Dan ringkik kepongahan!
IZINKAN beta menulis surat untuk bumi. Sepucuk surat dari beranda Flobamora, kampung besar kita yang sedang asyik masyuk mengeruk isi perut bumi. Perut ibu kehidupan kita yang ternyata berlimpah ruah dengan harta terpendam berabad-abad.
Bumi yang baik hati, demam tambang sedang melanda kampung kami. Dari Timor hingga Lembata. Dari Sumba hingga Flores Barat. Tambang! Kami sekarang sadar sesadar-sadarnya betapa Flobamora ini tak miskin papa seperti klaim orang? Di dalam isi perut Timor, Flores, Lembata, Alor, Sumba, Sabu, Rote, Solor, Adonara, Pura, Pantar terkandung kekayaan tiada tara. Tugas kami hari ini cuma satu. Keruk isi perut itu. Dapatkan uang berkarung-karung.
Dulu motto kami tanam, sekali lagi tanam. Motto kami hari ini adalah tambang, sekali lagi tambang! Bukan tambang galian C. Itu lagu lama. Kami mau tambang yang lebih berharga. Setelah marmer pamerkan pesona, bumi Timor kini booming mangan. Tiada hari tanpa mangan. Salahkah kami jika ingin makan dari mangan-mangan yang bertebaran? Setelah sapi dan cendana wangi masuk museum sejarah, biarkan kami menikmati kekayaan lain yang begitu melimpah ruah.
Bumi yang baik hati, kami tersentak kaget ketika tahu betapa Flores dan Lembata yang setiap lima menit bergoyang gempa vulkanis itu kaya emas murni. Emas berbukit-bukit. Jangan tanya lagi kalau sekadar perak, tembaga, gips atau biji besi.
Kekayaan isi perutmu menggiurkan. Banyak sudah yang berkulit putih, kuning, sawo matang hingga hitam legam datang ke negeri kami. Mereka ngiler dan memuji setinggi langit. Membuat kami jatuh hati hingga selalu ingin lebih cepat lebih baik mengeruk kekayaan itu mengingat kemiskinan masif di kepulauan ini.
Tapi ketahuilah bumi. Demam tambang di kampung ini telah melahirkan suasana miris memilu. Di sini terdengar riuh suara keangkuhan. Terngiang tegas ringkik kepongahan. Kerendahan hati entah ke mana pergi. Dan akal sehat menjauh!
Marmer dan mangan menggoreskan luka. Dan, emas sungguh mengobarkan kontroversi. Di sini kami bakugigit antara saudara sendiri. Yang pro dan anti tambang. Sudah lama dua kubu maklumatkan perang pernyataan dan aksi. Setuju dan tidak setuju. Yang satu berdalih sebagai pihak paling benar atas nama negara. Yang lain fokus pada kerusakan lingkungan hidup serta spirit pro rakyat.
Bumi, ibu kehidupan. Demam tambang menggiring kami melajutkan praktik salah urus, tega melabrak aturan serta mengabaikan pertimbangan akal sehat dan nurani. Egoisme menggumpal. Semua merasa paling benar. Beberapa sudah menghentikan (sementara) penambangan karena tak berizin serta penolakan dari rakyat. Yang lain tetap gigih pegang prinsip, lanjutkan! Demi wibawa negara dan pemerintah.
Di Flores barat 28 izin kuasa penambangan telah terbit dalam kurun waktu empat tahun (2004-2008). Bayangkan bagaimana jadinya bumi Manggarai yang menghijau jika 28 lokasi itu benar-benar ditambang dengan amdal hasil perselingkuhan? Mungkin suatu hari nanti ketika anak cucu kami ingin melihat gurun untuk tambah ilmu, mereka tak perlu pergi jauh ke Sahara.
Bumi yang baik hati, kontroversi tambang belum berujung. Kami bingung. Di kampung kami tak sedikit kaum cerdik pandai. Tak kurang kaum intelektual, orang- orang cerdas dan profesional. Tetapi mereka sepertinya diam-diam saja. Malas tahu atau mungkin lebih doyan mengupas politik dan kuasa yang memang nikmat.
Kontroversi ini membutuhkan pencerahan, tidak sekadar hitam atau putih. Tidak cukup menolak atau pro tambang. Kontroversi mestinya berujung solusi yang bisa diterima semua pihak yang berkepentingan dengan tambang.
Bumi, kami sungguh menyadari perutmu adalah sumber kehidupan kami. Tetapi mengeluarkan isi perutmu butuh pertimbangan. Butuh pengelolaan yang baik dan bijaksana agar hunian kami tidak rusak. Sepatutnya mengeruk tanpa merusak agar bumi ini tetaplah bumi yang menghidupkan sampai kapan pun.
Bumi yang baik hati, entah mengapa kami makin sulit berembug dan berdiskusi. Berdiskusi secara sehat. Ironis betul karena kami sudah hidup di alam demokrasi. Demokrasi langsung yang dipuji komunitas internasional.
Bumi yang baik hati, gara-gara tambang kami jadi cakap mengidentifikasi kawan dan lawan. Juga cerdas kobarkan prasangka. Yang "pro" kurang lebih terdiri dari perusahaan tambang, pemerintah dan masyarakat yang diuntungkan tambang. Sedangkan yang "anti" adalah LSM dan donornya, masyarakat yang dirugikan hingga para pihak yang mendapatkan risiko buruk dari pertambangan.
Kedua kubu belum mau mendudukan perkara secara elegan. Hari demi hari masih saja menjual kambing hitam. Yang "pro" menunjuk yang "anti" sebagai kambing hitam. Demikian pula sebaliknya. Kambing hitam bertarung hasilnya sama-sama hitam bukan? Sia-sia belaka. Tetap menggantung pertanyaan ini, siapa yang memetik manfaat dari kontroversi pertambangan? Rakyat? Belum tentu kawan!
Bumi yang baik hati, tambang sekali lagi tambang membuat kami bersua tanpa jumpa, bertemu tanpa sapa. Kami berprinsip menang-menangan. Kami teralienasi. Mulai lupa siapa diri kami sebenarnya.
Makin banyak di antara kami yang lupa bahwa manusia sekadar numpang hidup sesaat di bumi fana. Bumi ini sejatinya milik anak cucu yang lahir kemudian. Bumi yang baik hati, berilah kami setetes kekuatan guna berperang melawan lupa diri. Terima kasih bumi. (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang edisi Senin, 13 Juli 2009 halaman 1