Hendaknya kita tidak terlena

KETELADANAN. Itulah barang langka bagi bangsa besar dan majemuk ini. Kita tidak kurang pemimpin, tidak kurang orang pintar dan ahli, tidak kekeringan manusia hebat dalam bidang hidupnya masing-masing. Tapi kita tidak banyak memiliki pemimpin yang patut diteladani, orang pintar dengan moralitas baik, manusia hebat yang tetap memiliki kerendahan hati.
Kita masih saja melihat keserakahan dari mereka yang sebenarnya tidak berkekurangan. Kita menatap dengan mata telanjang betapa yang terbelit dugaan kasus korupsi, misalnya, ternyata umumnya mereka yang amat berkecukupan secara materi. Orang-orang terdidik, cakap, pintar dan ahli.
Sebutlah contoh kasus dugaan korupsi di tubuh KPU Pusat yang kini menjadi sorotan. Tak terbayangkan sebelumnya orang-orang terdidik, aktivis dan pejuang demokrasi itu justru mencederasi kepercayaan publik gara-gara duit. Mereka terlihat mudah jatuh, gampang terbuai, tak tahan godaan melihat kemewahan duniawi yang datang menyerbu dalam sekejap dan berlimpah-ruah.
Pemilu 2004 sukses besar. Itu tercatat dalam sejarah negeri ini. Dan sudah dipuji berkali-kali oleh masyarakat dalam dan luar negeri. Tapi sering dikatakan sukses pemilu tahun lalu hanya dalam hal penyelenggaraan. Sekadar sisi fisiknya. Bukan output atau hasilnya. Orang-orang yang terpilih melalui pesta demokrasi langsung itu umumnya tidak lebih baik dari pemilu sebelumnya. Mereka cuma ganti baju atau wajah baru dengan tabiat lama.
Periksalah kenyataan sekitar kita. Lihatlah kiprahnya, tengoklah cara mereka berpikir dan bertindak atas nama dan demi rakyat yang selalu menjadi kata kuncinya.
Di level nasional, wakil rakyat mempertontonkan aksi ala preman. Meragakan kekerasan fisik secara terbuka kepada seluruh rakyat. Mereka berkelahi, bertarung tanpa rasa malu untuk suatu perkara yang sebetulnya dapat diselesaikan dengan akal sehat. Ada pula yang sekadar datang, duduk, diam dan mendapat duit (gaji). Kita dapat mencatat siapa saja yang sudah bekerja benar dalam tujuh sampai delapan terakhir. Para senator alias Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti hilang ditelan bumi. Begitu sedikit anggota DPR yang peduli terhadap daerahnya, menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap konstituennya pada Pemilu 2004.
Kita masih saja mendengar oknum wakil rakyat bertindak sebagai calo untuk mendapatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Layaknya calo, kita sudah tahu seperti apa formulasinya. Serupa apa cara kerjanya. Padahal tanpa intervensi Dewan pun, DAK dan DAU itu adalah hak daerah dalam semangat negara kesatuan.
Dengan modus operandi yang hampir sama, cara serupa juga dipraktekkan di daerah-daerah. Oknum anggota Dewan berani memainkan perannya sebagai calo proyek. Begitu getol berteriak tentang suatu kasus yang ujung-ujungnya akan diam begitu saja. Tanpa proses penyelesaian secara bertanggung jawab, baik secara politis pun hukum.
Pembahasan anggaran rutin pemerintah dan pembangunan tidak sepenuhnya steril dari bargaining, tawar-menawar kepentingan jangka pendek. Jujur harus dikatakan bahwa perilaku yang sudah banyak dikritik itu muncul dan muncul lagi.
Agaknya baik sejak awal kita mengawal tingkah mereka. Patut dicermati apakah wakil rakyat hasil Pemilu 2004 bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat atau malah mengulangi kesalahan yang sama di masa silam? Kita semua harus tetap awas, waspada dan jangan bosan untuk mengingatkan mereka.
Coba tengok geliat pilkada hari-hari ini. Pilkada sungguh bergenit ria. Menguras energi yang tidak kecil. Memompa emosi. Jangan lupa bahwa wakil rakyat adalah juga wakil partai politik di lembaga legislatif. Untuk apa dan siapa yang sedang mereka kerjakan sekarang? Apakah dia tidak sedang memakai baju Dewan untuk kepentingan partainya?
Pertanyaan ini kita anggap penting karena bukan mustahil wakil rakyat tega meninggalkan pekerjaan pokoknya untuk menjadi anggota tim sukses calon tertentu. Mereka meliburkan diri untuk menjadi juru kampanye pasangan calon dari partainya.
Panggilan partai menjadi lebih penting dan prioritas ketimbang urusan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak. Di daerah kita ada tujuh kabupaten yang sedang sibuk mempersiapkan pilkada. Tidak bisa tidak, elite partai di daerah akan bekerja untuk partainya. Kita hendaknya tidak terlena.
Tidak salah bekerja untuk partai. Tidak dilarang bagi kader partai menggolkan calon jagoannya dalam pilkada. Tetapi harus proporsional dan tidak dengan cara memanfaatkan fasilitas anggota Dewan. Mobil dinas Dewan bukan mobil partai.
Kunjungan kerja Dewan adalah pekerjaan menangkap aspirasi, mendengar keluhan rakyat, memberikan solusi bagi mereka bukan sarana kampanye terselubung guna memenangkan pilkada. Memberi teladan yang baik kiranya tetap mengisi ruang batin wakil rakyat kita. Salam Pos Kupang, 4 Juni 2005. (dion db putra)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes