Kadispenda Sumba Timur Ditangkap

WAINGAPU, PK -- Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Kadispenda) Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), Daud Ndakularak ditangkap aparat Polres Sumtim, Rabu (29/7/2009). Ndakularak adalah tersangka kasus bocornya APBD Sumtim tahun 2007 sekitar Rp 9 miliar.

Dalam kasus yang sama, polisi sudah menangkap dan menahan Deni Untono dan Kalendi. Dengan demikian jumlah tersangka dalam kasus ini menjadi tiga orang.
Daud Ndakularak ditangkap di kantornya, sekitar pukul 16.00 Wita, kemarin. Saat itu dia hendak memimpin rapat pembahasan kelanjutan pembangunan Pasar Matawai, di ruang kerjanya.

Penangkapan Ndakularak itu sempat membuat heboh para pegawai di lingkup kantor Bupati Sumba Timur. Para pegawai terlihat berkumpul di depan dan di halaman belakang ruangan Daud yang berada satu atap dengan kantor Bupati Sumba Timur.

Tiga anggota Tim Buser Polres Sumba Timur ditugaskan untuk menjemput Ndakularak di kantornya. Mereka tiba di sana sekitar pukul 15.00 Wita. Mereka bertemu dengan Sekretaris Dispenda, Jhon Pama. Melalui John Pama mereka dipertemukan dengan Daud Ndakularak. Karena berbagai kesibukannya, proses penangkapan itu molor sekitar satu jam sejak tim buser tiba.

Sekitar pukul 16.00 Wita, dengan didampingi Kabag Hukum Setda Sumba Timur, Marthen Umbu Peka, S.H, Sekretaris Dispenda, John Pama dan beberapa staf Dispenda, Daud John Pama menuju Mapolres Sumba Timur. Dengan dikawal polisi, Daud Ndakularak menuju Mapolres Sumtim dengan mobil dinasnya ED 133 ST, dan tiba di Mapolres sekitar pukul 16.30 Wita.

Masih mengenakan pakaian stelan abu-abu Daud Ndakularak langsung menuju ruang penyidik. Kabag Hukum Setda Sumba Timur, Marten Peka langsung menghubungi Matius K Remijawa, S.H untuk menjadi penasehat hukum Ndakularak.

Tidak banyak kata-kata yang keluar dari mulut Daud Ndakularak. Namun sebelum menuju ruang penyidik dia sempat mengaku kaget dengan penangkapan atas dirinya. "Kasus ini saya yang melaporkan. Bagaimana saya juga ditetapkan jadi tersangka dan ditangkap seperti ini? Saya bingung," katanya.

Dia menegaskan bahwa dalam kasus bocornya dana ABPD Sumtim tahun 2007 itu, tanggung jawab dirinya hanya sebatas tanggung jawab administrasi. "Bagaimana mungkin kantor sebesar itu semua tanggung jawab dilimpahkan kepada pimpinan. Semua sudah ada bagian dan mempunyai tanggung jawab masing-masing," tegasnya.

Namun dia mengatakan tetap mengikuti proses hukum yang sedang berjalan saat ini dan urusan lebih lanjut mengenai kasus yang menimpanya itu dia serahkan sepenuhnya kepada pengacaranya.

Daud Ndakularak menjalani pemeriksaan sebagai tersangka mulai sekitar pukul 17.30 Wita. Dia didampingi penasehat hukumnya, Matius K Remijawa. Wajahnya terlihat tegang. Beberapa kali dia masuk toilet sebelum pemeriksaan dimulai.

Seperti diketahui, hasil audit BPK Perwakilan Kupang terhadap laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur pada tahun 2007 lalu, menemukan kebocoran dana pada kantor Badan Pengelola Keuangan Daerah (saat ini sudah berganti nama menjadi Dispenda) Sumba Timur senilai Rp 9 miliar lebih. Dari jumlah itu, sebanyak Rp 6.250 miliar didiuga dipinjamkan ke salah satu pengusaha setempat, Deni Untono yang saat ini sudah ditahan polisi. (dea)

Pos Kupang edisi Kamis, 30 Juli 2009 halaman 1

Hidup Enggan, Mati pun Tak Mau

PARA anggota DPRD Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali berteriak tentang nasib Perusahaan Daerah (PD) Flobamor. Teriakan itu nyaring terdengar sejak pekan lalu dan para wakil rakyat telah memberikan sejumlah rekomendasi.

Menarik sekali mengikuti perkembangan diskusi di gedung DPRD Propinsi NTT tentang PD Flobamor. Dalam rapat Komisi C hari Selasa 21 Juli 2009, komisi tersebut merekomendasikan agar Pemerintah Propinsi (Pemprop) NTT menutup PD Flobamor. Ada dua alasannya Dewan. Pertama, PD Flobamora tidak dapat mempertanggungjawabkan penggunaan dana Rp 9 miliar untuk membangun rumah toko (ruko) sejak tahun 20007. Ruko tersebut belum rampung sampai sekarang.

Kedua, PD Flobamor tidak memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah. Ruko yang dibangun PD Flobamora belum memberikan kontribusi
Ternyata DPRD Propinsi NTT tidak sampai hati untuk menutup PD Flobamor yang namanya sangat terkenal itu. Dalam rapat panitia anggaran yang dihadiri unsur eksekutif pada hari Jumat, 24 Juli 2009, DPRD NTT merekomendasikan perubahan status saja. Perusahaan Daerah Flobamor tidak perlu ditutup tetapi diubah statusnya menjadi Perseroan Terbatas (PT).

Menurut pandangan Dewan, dengan menjadi PT pemerintah tidak mudah melakukan intervensi sehingga perusahaan daerah tersebut dapat menjalankan bisnisnya dengan lebih baik. Berkaitan dengan rekomendasi tersebut, Dewan akan merevisi Perda No. 12/2008 tentang Pendirian PD Flobamor.

Dalam catatan kita, bukan pertama kali wakil rakyat memberikan rekomendasi tentang PD Flobamor. Banyak sudah rekomendasi dikeluarkan Dewan tetapi tidak jelas pelaksanaannya. Sudah berkali-kali terjadi nasib PD Flobamor sekadar ramai dibahas di dalam gedung Dewan. Pelaksanaannya tidak mengambarkan kemajuan yang signifikan sesuai tujuan perusahaan tersebut.

Salah satu rekomendasi Dewan yang masih menggantung sampai saat ini adalah tentang perlunya mengaudit PD Flobamor. Pihak eksekutif belum memberikan penjelasan kepada publik tentang hasil audit terhadap perusahaan daerah yang terus merugi tersebut. Padahal hasil audit oleh lembaga independen sangat penting guna mengetahui masalah yang membelenggu PD Flobamor selama ini. Melalui audit oleh tenaga profesional bisa diketahui penyakit kronis perusahaan tersebut yang akan menjadi acuan untuk pembenahan nanti.


Kita menyambut baik rekomendasi DPRD Propinsi NTT untuk mengubah status PD Flobamor menjadi sebuah perseroan terbatas. Terikat oleh ketentuan tentang perseroan terbatas, PD Flobamor niscaya bisa lebih baik dalam menjalankan bisnisnya di masa mendatang. Lebih baik dalam pengertian menjadi usaha bisnis yang sehat, menguntungkan serta memberi kontribusi ke kas pemerintah daerah.

Namun, sebelum sampai pada tahap perubahan tersebut dibutuhkan audit yang sungguh-sungguh agar profil perusahaan ini jelas bagi manajemen baru. Saran bagi Dewan dan pemerintah adalah kerelaan untuk menggelar acara dengar pendapat dengan komunitas dunia usaha di NTT.

Dari mereka akan mendapat banyak masukan tentang bagaimana sebaiknya menjalankan bisnis suatu perusahaan. Kiranya mesti disadari bahwa pemerintah memiliki keterbatasan dalam urusan semacam ini. Yang dibutuhkan hanya kerendahan hati untuk menerima pandangan dari kalangan dunia usaha.

Persoalan lain yang selalu kita ingatkan adalah tentang penempatan sumber daya manusia (SDM) sebagai pengelola perusahaan daerah. Kapasitas SDM itu mutlak diperhatikan dengan serius. Salah satu kendala PD Flobamor selama ini adalah faktor manusia pengelola. Hal tersebut hendaknya tidak boleh terjadi lagi di masa mendatang. Prinsipnya kita mendukung keberadaan PD Flobamor di daerah ini asalkan nasibnya tidak seperti kata pepatah: hidup enggan mati pun tak mau.*

Pos Kupang edisi Rabu, 29 Juli 2009 halaman 4

KPU: SBY-Boediono Menang

JAKARTA, PK--Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mengumumkan perolehan akhir rekapitulasi suara Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Perolehan suara pasangan calon presiden (Capres) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan calon wakil presiden (Cawapres) Boediono mencapai 60,8 persen.

"Hasil rekapitulasi pilpres kita tetapkan dan sahkan secara resmi dengan ucapan alhamdulillah," kata Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary, di kantor KPU di Jalan Imam Bonjol-Jakarta Pusat, Sabtu (25/7/2009).

Hasil rekapitulasi dibacakan oleh anggota KPU, Andi Nurpati. Sebelum membacakan total hasil, Andi membeberkan perolehan suara di seluruh propinsi. Antara lain di DKI Jakarta pasangan Mega-Prabowo mendapat 1.028.227, pasangan SBY-Boediono mendapat 3.543.472, pasangan JK-Wiranto mendapat 464.257.

Setelah itu, seluruh anggota KPU serta pejabat ikut menandatangi berita acara rekapitulasi yang nantinya akan diserahkan ke masing-masing pasangan. Dalam berita acara itu, KPU menghilangkan kolom untuk tanda tangan saksi.

Penetapan capres-cawapres terpilih ini tidak dihadiri pasangan Megawati-Prabowo. Sedangkan pasangan JK-Wiranto menghadiri pleno itu. Menurut JK, kehadirannya dan Wiranto mau mewujudkan sebuah demokrasi di Indonesia.

Walau JK-Wiranto hadir, tidak berarti dugaan kecurangan yang ditemukan tim kampanye nasional pasangan ini hilang begitu saja. Upaya mencari keadilan tetap dilakukan agar Pilpres kali berikut bisa berjalan lebih baik.

Sementara tim kampanye nasional Mega-Prabowo resmi menyatakan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK). KPU memberikan kesempatan 3 x 24 jam bagi pasangan calon atau tim sukses untuk mengajukan keberatan atau upaya hukum kepada MK.

Megawati dan Prabowo hanya diwakili oleh Ketua Tim Hukum-nya, Gayus Lumbuun dan anggotanya, Firman Jaya Daeli. Gayus langsung menyatakan hasil rekapitulasi suara oleh KPU ditolak. Ketua KPU hanya tersenyum dan langsung menyalami Gayus, manaruh kembali map berwarna coklat ke asistennya karena tidak mau diterima hasil penghitungan suara..


"Kita menolak karena kami menemukan banyak kecurangan sebelum penetapan hasil suara oleh KPU. Sama sekali kita tak mempermasalahkan siapa yang akan menang, tapi harus mengedepankan cara-cara yang jujur, menjunjung tinggi asas-asas demokrasi," kata Gayus Lumbuun saat dimintai tanggapannya.

Gayus kemudian menyatakan akan menggugat hasil penghitungan suara KPU yang diindikasikan tidak berjalan baik ke MK, Selasa (28/7/2009).

