SELAMA ini orang selalu identikkan NTT dengan miskin. Ada banyak pelesetan. Nanti Tuhan tolong, nusa tetap tertinggal, nasib tergantung tetangga, nasib tidak tentu dan masih banyak singkatan lainnya, yang membuat citra NTT semakin buruk dan rendah.
Berita yang terekspos keluar daerah yang ditonjolkan adalah kekurangan yang terjadi di NTT, seperti gizi buruk, kekurangan pangan dan lain-lain.
Dari Diskusi Pangan Lokal (2)
Hal inilah yang kadang-kadang membuat kita sendiri malu berhadapan dengan orang-orang dari daerah lain. Padahal NTT dengan kondisi alam dan geografisnya sangat kaya. Masing- masing daerah memiliki potensi yang besar, namun potensi itu belum digarap secara maksimal.
Kekayaan alam NTT yang tidak terhitung itu seharusnya membuat orang NTT sendiri berbahagia. "Saya memiliki keyakinan bahwa orang NTT sesungguhnya orang yang paling beruntung, setidaknya lebih beruntung dari orang lain di tempat lain. Orang NTT dapat menjadi orang yang sangat kaya, sekurang-kurangnya hidup berkecukupan karena ditempatkan di kawasan yang berpulau-pulau, dengan segala keberagaman alam, budaya dan kekayaan terpendam yang belum tergali. Bayangkan, terbentuk lebih dari seribu pulau berukuran sedang dan kecil yang bukan padang pasir. Namun ironisnya, berita tentang kelaparan, kematian karena busung lapar, terus mengisi halaman-halaman berbagai media cetak dan elektronik," papar Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, Ph. D, yang membacakan makalahnya.
Sebagai daerah yang kaya, masalah pangan, kurang gizi dan kelaparan tidak perlu terjadi dan terdengar. Tetapi kenyataannya dari tahun ke tahun, NTT terus berkutat dengan masalah- masalah tersebut. Padahal di satu pihak pemerintah sudah membuat intervensi dengan berbagai program didukung dengan program dari berbagai NGO (LSM).
Mengapa masalah pangan ini selalu mendera NTT? Menurut Umbu Datta, orang NTT yang kurang tahu cara berterima kasih apalagi mengucap syukur kepada pencipta alam semesta. Ada tujuh ciri khas manusia seperti itu.
Pertama, merusak lingkungan dengan membabat, menebas dan membakar lahan yang sudah marginal bahkan kritis, merusak terumbu karang, serakah dalam eksploitasi sumber daya alam.
Kedua, upaya mengembalikan kesuburan tanah dengan cara yang mudah dan murah. Ketiga, tidak bijak dalam mengendalikan dan memanfaatkan air hujan yang cukup besar jumlahnya, tetapi datangnnya rata-rata hanya tiga bulan dalam setahun.
Ciri berikutnya adalah persepsi bahwa makanan lokal itu "berstatus sosial rendah" dibandingkan makanan impor.
Ciri berikutnya adalah mayoritas petani, peternak, nelayan, buruh, kurang punya kemauan untuk belajar hal-hal baru. Pengetahuan turun-temurun mereka selalu dianggap lebih baik, sulit menerima inovasi apalagi mengadopsi perubahan, walaupun kearifan lokal juga banyak yang memang patut dipelihara.
Di tengah perkembangan teknologi dan pengetahuan, ada begitu banyak tawaran pangan dari luar yang menggiurkan. Meski kadang terasa asing dengan lidah kita, tetapi seakan ingin menampilkan identitas bahwa kita tidak tertinggal, maka secara perlahan pola makan mulai bergeser dan mulai meninggalkan pangan lokal.
Di satu pihak, saat ini Pemerintah Propinsi NTT mendegungkan kembali pangan lokal dan ini mendapat respons yang sangat baik dari dunia perguruan tinggi. "Let's go back to basics," kata Umbu Datta.
Itulah ungkapan yang dapat mewakili pemikiran tentang perlunya menatap ke depan dengan menjadikan masa lalu sebagai tumpuan untuk melompat ke tingkat pemahaman yang komprehensif tentang ketersediaan dan penyediaan pangan di daerah kita ini.
"Kalau dulu orang tanam jagung tiga biji satu lubang, dua bijinya itu kacang. Pada saat jagung dipanen, jagung juga dipanen. Kacang adalah sumber kalori sekaligus protein dan mineral sehingga orang dulu lebih arif dibandingkan dengan kita yang teknologinya lebih tinggi dan pengetahuan lebih luas. Inilah yang yang saya sebut, let's back to basics," ujar Umbu Datta
Pangan lokal ini perlu mendapat penekanan yang serius dari berbagai pihak, karena ketergantungan dari pihak luar harus dikurangi secara perlahan dan pada akhirnya kemandirian pangan bisa terwujud.
"Surabaya itu seolah-olah jantungnya NTT. Kalau jantung berdetak dan tiba-tiba kena serangan jantung, maka orang NTT bisa sekarat karena sembako didatangkan dari Surabaya. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan, sabotase kapal yang datang ke NTT atau ada hal yang menakutkan bagi kapal untuk datang ke Kupang. Maka kita yang ada di Kupang bisa mengalami problem yang sangat serius. Kalau dalam waktu tiga bulan saja, perdagangan dari Surabaya itu tertutup ke NTT, maka NTT bisa sekarat. I am telling you the truth. Karena cadangan di Bulog habis, beras di pasar tidak ada, lalu mau makan apa? Bayangkan air saja kita masih impor," kritiknya.
Meski Gubernur NTT Drs. Lebu Raya sudah menampik bahwa saat ini beras tidak lagi didatangkan dari Surabaya, Jawa Timur tetapi didatangkan dari NTB karena sudah ada kerja sama daerah bekas Sunda Kecil (Bali, NTB dan NTB), tetap saja nasib kita tergantung tetangga.
Tidak semua pangan yang didatangkan dari luar NTT merupakan produk dari luar, hanya kemasannya saja yang berbeda. Viator Parera menceritakan pengangkutan ribuan tandan pisang yang dibawa dari Maumere ke Surabaya menggunakan kapal ro-ro.
Di sana bahan tersebut diolah menjadi berbagai bentuk makanan, lalu dikirim kembali ke NTT dalam bentuk yang berbeda, misalnya keripik pisang yang dikemas dalam bentuk yang menarik.
Menurut Umbu Datta, untuk mewujudkan kemandirian pangan lokal, tidak perlu berpikir yang muluk-muluk untuk memenuhi pasar nasional apalagi internasional, tetapi sebaiknya berpikir untuk memenuhi pasar di dalam NTT. Kalau bisa barter komoditas antarpulau atau antarkabupaten yang ada di NTT ini saja. Kantong-kantong produksi sudah diketahui dengan pasti, demikian juga dengan jenis pangan lokal tertentu. Misalnya beras dari padi, beras dari jagung, daerah yang cocok untuk kambing, untuk sapi, ikan.
"Kantong produksi kita sudah tahu, tinggal memperbaiki orang- orang di kantong produksi dan berorientasi pasar. Penuhi saja pasar domestik. Kenapa pikir soal kirim daging sapi ke Eropa. Kita pikir dulu bagaimana mengirim ke Manggarai untuk memenuhi kebutuhan di sana. Atau ikan dari Flores Timur untuk memenuhi kebutuhan di daerah lainnya. Malnutrition itu kwashiorkor, berkaitan dengan kekurangan pangan kalori, dan marasmus adalah kekurangan protein. NTT ini bagaimana mengimbangi kawasan mana yang marasmus dan mana yang kwashiorkor dan mana yang kurang dua-dua, tinggal dicari keseimbangannya. Tidak usah pikir daerah lain. Membangun sinergi sehingga menjadikan kita penghuni rumah sendiri," urai Umbu Datta.
Namun kadang-kadang suara yang disampaikan itu seperti hilang ditelan angin. Kalau waktu lalu, Tuhan mengirimkan nabi-nabi yang benar untuk memberitahukan mengenai apa yang akan terjadi, tetapi saat ini nabi-nabinya adalah wartawan, para peneliti, dosen dan guru. Tetapi mereka jarang didengar. Mereka menjadi suara yang remote di padang pasir, kadang-kadang. Mereka tidak banyak, hasil penelitian mereka juga tidak konklusif karena tidak berakhir dengan pengembangan sehingga hasil penelitian itu berkarat dan berdebu, rust and dust, bukan research and development. "Suara nabi juga perlu didengarkan," kata Umbu Datta. (bersambung)
Pos Kupang edisi Rabu, 22 Juli 2009 halaman 1