BENANG kusut dalam tubuh Pengurus Pusat Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) seolah tergenapi dengan mundurnya juara bertahan Persebaya Surabaya di babak delapan besar Liga Indonesia 2005. Keputusan manajemen klub Persebaya itu tidak sekadar mengejutkan penggemar sepakbola di tanah air, tetapi membuat wajah persepakbolaan nasional semakin buruk rupa.
Mundur di tengah kompetisi bergulir jelas anti-fair play, mencederai sportivitas dan mengkhianati jiwa olahragawan sejati. Apapun alasannya, keputusan manajemen Persebaya tersebut patut disesalkan banyak pihak.
Mengikuti laporan media massa, setidaknya ada dua alasan Persebaya mundur sebelum pertandingan akhir babak delapan besar Grup Barat. Pertama, demi membela pendukung fanatiknya yang populer dengan nama Bonek (bondo nekat). Selama berada di Jakarta untuk membela tim kesayangannya, bonek disiksa, dianiaya serta mendapat intimidasi. Sebagian bonek juga dipulangkan secara paksa. Kedua, mencegah kerusuhan di Ibu kota Jakarta bila Persebaya tetap bermain melawan tuan rumah Persija Pusat, Rabu (21/9) petang.
Kedua tim papan atas Liga Indonesia tersebut sama-sama memiliki fans fanatik. Jika Persebaya memiliki Bonek, Persija mempunyai Jakmania. Bisa terjadi bentrok fisik yang hebat mengingat pertandingan akhir itu sangat menentukan nasib Persija lolos ke babak final guna menghadapi pemenang Grup Timur.
Alasan manajemen klub Persebaya tersebut dapat dimengerti tetapi masih mungkin dipersebatkan atau didiskusikan. Soal peluang, Persebaya tidak memiliki harapan lagi untuk lolos ke final sekaligus berusaha mempertahankan gelarnya karena baru mengoleksi satu poin hasil sekali seri dan sekali kalah.
Kalaupun menang atas Persija, peluangnya tipis untuk lolos ke grandfinal karena tim lainnya yaitu PSM Makassar dan PSIS Semarang memiliki poin lebih baik. Menjadi pertanyaan apakah Persebaya tetap mundur demi membela Bonek dan mencegah kerusuhan ibu kota bila peluangnya sangat besar masuk ke final? Tidak mudah menjawab pertanyaan krusial ini. Kekhawatiran Persebaya akan terjadinya kerusuhan di Jakarta meremehkan kemampuan para petugas keamanan menyukseskan kejuaraan sepakbola paling bergengsi ini.
Mundurnya Persebaya melapangkan jalan bagi tuan rumah Persija masuk final tanpa memeras keringat. Tetapi sangat merugikan dua tim lainnya yaitu PSM Makassar dan PSIS Semarang. Peluang mereka langsung sirna dengan mundurnya Persebaya karena apapun hasil pertandingan kedua tim itu tidak akan mempengaruhi posisi Persija.
Keputusan Persebaya sungguh tidak ksatria. Egois dan merugikan orang lain yang berusaha meraih kemenangan melalui kerja keras. Melecehkan lembaga PSSI karena Piala Presiden RI, lambang supremasi tertinggi sepakbola nasional bahkan titipkan lewat wartawan. Persebaya tidak menyerahkan secara langsung kepada Pengurus Pusat PSSI. Benar-benar sebuah dagelan yang tidak lucu. Sikap itu sungguh melukai perasaan puluhan bahkan ratusan juta penggemar sepakbola di tanah air yang merindukan suguhan permainan bola yang memikat dalam semangat sportivitas.
Begitulah wajah sepakbola kita. Berlepotan lumpur. Menyembulkan sikap dan tindakan yang memalukan. Sudah pasti kita ditertawakan negeri tetangga atau lembaga resmi sepakbola semisal Federasi Sepakbola ASEAN (AFF), Konfederasi Sepakbola Asia (AFC) dan Federasi Sepakbola Internasional (FIFA). Sanksi bukan mustahil segera menghampiri PSSI karena dianggap gagal menggelar kompetisi nasional secara profesional dan menjunjung tinggi fair play.
Keputusan Persebaya itu menambah deretan masalah bagi PSSI yang selama ini memang sudah memikul segunung masalah rumit sejak Ketua Umum PP PSSI, Nurdin Halid menjalani proses hukum karena kasus dugaan korupsi. Roda organisasi PSSI sudah berjalan limbung semenjak Nurdin Halid berada di balik jeruji tahanan. Sempat mengemuka desakan agar Nurdin mundur secara ksatria. Nurdin tak bergeming karena ia menunggu vonis hukum tetap dari lembaga peradilan. Dia berkali-kali memberi jamiman bahwa ia mampu menakhodai PSSI dari balik tembok tahanan.
Apa yang terjadi sekarang? Tidak perlu berpanjang kata menjelaskan musabab dan implikasinya. Pengunduran diri Persebaya di tengah kompetisi mencerminkan betapa kita tidak mampu mengelola roda kompetisi secara profesional. Betapa jagat olahraga kita masih penuh dengan kepentingan sempit, sesaat, koruptif dan manipulatif.
Mundur di tengah kompetisi bergulir jelas anti-fair play, mencederai sportivitas dan mengkhianati jiwa olahragawan sejati. Apapun alasannya, keputusan manajemen Persebaya tersebut patut disesalkan banyak pihak.