Anggota Tim Sukses SBY-Boediono, Anas Urbaningrum saat dimintai komentarnya menyatakan, dalam UU Pemilu memang diatur menggugat hasil Pemilu diajukan melalui MK. "Rencana itu tidak akan mempengaruhi hasil dan tidak akan mempengaruhi kualitas Pemilu, tidak mempenaruhi dukungan dan mandat politik rakyat. Maka, kita serahkan kepada rakyat untuk melakukan penilaian," tutur Anas.

Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit menyayangkan sikap pasangan Capres-cawapres Megawati-Prabowo yang tidak ikut menghadiri pengumuman hasil rekapitulasi suara Pilpres di gedung KPU.

"Sikap pasangan capres-cawapres Jusuf Kalla-Wiranto yang benar. Walau sikapnya masih setengah-setengah terhadap hasil rekapitulasi itu karena masih akan melakukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi, sikapnya lebih elok dan punya tanggung jawab, " tegas Arbi Sanit, Sabtu (25/7). (persda/network/dtc)

Hasil Pilpres 2009
1. Megawati-Prabowo ! 32.548.105 ! 26,79 persen
2. SBY-Boediono ! 73.874.562 ! 60.80 persen
3. JK-Wiranto ! 15.081.814 ! 12.41 persen.
Total Suara Sah ! 121.504.481 !

Pos Kupang edisi Minggu, 26 Juli 2009 halaman 1

Kijang Masuk Jurang di Ende, 5 Tewas

ENDE, PK-- Kecelakaan lalu lintas maut terjadi di Ende, tepatnya di Km 11 jurusan Ende-Maumere, Sabtu (25/7/2009) malam sekitar pukul 18.30 Wita. Sebuah mobil kijang hitam dengan nomor polisi AE 1415 SB masuk jurang. Lima penumpang tewas, empat lainnya sekarat.

Lima korban yang meninggal, yakni Budi Suryawan (42), Vei (13), Yanti (22), Eta (22), diperkirakan beralamat yang sama dan Oktavianus Wadjo Kia (26), beralamat di Ngedukelu, RT 014 RW III, Kelurahan Bajawa, Ngada. Sedangkan empat korban yang selamat, masing-masing Patrisia (9), Sudarmini (33), Kiki (4), Elsa (13).

Laka lantas maut ini menghebohkan warga Ende. Lokasi terjadinya kecelakaan di Km 11 adalah kawasan yang selama ini terkenal rawan kecelakaan. Sisi sebelah selatan ruas jalan di kawasan ini adalah jurang dengan kedalaman mencapai ratusan meter. Sementara sisi sebelah utara adalah tebing-tebing curam yang rawan longsor.

Dari data yang diperoleh Pos Kupang, Sabtu malam, para korban belum dapat diidentifikasi secara jelas. Namun menurut data sementara, korban yang tewas termasuk kepala keluarga, Budi Suryawan (42), beralamat di Jalan Kokos Raya Gang 7, Perumnas Ende.

Budi Suryawan diduga pergi ke Kolam Pemandian Air Panas di Detusoko. Kecelakaan terjadi ketika korban pulang ke Ende menumpang mobil kijang naas itu.

Dari keterangan saksi yang ikut menolong para korban di TKP, sesaat setelah mobil masuk jurang, terdengar teriakan minta tolong dari bawah jurang. Orang-orang yang berkumpul di tepi jalan sekitar TKP penasaran dengan teriakan suara minta tolong itu.

"Korban selamat berteriak dari bawah, kami orang Perumnas. Mobil kami masuk jurang," tutur seorang saksi menirukan suara minta tolong korban selamat.

Saksi yang tidak mau menyebut namanya itu mengatakan, kondisi saat itu sangat gelap. Tak ada seorang pun bisa melihat sampai ke dasar jurang. Warga yang bermukim di sekitar lokasi jatuhnya mobil itu kemudian turun ke dasar jurang membawa senter. Para korban kemudian ditolong dan diangkut dengan mobil menuju Ende.

Pantauan Pos Kupang, kondisi para korban yang meninggal sangat mengenaskan. Ada yang matanya pecah berlumuran darah. Ada yang matanya terbuka. Dedaunan menempel di luka bagian wajah. Sekujur tubuh para korban terdapat luka menganga.

Warga Ende yang mendengar kecelakaan maut itu memadati IGD RSUD Ende. Korban selamat ada yang belum sadarkan diri. (dd)

Korban Tewas:
Budi Suryawan (42)
Vei (13)
Yanti (22)
Eta (22),
Oktavianus Wadjo Kia (26)

Korban Selamat:
Patrisia (9)
Sudarmini (33)
Kiki (4)
Elsa (13)

Tamasya Berujung Maut

KEHANGATAN kolam air panas Detusoko, tak hanya memikat wisatawan mancanegara. Warga Kabupaten Ende pun terpesona dibuatnya. Namun, seperti pepatah 'tak selamanya niat seiring jalan', itu jualah yang dialami Budi Suryawan sekeluarga.

Seusai menikmati indahnya panorama air panas Detusoko, Budi sekeluarga mengalami nasib naas. Mobil yang digunakan terjungkal ke dasar jurang sedalam 47 meter lebih.
Mobil kijang grand extra yang baru dibeli di Tulung Agung, Jawa Timur seharga Rp 68 juta itu, ternyata mengantar Budi dan puteri sulungnya, Saveiana Fresty, Yanti dan Esti, ke alam baka.

Budi yang membangun bahtera rumah tangga bersama Ny. Sudarmini pada 21 Juli 2002 lalu, akhirnya berpisah karena maut. Saat Budi dan Saveiana dimakamkan, Ny. Sudarmini masih berbaring karena sakit. Budi adalah sosok yang menjadi sandaran hidup Sudarmini dan anak-anaknya di Kota Ende. Soalnya, keluarga dekat lainnya berada di tempat jauh, di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Saat ditemui Pos Kupang, Ny. Sudarmini tak mampu mengenang kronologis kecelakaan maut itu. Yang ia ingat hanyalah suasana masih terang dan lampu mobil belum dinyalakan. Tentang firasat buruk sebelum kejadian, Ny. Sudarmini menuturkan, sehari sebelum kecelakaan, ia sempat panik. Itu terjadi karena kunci laboratorium di SMA Muhammadiyah, tempat ia bekerja dipinjam dari salah seorang temannya.

Saat itu sepertinya ia telah menyerahkan kunci tersebut kepada salah seorang teman guru. Namun ketika ditanya, guru itu mengaku tak pernah menerima kunci tersebut. Padahal, tas dan kunci motornya masih ada dalam laboratorium itu.

Sementara itu, Manajer Pemandian Detusoko, Heri, mengatakan, ia ingat betul sosok almarhum Budi. Saat hendak masuk ke lokasi pemandian, Budi membeli karcis dengan uang Rp 10.000,00. Saat sisa uang hendak dikembalikan, Budi menolak menerima uang itu.

Di tempat terpisah, Evi Tamara, warga kampung Tanatoro, Desa Ndungga, menuturkan, lokasi kejadian itu memang terkenal angker. Ada penunggu di batu besar dan pohon besar itu. "Dulu waktu saya masih kecil, pernah ada mobil yang masuk jurang," tuturnya.


Hal senada disampaikan seorang pria paruh baya, saat ditemui di lokasi kejadian. Dia menuturkan, suatu saat sekitar pukul 19.00 Wita, ia mengendarai sepeda motor sendirian. Tiba-tiba ada bayangan berkelebat menghalangi jalannya. Untung saya membelokkan setir motor ke arah tengah jalan.

Data yang dihimpun Pos Kupang hingga Minggu (26/7/2009) pukul 12.30 Wita, Patrisia Rondo (9), salah satu korban dari lakalantas itu, masih dalam keadaan kritis. Ia dirawat di ruang ICU RSUD Ende dan belum sadar.

Patrisia adalah tetangga Budi Suryawan (alm). Saat ini Patrisia menggunakan alat bantu pernafasan. Nafasnya masih tak beraturan. Informasi dari Maria Nona Elsa (12) korban yang telah sadarkan diri, Patrisia duduk sendiri di bagian belakang mobil sebelah kanan.

Sementara korban selamat lainnya, Ny. Sudarmini (33), istri Budi, dan Rizkiawan Azimah (4) putra bungsu pasangan tersebut, telah dipulangkan ke rumahnya di Jalan Kokos Raya Perumnas Ende.

Dalam kejadian itu, Ny. Sudarmini mengalami memar di bagian dada dan pinggul. Sedangkan Kiki (Rizkiawan) tidak mengalami luka serius. Korban meninggal yaitu Yanti dan Esti, bersaudara sepupu dengan Elsa, korban yang selamat.

Kini, jenazah Yanti dan Esti telah dipulangkan ke kampung Lela, Kabupaten Sikka. Sedangkan Elsa masih dalam perawatan intensif di ruang ICU RSUD. Menurut informasi, kekasih Yanti, Oktafianus Wedjo Kia (26), juga korban meninggal dipulangkan ke Ngedukelu, Bajawa.

Pada Minggu (26/7/2009), sekitar pukul 10.40 Wita, Budi bersama Saveiana, putri sulungnya, dimakamkan di tempat pemakaman Islam Mautapaga, Ende. Pemakaman itu dihadiri ratusan kerabat, termasuk rekan kerja Budi, dari kantor BP3 Pertanian Kabupaten Ende.

Belum Terungkap
Aiptu Sutoyo, salah satu anggota polisi Polres Ende yang mengolah TKP, saat ditemui Minggu (26/7/2009) sekitar pukul 11.30 Wita, mengatakan, belum menemukan kepastian penyebab kecelakaan tersebut.

Pasalnya, mobil naas tersebut melaju dari arah kiri, namun terperosok ke dalam jurang di sebelah kanan jalan, dalam kondisi ruas jalan lurus. Mobil itu terjungkal ke dasar jurang yang berketinggian 47 meter lebih.

Sutoyo menjelaskan, saat olah TKP ditemukan mobil dalam keadaan ringsek, baik bagian depan, belakang dan atas maupun bagian bawah. Rupa mobil sama sekali tak tampak. Polisi juga kesulitan mengangkat bangkai mobil karena letaknya di tebing yang terjal.

Menurut warga sekitar TKP, saat kejadian, mereka mendengar seperti ada barang besar yang jatuh. Saat itu mereka mengira ada pohon kemiri yang tumbang. Namun tiba-tiba terdengar teriakan minta tolong. Dengan menggunakan senter, mereka langsung bergegas menyelamatkan para korban.

Mereka juga memanggil warga lainnya untuk membantu mengevakuasi korban yang terhimpit bodi mobil yang sudah penyok. Saat itu baru empat korban meninggal. Sedangkan Saveiana masih hidup. Namun Saveiana menghembuskan nafas terakhir saat dilarikan ke RSUD Ende. (dd)

Posisi Duduk Korban :
Sopir : Alm. Budi Suryawan (42)
Depan : Ny. Sudarmini (33)
Tengah : Esti (22), Yanti (22), Oktafianus (26) memangku Rizki (4)
Belakang kiri : Saveiana (13), Elsa (12)
Belakang kanan : Patrisia (9)

Sumber keterangan : Elsa

Pos Kupang edisi 26 dan 27 Juli 2009 halaman 1

Lanjutkan!

Komodo diusik, NTT marah
Lanjutkan!


