Sejujurnya kesulitan benih sudah merupakan masalah tahunan petani di Nusa Tenggara Timur dalam satu dasawarsa terakhir. Pemerintah daerah pernah mewacanakan pendirian Balai Benih yang representatif sehingga saban tahun NTT tidak lagi mendatangkan benih dari luar daerah, seperti Jawa, Sulawesi dan Sumatera. Apalagi benih dari luar daerah tentu mengandung risiko tertentu, misalnya rusak atau menurun kualitasnya akibat perjalanan panjang melalui beberapa titik perhentian. Kecuali itu belum tentu benih dari luar cocok dengan kondisi lahan pertanian di NTT.
Entah mengapa wacana menghadirkan Balai Benih tersebut belum terwujud sampai hari ini. Mengingat data statistik sekitar 85 persen penduduk NTT menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, membangun Balai Benih yang representatif kiranya sudah menjadi kebutuhan Nusa Tenggara Timur yang mencanangkan diri sebagai Propinsi Jagung, juga Propinsi Ternak.
Jeritan petani tentang ketiadaan benih hari-hari ini pun merupakan buah nyata dari kebijakan ala sinterklas yang diusung pemerintahan kita mulai dari level pusat hingga ke daerah. Kebijakan ala sinterklas, semisal program beras untuk rakyat miskin (raskin) dan lainnya, selain tidak mendidik juga melunturkan semangat kemandirian, menciptakan ketergantungan.
Sejak lama petani kita seolah dininabobokan dengan bantuan pemerintah setiap tahun anggaran, termasuk dalam hal perbenihan. Selalu tertanam dalam benak petani, untuk apa repot siapkan benih? Kalau tidak ada benih pasti pemerintah akan membantu. Pemerintah pasti mengalokasikan anggaran untuk mendatangkan benih dari luar wilayah. Tugas sebagai petani cukup menyiapkan lahan.
Tanpa kita sadari bantuan semacam itu justru menumpulkan kecakapan petani NTT dalam menyiapkan benih untuk kebutuhan mereka sendiri setiap musim tanam. Coba turun ke kampung-kampung di Nusa Tenggara Timur. Bisa dipastikan tidak banyak lagi petani kita yang piawai menyimpan benih berkualitas seperti generasi terdahulu. Seumpama butuh benih sayur, mereka tinggal ke toko benih. Keluarkan duit sekian rupiah dan bawa pulang benih.
Kemudahaan mendapatkan benih semacam itu serta tumpulnya kecakapan petani mengelola benih hasil panenan sendiri menyebabkan posisi benih lokal NTT semakin terpinggirkan. Posisinya telah digeser oleh benih (jagung atau padi) yang berasal dari luar daerah. Hasil riset sejumlah mahasiswa pertanian menunjukkan, puluhan jenis benih palawija lokal NTT main langka bahkan sebagian bisa dilukiskan telah punah. Kalau benih lokal tidak digarap serius, mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi untuk benih kangkung pun kita harus mengimpor dari Amerika Serikat.
Ada pesan manis dari petani sawah di Ekoleta, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. Meskipun saat ini banyak benih varietas padi unggul yang mudah mereka dapatkan, namun petani Ekoleta lebih memilih benih padi lokal. Mengapa? Selain cita rasanya khas, benih padi lokal lebih tahan terhadap serangan hama. Melirik kembali benih lokal NTT agaknya harus menjadi kampanye utama kita. *
Pos Kupang, Sabtu 29 Oktober 2011 hal 4