Mengikuti laporan media massa, setidaknya ada dua alasan Persebaya mundur sebelum pertandingan akhir babak delapan besar Grup Barat. Pertama, demi membela pendukung fanatiknya yang populer dengan nama Bonek (bondo nekat). Selama berada di Jakarta untuk membela tim kesayangannya, bonek disiksa, dianiaya serta mendapat intimidasi. Sebagian bonek juga dipulangkan secara paksa. Kedua, mencegah kerusuhan di Ibu kota Jakarta bila Persebaya tetap bermain melawan tuan rumah Persija Pusat, Rabu (21/9) petang.
Kedua tim papan atas Liga Indonesia tersebut sama-sama memiliki fans fanatik. Jika Persebaya memiliki Bonek, Persija mempunyai Jakmania. Bisa terjadi bentrok fisik yang hebat mengingat pertandingan akhir itu sangat menentukan nasib Persija lolos ke babak final guna menghadapi pemenang Grup Timur.
Alasan manajemen klub Persebaya tersebut dapat dimengerti tetapi masih mungkin dipersebatkan atau didiskusikan. Soal peluang, Persebaya tidak memiliki harapan lagi untuk lolos ke final sekaligus berusaha mempertahankan gelarnya karena baru mengoleksi satu poin hasil sekali seri dan sekali kalah.
Kalaupun menang atas Persija, peluangnya tipis untuk lolos ke grandfinal karena tim lainnya yaitu PSM Makassar dan PSIS Semarang memiliki poin lebih baik. Menjadi pertanyaan apakah Persebaya tetap mundur demi membela Bonek dan mencegah kerusuhan ibu kota bila peluangnya sangat besar masuk ke final? Tidak mudah menjawab pertanyaan krusial ini. Kekhawatiran Persebaya akan terjadinya kerusuhan di Jakarta meremehkan kemampuan para petugas keamanan menyukseskan kejuaraan sepakbola paling bergengsi ini.
Mundurnya Persebaya melapangkan jalan bagi tuan rumah Persija masuk final tanpa memeras keringat. Tetapi sangat merugikan dua tim lainnya yaitu PSM Makassar dan PSIS Semarang. Peluang mereka langsung sirna dengan mundurnya Persebaya karena apapun hasil pertandingan kedua tim itu tidak akan mempengaruhi posisi Persija.
Keputusan Persebaya sungguh tidak ksatria. Egois dan merugikan orang lain yang berusaha meraih kemenangan melalui kerja keras. Melecehkan lembaga PSSI karena Piala Presiden RI, lambang supremasi tertinggi sepakbola nasional bahkan titipkan lewat wartawan. Persebaya tidak menyerahkan secara langsung kepada Pengurus Pusat PSSI. Benar-benar sebuah dagelan yang tidak lucu. Sikap itu sungguh melukai perasaan puluhan bahkan ratusan juta penggemar sepakbola di tanah air yang merindukan suguhan permainan bola yang memikat dalam semangat sportivitas.
Begitulah wajah sepakbola kita. Berlepotan lumpur. Menyembulkan sikap dan tindakan yang memalukan. Sudah pasti kita ditertawakan negeri tetangga atau lembaga resmi sepakbola semisal Federasi Sepakbola ASEAN (AFF), Konfederasi Sepakbola Asia (AFC) dan Federasi Sepakbola Internasional (FIFA). Sanksi bukan mustahil segera menghampiri PSSI karena dianggap gagal menggelar kompetisi nasional secara profesional dan menjunjung tinggi fair play.
Keputusan Persebaya itu menambah deretan masalah bagi PSSI yang selama ini memang sudah memikul segunung masalah rumit sejak Ketua Umum PP PSSI, Nurdin Halid menjalani proses hukum karena kasus dugaan korupsi. Roda organisasi PSSI sudah berjalan limbung semenjak Nurdin Halid berada di balik jeruji tahanan. Sempat mengemuka desakan agar Nurdin mundur secara ksatria. Nurdin tak bergeming karena ia menunggu vonis hukum tetap dari lembaga peradilan. Dia berkali-kali memberi jamiman bahwa ia mampu menakhodai PSSI dari balik tembok tahanan.
Apa yang terjadi sekarang? Tidak perlu berpanjang kata menjelaskan musabab dan implikasinya. Pengunduran diri Persebaya di tengah kompetisi mencerminkan betapa kita tidak mampu mengelola roda kompetisi secara profesional. Betapa jagat olahraga kita masih penuh dengan kepentingan sempit, sesaat, koruptif dan manipulatif.
Bukan hanya bangsa kita yang dekat dengan skandal ketidakjujuran atau anti-fair play dalam sepakbola. Skandal itu juga terjadi di belahan lain bumi ini. Tetapi mereka jauh lebih siap dan sigap menemukan solusi terbaik untuk membangun kembali sepakbolanya. Kasus Persebaya membuat persepakbolaan nasional seolah kembali ke titik nol karena citra yang terbentuk begitu buruk dan menyedihkan. Mudah-mudahan tidak menular ke tempat kita di sini yang dalam hitungan hari lagi menggelar kejuaraan paling bergengsi, El Tari Memorial Cup 2005 di Ruteng, Manggarai. Salam Pos Kupang, 22 September 2005. (dion db putra)