SIAPA tokoh paling tersohor menurut tuan dan puan selama sepekan terakhir di beranda Flobamora? Bagi beta tokoh paling populer pekan ini di kampung kita adalah Menteri Kehutanan (Menhut) RI, MS Kaban.

Tanggal 16 Juli 2009 atau sehari sebelum bom meledak di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton Jakarta yang membunuh sembilan orang, Menhut melepas 40 ekor kura-kura berleher ular ke habitatnya di Danau Peto, Kabupaten Rote Ndao. Peristiwa itu diliput secara luas oleh media massa lokal dan nasional.


Dari pulau terselatan wilayah NKRI, Menhut terbang ke Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Ada dua agenda Menhut di ujung barat Flores sana. Pak menteri meninjau lokasi eksplorasi tambang emas Batu Gosok serta Pulau Rinca dan Pulau Komodo, wilayah yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK).

Usai meninjau Batu Gosok, pak menteri menyampaikan pernyataan kepada wartawan. Beta kutip ulang sepenggal pernyataan Menhut. "Kami lihat kawasan Batu Gosok sangat jauh dari Taman Nasional Komodo. Tidak ada kegiatan yang berdampak langsung terhadap TNK," katanya. Kontroversi berbulan-bulan, reaksi penolakan terhadap eksplorasi tambang emas Batu Gosok itu seolah berhenti pada pernyataan pak menteri yang punya wewenang atas kawasan TNK. Lanjutkan! Toh Batu Gosok sangat jauh dari TNK. Seberapa jauh makna pernyataan itu tuan dan puan tentu lebih tahu.

Saat meninjau Pulau Rinca dan Komodo hari Jumat 17 Juli 2009 pak menteri buka rahasia kepada wartawan. Ternyata sejak 13 Mei 2009 dia telah menandatangani Surat Keputusan (SK) Nomor 384/Menhut-II/2009 untuk Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Isinya memberi izin memindahkan 10 ekor komodo dari kawasan konservasi alam Wae Wuul, Kecamatan Komodo ke Taman Safari Denpasar, Bali.

Tujuan pemindahan untuk pemulihan genetik. Sepuluh ekor komodo terdiri dari lima ekor jantan dan lima ekor komodo betina. Menurut data BBKSDA NTT populasi komodo di Wae Wuul tinggal 17 ekor. Agar tidak punah mesti pindah ke Bali. Mutasi 10 ekor berarti tersisa 7 ekor. SK Menhut merujuk pada hasil kajian Pusat Penelitian Biologi LIPI yang menilai proses pemurnian genetika binatang langka itu hanya dapat dilakukan di Taman Safari Indonesia (TSI). Dan TSI hanya punya cabang di Denpasar. Tidak di NTT. Masuk akal bukan?


Pernyataan Menhut itu bagaikan bom. Ledakannya dashyat mengguncang rumah Flobamora. Gaung reaksinya bergetar hebat. Bahkan sampai detik ini. Pemerintah Propinsi NTT bereaksi. Tegas nyatakan menolak. Para bupati di daratan Flores juga demikian. Suara para wakil rakyat pun senada. Reaksi bersumber dari berbagai kalangan masyarakat dan terjadi di mana-mana.

Sebagai pembanding beta sarankan tuan dan puan buka website Kompas (www.kompas.com). Komentar pembaca di sana tak kalah garang. Umumnya menolak SK Menhut dengan kata-kata lembut sampai paling kasar dan sinis. Di jaringan sosial facebook yang lagi naik daun itu muncul kelompok penentang rencana pemindahan komodo ke Bali. Tidak cuma anak NTT yang bereaksi. Banyak warga bangsa ini yang meragukan niat baik Menteri Kehutanan RI memindahkan komodo ke Bali demi pemulihan genetik.

"Bom" yang dilepas Menhut sungguh menaikkan pamor komodo dalam sepekan terakhir. Semoga makin banyak anak NTT atau siapa saja mau memberi suara via http://www.new7wonder.com agar komodo bisa terpilih sebagai satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Bernuansa Alam pada tahun 2011. Mudah-mudahan 50 persen dari 4,4 juta rakyat NTT mau memberikan suara. Mudah-mudahan seluruh PNS, anggota TNI dan Polri di sini ikut berpartisipasi. Soalnya gerakan ini yang beta lihat baru sebatas kata-kata. Belum terlihat aksi yang lebih konkret.

Sebagai orang yang suka berpikir positif beta mau ucapkan terima kasih kepada Menhut. "Bom" pak menteri bikin Nusa Tenggara Timur (NTT) gerah dan gundah. NTT menganggap pemerintah pusat memperlakukan komodo yang sejak tahun 1958 menjadi lambang propinsi ini secara tidak elok.

Komodo diusik, NTT Marah! Senang beta melihatnya. Sesekali memang mesti berani marah dan berkata tidak. Tak cakep pula melihat NTT terus-menerus jadi anak manis, putra-putri penurut meski dikibuli kebijakan keliru. Banyak orang datang ke NTT membawa resep. Sudah saatnya NTT menolak resep yang belum tentu cocok dengan penyakit.

Teringat kisah puluhan tahun lalu. Ikut kata Jakarta, saban tahun NTT rutin kirim ratusan ribu ekor sapi bali (barusan diganti jadi sapi Timor) ke hampir seluruh propinsi di tanah air. Indonesia memuji NTT sebagai sumber bibit sapi bali nomor wahid. Gudang ternak nasional. NTT bangga. Flobamora girang. Bibit sapi timor itu lalu berbiak di mana-mana, dari Sumatera hingga Sulawesi. Dari Kalimantan sampai Papua. Rajin mengirim NTT lupa (jaga) diri. Lupa merawat nilai lebih. Kini kita kesulitan bibit. Dan, populasi sapi kian menipis.

Bagaimana dengan komodo? Apakah komodo belum pernah "dikirim" atau dipindahkan dari habitat aslinya di TNK? Menurut data yang beta peroleh (tentu butuh verifikasi lagi), konon kadal raksasa itu sudah ada di berbagai daerah di Indonesia. Yang mau melihat komodo tidak harus pergi ke Pulau Komodo.

Mereka bisa kunjungi Kebun Binatang (KB) Pematang Siantar, KB Ragunan, KB Gembira Loka, KB Surabaya, Taman Safari Cisarua, Taman Safari Prigen, Kebun Binatang Bali dan Bali Bird Park-Reptile. Tiga lokasi terakhir ada di Gianyar, Bali. Kalau ditambah lagi 10 ekor komodo mutasi ke TSI cabang Bali sesuai perintah SK Menhut 13 Mei 2009, semakin ramai saja keberadaan kadal itu di Pulau Dewata.

Untuk apa-apa jauh pergi hingga Rinca? Mengingat sifat alamiah makhluk hidup yang dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar, bukan mustahil nasib komodo bakal sama dengan sapi timor. Maka NTT, lanjutkan perjuangan mengkritisi keputusan Menhut!

Berjuang dengan kepala dingin, elegan dan rasional. Semoga perjuangan itu berbuah manis bagi komodo dan demi kepentingan jangka panjang daerah ini. Semoga kegerahan NTT tak panas-panas tahi ayam. Soalnya di antara sekian banyak penyakit NTT, panas-panas tahi ayam itu paling laku dan banyak sekali penggemarnya. (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 27 Juli 2009 halaman 1

Jaksa Tetapkan 29 Tersangka Koruptor di NTT

KUPANG, PK -- Dalam semester pertama 2009, penyidik kejaksaan telah menetapkan 29 tersangka kasus korupsi di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT. Dari 19 institusi kejaksaan di seluruh NTT hanya Kejari Lewoleba, Cabang Kejari (Cabjari) Waiwerang dan Cabjari Seba yang belum menaikkan penyelidikan kasus korupsi ke tahap penyidikan (dik).

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT, Dr. Dachamer Munthe, S.H, M.H, menyampaikan hal ini dalam jumpa pers usai memimpin upacara peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-49 di Kejati NTT, Rabu (22/7/2009). Saat jumpa pers ini, Munthe didampingi petinggi Kejati NTT lainnya, termasuk Wakajati, Suwarsono, S.H.

Munthe menegaskan, institusi kejaksaan di NTT memandang perlu untuk menyampaikan kepada publik hasil kerja para jaksa kepada masyarakat NTT. Khusus produk unit pidana khusus (Pidsus), Munthe mengungkapkan, dalam kurun waktu Januari-Juni 2009, sudah 29 kasus korupsi yang dinaikkan ke tahap penyidikan. "Di Kejati NTT, ada lima kasus yang sudah kami naikkan ke tahap dik. Rincian dari semua Kejari dan Cabjari, bisa diambil di bagian Pidsus nanti," ujarnya.

Dari 29 kasus korupsi yang sudah dinaikkan ke tahap dik, jelas Munthe, baru empat kasus yang sudah dilimpahkan kepada pengadilan karena berkasnya sudah lengkap. Sementara berkas kasus lainnya belum dilimpahkan karena sebagian besarnya masih menunggu hasil audit maupun perhitungan kerugian negara (PKN) oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTT.

Munthe juga menegaskan, saat ini institusi kejaksaan sudah bergeser paradigma penanganan perkara pidsus, yakni dari pola 5-3-1 (lima kasus bagi Kejati, tiga kasus bagi Kejari dan satu bagi Cabjari, red) ke optimalisasi hasil. "Bisa jadi 10-15 kasus untuk Kejati atau lebih dari tiga untuk Kejari. Itu yang kami namakan optimalisasi, jadi bukan lagi paradigma 5-3-1," jelas Munthe.

Di bidang pengawasan, Munthe mengatakan, saat ini terdapat 10 kasus pelanggaran disiplin oleh jaksa dan pegawai di seluruh NTT. Delapan kasus dibawa ke Kejaksaan Agung untuk diproses lebih lanjut. Hukuman disiplin bagi mereka bisa ringan, sedang dan berat sebagaimana diatur dalam PP 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Acara puncak peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-49 di Kejati NTT dirayakan dengan pelbagai kegiatan. Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L. Foenay dan sejumlah pejabat hadir dalam upacara tersebut. Setelah apel bendera, para jaksa dan pegawai Kejati NTT dan Kejari Kupang menabur bunga di Taman Makam Pahlawan Dharma Loka Kupang. (dar)

Rekap Jumlah Penyidikan Perkara Korupsi
Kejaksaan Jumlah Dilimpahkan ke Pengadilan
Kejati 5 -
Kejari Kupang 2 -
Kejari SoE 1 -
Kejari Kefamenanu 2 -
Kejari Atambua 2 -
Kejari Kalabahi 1 -
Kejari Larantuka 2 -
Kejari Maumere 1 1
Kejari Ende 2 -
Kejari Bajawa 2 2
Kejari Ruteng 3 1
Kejari Waingapu 1 -
Kejari Waikabubak 1 -
Kejari Baa 1 1
Kejari Lewoleba - -
Cabjari Seba - -
Cabjari Reo 2 -
Cabjari Waiwerang - -
Cabjari Labuan Bajo 1 -

Pos Kupang edisi Kamis, 23 Juli 2009 halaman 1

NTT Gundah dengan Tiga Hal

Oleh Hermina Pello, Yosep Sudarso dan Agus Sape

PROPINSI Nusa Tenggara Timur (NTT) gundah dengan tiga hal: rawan pangan, krisis air bersih dan krisis energi. Wajah NTT, sebagaimana tercermin dalam pemberitaan media massa lokal, dihiasi oleh rawan pangan, dilabur dengan bedak sulitnya mendapatkan air bersih dan listrik. Hidup enggan mati tak mau.

Kegundahan NTT ini diungkapkan Pemimpin Redaksi Harian Pos Kupang, Dion DB Putra dalam sambutannya pada pembukaan diskusi terbatas dengan tema, "Pangan Lokal" dan "Peluncuran Buku 50 Tahun Ziarah Pangan NTT, Sehati Sesuara Mewujudkan Kedaulatan Pangan Lokal" di Aula Susteran RVM Kota Baru, Kupang, Selasa (14/7/2009).

Dari Diskusi Pangan Lokal (1)

Dion menegaskan, Pos Kupang dan media cetak lainnya di NTT sudah dan selalu gundah dengan tiga hal tersebut. Sekadar menegaskan, Dion menyebut jumlah artikel yang ditulis anak- anak NTT khusus tentang pangan yang dipublikasi Pos Kupang. Setidaknya terdapat 600 artikel. "Kami sendiri terkejut," demikian Dion.

Lebih banyak lagi ketika Rektor Undana, Prof. Frans Umbu Datta, menelusuri Google. "Ironisnya, berita tentang kelaparan, kematian karena busung lapar terus mengisi halaman-halaman berbagai media cetak dan elektronik ketika saya buka Google lalu ketik: "pangan lokal di NTT: dan search.... Maka ditampilkanlah 18.900 pointers/berita tentang pangan local dan permasalahannya serta berbagai pembahasan sekitar isu ketahanan pangan di NTT. Ini berarti pembicara di sekitar hal ini sudah cukup banyak bahkan sangat banyak," tulis Umbu Datta dalam makalahnya berjudul, "Pangan local : Kemarin, Hari Ini dan Esok (kajian akademis)".

Di tengah gencarnya pemberitaan tentang isu ketahanan pangan lokal di NTT, Dion Putra mengutarakan optimismenya akan suatu masa depan yang lebih baik. Optimisme yang dilandaskan pada komitmen duet pemimpin baru NTT, Frans Lebu Raya- Esthon L Foenay.

Sebelum terpilih maupun dalam tenggang waktu setahun menakhodai NTT, duet yang akrab dipanggil Fren ini langsung mengampanyekan "Kembali ke pangan lokal".

Saat membawakan makalahnya, Gubernur NTT, Frans Lebu Raya menjelaskan alasan perhatiannya terhadap pangan lokal. "Mengapa pangan lokal menjadi perhatian penuh pemerintah? Pangan itu merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia. Siapa pun membutuhkan pangan, setiap hari membutuhkan pangan, setiap saat mesti tersedia tapi juga terjangkau dan aman," jelas Lebu Raya.

Menurut Lebu Raya, kebutuhan memperoleh pangan adalah hak asasi manusia. Hak ini tidak saja disebutkan dalam UUD 1945, tetapi jauh sebelumnya sudah ditegaskan oleh Deklarasi Roma.
Konsumsi pangan, jelas Lebu Raya, juga tidak sekadar untuk memenuhi "kebutuhan perut". Berbagai pemikiran membuat orang akhirnya memahami bahwa pangan merupakan komponen dasar dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkelanjutan. Pangan yang tersedia cukup, aman, berkualitas dan bergizi akan mewujudkan SDM yang berkelanjutan.

"Kebutuhan gizi dari pangan yang bergizi terutama untuk anak- anak dari 0 tahun hingga lima tahun harusnya menjadi perhatian penuh sehingga kecerdasannya bisa terjamin. Tapi kalau pada periode usia emas (golden age), kita tidak memberikan pangan yang cukup dan bergizi, maka akan sulit diharapkan anak bisa berkembang secara baik, cerdas dan berkelanjutan," ujar Lebu Raya.

Kalau ini yang disepakati, Lebu Raya yakin, pembangunan ketahanan pangan menjadi fondasi bagi pembangunan di sektor lainnya. Bila pangan tersedia, terjangkau dan aman dikonsumsi, urusan di sektor lain akan berjalan dengan baik.

Oleh karena pemenuhan pangan dan sektor lainnya tentang isu pangan erat kaitannya dengan politik. Ketika suatu daerah atau satu komunitas punya ketersediaan pangan yang cukup, bisa terjangkau dan aman untuk dikonsumsi, maka kondisinya akan aman. Tetapi bila tidak cukup tersedia atau sulit terjangkau dan tidak aman untuk dikonsumsi, maka akan menimbulkan gejolak sosial.

Kasus temuan "benda-benda asing" dalam biskuit bantuan World Food Programme (WFP) diangkat gubernur sebagai contoh tidak amannya masalah pangan. "Kalau kemarin kita dapat informasi tentang biskuit yang dibagi oleh WFP dengan niat yang tulus, ikhlas karena perikemanusiaan, tetapi ternyata di beberapa tempat ditemukan ketidakamanan dalam mengonsumsi pangan. Di sana ada pecahan botol, kaca, dan benda asing yang membuat biskuit itu tidak aman untuk dikonsumsi," ujar Lebu Raya.

Pangan, tentu saja, tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang pertanian dalam pengertian luas. Pertanian menghasilkan pangan. Beberapa permasalahan pembangunan pertanian di NTT teridentifikasi.

Pertama, berkaitan dengan konversi lahan. Dengan tekanan penduduk dan kemajuan Iptek ditambah lemahnya koordinasi dalam penerapan kebijakan, lahan yang sebelumnya digunakan untuk pertanian atau persawahan dikonversi menjadi lahan untuk kebutuhan lainnya.

Misalnya, daerah pertanian menjadi lokasi pemukiman atau pertokoan. Di Kota Kupang, Mall Flobamora misalnya, berdiri di atas lahan yang sebelumnya lahan sawah. Di lain tempat, semakin sulit ditemukan padang penggembalaan.

Masalah kedua, soal distribusi. Menurut Lebu Raya, secara umum atau makro terjadi surplus. Namun, secara mikro apalagi hitungan sampai ke rumah tangga, ada kecenderungan terjadi defisit. Akses rumah tangga untuk memperoleh pangan masih rendah. (bersambung)

Pos Kupang edisi Selasa, 21 Juli 2009 halaman 1

Dengarkan "Suara Nabi"

Oleh Hermina Pello, Yosep Sudarso dan Agus Sape

SELAMA ini orang selalu identikkan NTT dengan miskin. Ada banyak pelesetan. Nanti Tuhan tolong, nusa tetap tertinggal, nasib tergantung tetangga, nasib tidak tentu dan masih banyak singkatan lainnya, yang membuat citra NTT semakin buruk dan rendah.

Berita yang terekspos keluar daerah yang ditonjolkan adalah kekurangan yang terjadi di NTT, seperti gizi buruk, kekurangan pangan dan lain-lain.

Dari Diskusi Pangan Lokal (2)

Hal inilah yang kadang-kadang membuat kita sendiri malu berhadapan dengan orang-orang dari daerah lain. Padahal NTT dengan kondisi alam dan geografisnya sangat kaya. Masing- masing daerah memiliki potensi yang besar, namun potensi itu belum digarap secara maksimal.

Kekayaan alam NTT yang tidak terhitung itu seharusnya membuat orang NTT sendiri berbahagia. "Saya memiliki keyakinan bahwa orang NTT sesungguhnya orang yang paling beruntung, setidaknya lebih beruntung dari orang lain di tempat lain. Orang NTT dapat menjadi orang yang sangat kaya, sekurang-kurangnya hidup berkecukupan karena ditempatkan di kawasan yang berpulau-pulau, dengan segala keberagaman alam, budaya dan kekayaan terpendam yang belum tergali. Bayangkan, terbentuk lebih dari seribu pulau berukuran sedang dan kecil yang bukan padang pasir. Namun ironisnya, berita tentang kelaparan, kematian karena busung lapar, terus mengisi halaman-halaman berbagai media cetak dan elektronik," papar Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, Ph. D, yang membacakan makalahnya.

Sebagai daerah yang kaya, masalah pangan, kurang gizi dan kelaparan tidak perlu terjadi dan terdengar. Tetapi kenyataannya dari tahun ke tahun, NTT terus berkutat dengan masalah- masalah tersebut. Padahal di satu pihak pemerintah sudah membuat intervensi dengan berbagai program didukung dengan program dari berbagai NGO (LSM).

Mengapa masalah pangan ini selalu mendera NTT? Menurut Umbu Datta, orang NTT yang kurang tahu cara berterima kasih apalagi mengucap syukur kepada pencipta alam semesta. Ada tujuh ciri khas manusia seperti itu.

Pertama, merusak lingkungan dengan membabat, menebas dan membakar lahan yang sudah marginal bahkan kritis, merusak terumbu karang, serakah dalam eksploitasi sumber daya alam.
Kedua, upaya mengembalikan kesuburan tanah dengan cara yang mudah dan murah. Ketiga, tidak bijak dalam mengendalikan dan memanfaatkan air hujan yang cukup besar jumlahnya, tetapi datangnnya rata-rata hanya tiga bulan dalam setahun.

Ciri berikutnya adalah persepsi bahwa makanan lokal itu "berstatus sosial rendah" dibandingkan makanan impor.
Ciri berikutnya adalah mayoritas petani, peternak, nelayan, buruh, kurang punya kemauan untuk belajar hal-hal baru. Pengetahuan turun-temurun mereka selalu dianggap lebih baik, sulit menerima inovasi apalagi mengadopsi perubahan, walaupun kearifan lokal juga banyak yang memang patut dipelihara.

Di tengah perkembangan teknologi dan pengetahuan, ada begitu banyak tawaran pangan dari luar yang menggiurkan. Meski kadang terasa asing dengan lidah kita, tetapi seakan ingin menampilkan identitas bahwa kita tidak tertinggal, maka secara perlahan pola makan mulai bergeser dan mulai meninggalkan pangan lokal.

Di satu pihak, saat ini Pemerintah Propinsi NTT mendegungkan kembali pangan lokal dan ini mendapat respons yang sangat baik dari dunia perguruan tinggi. "Let's go back to basics," kata Umbu Datta.

Itulah ungkapan yang dapat mewakili pemikiran tentang perlunya menatap ke depan dengan menjadikan masa lalu sebagai tumpuan untuk melompat ke tingkat pemahaman yang komprehensif tentang ketersediaan dan penyediaan pangan di daerah kita ini.

"Kalau dulu orang tanam jagung tiga biji satu lubang, dua bijinya itu kacang. Pada saat jagung dipanen, jagung juga dipanen. Kacang adalah sumber kalori sekaligus protein dan mineral sehingga orang dulu lebih arif dibandingkan dengan kita yang teknologinya lebih tinggi dan pengetahuan lebih luas. Inilah yang yang saya sebut, let's back to basics," ujar Umbu Datta

Pangan lokal ini perlu mendapat penekanan yang serius dari berbagai pihak, karena ketergantungan dari pihak luar harus dikurangi secara perlahan dan pada akhirnya kemandirian pangan bisa terwujud.

"Surabaya itu seolah-olah jantungnya NTT. Kalau jantung berdetak dan tiba-tiba kena serangan jantung, maka orang NTT bisa sekarat karena sembako didatangkan dari Surabaya. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan, sabotase kapal yang datang ke NTT atau ada hal yang menakutkan bagi kapal untuk datang ke Kupang. Maka kita yang ada di Kupang bisa mengalami problem yang sangat serius. Kalau dalam waktu tiga bulan saja, perdagangan dari Surabaya itu tertutup ke NTT, maka NTT bisa sekarat. I am telling you the truth. Karena cadangan di Bulog habis, beras di pasar tidak ada, lalu mau makan apa? Bayangkan air saja kita masih impor," kritiknya.

Meski Gubernur NTT Drs. Lebu Raya sudah menampik bahwa saat ini beras tidak lagi didatangkan dari Surabaya, Jawa Timur tetapi didatangkan dari NTB karena sudah ada kerja sama daerah bekas Sunda Kecil (Bali, NTB dan NTB), tetap saja nasib kita tergantung tetangga.

Tidak semua pangan yang didatangkan dari luar NTT merupakan produk dari luar, hanya kemasannya saja yang berbeda. Viator Parera menceritakan pengangkutan ribuan tandan pisang yang dibawa dari Maumere ke Surabaya menggunakan kapal ro-ro.


Di sana bahan tersebut diolah menjadi berbagai bentuk makanan, lalu dikirim kembali ke NTT dalam bentuk yang berbeda, misalnya keripik pisang yang dikemas dalam bentuk yang menarik.

Menurut Umbu Datta, untuk mewujudkan kemandirian pangan lokal, tidak perlu berpikir yang muluk-muluk untuk memenuhi pasar nasional apalagi internasional, tetapi sebaiknya berpikir untuk memenuhi pasar di dalam NTT. Kalau bisa barter komoditas antarpulau atau antarkabupaten yang ada di NTT ini saja. Kantong-kantong produksi sudah diketahui dengan pasti, demikian juga dengan jenis pangan lokal tertentu. Misalnya beras dari padi, beras dari jagung, daerah yang cocok untuk kambing, untuk sapi, ikan.

"Kantong produksi kita sudah tahu, tinggal memperbaiki orang- orang di kantong produksi dan berorientasi pasar. Penuhi saja pasar domestik. Kenapa pikir soal kirim daging sapi ke Eropa. Kita pikir dulu bagaimana mengirim ke Manggarai untuk memenuhi kebutuhan di sana. Atau ikan dari Flores Timur untuk memenuhi kebutuhan di daerah lainnya. Malnutrition itu kwashiorkor, berkaitan dengan kekurangan pangan kalori, dan marasmus adalah kekurangan protein. NTT ini bagaimana mengimbangi kawasan mana yang marasmus dan mana yang kwashiorkor dan mana yang kurang dua-dua, tinggal dicari keseimbangannya. Tidak usah pikir daerah lain. Membangun sinergi sehingga menjadikan kita penghuni rumah sendiri," urai Umbu Datta.

Namun kadang-kadang suara yang disampaikan itu seperti hilang ditelan angin. Kalau waktu lalu, Tuhan mengirimkan nabi-nabi yang benar untuk memberitahukan mengenai apa yang akan terjadi, tetapi saat ini nabi-nabinya adalah wartawan, para peneliti, dosen dan guru. Tetapi mereka jarang didengar. Mereka menjadi suara yang remote di padang pasir, kadang-kadang. Mereka tidak banyak, hasil penelitian mereka juga tidak konklusif karena tidak berakhir dengan pengembangan sehingga hasil penelitian itu berkarat dan berdebu, rust and dust, bukan research and development. "Suara nabi juga perlu didengarkan," kata Umbu Datta. (bersambung)

Pos Kupang edisi Rabu, 22 Juli 2009 halaman 1

Mulailah dari Pekarangan

Oleh Hermina Pello, Yosep Sudarso dan Agus Sape

TENTANG pangan lokal, mantan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Viator Parera berbagi pengalaman. Pria berusia lebih dari tujuh puluh tahun ini tidak membeberkan alasan konsumsi pangan lokal; tidak bicara tentang distribusi pangan lokal dan lain-lain. Permasalahan tersebut bukan tidak penting, tetapi Parera memilih berbagi pengalaman tentang hal-hal praktis.

Dari Diskusi Pangan Lokal (3)

"Saya angkat topi untuk jagung titi Flores Timur. Itu paling enak. Orang dari luar negeri saja kagum dengan jagung titi, kok kita tidak bisa. Jagung titi ini ditambah dengan sayur rumpu-rampe yang dimasak dari hasil tanaman-tanaman yang tumbuh di sekitar rumah atau kebun seperti pepaya dan marunggai (Moringa oleifera), kemudian ditambah ikan bakar dan tuak putih dari pohon tuak yang juga tumbuh di sekitar, menjadi menu makanan lokal yang sulit untuk ditolak," demikian antara lain Parera mengapresiasi pangan lokal NTT ketika tampil menjadi salah satu narasumber diskusi terbatas tentang pangan lokal di Aula RVM Walikota, Kupang, Selasa (14/7/2009).

Terlepas dari pengolahannya yang masih alami, Parera menjelaskan, dari "pertualangannya" ke beberapa desa di Flotim, ternyata di kebun-kebun yang penuh batu, petani menanam jagung dengan pola salome (satu lobang rame-rame). Maksudnya, dalam satu lobang, petani tidak hanya menanam jagung, tetapi juga ada labu dan kacang turis. Kacang turis bisa memberi nitrogen, labu menjalar di atas batu dan meletakkan buah di atasnya. Sungguh indah dipandang mata.

Parera juga bernostalgia tentang Ai óhu budun, yakni gaplek atau ubi kayu kering yang difermentasi sampai menjadi lembek dan berwarna hitam khas orang Sikka. Cara yang biasa dilakukan dalam mem-budu (fermentasi) ialah dengan dibungkus dalam daun waru atau kelopak pisang yang masih mentah.

"Hemat saya, dapat saja ditingkatkan dengan meniru cara orang membuat tempe. Kalau dalam pembuatan tempe bahan ragiannya dibuat sendiri dari tempe yang dipotong kecil-kecil lalu dijemur sampai kering betul lalu ditumbuk sampai halus, di sini diganti dengan ái óhu budun sendiri. Bila mau dikonsumsi, direndam dulu semalam lalu dipanggang di atas bara api atau direbus. Dimakan bersama parutan kelapa ... enaaaaak! Ada juga yang menggorengnya: sama enaknya," cerita Parera.

Dia menegaskan, pangan lokal berbasis pertanian lahan kering di NTT bukanlah sesuatu yang asing. Pangan lokal hadir dalam berbagai bentuk dan cara, perbedaannya hanya pada jenis tanamannya, tempat dan cara bercocok-tanam, dan pada pengolahan pasca panen.

Dalam konteks ini, ia menawarkan pekarangan rumah sebagai lahan menanam pelbagai tanaman pangan. Namun, pria yang sudah malang-melintang di berbagai negara terkait masalah pertanian ini menegaskan, ada perbedaan yang nyata dengan ladang.

Untuk jenis tanaman di ladang, sebaiknya berfokus pada tanaman pangan utama, sedangkan kebun pekarangan lebih mengarah pada sumber-sumber pangan suplemen (pisang umpamanya), pohon buah-buahan, sayuran, rempah-rempah, serat, tanaman obat, dan lain-lain.

"Kalau kita jalan dari Larantuka sampai di Ende, maka kita akan melihat rumah dengan kebun yang di dalamnya ditanam segala jenis pisang. Dulu saya masih di Perumnas (Kelurahan Nefonaek, Kecamatan Kelapa Lima, sekarang), saya juga menanam ubi kayu, dan ternyata subur bukan main. Hasilnya juga enak sekali dan
tidak ada urat," ujarnya.

Pentingnya peranan pekarangan diakui Parera sebagai tempat domestikasi berbagai jenis tanaman dan perkembangannya. Berevolusinya suatu jenis tanaman itu berawal dari pekarangan. Contohnya di Sikka. Saat ini alpukatnya sangat terkenal, padahal dulu hanya ada di Ende. Setelah masuk di Sikka, menjadi alpukat yang sangat enak.

Ia menegaskan, keberanian untuk mencoba dan bermain dengan pekarangan ini harus ada karena dari pekaranganlah tanaman yang dikenal sekarang ini berkembang.

"Kalau kita berani dan komitmen, maka kita juga harus berani main-main di rumah kita, halaman kita, mencoba tanaman baru," ajaknya.

Untuk bisa maju, harus ada kekuatan yang bisa merangsang orang untuk maju, termasuk dalam urusan pertanian. Salah satunya dalam bentuk nyanyian karena nyanyian itu hampir sama dengan simbol. Di Sikka misalnya, ada yang dinamakan 'tana lúma-lágo' yaitu tanah bero yang ditanami dengan turi dan waru, dijadikan istilah untuk tanah milik: "Lúma-lágo aún", tanah milik saya.

Kesuburan tanah di kebun pekarangan berkaitan erat dengan diversifikasi tanamannya yang luas dan strukturnya yang rumit dan bertingkat banyak. Mulai dari yang menjalar di atas tanah (ubi tatas); menjalar di pagar (kacang panjang jenis lokal, kecipir yang oleh orang Maumere disebut heó, orang Lio dowe, Latin Psophocarpus Tetragonolobus, Inggris wing bean, dan oleh National Academy of Sciences disanjung dengan sebutan "A High-Protein Crop For The Tropics"); berbentuk semak (terong, lombok); pohon yang rendah (delima, jambu, belimbing), yang sedang (sirsak), sampai kepada yang tinggi (mangga, nangka, kelapa). Dalam areal yang lebih luas dan berada jauh dari rumah, berbentuk wanatani (agroforestry) yang di Pulau Timor disebut mamar dan di Sikka dikenal dengan nama ongen.

Menurutnya, kesuburan tanah dalam kebun pekarangan dan wanatani seharusnya dibiarkan berproses secara alami. Ini bukan berarti para petani tradisional tidak memiliki cara-cara pribumi menjaga keberlanjutan kesuburan tanah.

Pakar masalah pertanian (meskipun dia sendiri tidak suka disebut demikian) menyimpulkan, pengembangan pertanian lahan kering untuk menghasilkan pangan lokal bukan sekadar satu masalah teknis agronomis. Bukan pula ekologis. Ia terutama satu masalah human-ekologi, melibatkan interaksi manusia dengan agroekosistem tempat ia tinggal dan berusaha-tani. (habis)

Pos Kupang edisi Kamis, 23 Juli 2009 halaman 1

Tiga Mantan Bendahara Jadi Tersangka

  • Korupsi Bermodus Pencurian di TTS
  • Uang Sudah Habis Sebelum Terjadi Pencurian

SOE, PK-- Penyidik tindak pidana korupsi Polres TTS menetapkan tiga orang mantan bendahara pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi anggaran rutin tahun 2008. Kasus ini merugikan negara Rp 1.103.571.713.

Pengusutan kasus korupsi ini merupakan pengembangan penyelidikan kasus-kasus pencurian yang terjadi di kantor dinas PPO setempat. Penyelidikan kasus ini dialihkan ke pidana korupsi setelah polisi menemukan indikasi kuat bahwa ternyata uang yang dilaporkan digasak maling itu ternyata sudah habis terpakai sebelum terjadi peristiwa pencurian.

Ketiga mantan bendahara yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni mantan bendahara umum, Eben Liunome, mantan bendahara Subdin Pemuda dan Olahraga, Obed Koy dan mantan bendahara Subdin Sarpen, Johanis Nubatonis.

Kepala Polres TTS, AKBP Suprianto mengatakan itu saat dikonfirmasi Pos Kupang di SoE, Selasa (21/7/2009) petang.

Penetapan ketiga tersangka itu dilakukan setelah diadakan gelar hasil penyelidikan kasus itu di Polres TTS.

"Ketiga mantan bendahara itulah yang mengeluarkan uang dari kas daerah. Dan ketiga mantan bendahara itu juga tidak bisa mempertanggungjawabkan penggunaan sejumlah uang sehingga negara dirugikan Rp 1 miliar lebih," ujarnya.

Dia juga mengatakan bahwa masih ada kemungkinan terjadi penambahan tersangka.

Diberitakan sebelumnya, penyidik tindak pidana korupsi Polres TTS menggelar kasus dugaan korupsi di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga TTS tahun anggaran 2008 di Mapolres TTS, Selasa (21/7/2009). Gelar kasus dugaan korupsi yang merugikan negara Rp 1.103.571.713 itu untuk menentukan siapa saja menjadi tersangkanya.

Kapolres TTS, AKBP Suprianto yang dikonfirmasi di SoE, Sabtu (18/7/2009) menjelaskan, Kasat Reskrim, Iptu Taufiq Abdih bersama stafnya penyidik tipikor sudah menyiapkan bahan gelar kasus tersebut. Lewat gelar perkara akan diketahui secara jelas gambaran dugaan pidana yang terjadi, modus sekaligus orang yang berperan sehingga negara dirugikan miliaran rupiah. (aly)

Pos Kupang 23 Juli 2009 halaman 17

NTT Juara Umum Tinju

KUPANG, PK -- Seperti prediksi kontingen PPLP Propinsi NTT berhasil keluar sebagai juara umum Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Tinju Antar-PPLP se- Indonesia yang berlangsung di GOR Flobamora Kupang tanggal 16-21 Juli 2009. Setelah final, Selasa (21/7/2009) malam, NTT meraup 18 poin, mengalahkan saingannya, Riau.

Secara umum, NTT merebut empat medali emas, satu perak dan tiga perunggu. Medali emas NTT diraih oleh Rudolf Landy (46 kg junior boy), Yandi Papuli (52 kg junior boy), Xaverinus (51 kg youth boy) dan Morids Malaikosa (57 kg youth boy). Satu medali perak direbut Yohanes Mella dari kelas 60 kg youth boy. Tiga medali perunggu dipersembahkan oleh, Chris Bana (40 kg junior boy), Lazarus Lassa (42 kg junior boy) dan Libertus Gail (54 kg junior boy).

Petinju Maluku, Gerry Toisuta ditetapkan menjadi petinju terbaik. Gelar petinju harapan disabet oleh Faran Papendang dari Sulawesi Utara. Untuk kategori antar- sasana, juara umum direbut sasana Haukoto (18 poin), petinju favorit putra, Maxem Batmalo (Citra Desain), harapan putra, Demy Amung (Alor), terbaik putra, Silvester Lassa (Haukoto). Petinju favorit putri direbut Marina Neolaka (Neonsaen), harapan putri untuk Magdalena Kamboya (Merauke) dan petinju terbaik putri jatuh kepada Sri Foes (PGMI).

Riau sebenarnya tampil luar biasa dalam kejuaraan ini. Tiga petinjunya yang lolos ke final semuanya membawa pulang medali emas. Namun, NTT yang memainkan lima petinjunya di final ternyata lebih beruntung, karena hanya Yohanes Mella yang kalah, sedangkan Rudolf Landy, Yandi Papuli, Xaverius dan Morids Malaikosa semuanya berhasil merebut medali emas di kelasnya.

Malam final kejuaraan ini berlangsung menarik. Ribuan penonton yang memadati tribun GOR Flobamora terus meneriakkan yel-yel mendukung tim favoritnya. Kontingen PPLP NTT, nampak datang dengan suporter yang khusus didatangkan untuk mendukung para petinjunya.

Final di kelompok antar-PPLP berlangsung sangat ketat. Maluku yang secara menyejutkan lebih banyak meloloskan petinjunya ke babak final ternyata tidak bisa mendominasi. Andalan PPLP Maluku seperti Marco Semaputty, Octovianus Patty dan Rido Toisuta, harus mengakui kelebihan lawannya. Marco petinju Sulawesi Selatan, Irfandy, Octovianus dikalahkan petinju NTT, Rudolf Landy sedangkan Rido kalah dari petinju Sulut, Faran Papendang.

Kejuaraan ini secara resmi ditutup oleh Wakil Gubernur NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si. Hadir dalam acara penutupan tersebut Ketua DPRD NTT, Drs. Melkianus Adoe, Sekretaris Umum KONI Propinsi NTT, Drs. Umbu Saga Anakaka, dan para pejabat lainnya.

Usai acara penutupan, dilanjutkan dengan malam perpisahan yang digelar di Hotel Bahtera Indah, Kupang. Acara dimeriahkan dengan aksi-aksi menarik dari para penyanyi lokal yang diundang khusus oleh panitia untuk memeriahkan acara tersebut.

Untuk diketahui, kejuaraan tinju antar-PPLP se-Indonesia dan antar-sasana se-Nusa Tenggara digelar sejak tanggal 16-21 Juli 2009. Peserta antar-PPLP berasal dari NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Riau, Kalimantan Selatan dan Jawa Tengah.

Penyelenggara dari event ini adalah Bidang Keolahragaan Dinas PPO Propinsi NTT yang bekerjasama dengan Pengprop Pertina NTT. Kejauraan ini mendapat dukungan dari Platina Komputer (sponsor utama), SKH Pos Kupang, Harian Timex, RRI, Suzuki, Extra Joss, Telkomsel, Warung Batagoer, Hotel Bahtera Indah dan sponsor lainnya. (eko)

Pos Kupang edisi Rabu, 22 Juli 2009 halaman 1

Pangan dan Hukum SPITZ

Oleh Tony Kleden

SALAH satu bencana kelaparan terparah di Eropa terjadi pada tahun 1846 - 1850 di Irlandia. Ladang kentang yang merupakan makanan pokok warga gagal panen akibat hama. Kejadian itu jelas merupakan bencana alam. Tetapi kematian sekitar 2 juta orang akibat kelaparan itu jelas bukan sekadar bencana alam.

Selama bencana kelaparan itu, sebenarnya ada cukup makanan untuk memberi makan dua kali jumlah penduduk yang berjumlah 8 juta orang. Tetapi ekspor besar-besaran bahan makanan mulai dari gandum, oat, barley (jenis gandum yang dipakai untuk membuat bir), ternak, telur dan mentega berlangsung terus. Gandum dan barley dianggap sebagai hasil bumi perdagangan dan hanya ditanam untuk ekspor. Petani Irlandia tidak pernah memakannya karena mereka hanya bekerja untuk tuan tanah.


Sampai sekarang, di negara-negara berkembang pun para petani masih juga belum beruntung nasibnya. Sungguh sangat ironis, para petani yang adalah penghasil pangan manusia adalah kelompok pertama yang menderita kelaparan. Tentu banyak sebab dan alasan mengapa kaum petani dalam sejarahnya selalu berada pada posisi kurang beruntung, meski -- sekali lagi-- mereka adalah produsen pangan dunia. Kelaparan, gizi buruk, gizi kurang, nyatanya, lebih banyak menimpa para petani.


Tetapi pengalaman Irlandia dan fakta di negara-negara berkembang membuka mata kita bahwa persoalan kecukupan pangan, masalah gizi buruk lebih disebabkan oleh sesat pikir dan salah urus ketimbang karena kemiskinan atau infrastruktur yang tidak memadai.

Lapar, kelaparan, karena itu, seolah telah menjadi hal yang biasa buat kebanyakan orang, termasuk warga NTT. Hampir saban tahun, berita kelaparan menghiasi halaman surat kabar dan layar televisi. Mengapa kelaparan itu kerap menjadi pengalaman faktual di daerah ini? Apakah memang kelaparan itu bagian yang niscaya buat kita? Apakah kita, karena itu, hanya bisa berpasrah diri dan menerima kelaparan, paceklik sebagai kondisi yang given?

Buku 50 Tahun Ziarah Pangan Nusa Tenggara Timur diterbitkan tidak terutama untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Tetapi buku ini hadir dengan pandangan, perspektif, pemikiran dan jalan lain untuk soal yang sama, yakni ihwal tentang pangan, tentang kelaparan, tentang pertanian, tentang gizi buruk itu.

Lima puluh tahun dalam judul buku ini disengajakan dengan maksud memberi tekanan bahwa propinsi ini tahun lalu telah menjejak langkahnya di usianya yang ke-50 tahun. Usia emas. Belum tua, sebenarnya. Tetapi rasanya sudah terlalu lama untuk tetap dalam kondisi periferal akibat deraan kelaparan dan kemiskinan.

Ada banyak gagasan, sumbangan ide, alternatif pemikiran tersaji dalam buku yang, menurut rencana, akan diluncurkan berbarengan dengan diskusi tentang pangan lokal di Kupang, Selasa (14/7/2009). Beragam gagasan, setumpuk ide, sejumlah pemikiran alternatif semuanya bermuara pada satu harapan, yakni kekurangan pangan janganlah menjadi masalah yang masif di daerah ini.

Harapan ini sangat penting dan vital. Karena telah sekian lama kita didera dan dikerangkeng dalam pola pikir yang melihat bahwa kelaparan dan kemiskinan adalah bagian hakiki dan inheren, yang seolah telah menjadi suratan tangan kita. Pola pemikiran ini kemudian melemahkan semangat dan membutakan mata kita untuk melihat jalan lain di tengah apa yang telah biasa itu. Dalam deraan pemikiran seperti ini kita kemudian mulai cenderung mempersalahkan iklim, musim kering, topografi, curah hujan dan lingkungan yang dinilai tidak kondusif.

Apakah alam memang salah? Alam tidak pernah salah. Kita juga tidak pernah salah dilahirkan di dan menjadi orang NTT. Yang salah adalah ketidakmampuan kita menyesuaikan diri dengan alam, dengan iklim, dengan musim kering, dengan topografi.

Sikap mempersalahkan iklim dan musim ini bisa dijawab dengan hukum SPITZ. Untuk mereka yang suka mempersalahkan iklim dan musim kering, Pierre Spitz memperkenalkan model yang mengaitkan dampak dari musim kering yang menimpa petani dengan prinsip pemenuhan kebutuhan sendiri. Hukum Spitz sendiri berbunyi demikian: Dalam sistem ekonomi kapitalis, upaya pemenuhan kebutuhan sendiri cenderung menjadi hilang atau tak berarti (Self Provisioning Intensity Tends to Zero/SPITZ).

Aksentuasi dari hukum ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Pada masyarakat industri, secara praktis hampir-hampir tidak ada lagi petani yang membuat roti sendiri dari tepung yang diolah sendiri. Mereka lebih suka menjual gandum hasil kebun mereka lalu membeli roti dari toko. Begitu juga dengan hasil pertanian yang lain. Dengan kata lain, para petani ini secara total telah hidup di sebuah dunia serba uang.

Kita bukan hidup di negara atau daerah industri. Tetapi efek hukum SPITZ sepertinya telah menerpa kita. Buktinya, pangan lokal yang ada banyak pada kita, tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan kita sendiri. Perilaku kita sama dengan 'masyarakat malas' di negara industri, menjual hasil kebun dan membeli barang-barang toko yang sejatinya diimpor dari luar. Penduduk desa memanen dan menjual pisang untuk kemudian membeli pisang goreng dan molen. Asam terbuang-buang di hutan di pedalaman Timor, dibiarkan begitu saja. Tetapi lidah kita sangat doyan dengan manisan asam dari Surabaya di toko dan mal.

Bertruk-truk pisang dari Flores menuju Bali dan Surabaya, kemudian balik lagi ke Flores dalam bentuk keripik pisang. Jagung di desa-desa banyak dan dibiarkan sampai rusak. Tetapi anak-anak sekolah kita sangat gemar mengunyah emping jagung dari Surabaya. Ubi kayu, kestela dan talas kita berlimpah, tetapi roti telah menjadi simbol modernisme yang ditunjukkan kepada setiap tamu yang datang ke rumah. Di Flores, alpukat jadi makanan babi karena tidak bisa dipasarkan. Tetapi kalau ke Jakarta, kita suka menikmati jus alpukat dari Israel yang kurus- kurus.

Ubi, jagung, talas, pisang, kelapa, kestela, alpukat adalah tanaman khas kita yang bisa diolah jadi bahan makanan kita. Tetapi itu sepertinya sulit dilakukan. Mengapa? Karena pangan telah kita reduksi hanya menjadi beras. Pertanian direduksi menjadi sistem sawah yang monokultur. Dan, tanpa kita sadari sepenuhnya sistem pangan dalam keseharian kita kini didominasi oleh gandum dan hasil gandum. Tak aneh, petani sekarang 'memanen' raskin di kantor lurah dan desa. Konyol! Hukum SPITZ sangat kuat kita anut. Tidak percaya?

Sumbangan bahan makanan untuk anak-anak di daerah ini yang mengalami kekurangan gizi diberikan dalam bentuk biskuit yang tidak diproduksi di sini. Makanan ringan (snak) yang kita santap setiap kali rehat suatu acara lebih banyak mengandung gandum ketimbang bahan lokal.

Maka ketika duet Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay mengajak seluruh warga daerah ini kembali ke pangan lokal, kita merasa seolah kembali ke jati diri sendiri, kembali menjadi orang NTT, kembali menjejakkan kaki di bumi NTT yang telah menyediakan sejumlah pangan lokal yang khas daerah ini.

Nah, seperti apa pangan lokal itu, apa saja kandungan nilai gizinya, bagaimana mesti menggalakkan warga daerah ini untuk kembali ke pangan lokal, bisa Anda temukan dalam buku ini. Belum tuntas memang, tetapi sekurang-kurangnya buku ini telah menyadarkan Anda dan siapa saja yang membacanya untuk tidak terjebak dalam hukum SPITZ. Sebaliknya buku ini semakin kuat mengasah spiritual capital Anda untuk dengan bangga dan lantang mengatakan, saya orang NTT. (Sumber:Pos Kupang edisi Sabtu, 11 Juli 2009 halaman 1)

Data buku
Judul : 50 Tahun Ziarah Pangan Nusa Tenggara Timur
Editor : Jonatan Lassa, Dion DB Putra, Tony Kleden
Penerbit : PT Timor Media Grafika, 2009

SBY-Boediono Menang di NTT

  • SBY-Boediono 1.125.592
  • Megawati-Prabowo 881.761 suara
  • JK-Wiranto 127.441 suara.
  • Total suara sah 2.134.794

KUPANG, PK - KPU Propinsi NTT telah menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilihan presiden (Pilpres) 2009 dalam pleno tingkat propinsi yang berlangsung di Sekretariat KPU NTT, Minggu (19/7/2009).

Disaksikan Pos Kupang, Minggu (19/7/2009) sekitar pukul 11.00 Wita, pleno yang dipimpin Ketua KPU NTT, Drs. Johanes Depa, dihadiri Muspida, sejumlah anggota KPU dari 20 kabupaten/kota di NTT dan Ketua Panwaslu NTT, Dominggus Osa.

Turut hadir Gabriel Suku Kotan sebagai saksi dari pasangan calon SBY-Boediono dan Peter Nenohay sebagai saksi pasangan JK-Wiranto. Sedangkan pasangan Megawati-Prabowo tidak menghadirkan saksinya.

Secara keseluruhan, hasil perolehan suara Pilpres dari 20 kabupaten/kota di NTT sebagai berikut. Pasangan nomor urut 2, SBY-Boediono meraup kemenangan dengan memperoleh 1.125.592 suara dari 2.134.794 jumlah suara sah. Disusul pasangan nomor urut 1, Megawati-Prabowo yang mengantongi 881.761 suara, dan pasangan nomor urut 3, JK-Wiranto tetap pada posisi ketiga dengan perolehan 127.441 suara.

Pasangan yang diusung Partai Demokrat mendulang suara terbanyak dari pemilih di Kabupaten TTS dengan 152.204 suara. Berikut Kabupaten Belu dengan 97.275 suara. Sedangkan pasangan Mega-Prabowo meraih suara tertinggi di Kabupaten Sikka dengan perolehan 84.733 suara, disusul Kabupaten Ende sebanyak 82.106 suara. Sementara pasangan JK-Wiranto yang diusung Partai Golkar dan Hanura unggul di Kabupaten Sumba Timur dengan perolehan 10.638 suara, beda tipis dari perolehan suara di Kota Kupang sebanyak 10.623 suara.

Berdasarkan formulir DB-1, jumlah pemilih yang tercatat dalam DPT yang menggunakan hak pilih seluruhnya mencapai 2.230.681 orang. Sedangkan pemilih dalam DPT yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 582.922 orang. Sementara, jumlah pemilih yang menggunakan KTP sebanyak 4.887 orang. Jumlah suara tidak sah sebanyak 111.487.

Pleno ditutup dengan penandatanganan sertifikat rekapitulasi penghitungan suara pemilu presiden dan wakil presiden oleh anggota KPU dan para saksi.

Usai pleno, KPU Propinsi mengadakan rapat koordinasi dengan anggota KPU kabupaten/kota untuk melakukan persiapan rekapitulasi di tingkat pusat.

Ketua KPU NTT, Johanes Depa kepada wartawan mengatakan, hasil pleno tingkat propinsi akan diserahkan kepada KPU pusat pada tanggal 21 Juli untuk diplenokan secara nasional. Kemudian, kata Depa, pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih akan ditetapkan secara nasional pada tanggal 22 Juli 2009.

"De facto, pleno penghitungan suara pilpres di tingkat propinsi di NTT sudah berjalan lancar sesuai dengan mekanisme dan ketentuan undang-undang yang berlaku. Hasil ini akan kita teruskan ke KPU pusat untuk diplenokan secara nasional," jelas Depa. (aa)

Pos Kupang edisi Selasa, 21 Juli 2009 halaman 14

Menunggu Jagung Bose Instan

GUBERNUR NTT, Drs. Frans Lebu Raya menyampaikan terima kasih kepada Harian Pos Kupang atas inisiatifnya menggelar diskusi tentang pangan lokal. Terutama karena diskusi ini dibarengi dengan peluncuran buku "50 Tahun Ziarah Pangan NTT" dan dibuat menjelang peringatan satu tahun dirinya bersama Ir. Esthon L Foenay dilantik menjadi gubernur dan Wakil Gubernur NTT.

Dia menganggap kegiatan ini sebagai dukungan yang sangat berarti terhadap programnya. Bagaimana tidak, sejak dilantik dia terus mengampanyekan pengembangan pangan lokal, terutama jagung. Sejak itu pula dia menetapkan hari Kamis sebagai hari wajib konsumsi pangan lokal. Ini merupakan salah satu upaya agar konsumsi warga NTT diwarnai pangan lokal dan tidak lagi menganggap makanan lokal lebih rendah daripada makanan yang datang dari luar. Hal itu seyogyanya dimulai dari konsumsi rumah tangga.

Tapi tampaknya tidak mudah untuk mengubah persepsi dan sikap masyarakat NTT untuk memberi tempat kepada pangan lokal. Begitu banyak rumah tangga yang belum membiasakan makanan lokal sebagai konsumsi sehari-hari.

Hal yang sama juga terjadi di hotel-hotel dan restoran-restoran. Makanan lokal belum menjadi menu jualan mereka. Makanan lokal baru disediakan kalau dipesan terlebih dahulu. "Ini masih tantangan bagi kita," kata Lebu Raya.

Hal ini juga dikeluhkan Pemimpin Redaksi Harian Pos Kupang, Dion DB Putra, ketika memberi sambutan pengantar diskusi ini. Menurut Dion, semula diskusi ini hendak dilaksanakan di hotel, tetapi ketika diminta untuk menyediakan makanan lokal, sejumlah hotel yang dihubungi menyatakan tidak sanggup. Setelah dicari-cari tempat yang bisa memenuhi permintaan, akhirnya panitia mendapatkan di tempat Susteran RVM (Religious of the Virgin Mary).

Benar. Menu makan siang di akhir diskusi kemarin diwarnai dengan makanan lokal. Para peserta tidak hanya disuguhi nasi, tetapi juga tersedia jagung bose, makanan khas orang Timor dan sup dari jagung muda. Dari antara peserta, ada yang hanya mengambil nasi, tetapi ada juga yang mengambil nasi dicampur dengan jagung bose. Jagung itu terasa lembut dan enak di lidah.

Tapi gubernur kembali bercerita tentang konsumsi menu lokal. Pada hari Senin pagi, usai sidang di DPRD NTT, para peserta sidang disuguhi pisang rebus yang sangat besar. Dia memuji para pelayan yang menyediakan pisang itu. Tapi, dia pun langsung memberikan masukan. Menurut dia, kalau pisang itu dihidangkan setelah dipotong-potong lebih kecil pasti lebih membangkitkan selera. Makanan sangat erat dengan selera.

Gubernur menegaskan bahwa soal potensi pangan lokal NTT sangat kaya. Namun, kita masih lemah dalam hal pengemasan dan pengolahan, sehingga makanan lokal kita cenderung kalah dengan makanan dari luar.

Gubernur memuji jagung bose sebagai menu yang sangat enak dan bergizi tinggi. Tetapi, proses pengolahannya terlalu lama sampai berjam-jam, dibanding beras yang hanya dalam waktu yang sangat singkat bisa masak dan menjadi nasi yang layak dimakan.

Dia menantang perguruan tinggi untuk mengolah jagung bose yang "instant", cepat saji, tapi tetap aman dikonsumsi. Gubernur menyambut baik kerja sama Undana dan Menristek untuk memproduksi jagung bose instan. (ati/dar/ira)

Pos Kupang edisi Rabu, 15 Juli 2009 halaman 1

Pangan Lokal Butuh Citra Baik

KUPANG, PK---Mengonsumsi pangan lokal (tidak tergantung semata pada beras) perlu terus dikampanyekan dan terutama dipraktikkan seluruh lapisan masyarakat NTT. Namun, seiring dengan tekad tersebut, pangan lokal kita masih membutuhkan citra sehingga tidak kalah bersaing dengan makanan yang datang dari luar.

Kampanye konsumsi pangan lokal juga membutuhkan komitmen yang kuat dan konsistensi kebijakan termasuk fiskal (anggaran) dari pemerintah propinsi dan semua kabupaten/kota. Perlu pula dilakukan revitalisasi peran penyuluh pertanian dan menghadirkan juru penerang pangan di setiap desa di seluruh NTT.

Demikian antara lain intisari diskusi "Pangan Lokal dan Peluncuran Buku 50 Tahun Ziarah Pangan NTT Sehati Sesuara Mewujudkan Kedaulatan Pangan Lokal" di Aula Susteran RVM Walikota, Kupang, Selasa (14/7/2009). Diskusi yang diselenggarakan Harian Umum Pos Kupang ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M. App, Sc. Ph.D, dan pakar pertanian, Ir. Viator Parera. Tampil sebagai moderator anggota DPRD NTT, Pius Rengka.

Peserta diskusi terdiri dari puluhan undangan dari sejumlah instansi pemerintah, LSM, akademisi dan pemerhati masalah pangan (dan pertanian pada umumnya) di NTT, anggota DPD terpilih, Ir. Paul Liyanto, Ny. Welmintje Benyamin-Adoe, Ny. Victoria Hurek dan sejumlah anggota PKK, para jurnalis media cetak dan elektronik.

Dalam diskusi ini mengemuka pula sejumlah tawaran konkret seperti pemerintah mewajibkan semua restoran untuk menghidangkan makanan lokal (nasi jagung, nasi ubi, kacang- kacangan) minimal sekali seminggu. Demikian pula pesawat terbang dari dan ke NTT diharapkan untuk menyajikan makanan lokal NTT.

Saat membawakan makalahnya, Gubernur Lebu Raya menyebut perlunya pangan lokal NTT mempunyai citra. Menurutnya, bagaimana mengolah pangan lokal agar menarik untuk dikonsumsi masih menjadi salah satu persoalan dalam upayanya mengampanyekan konsumsi makanan lokal.

"Citra pangan lokal memang masih rendah dan karena itu kalah bersaing dengan makanan yang datang dari luar. Kita harus membuat pangan lokal kita punya citra dan bermartabat. Itu dilakukan antara lain melalui publikasi. Mie diiklankan oleh artis-artis cantik. Kenapa jagung bose tidak bisa diiklankan oleh Rektor Undana, misalnya," ujar Lebu Raya.

Dia mencontohkan, jagung bose sudah dikenal sebagai makanan lokal NTT. Namun, pengolahan jagung bose masih membutuhkan waktu berjam-jam. "Itu tantangan untuk Undana dan perguruan tinggi lainnya di NTT supaya jagung bose bisa menjadi bose instan, tetapi aman. Kita berterima kasih karena ternyata Undana sudah bekerja sama dengan Menristek untuk membuat bose instan yang aman dikonsumsi," lanjut Lebu Raya.

Rektor Undana, Frans Umbu Datta juga menegaskan hal yang sama. Bahkan, menurutnya, dalam masyarakat kita lahir persepsi bahwa makanan lokal "berstatus sosial lebih rendah" dibanding makanan impor. Kesan ini, jelasnya, tumbuh mulai tahun 1970-an karena program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang mengarahkan penyeragaman program pada hampir semua lini kehidupan.

Di bagian lain, Lebu Raya menekankan tiga faktor yang harus dipenuhi dalam rangka pemenuhan pangan lokal, yakni ketersediaan, terjangkau dan aman. Soal ketersediaan, ia menegaskan, secara umum sebenarnya terjadi surplus. Namun, secara mikro, apalagi hitungannya sampai di rumah tangga, hampir pasti defisit. "Itu artinya kita bicara soal distribusi. Kita bicara bagaimana akses rumah tangga yang masih rendah untuk memperoleh pangan," jelasnya.

Tentang faktor harga (terjangkau), Lebu Raya menyentil masih adanya perilaku segelintir orang yang melakukan penimbunan untuk menaikkan harga. "Ada orang yang melakukan penimbunan sehingga stok berkurang di pasar. Orang itu simpan dulu di gudangnya lalu mengatakan tidak ada lagi, tetapi besok muncul dengan harga lebih mahal," ujarnya sambil menekankan pentingnya faktor keamanan pangan lokal.

Narasumber lainnya, Viator Parera membawakan makalah "Pangan Lokal Berbasis Pertanian Lahan Kering (Imajinasi, Komitmen dan Energi Akar Rumput)". Menurutnya, pangan lokal berbasis pertanian lahan kering tidak asing bagi masyarakat NTT. Perbedaan antara daerah yang satu dengan yang lain hanya terletak pada jenis tanamannya, tempat dan cara bercocok-tanam serta pada pengelolaan pasca panen.

Parera juga menegaskan perlunya pemanfaatan pekarangan rumah. Pekarangan rumah, katanya, dapat ditanam sumber- sumber pangan suplemen seperti pisang, pohon buah-buahan, sayuran, rempah-rempah, serat, tanaman obat, dan lain-lain.

Sebelum diskusi ini berakhir, Gubernur NTT, Frans Lebu Raya meluncurkan buku "50 Tahun Ziarah Pangan NTT Sehati Sesuara Mewujudkan Kedaulatan Pangan Lokal" yang diterbitkan PT Timor Media Grafika. Pemimpin Umum PT Timor Media Grafika, Damyan Godho, dalam sambutannya mengatakan, penerbitan buku ini sebagai bentuk nyata peran serta Pos Kupang menggalakkan konsumsi pangan lokal. (ati/ira/dar)

Pos Kupang edisi Rabu, 15 Juli 2009 halaman 1

Kreatif Sajikan Pangan Lokal

KUPANG, PK---Kandungan gizi dan vitamin dalam bahan pangan lokal tidak perlu diragukan. Yang dibutuhkan agar pangan lokal itu lebih menarik minat dan membangkitkan selera adalah teknik pengolahan dan penyajiannya. Karena itu, dibutuhkan kreativitas dalam menyajikannya.

Demikian sari pendapat yang diperoleh dari penjelasan Ketua Tim Penggerak PKK NTT, Ny. Lusia Adinda Lebu Raya, dan Ketua Tim Penggerak PKK Kota Kupang, Ny. Welmintje Adoe Benyamin, Wakil Ketua Tim Penggerak PKK Kota Kupang, Ny. Viktoria Hurek. Ketiganya dihubungi Pos Kupang, Rabu (15/7/2009), merespons diskusi yang diselenggarakan Pos Kupang, Selasa (14/7/2009), tentang pangan lokal.

Diskusi yang dipadukan dengan peluncuran buku 50 Tahun Ziarah Pangan Nusa Tenggara Timur itu menampilkan tiga narasumber, yakni Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, dan Ir. Viator Parera. Dalam diskusi itu dinilai penting mengangkat dan membiasakan masyarakat NTT mengonsumsi pangan lokal. Ketiga narasumber sepakat bahwa NTT sebetulnya tidak kekurangan bahan pangan, karena alam NTT telah menyediakan begitu beragam bahan pangan lokal.

Sejauh ini, masyarakat sudah tidak biasa lagi mengonsumsi pangan lokal karena terlanjur dicitrakan sebagai bahan makanan kelas rendahan.

Menurut Ny. Lusia Lebu Raya, kandungan vitamin dan gizi dalam pangan lokal cukup bagus dan bernilai. Yang kurang, katanya, adalah teknik penyajiannya yang tidak menggoda selera. Karena itu dia berharap agar sajian pangan lokal lebih kreatif.

Dari pengalamannya ketika berkunjung ke masyarakat, kata Ny. Lusia, pangan lokal disajikan dengan menarik selera makan. Pangan lokal seperti jagung, pisang dan ubi-ubian disajikan secara baik selama acara berlangsung. Tetapi dia sering bertanya, apakah menu yang disajikan selama masa kunjungan itu tetap dikonsumsi warga setempat setelah kunjungannya berakhir? "Jangan sampai ada kesan, makanan lokal yang disajikan hanya untuk menyenangkan hati pak gubernur sebagai pencanang program pangan lokal saat melakukan kunjungan kerja ke daerah. Sekembalinya rombongan, jangan sampai warga setempat sudah lupa makan pangan lokal," kata Ny. Lusia.

Pendapat senada diutarakan Ny. Welmintje Adoe. Menurutnya, sangat jenuh mengonsumsi pangan lokal jika disajikan secara utuh tanpa kreasi pengolahan. Dia mencontohkan, pisang rebus yang dibaluti kulit secara utuh akan cepat kenyang bila dikonsumsi seorang anak kecil. Pisang akan lezat dan terus disantap anak bila dijadikan cake pisang, ditaburi dengan parutan keju.

Ubi kayu sebagai pangan lokal, lanjut Welmintje, akan jenuh dikonsumsi oleh anggota keluarga bila disajikan dengan cara rebus setelah dipotong selebar tiga jari orang dewasa. "Ubi kayu bisa diracik dengan sederhana dengan cara memarut sebatang ubi. Parutan ubi dimasukkan dalam kukusan lalu ditaburi kelapa parut atau coklat. Sajian yang menarik dengan berbagai bentuk dan warna ubi kayu yang alamiah bisa membangkitkan gairah makan anak," katanya.

Menurut Ny. Lusia Lebu Raya, di sejumlah kampung yang dikunjunginya, ia menemukan ada banyak hasil panen petani yang berlimpah. Ia sangat menyayangkan bila hasil panen itu tidak dimanfaatkan secara baik karena keterbatasan keterampilan pengolahannya.

Perlu Kampanye
Baik Ny. Lusia maupun Ny. Welmintje sepakat bahwa perlu kampanye menggalakkan masyarakat mengonsumsi pangan lokal. Ny. Lusia optimis pangan lokal akan sukses menjadi raja pangan di NTT jika ada promosi dan kampanye terutama menyangkut kandungan gizi serta penyajian yang kreatif.

Keterlibatan rumah makan dan restoran di Kota Kupang dalam menyajikan pangan lokal, kata Ny. Lusia dan Ny. Welmintje, turut membantu warga Kota Kupang untuk menentukan pilihan menunya.

Wakil Ketua PKK Kota Kupang, Ny.Viktoria Hurek, mengatakan, sudah saatnya warga Kota Kupang tidak berharap kepada beras sebagai makanan pokok dalam keluarga. Pangan lokal juga harus tampil sebagai menu utama yang mendominasi untuk disajikan kepada para tamu.

Ny. Viktoria menambahkan, pangan lokal akan bergema kuat di NTT bila langkah sosialisasi tentang keunggulannya lebih gencar dilakukan oleh semua pihak.


Ibu Pengendali
Terkait dengan upaya menggalakkan pangan lokal, Ny. Welmintje, mengatakan, para ibu rumah tangga harus tampil sebagai pengendali pangan lokal dengan meracik menu makanan bergizi, beragam dan berimbang (3B) untuk disajikan kepada seluruh anggota keluarga.

Menurut Ny. Welmintje, bahan pangan lokal bisa dimanfaatkan secara baik bila para ibu rumah tangga sebagai pengatur menu mau belajar dan mempraktekkan berbagai keterampilan membuat menu makanan dari bahan pangan lokal. PKK Kota Kupang, kata Welmintje, telah menggalakkan program pelatihan kepada Tim Penggerak PKK Kelurahan tentang kiat meracik menu pangan lokal.

Selain pelatihan yang berlangsung secara kontinu kepada PKK Kelurahan, kata Ny. Welmintje, pihaknya juga telah mengeluarkan satu buku tentang cara meracik menu lokal di Kota Kupang. Menu pangan lokal yang disajikan pagi, siang dan malam untuk anggota keluarga itu bisa dipraktekkan karena sederhana dalam penyajian dan modalnya. (osa)

Pos Kupang edisi Kamis, 16 Juli 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes