatu. Berlubang di sana-sini, tanpa deker dan jembatan. Tanpa drainase yang memadai.
Hanya sopir yang piawai dan berpengalaman dapat menjalankan kendaraannya dengan aman dan selamat. Dalam banyak kasus kecelakaan lalulintas di wilayah ini tidak semata karena faktor kelalaian manusia, tetapi kondisi jalan yang buruk turut memberi andil terjadinya kecelakaan yang membawa korban jiwa.
Mudah-mudahan kecelakaan lalulintas di TTS pada tanggal 4 November 2005 itu membuka mata hati dan pikiran pimpinan instansi terkait untuk lebih peka dan bertanggung jawab. Kesalahan tidak bisa semata-mata kita timpakan kepada sopir truk naas itu. Siapa pun berpeluang mengalami kecelakaan lalulintas. Tetapi kecelakaan bisa diantisipasi, dapat diminimalisir jika semua pihak peduli. Salam Pos Kupang, 7 November 2005. (dion db putra)

Mental tunggu laporan

RENAI hujan mulai membasahi bumi Timor yang gersang. Juga Sumba, Alor dan Rote pada medio Oktober 2005. Belum seberapa tetapi menyegarkan dahaga, mendinginkan terik mentari. Syukur kita atas kemurahan alam. Hujan adalah kisah harian di Flores bagian barat. Ngada, Manggarai, Manggarai Barat. Warta baru selalu di timur. Dan, hujan telah membasahi sebagian tanah Ende, Sikka, Flores Timur dan Lembata. Hujan baru sehari sudah makan korban. Di Kabupaten Sikka. Jembatan Napun Seda putus, hanyut diseret banjir. Arus lalulintas Maumere-Larantuka putus total!
Akhirnya, bencana kembali melanda tanah kita -- Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Setiap musim hujan tiba kita hampir tidak pernah luput dari cerita duka-nestapa. Salahkan alam? Tidak. Kita malah seharusnya berterima kasih atas peringatan dini tersebut. Peringatan bahwa bencana alam merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita di kawasan ini dan di manapun kita bermukim.
Masalah kita selalu sama dari waktu ke waktu, dari musim ke musim. Bencana dulu baru kaget-terkejut. Buru-buru, terlihat sibuk turun lapangan memberikan bantuan. Berkata-kata tentang pertolongan. Berteriak sambil menadahkan tangan meminta bantuan natura dan uang. Kita belum sepenuhnya bersikap dan bertindak antisipatif. Kita belum terbiasa membangun sistem kerja yang terencana menghadapi kemungkinan bencana alam. Kita bahkan mudah lupa. Gampang mengaburkan ingatan akan kejamnya alam yang merenggut nyawa anak, istri, saudara, sahabat, orang-orang yang kita kasihi.
Hujan yang telah tiba. Sudah sepantasnya kita sambut dengan sikap proaktif menyiapkan segala sarana dan sumber daya untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Musim hujan di NTT tidak sekadar berkah bagi petani, mayoritas penghuni propinsi ini. Hujan senantiasa diikuti masalah yang tidak kecil dan sederhana.
Banjir akan merusak jalan dan jembatan. Transportasi darat macet dan tersendat. Hujan mengganggu transportasi laut karena gelombang tinggi dan badai. Kapal-kapal akan berhenti berlayar. Membuang sauh di pelabuhan demi keselamatan. Hujan juga merepotkan jasa penerbangan udara di propinsi kepulauan ini.
Jika tiga matra transportasi itu terganggu mudah sekali kita menebak dampaknya. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Tidak mudah pula mendapatkan barang di pasaran. Betapa sulitnya bepergian untuk sesuatu urusan.
Pergantian musim di wilayah ini juga diwarnai beragam penyakit. Hujan telah tiba, maka waspadailah penyakit yang saban tahun selalu menelan korban jiwa. Daerah kita langganan Kejadian Luar Biasa (KLB) diare dan deman berdarah (DBD) serta beragam penyakit lainnya. Diare sudah merenggut nyawa di berbagai daerah di NTT dalam tiga bulan terakhir. Tidak lama lagi demam berdarah akan menyusul dengan daya terkam yang mematikan.
Sudah siapkah kita? Sudahkah kita merencanakan tindakan yang cepat dan tepat? Jangan-jangan mental kita masih seperti kemarin. Mental tunggu laporan. Mental kerja serabutan, semau gue, asal bapak senang, kerja tanpa tanggung jawab, tanpa hati untuk meringankan penderitaan sesama.
KLB penyakit bakal datang. Tinggal menunggu saatnya. Sudah sepatutnya stok obat tidak lagi menjadi masalah. Sudah seharusnya rumah sakit mengantisipasi membludaknya pasien agar lorong-lorong dan ruangan tidak dijejali manusia seperti waktu yang lalu. Semua pihak hendaknya membuka otak, mata dan hati. Kewaspadaan menghadapi bencana dan penyakit menuntut tanggung jawab semua orang.
Pemerintah yang terdepan dalam urusan ini. Anda yang memakai simbol negara, burung Garuda, bendera Merah Putih janganlah berpangku tangan-diam. Tengoklah ke bawah, lihatkan ke kiri dan ke kananmu. Tinggalkan sejenak kursi empukmu, ruangan berpendingin sejuk-harum.
Waspada dan siap bergerak kapan pun dibutuhkan. Lebih cepat lebih baik karena bencana dan penyakit tak pernah memberi tahu kapan ia hadir dengan segala ancaman dan resikonya. Salam Pos Kupang, 22 Oktober 2005. (dion db putra)

Wajah sepakbola kita

BENANG kusut dalam tubuh Pengurus Pusat Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) seolah tergenapi dengan mundurnya juara bertahan Persebaya Surabaya di babak delapan besar Liga Indonesia 2005. Keputusan manajemen klub Persebaya itu tidak sekadar mengejutkan penggemar sepakbola di tanah air, tetapi membuat wajah persepakbolaan nasional semakin buruk rupa.
Mundur di tengah kompetisi bergulir jelas anti-fair play, mencederai sportivitas dan mengkhianati jiwa olahragawan sejati. Apapun alasannya, keputusan manajemen Persebaya tersebut patut disesalkan banyak pihak.
Mengikuti laporan media massa, setidaknya ada dua alasan Persebaya mundur sebelum pertandingan akhir babak delapan besar Grup Barat. Pertama, demi membela pendukung fanatiknya yang populer dengan nama Bonek (bondo nekat). Selama berada di Jakarta untuk membela tim kesayangannya, bonek disiksa, dianiaya serta mendapat intimidasi. Sebagian bonek juga dipulangkan secara paksa. Kedua, mencegah kerusuhan di Ibu kota Jakarta bila Persebaya tetap bermain melawan tuan rumah Persija Pusat, Rabu (21/9) petang.
Kedua tim papan atas Liga Indonesia tersebut sama-sama memiliki fans fanatik. Jika Persebaya memiliki Bonek, Persija mempunyai Jakmania. Bisa terjadi bentrok fisik yang hebat mengingat pertandingan akhir itu sangat menentukan nasib Persija lolos ke babak final guna menghadapi pemenang Grup Timur.
Alasan manajemen klub Persebaya tersebut dapat dimengerti tetapi masih mungkin dipersebatkan atau didiskusikan. Soal peluang, Persebaya tidak memiliki harapan lagi untuk lolos ke final sekaligus berusaha mempertahankan gelarnya karena baru mengoleksi satu poin hasil sekali seri dan sekali kalah.
Kalaupun menang atas Persija, peluangnya tipis untuk lolos ke grandfinal karena tim lainnya yaitu PSM Makassar dan PSIS Semarang memiliki poin lebih baik. Menjadi pertanyaan apakah Persebaya tetap mundur demi membela Bonek dan mencegah kerusuhan ibu kota bila peluangnya sangat besar masuk ke final? Tidak mudah menjawab pertanyaan krusial ini. Kekhawatiran Persebaya akan terjadinya kerusuhan di Jakarta meremehkan kemampuan para petugas keamanan menyukseskan kejuaraan sepakbola paling bergengsi ini.
Mundurnya Persebaya melapangkan jalan bagi tuan rumah Persija masuk final tanpa memeras keringat. Tetapi sangat merugikan dua tim lainnya yaitu PSM Makassar dan PSIS Semarang. Peluang mereka langsung sirna dengan mundurnya Persebaya karena apapun hasil pertandingan kedua tim itu tidak akan mempengaruhi posisi Persija.
Keputusan Persebaya sungguh tidak ksatria. Egois dan merugikan orang lain yang berusaha meraih kemenangan melalui kerja keras. Melecehkan lembaga PSSI karena Piala Presiden RI, lambang supremasi tertinggi sepakbola nasional bahkan titipkan lewat wartawan. Persebaya tidak menyerahkan secara langsung kepada Pengurus Pusat PSSI. Benar-benar sebuah dagelan yang tidak lucu. Sikap itu sungguh melukai perasaan puluhan bahkan ratusan juta penggemar sepakbola di tanah air yang merindukan suguhan permainan bola yang memikat dalam semangat sportivitas.
Begitulah wajah sepakbola kita. Berlepotan lumpur. Menyembulkan sikap dan tindakan yang memalukan. Sudah pasti kita ditertawakan negeri tetangga atau lembaga resmi sepakbola semisal Federasi Sepakbola ASEAN (AFF), Konfederasi Sepakbola Asia (AFC) dan Federasi Sepakbola Internasional (FIFA). Sanksi bukan mustahil segera menghampiri PSSI karena dianggap gagal menggelar kompetisi nasional secara profesional dan menjunjung tinggi fair play.
Keputusan Persebaya itu menambah deretan masalah bagi PSSI yang selama ini memang sudah memikul segunung masalah rumit sejak Ketua Umum PP PSSI, Nurdin Halid menjalani proses hukum karena kasus dugaan korupsi. Roda organisasi PSSI sudah berjalan limbung semenjak Nurdin Halid berada di balik jeruji tahanan. Sempat mengemuka desakan agar Nurdin mundur secara ksatria. Nurdin tak bergeming karena ia menunggu vonis hukum tetap dari lembaga peradilan. Dia berkali-kali memberi jamiman bahwa ia mampu menakhodai PSSI dari balik tembok tahanan.
Apa yang terjadi sekarang? Tidak perlu berpanjang kata menjelaskan musabab dan implikasinya. Pengunduran diri Persebaya di tengah kompetisi mencerminkan betapa kita tidak mampu mengelola roda kompetisi secara profesional. Betapa jagat olahraga kita masih penuh dengan kepentingan sempit, sesaat, koruptif dan manipulatif.
Bukan hanya bangsa kita yang dekat dengan skandal ketidakjujuran atau anti-fair play dalam sepakbola. Skandal itu juga terjadi di belahan lain bumi ini. Tetapi mereka jauh lebih siap dan sigap menemukan solusi terbaik untuk membangun kembali sepakbolanya. Kasus Persebaya membuat persepakbolaan nasional seolah kembali ke titik nol karena citra yang terbentuk begitu buruk dan menyedihkan. Mudah-mudahan tidak menular ke tempat kita di sini yang dalam hitungan hari lagi menggelar kejuaraan paling bergengsi, El Tari Memorial Cup 2005 di Ruteng, Manggarai. Salam Pos Kupang, 22 September 2005. (dion db putra)

Keistimewaan Manggarai Barat

BANYAK hal menarik tentang Manggarai Barat. Inilah kabupaten baru hasil pemekaran dari induknya Kabupaten Manggarai sekitar dua tahun yang lalu. Manggarai Barat tercatat sebagai kabupaten hasil pemekaran ketiga di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) setelah Lembata dan Rote Ndao. Lembata adalah kabupaten pemekaran dari Flores Timur, sedangkan Rote Ndao dari induknya Kabupaten Kupang.
Dibanding Lembata dan Rote Ndao, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) memiliki kisah tersendiri dalam hal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Saat memilih pasangan kepala daerah, Lembata dan Rote Ndao masih mengacu pada ketentuan UU No. 22 tahun 1999. Di sana terpilih pasangan bupati dan wakil bupati. Tetapi mereka dipilih oleh wakil rakyat (DPRD). Pasangan bupati dan wakil bupati Lembata serta Rote Ndao bukan hasil pilihan rakyat secara langsung.
Di sinilah letak keistimewaan Kabupaten Manggarai Barat. Sebagai kabupaten pemekaran paling bungsu di Propinsi NTT, sejarah menempatkan rakyat daerah ujung barat Pulau Flores itu memilih pemimpinnya secara langsung. Acuannya pun sudah berbeda yaitu UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Kita semua sudah mengetahui hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) di Manggarai Barat tanggal 27 Juni 2005. Pasangan Drs. W Fidelis Pranda dan Drs. Agustinus Ch Dula terpilih sebagai bupati dan wakil bupati. Duet ini meraih mayoritas suara rakyat Manggarai Barat.
Rakyat memilih langsung. Demikianlah yang membedakan Manggarai Barat dengan daerah pemekaran lainnya. Mabar mencatat sejarah sebagai kabupaten di NTT yang memiliki bupati dan wakil bupati definitif pilihan rakyat sendiri. Jelas beda legitimasinya. Pemimpin pilihan rakyat pastilah lebih kuat dan kokoh. Lebih mengakar karena memang itulah kehendak suara mayoritas rakyat yang sejatinya pemilik kedaulatan tertinggi dalam demokrasi.
Kuatnya legitimasi ini merupakan modal utama bagi duet W Fidelis Pranda-Agustisnus Ch Dula menakhodai Mabar dalam kurun waktu lima tahun ke depan (2005-2010). Namun, legitimasi yang kuat-kokoh tersebut sekaligus menuntut jaminan dari Pranda-Dula untuk mempersembahkan karya terbaik bagi seluruh rakyat Manggarai Barat selama masa kepemimpinan mereka. Kepalda duet pemimpin ini rakyat Manggarai Barat menggantungkan harapannya. Dan, harapan tersebut harus diwujudnyatakan. Tidak bisa tidak. Jika rakyat merasa kecewa, maka legitimasi yang begitu besar itu akan sirna dalam sekejap.
Beruntunglah rakyat Mabar memilih pasangan Pranda-Dula. Wilfridus Fidelis Pranda bukan orang baru bagi rakyat Mabar. Selama lebih dari setahun, Fidelis Pranda telah menjadi motor penggerak roda pemerintahan dan pembangunan dalam kapasitasnya sebagai Penjabat Bupati Manggarai Barat.
Dengan kata lain, Fidelis Pranda tidak memulai dari nol. Dia sudah menjejakkan langkah di bumi Mabar. Sudah ada titik pijakan. Sekarang tinggal mengayunkan langkah-langkah selanjutnya dengan lebih baik. Paling tidak, dengan pengalamannya sebagai penjabat bupati, Fidelis Pranda memahami peta permasalahan yang dihadapi rakyat Manggarai Barat. Potensi dan titik kuat kabupaten itu. Dia pun sudah tahu kira-kira apa yang segera dikerjakan dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Sebagai pamong praja tulen, Pranda memiliki kapasitas sebagai kepala daerah. Demikian pula dengan Agustinus Dula. Pengalamannya mengabdi bertahun-tahun sebagai pamong praja akan menambah kekuatan duet pemimpin tersebut yang akan dilantik Gubernur NTT, Piet A Tallo, S.H, Senin (29/8) ini.
Sama seperti kabupaten induknya, Manggarai Barat memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah. Salah satu sumber daya alam yang belum digarap maksimal adalah obyek-obyek wisata. Sebut misalnya Taman Nasional Komodo (TNK) dan pulau-pulau eksotik di perairan Labuan Bajo dan sekitarnya.
Bukan rahasia lagi kalau kawasan TNK dan Labuan Bajo sekadar tempat persinggahan wisatawan manca negara dan lokal. Kita menyebut sekadar tempat persinggahan karena obyek wisata tersebut sesungguhnya belum memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat Manggarai Barat. Obyek wisata yang indah dan menarik itu justru memberikan keuntungan bagi propinsi tetangga yang lebih piawai dan profesional dalam mengelola industri pariwisata. Paket wisata Bali dan NTB selalu melibatkan TNK dan Labuan Bajo. Ke sanalah mereka mengarahkan wisatawan dan mereka meraih lembaran dolar. Adakah keuntungannya bagi Mabar?
Kita lebih kerap mendengar masalah demi masalah ketimbang kisah sukacita. Ketika terumbu karang rusak karena bom, pencurian ikan hias dan soal-soal lainnya mengemuka, pemerintah Mabar disebut kurang bertanggung jawab.

Sudah saatnya pemerintah Kabupaten Mabar menata diri lebih baik. Memanfaatkan karunia kekayaaan flora dan fauna di sana untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya sendiri. Salam Pos Kupang, 29 Agustus 2005. (dion db putra)

Keberanian Trans Nusa dan komitmen pemda

PENGUSAHA NTT kembali memberikan sumbangan berharga bagi pembangunan daerah. Konsorsium sejumlah pengusaha muda NTT membuat terobosan berani yaitu membuka usaha di bidang penerbangan udara (airlines) di NTT. Mereka hadir lewat PT Trans Nusa Air Services yang kantor operasinya di Jalan Sudirman Kuanino-Kupang sudah diresmikan dua hari lalu.
Kita sebut langkah berani karena terobosan itu lahir di tengah kehidupan perusahaan penerbangan di tanah air sedang ramai dengan gejolak.
Menyimak laporan media massa belakangan ini, beberapa maskapai penerbangan terancam gulung tikar karena kalah dalam persaingan yang semakin ketat maupun karena masalah manajemen. Bahkan maspakai penerbangan milik negara (BUMN) membutuhkan "pertolongan" berupa suntikan dana segar agar tetap survive dan melayani masyarakat.
Kita di daerah kepulauan ini biasanya langsung merasakan dampak dari gejolak maskapai penerbangan. Ketika salah satu armada penerbangan tidak beroperasi karena suatu sebab, terjadilah antrean panjang calon penumpang. Terjadi rebutan seat yang cukup sering terpaksa berlangsung kurang fair. Banyak yang harus tergeser dan digeser. Pilihan sarana transportasi alternatif seperti kapal laut pun sangat terbatas dengan jadwal yang belum tentu sesuai tuntutan kebutuhan seseorang melakukan perjalanan.
Kenyataan demikian sudah berlangsung sejak lama dan kita sudah menganggapnya sebagai hal biasa. Kita memakluminya. Syukurlah beberapa waktu terakhir kondisinya sudah jauh lebih baik dengan masuknnya armada penerbangan baru ke NTT seperti Lion Air dan Adam Air. Mereka akan menambah pilihan bagi masyarakat pengguna jasa transportasi udara selain maskapai yang sudah lebih dulu hadir di sini seperti Merpati Nusantara Airlines (MNA), Batavia Air, Star Air, Pelita dan Bouraq. Tetapi armada penerbangan tersebut umumnya memilih jalur Kupang-Denpasar, Surabaya dan Jakarta PP. Dengan kata lain, mereka baru menjadi jembatan udara antara ibu kota Propinsi NTT dengan kota-kota utama di Pulau Jawa, Sulawesi, Sumatera.
Persoalan klasik kita di sini belum bergeser jauh yaitu langkanya jembatan udara antara Kupang dengan berbagai kota kabupaten di NTT. Pada masa lalu, MNA adalah pioner dan perintis yang jasanya tidaklah kecil bagi perkembangan dan kemajuan daerah ini. Namun, kondisinya sudah berubah sekarang. Armada Merpati yang menghubungkan Kupang dengan kota kabupaten di Sumba, Alor dan Flores sangat terbatas. Maka kehadiran Trans Nusa yang memilih jalur transportasi lokal NTT sebagai medan pelayanannya bagaikan oase di tengah gurun. Trans Nusa Air Services menjadi warta gembira bagi 4 juta penduduk Flobamora.
Kabar itu terasa lebih bermakna lagi karena maskapai penerbangan tersebut adalah usaha dari anak-anak NTT sendiri. Persembahan putra daerah! Melihat tokoh di belakang usaha tersebut seperti Niti Susanto dan Djojana, kita tidak meragukan dedikasi, integritas dan komitmennya. Mereka adalah pengusaha NTT terkemuka yang pengabdiannya bagi daerah ini sudah terbukti dan teruji.
Tidak berlebihan bila semua pihak di daerah ini menyambut positif kehadiran Trans Nusa Air sambil memberikan dukungan agar usaha mereka berjalan sukses untuk dua tujuan mulia: Melayani masyarakat NTT dengan lebih baik dan sisi bisnisnya bisa berkembang maju.
Harapan pertama kita sampaikan kepada pemerintah daerah (pemda). Direktur PT Trans Nusa Air Services Kupang, Juvenile Djojana mengungkapkan, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten di NTT (gubernur/bupati) sudah memberikan rekomendasi dukungannya terhadap Trans Nusa Air.
Menurut pandangan kita, dukungan tersebut tidak cukup sekadar rekomendasi di atas kertas. Dukungan nyata menyambut kehadiran Trans Nusa yang mulai terbang awal Agustus 2005 adalah membenahi fasilitas lapangan terbang atau bandara di sejumlah daerah yang kondisinya masih jauh dari memadai. Sebut misalnya kondisi lapangan terbang di So'a (Kabupaten Ngada), Wunopito (Lembata), Larantuka, Rote, Sabu, Atambua, Ruteng dan lainnya.
Landasan pacu yang pendek akan menjadi masalah tersendiri bagi pesawat turbopropeler jenis ATR 42 yang dioperasikan Trans Nusa Air Services. Tersedianya fasilitas pendukung seperti mobil pemadam kebakaran dan fasilitas lain kiranya perlu menjadi perhatian pemerintah daerah melalui Dinas Perhubungan setempat -- mengingat faktor kenyamanan dan keselamatan penumpang merupakan kunci utama pelayanan jasa transportasi udara.
Sikap mental masyarakat kita juga harus berubah. Mulailah dari hal-hal kecil dan sederhana. Misalnya tidak membiarkan hewan peliharaan semisal sapi, kerbau, kuda dan kambing melintas bebas di landasan pacu bandara atau menggunakan run way layaknya jalan raya umum untuk kendaraan bermotor. Akhirnya, yang tidak kalah penting adalah bagaimana wujud pelayanan Trans Nusa Air sendiri. Kiranya motto Kami hadir untuk melayani Anda tidak sekadar retorika. Jika pelayanan Trans Nusa Air memuaskan masyarakat, maka keberhasilan bukan sesuatu yang muskil. Selamat mengarungi angkasa NTT! Salam Pos Kupang, 27 Juli 2005. (dion db putra)

Hari pencoblosan

PROPINSI Nusa Tenggara Timur (NTT) akhirnya sampai juga pada tahap pelaksanaaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Hari ini, Senin tanggal 27 Juni 2005, tiga kabupaten akan serentak melaksanakan pilkada langsung tersebut yakni Kabupaten Ngada, Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Barat.
Kita ingin mencatatnya sebagai sebuah tonggak sejarah dalam kehidupan demokrasi lokal NTT. Kita memilih kata akhirnya, karena proses pemilihan kepala daerah secara langsung ini diwarnai beragam soal yang sama-sama kita ikuti dengan seksama sejak awal. Kekhawatiran sempat menyeruak, ada rasa kurang percaya, kurang yakin bahkan kurang percaya diri. Muncul pertanyaan, apakah kita mampu melaksanakannya? Yang tidak kalah menarik adalah tersembulnya perasaan curiga. Jangan-jangan pilkada tidak terlaksana secara demokratis dan sungguh menghasilkan pemimpin idaman rakyat.
Ternyata persiapan penyelenggara pilkada di tiga daerah itu cukup baik dan memadai. Setidaknya sampai hari ini. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan, KPUD setempat sudah melaksanakan mekanisme, prosedur dan ketentuan yang berlaku. Demikian para aktor pilkada, baik itu unsur partai politik, para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah juga masyarakat. Kita tidak menutup mata terhadap keluhan di sana-sini, misalnya perasaan kecewa, tidak adil dan tersingkir -- tetapi sejauh ini agaknya masih bisa teratasi dengan baik. Masih adalam koridor kebersamaan dan tekad kuat bahwa pilkada haru sukses dalam pelaksanaannya.
Inilah modal yang kita garisbawahi dan kita ingatkan sebagai ucapan mengantar para pemilih di Ngada, Manggarai dan Manggarai Barat berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) hari ini. Jangan abaikan "modal demokrasi" tersebut yang kita kerjakan bersama dengan susah payah semenjak mempersiapkan proses pilkada di daerah masing-masing.
Ada tiga catatan kecil yang kita anggap pantas untuk dikedepankan sekali lagi di ruangan ini. Pertama, kita ajak rakyat Ngada, Manggarai dan Manggarai Barat yang berhak memilih dan sudah terdaftar resmi agar menggunakan hak tersebut secara baik dan bertanggung jawab. Datangilah TPS-TPS di daerahmu. Pilihlah calon pemimpin sesuai pertimbangan akal sehat dan bisikan hati nuranimu yang tak mungkin menipu. Adalah lebih baik dan bijaksana kita memilih para calon yang ada ketimbang memilih untuk tidak memilih alias golput (golongan putih). Kita percaya rakyat ketiga daerah itu (dan rakyat daerah lainnya yang akan melaksanakan pilkada 30 Juni 2005) akan memilih pergi ke TPS. Dengan memilih secara benar, Anda bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Sudah sering dikatakan bahwa pilkada perdana di Indonesia tak mungkin menghasilkan pemimpin yang ideal karena prosesnya saja menemui banyak kendala dan kekurangan. Tetapi kenyataan ini tidak bisa kita pungkiri. Pengalaman pertama selalu disertai kekurangan bahkan kesalahan. Dalam terang demokrasi hal serupa itu wajar saja. Tidak pernah ada sistem yang sempurna. Kesalahan dan kekurangan akan menjadi pelajaran berharga untuk perbaikan di masa depan.
Kedua, kita ajak semua pihak agar mau menjadi mata dan telinga demi pilkada yang jujur dan demokratis. Persoalan yang selalu muncul pasca pemilihan adalah penghitungan surat suara. Kecurangan akan terjadi di sini. Kecurangan bisa terjadi di tingkat TPS, dari PPS ke PPK atau dari PPK ke KPUD. Mengingat kondisi geografis wilayah kita yang rumit serta akses komunikasi dan transportasi yang jauh dari memadai, kecurangan atau ketidakjujuran sangat mungkin terjadi. Mari kita berlaku jujur dan adil. Dibutuhkan keberanian semua pihak untuk melawan ketidakjujuran agar pilkada menghasilkan pemimpin yang benar-benar dipilih rakyat!
Hal terakhir yang tak kalah penting adalah menerima hasil pilkada 27 Juni 2005. Dalam kurun waktu sepekan ini kita akan mengetahui siapa yang menang dan siapa saja yang kalah. Yang menang hendaknya tidak membusungkan dada dengan melecehkan orang lain. Yang kalah kiranya lapang dada dan kepala tetap tegak. Ajakan seperti ini memang terkesan klise tetapi jangan lupa bahwa sungguh tidak mudah merealisasikannya. Pengalaman mengajarkan kita selalu saja muncul upaya melawan secara tidak bertanggung jawab dari pihak yang kalah. Kita harap tidak terjadi di sini. Tidak muncul dari bumi Flobamora.
Tengoklah lebih dari 20 daerah lainnya di Indonesia yang sudah melaksanakan pilkada dalam bulan Juni 2005 ini. Bahwa ada ketidakpuasan, ada onak dan duri, ada kelemahan, mereka toh dapat melaksanakan pilkada secara damai dan bisa menerima hasil akhirnya dengan jiwa besar. Tanpa hura-hara dan ribut. Kita -- anak NTT harus mampu seperti mereka bahkan harus lebih baik. Biarlah kita mengawali tonggak sejarah demokrasi langsung ini dengan catatan manis yang pantas dikenang sampai kapan pun. Selamat mencoblos! Salam Pos Kupang, 27 Juni 2005. (dion db putra)

Nomor 9949

SEJAK dua hari lalu, Anda mungkin sudah mengirim pesan singkat (Short Message Service) atau SMS kepada Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui nomor 9949. Kalau belum, cobalah sekarang juga karena pesan Anda dijamin terkirim dan akan langsung mendapat jawaban demikian, "Terima kasih atas partisipasi Anda dan pesan Anda telah kami terima. Ttd Presiden Republik Indonesia".
Kapan dan bagaimana tanggapan presiden terhadap substansi masalah yang Anda sampaikan, siapa pun tak dapat memastikannya. Toh Presiden SBY melalui tim kerjanya memerlukan waktu untuk menganalisa lebih lanjut. Apakah pesan, informasi, keluhan atau pengaduan Anda termasuk kategori urgen atau sekadar sapaan dari rakyat kepada pemimpinnya. "SMS itu info awal, tentu harus diolah, dianalisis, disimpulkan dan ditindaklanjuti," kata presiden saat mengumumkan nomor itu di Jakarta, Rabu (15/6).
Nomor pengaduan, kotak saran atau apapun namanya sebenarnya bukan hal baru dalam praktek birokrasi pemerintahan di Indonesia. Langkah seperti itu sudah kerapkali digulirkan para pemimpin instansi pemerintah atau lembaga publik lainnya. Begitu gegap-gempita pada awalnya tetapi kemudian hilang begitu saja. Masalah yang muncul adalah pengaduan masyarakat tidak mendapat tanggapan balik secara transparan, bertanggung jawab dan tepat sasaran sehingga lama kelamaan masyarakat merasa bosan karena tidak ada manfaatnya sama sekali memberikan pengaduan.
Dengan pengalaman itu kita ingin menggarisbawahi bahwa layanan SMS dan kotak pos Presiden RI nomor 9949 tersebut kiranya kita sambut gembira tetapi dengan sikap kritis. Jangan sampai terbuai dan serta-merta percaya sepenuhnya bahwa dengan mengirim pesan langsung kepada presiden segala harapan kita akan segera terjawab, akan langsung mendapat tanggapan balik dari seorang kepala negara. Pekerjaan seorang presiden di negara ini tidak hanya membaca SMS.
Waktu jua yang akan menguji apakah terobosan Presiden SBY membuka media komunikasi langsung dengan rakyat Indonesia itu cukup efektif dan berhasil guna ataukah sekadar retorika seorang pemimpin yang ingin tetap mengayomi, menghargai dan menghibur hati rakyatnya yang penat oleh beragam kerumitan hidup.
Langkah terobosan kepala negara tersebut berpeluang gagal jika tim kerja di Kantor Kepresidenan, para anggota kabinet dan jajaran pemerintahan hingga ke level terendah tidak sigap merespon masukan, usul, saran, pendapat atau keluhan masyarakat ke nomor layanan 9949. Sebaliknya, jika rakyat sungguh merasakan manfaat kehadiran "Nomor Istana" tersebut maka Presiden SBY akan tetap mengisi ruang batin mayoritas rakyat negeri ini yang memberikan kepercayaan kepadanya dalam pemilihan umum 2004.
Dalam perspektif komunikasi politik dan demokrasi cara presiden itu positif. Presiden memberi tahu rakyat Indonesia bahwa keterbukaan seorang pemimpin sebagaimana yang kerap dikatakannya tidak sekadar basa-basi. Dia siap dikritik, disentil, diingatkan oleh rakyat sendiri. Dengan membuka nomor layanan SMS dan kotak pos, Presiden SBY sadar bahwa media tersebut berpeluang "disalahgunakan" oleh orang atau kelompok orang yang mungkin tidak suka atau memusuhinya.
Sebagai nomor untuk khalayak umum tidak ada batasan tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh masuk ke sana. Masyarakat bisa mengirim apa saja ke nomor 9949 tersebut. Mengemasnya dengan bahasa rakyat, dengan kata-kata mereka sendiri. Tidak butuh kata-kata yang indah. Yang penting jelas pesannya agar presiden mengerti. Inilah keberanian pemimpin tertinggi kita-- pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia.
Kita ingin mengajak semua pihak di sini untuk memanfaatkan nomor tersebut secara etis, rasional dan bertanggung jawab. Kirimlah pesan singkat atau surat yang berbobot kepada presiden. Ingatlah selalu bahwa apa yang Anda katakan itu langsung kepada seorang presiden, kepala negara, kepala pemerintahan tertinggi di Indonesia. Adalah kewajiban kita sebagai rakyat untuk menghargai dan menghormatinya. Sebagai layanan Kepala Negara agaknya perlu diingat bahwa nomor itu menjadi pusat perhatian. Nomor kelas utama. Tidak ada manfaatnya kalau kita sekadar iseng atau membual.
Kita yakin pesan berbobot pasti ditanggapi. Cantumkan nama dan alamat yang jelas. Beberkan fakta dan data yang benar, bukan karangan belaka, tidak hujatan atau fitnah. Presiden menjamin kerahasiaan pengirim untuk pengaduan kasus-kasus yang sensitif dan beresiko tinggi, misalnya, praktek KKN yang sedang menjadi pekerjaan raksasa pemerintahan SBY. Kiranya demikian cara kita merespon keterbukaan presiden dengan membuka media komunikasi langsung tersebut.
Langkah terobosan presiden semoga membuka mata jajaran pemerintah di daerah ini bahwa gap komunikasi dengan rakyat harus ditebas habis dengan kesungguhan hati. Tidak masanya lagi duduk manis di belakang meja, marah-marah kalau belum ada laporan dari bawah. Toh rakyat bisa langsung melapor kepada presidennya! Salam Pos Kupang, 17 Juni 2005. (dion db putra)

Jika masih punya rasa malu

KETIKA ada laporan tentang rawan pangan di berbagai daerah di NTT awal tahun ini diterima dengan rasa ragu, kurang percaya dan menganggap media massa cenderung membesar-besarkannya -- agaknya kita masih bisa menerima sebagai perbedaan pandangan.
Kita dapat memahami, mengerti dan memaklumi bahwa ada rasa kurang enak hati untuk mengakui bahwa daerah ini memang selalu saja memikul penyakit tahunan bernama rawan pangan. Kita menyadari tidak mudah mengaku jujur tentang kelaparan karena gengsi kerapkali lebih dijunjung tinggi nan agung di negeri hunian kita ini.
Tapi sekarang dengan melihat kasus gizi buruk, marasmus, kwashiorkor, busung lapar di berbagai daerah termasuk di depan hidung Kupang -- ibu kota Propinsi NTT -- masih tegakah kita menutup mata dan tidak tersentuh oleh penderitaan hebat itu? Kalau kita merasa malu mengakuinya atau berusaha menutup-nutupinya dengan wajah tanpa beban, maka sikap kita sungguh keterlaluan. Syukurlah kita mulai mengakuinya dan terlihat bergerak. Lamban, kurang sigap. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali bukan?
Gizi buruk, busung lapar atau apapun terminologi medis tentang realitas NTT hari-hari ini sudah jelas mengatakan bahwa sebagian anak Flobamora sedang kelaparan! Mereka ketiadaan makanan. Bahkan sudah ada yang mati karenanya.
Data Dinas Kesehatan NTT mencatat jumlah balita (anak usia di bawah lima tahun) di NTT sebanyak 463.370 orang. Sebanyak 51.547 orang anak dalam kondisi kurang gizi dan 10.897 orang anak masuk kategori gizi buruk. Data itu dengan bening mengisahkan bagaimana derajat kesehatan masyarakat daerah ini yang menempatkan bidang kesehatan sebagai salah satu program utama pembangunan.
Menggambarkan betapa "adil makmur" itu nun jauh di langit biru. Di antara mega. Itulah nestapa di tengah riuh-rendahnya nyanyian KKN yang prosesnya berputar-berbelit, naik dan turun hingga jalan-jalan di tempat.
Adalah kebiasaan kita suka pada bencana yang menghentak. Katakanlah gempa, tsunami, banjir bandang atau bencana kemanusiaan semisal pengungsian akibat suatu soal. Untuk yang begini kita amat lekas bertindak-begitu gesit berpikir, bertingkah karena kucuran dana pun membanjir deras. Berkelimpahan. Apakah angka 10.897 orang anak NTT dalam kondisi gizi buruk itu bukan bencana dahsyat?
Bencana serupa itu kerap luput dari perhatian kita. Dia sekadar data di atas kertas. Kita suka melupakan fakta bahwa begitu banyak anak yang akhirnya mati karena berawal dari kurang gizi, karena makan sekadar untuk kenyang. Sudah lama kita kehilangan banyak anak tak berdosa, yang belum mengerti apa-apa mengapa mereka harus kelaparan. Generasi yang hilang itu masalah kita. Sejak dulu. Sudah lama terjadi tetapi tak pernah benar, tepat dan sungguh-sungguh penanganannya. Dari tahun ke tahun, ribuan anak kita pergi dengan cara memilukan.
NTT dinyatakan KLB busung lapar. Kita terkesima? Setelah tragedi Bu Selatan dan Bu Utara, setelah Kecamatan Paga, Sikka menjadi pusat perhatian dunia penghujung 1970-an, busung lapar itu akrab lagi di telinga kita. Ada apa gerangan? Di mana letak benang kusutnya. Kita harus segera menemukan dan mencari solusi masa darurat serta jangka panjang. Bencana kemanusiaan ini tidak bisa dilihat sebelah mata.
Salah satu sudah disebut Dinas Kesehatan Propinsi NTT. Kasus gizi buruk erat kaitannya dengan Posyandu yang mati suri bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah lima tahun silam. Jika itu masalahnya, semakin jelas membuktikan betapa buruknya wajah otonomi daerah yang kita idealkan sebagai kesempatan untuk meningkatkan derajat hidup rakyat.
Otonomi daerah yang seharusnya membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik, kenyataannya bertolak belakang. Benar-benar pukulan telak dan mematikan. Pasti bukan salah sistemnya. Sistem otda sudah benar sekalipun ada kekurangan. Masalah kita sejak lama terletak pada aktor pembangunan daerah yang tidak memihak kepada kepentingan dan kebutuhan riil masyarakat.
Sekitar 4.000 unit pos pelayanan terpadu (Posyandu) atau 60 persen dari total 6.502 unit posyandu di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak aktif. Menyedihkan. Posyandu tidak aktif, maka wajarlah bila status gizi balita tak mungkin terdeteksi dini. Kemanakah pergi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Dekonsentrasi bidang kesehatan yang nilainya ratusan miliaran rupiah untuk setiap daerah? Mungkin habis buat beli mobil mewah, studi banding ke mancanegara, bolak-balik Jakarta, proyek fisik mercusuar demi nama besar seseorang.
Sekaranglah momentum terbaik bagi pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) untuk duduk bersama guna mengevaluasi pos anggaran pembangunannya. Boleh jadi anggaran bidang kesehatan tidak tepat sasaran. Bukan mustahil pembangunan bidang kesehatan tidak sungguh-sungguh menjawab kebutuhan masyarakat. Jika kita masih punya rasa malu, langkah konkret meminimalisir kasus gizi buruk anak-anak kita tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bukankah kita malu kalau NTT kembali dikenal dunia karena busung lapar? Salam Pos Kupang, 25 Mei 2005. (dion db putra)

Hendaknya kita tidak terlena

KETELADANAN. Itulah barang langka bagi bangsa besar dan majemuk ini. Kita tidak kurang pemimpin, tidak kurang orang pintar dan ahli, tidak kekeringan manusia hebat dalam bidang hidupnya masing-masing. Tapi kita tidak banyak memiliki pemimpin yang patut diteladani, orang pintar dengan moralitas baik, manusia hebat yang tetap memiliki kerendahan hati.
Kita masih saja melihat keserakahan dari mereka yang sebenarnya tidak berkekurangan. Kita menatap dengan mata telanjang betapa yang terbelit dugaan kasus korupsi, misalnya, ternyata umumnya mereka yang amat berkecukupan secara materi. Orang-orang terdidik, cakap, pintar dan ahli.
Sebutlah contoh kasus dugaan korupsi di tubuh KPU Pusat yang kini menjadi sorotan. Tak terbayangkan sebelumnya orang-orang terdidik, aktivis dan pejuang demokrasi itu justru mencederasi kepercayaan publik gara-gara duit. Mereka terlihat mudah jatuh, gampang terbuai, tak tahan godaan melihat kemewahan duniawi yang datang menyerbu dalam sekejap dan berlimpah-ruah.
Pemilu 2004 sukses besar. Itu tercatat dalam sejarah negeri ini. Dan sudah dipuji berkali-kali oleh masyarakat dalam dan luar negeri. Tapi sering dikatakan sukses pemilu tahun lalu hanya dalam hal penyelenggaraan. Sekadar sisi fisiknya. Bukan output atau hasilnya. Orang-orang yang terpilih melalui pesta demokrasi langsung itu umumnya tidak lebih baik dari pemilu sebelumnya. Mereka cuma ganti baju atau wajah baru dengan tabiat lama.
Periksalah kenyataan sekitar kita. Lihatlah kiprahnya, tengoklah cara mereka berpikir dan bertindak atas nama dan demi rakyat yang selalu menjadi kata kuncinya.
Di level nasional, wakil rakyat mempertontonkan aksi ala preman. Meragakan kekerasan fisik secara terbuka kepada seluruh rakyat. Mereka berkelahi, bertarung tanpa rasa malu untuk suatu perkara yang sebetulnya dapat diselesaikan dengan akal sehat. Ada pula yang sekadar datang, duduk, diam dan mendapat duit (gaji). Kita dapat mencatat siapa saja yang sudah bekerja benar dalam tujuh sampai delapan terakhir. Para senator alias Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti hilang ditelan bumi. Begitu sedikit anggota DPR yang peduli terhadap daerahnya, menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap konstituennya pada Pemilu 2004.
Kita masih saja mendengar oknum wakil rakyat bertindak sebagai calo untuk mendapatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Layaknya calo, kita sudah tahu seperti apa formulasinya. Serupa apa cara kerjanya. Padahal tanpa intervensi Dewan pun, DAK dan DAU itu adalah hak daerah dalam semangat negara kesatuan.
Dengan modus operandi yang hampir sama, cara serupa juga dipraktekkan di daerah-daerah. Oknum anggota Dewan berani memainkan perannya sebagai calo proyek. Begitu getol berteriak tentang suatu kasus yang ujung-ujungnya akan diam begitu saja. Tanpa proses penyelesaian secara bertanggung jawab, baik secara politis pun hukum.
Pembahasan anggaran rutin pemerintah dan pembangunan tidak sepenuhnya steril dari bargaining, tawar-menawar kepentingan jangka pendek. Jujur harus dikatakan bahwa perilaku yang sudah banyak dikritik itu muncul dan muncul lagi.
Agaknya baik sejak awal kita mengawal tingkah mereka. Patut dicermati apakah wakil rakyat hasil Pemilu 2004 bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat atau malah mengulangi kesalahan yang sama di masa silam? Kita semua harus tetap awas, waspada dan jangan bosan untuk mengingatkan mereka.
Coba tengok geliat pilkada hari-hari ini. Pilkada sungguh bergenit ria. Menguras energi yang tidak kecil. Memompa emosi. Jangan lupa bahwa wakil rakyat adalah juga wakil partai politik di lembaga legislatif. Untuk apa dan siapa yang sedang mereka kerjakan sekarang? Apakah dia tidak sedang memakai baju Dewan untuk kepentingan partainya?
Pertanyaan ini kita anggap penting karena bukan mustahil wakil rakyat tega meninggalkan pekerjaan pokoknya untuk menjadi anggota tim sukses calon tertentu. Mereka meliburkan diri untuk menjadi juru kampanye pasangan calon dari partainya.
Panggilan partai menjadi lebih penting dan prioritas ketimbang urusan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak. Di daerah kita ada tujuh kabupaten yang sedang sibuk mempersiapkan pilkada. Tidak bisa tidak, elite partai di daerah akan bekerja untuk partainya. Kita hendaknya tidak terlena.
Tidak salah bekerja untuk partai. Tidak dilarang bagi kader partai menggolkan calon jagoannya dalam pilkada. Tetapi harus proporsional dan tidak dengan cara memanfaatkan fasilitas anggota Dewan. Mobil dinas Dewan bukan mobil partai.
Kunjungan kerja Dewan adalah pekerjaan menangkap aspirasi, mendengar keluhan rakyat, memberikan solusi bagi mereka bukan sarana kampanye terselubung guna memenangkan pilkada. Memberi teladan yang baik kiranya tetap mengisi ruang batin wakil rakyat kita. Salam Pos Kupang, 4 Juni 2005. (dion db putra)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes