Sapardi: Saya Akan Menulis Sampai Mati

BAGI Sapardi Djoko Damono, menulis adalah sumber kebahagiaan. Menulis adalah suatu dorongan hati demi mencapai karya terbaik. Semakin sering menulis, semakin bagus pula hasilnya.

Sapardi tidak mengincar penghargaan-penghargaan sastra. Dia menulis semata-mata karena menyukainya.
"Tidak ada (target pencapaian). Bagi saya nulis ya nulis. Karya yang paling baik ya karya yang sering saya tulis. Maka saya tidak akan berhenti nulis, sampai mati," ujar dia, ditemui usai sesi tanda tangan Trilogi Soekram, di Jakarta, Minggu (22/3/2015).

Novel baru Trilogi Soekram adalah gabungan buku fiksi karya Sapardi berjudul Pengarang Telah Mati, Pengarang Belum Mati, dan Pengarang Tak Pernah Mati.  Trilogi Soekram mengisahkan tokoh fiksi yang melompat dari buku untuk menggugat sang pengarang.

Dia mengangkat hubungan rumit antara pengarang dengan tokoh yang dikarangnya. Mengapa penulis yang merupakan ciptaan Tuhan tidak kekal, sementara tokoh karangan yang diciptakan manusia tetap abadi meski pengarangnya meninggal?

"Tapi tujuan saya menulis bukan ingin abadi, kalau menulis saya merasa bahagia. Syukur-syukur kalau dibaca dan dapat honor," seloroh dia.

Meski lebih dikenal sebagai penyair, Sapardi mengungkapkan sajak bukanlah tulisan pertamanya.
"Sebenarnya sebelum menulis puisi, saya sudah pernah menulis cerita anak dalam bahasa Jawa. Tapi ceritanya ditolak karena dianggap tulisannya tidak masuk akal. Padahal ceritanya benar-benar terjadi," kenang pria yang kerap mengenakan topi pet khasnya.

Sapardi menulis puisi sejak duduk di bangku SMA pada 1957. Buku puisi pertamanya bertajuk duka-Mu abadi diterbitkan 12 tahun kemudian.

Sajak-sajaknya terwujud dalam buku-buku puisi seperti Mata Pisau, Hujan Bulan Juni, dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?

Sementara itu, buku nonfiksi yang ditulisnya meliputi Novel Indonesia Sebelum Perang, Bilang Begini Maksudnya Begitu, dan Alih Wahana.

Saat ini, Sapardi sedang mengerjakan versi novel dari puisi Hujan Bulan Juni. Saat  masih disibukkan dengan kesibukan lain, seperti mengajar di kampus, menulis novel hanya dapat dikerjakan di sela-sela waktu senggang.

Kini setelah pensiun Sapardi dapat berkonsentrasi penuh dalam menulis novel. "Saya berjanji pada diri sendiri untuk menerbitkannya pada Juni," kata Sapardi, menambahkan bahwa puisi tersebut juga rencananya diadaptasi menjadi film oleh Luna Maya.

Sapardi juga bergelut di perguruan tinggi sebagai pengajar. Pensiunan guru besar Universitas Indonesia yang aktif di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya itu telah mengajar mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta dan Universitas Diponegoro.

Kebiasaannya mengajar dibawa serta saat tampil di depan umum, termasuk ketika melayani sesi tanya jawab bersama para penggemar sastra Indonesia.

"Saya ngomong sambil berdiri ya, kalau di kelas ngajar sambil duduk tidak didengarkan," seloroh dia di hadapan peserta kelas Hujan Bulan Juni, Minggu (22/3/2015).

Interaksi bersama mahasiswa di kampus  membuat sajak-sajak Sapardi menjadi lebih dikenal.

Tanpa sepengetahuan Sapardi, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia diam-diam membuat kaset rekaman berisi musikalisasi puisi karyanya, termasuk Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni. Kaset tersebut dijual di kampus pada era 1990.

Tidak disangka, musikalisasi puisi itu menyebar ke berbagai tempat dan didengarkan banyak orang.
"Pas saya ke Surabaya, dengar lagu itu, ke Solo juga lagu itu diputar," ujar penyair yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Arab, China, Jepang, Korea, Thai, Hindi, Portugis, Prancis, Inggris, Belanda, Jerman, Italia.

Tidak kurang dari 50 puisi karya Sapardi telah diwujudkan dalam bentuk musikalisasi puisi. Sapardi mengatakan tidak semua orang yang mengambil sajaknya untuk diwujudkan dalam versi lain, misalnya lagu dan komik, telah meminta izin padanya.

Royalti? Tidak banyak.

"Kalau lagu masuk film mereka ngasih (uang). Film Garin Nugroho pakai lagu saya, mereka bayar ke saya dan juga pembuat lagu," jelas Sapardi.

Namun, selain dari sahabat-sahabat yang meminta izin dalam menggarap sajaknya, bisa dibilang Sapardi tidak mendapat satu sen pun.

"Anda tidak bisa jadi penyair di Indonesia kalau tidak sadar puisi tidak memberikan apa-apa," ujar dia.
Sapardi merelakan puisinya menjadi milik publik, meski dari puluhan sajak yang menjadi lagu tidak banyak uang yang mengalir kepadanya.

"Saya memang menikmati menulis puisi," tegas penerima penghargaan dari Freedom Institute pada 2003 dan Akademi Jakarta pada 2012 atas pencapaian bidang budaya.

Sajak sederhana khas Sapardi. Pilihan kata dan tema sederhana yang mudah dipahami pembaca, barangkali itu salah satu ciri khas dari sajak milik Sapardi.

"Jangan bikin yang ruwet, sajak itu sesuatu yang sederhana, manusiawi dan terjadi sehari-hari," ujar penyair yang menerima penghargaan SEA-WRITE AWARD dari Thailand pada 1986.

Sapardi mencontohkan sajak "Berjalan Ke Barat di Waktu Pagi Hari" yang menceritakan peristiwa sehari-hari.

"Kalau pagi kita jalan ke barat, di belakang kita matahari. Bayang-bayang ada di depan, masa saya harus memaksa agar saya di depan bayang-bayang? Maka saya tulis Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan," papar dia.

Dalam Hujan Bulan Juni, Sapardi membayangkan cinta luar biasa antara hujan dan akar.
"Justru karena Juni tidak ada hujan, saya bikin ini. Mungkin hujan jatuh karena ada yang sangat mengharapkan," kata penerima Hadiah Puisi Putera dari Malaysia pada 1984.

Sapardi juga mengungkapkan apa yang ada di pikirannya saat membuat puisi romantis Aku Ingin. "Saya bayangkan api dan kayu sedang bercinta," ujar dia.

Sapardi mengemukakan dia kerap dihujani pertanyaan mengenai arti dalam puisinya. Kalimat: Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api, dalam Aku Ingin, misalnya, menimbulkan rasa penasaran.

"Tidak usah dipusingkan apa artinya, puisi itu untuk dihayati, tidak usah dipahami," ujar peraih Cultural Award dari pemerintah Australia pada 1978.

Setiap orang, kata Sapardi, berhak memaknai puisi sebebas mungkin. Tidak masalah bila interpretasi pembaca berbeda dengan yang dimaksud oleh penyair.

"Penyair bilang begini, maksudnya begitu. Anda harus menebak-nebak maksudnya. Kalau tidak sama dengan saya, tidak masalah," papar dia.

Penyair yang beberapa sajaknya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Watercolor Poems, Suddenly the Night dan Before Dawn itu juga berbagi kiat untuk orang-orang yang ingin menerusi jejaknya. "Baca sebanyak-banyaknya, kemudian tiru," ujar dia.

Sapardi mengatakan satu-satunya cara agar dapat menulis adalah meniru banyak tulisan orang lain. Referensi-referensi yang diserap lama kelamaan akan membentuk ciri khas penulis.

"Lama-lama akan jadi diri sendiri. Harus nulis puisi sebanyak-banyaknya, meniru sebanyak-banyaknya, kalau sudah meniru seratus orang akan jadi diri sendiri," tutup dia.

Sumber: ANTARA

Cerita dari Lamalera


Kompas/Samuel Oktora-- Sejumlah bocah laki-laki asyik bermain di badan seekor paus sperma (Physeter macrocephalus) sepanjang sekitar 10 meter yang berhasil ditangkap secara tradisional di kawasan kampung nelayan Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, NTT, Minggu (23/5/2010).

Catatan Kaki Jodhi Yudono

Pada sebuah senja di akhir bulan maret tahun ini, saya  berkenalan dengan seorang lelaki asal Lembata. Namanya Antony Lebuan, Kepala Bidang Pariwisata di Kabupaten Lembata, NTT.

Tony Lembata, begitu ayah dua anak ini minta dipanggil. Sudah sehari semalam dia berada di Jakarta untuk mengawal pameran foto yang mengeksplorasi keindahan Lembata di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona Kementerian Pariwisata, Jakarta, dengan judul "Cinta Lembata, Pesona Indonesia" yang digelar 27 Maret hingga 2 April 2015.

Acara ini diselenggarakan oleh Komunitas Pencinta Indonesia Timur (Kopit) dan didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Sebelum terlibat dalam obrolan yang hangat, sempat juga saya menikmati foto-foto yang dipajang, hasil jepretan para fotografer peserta Festival Adventure Indonesia (FAI) yang mencintai keindahan alam dan budaya Lembata yang mengambil lokasi di Kampung Adat Lamagute, Kampung Adat Ile Lewotolok, Kampung Adat Jontona, Teluk Jontona, Kampung Lamalera, Bukit Cinta/Wolorpass, Pantai Wiajarang, dan Kota Lewoleba.

Bicara tentang Lembata adalah juga bicara tentang perburuan ikan paus. Sebab itulah saya membuka percakapan dengan Tony perihal perburuan ikan raksasa itu.

Tony pun lantas bercerita mengenai tradisi perburuan yang sudah berlangsung ratusan tahun. Tony bilang, musim perburuan ikan paus di Desa Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, berlangsung pada Mei hingga Oktober.

Tidak seperti yang dilakukan oleh nelayan-nelayan modern Jepang yang memburu kawanan ikan paus dengan kapal-kapal besar dan canggih, nelayan Lamalera hanya menggunakan peledang, yakni perahu kayu tradisional sebagai sarana perburuan, serta sosok lamafa yang memiliki tugas menikam ikan paus menggunakan sebilah tempuling atau tombak.

Untuk mendapatkan paus, ungkap Tony, nelayan di Lamalera tidak langsung terjun ke laut dan mencari hingga ke tengah samudera Laut Sawu. Mereka tetap beraktivitas di darat, sambil sewaktu-waktu melihat ke lautan. Siapa pun yang melihat paus akan meneriakkan baleo, kemudian disambung bersahut-sahutan memenuhi isi desa.

Nelayan di Lamalera selalu mengincar paus sperma atau koteklema yang memiliki semburan tepat di atas kening. Nelayan Lamalera tidak memburu paus biru atau kelaru yang memiliki semburan tepat di atas kepala mereka. ”Kami tidak memburu kelaru karena itu perintah nenek moyang,” kata Tony.

Selain koteklema, nelayan Lamalera juga memburu orca atau paus pembunuh. Dalam istilah Lamalera, paus pembunuh disebut dengan seguni. ”Tapi, seguni jarang lewat ke sini. Biasanya satu kali setahun atau tidak sama sekali. Seguni juga ganas karena berontak lebih dahsyat,” ujar Tony.

Tantangan seorang lamafa saat menaklukkan paus terjadi ketika akan menghunjamkan tombak. Untuk koteklema, tombak dihunjamkan tepat di belakang kepala karena di situlah bagian yang lunak. Sebaliknya, memburu seguni lebih sulit karena para nelayan Lamalera mengincar bagian ketiaknya agar tempuling bisa menusuk langsung ke jantung paus pembunuh itu.

”Kalau sudah kena tikam, pasti perahu diseret bisa masuk ke dalam,” kata Tony.

Tikaman pertama merupakan peristiwa yang amat krusial. Nyawa lamafa dan awak perahu menjadi taruhan. Sebab, satu sabetan ekor paus bisa seketika menghancurkan perahu nelayan. Para nelayan harus menunggu sampai paus itu lemas. Biasanya paus akan lemas setelah 45–50 menit. Darah akan menggenangi laut dan paus akan kembali ke permukaan.

Saat itu paus akan didekati dan awak perahu terjun ke laut untuk melakukan tikaman dengan pisau. Jika perlu, tikaman bisa dilakukan hingga berkali-kali. Tujuannya, memastikan paus itu mati saat dibawa ke darat.

Selain perburuannya yag menegangkan, pembagian daging paus hasil buruan juga merupakan pemandangan yang menarik. Pembagian daging paus merupakan tradisi turun-temurun yang ditaati oleh semua orang Lamalera,  sehingga dipastikan tidak ada rebutan saat daging itu dipotong. Intinya, pihak yang memiliki keterkaitan dengan Desa Lamalera, dengan perahu yang mendapatkan paus, akan mendapatkan haknya.

”Masing-masing sudah tahu hak dan pembagiannya,” ujar Tony. Pola pembagian ini memang dikhususkan untuk ikan-ikan yang berukuran besar.

Untuk mereka yang berburu di laut, sudah ada aturan pembagiannya. Selain peledang, ada juga perahu perahu dengan motor yang mengikuti perburuan. Jika di peledang ada sembilan awak perahu dan di perahu motor ada dua awak, mereka semua mendapatkan haknya.

Para awak perahu mendapatkan bagian paus yang diistilahkan dengan meng. Untuk meng ini, banyak bagian yang bisa dipotong dan dibagi-bagikan ke awak perahu.

Bagian sirip kanan dan kiri, masing-masing untuk rumah adat dan lamafa. Bagian kepala diberikan kepada lango fujo atau suku tuan tanah. Ekor dibagi menjadi banyak bagian karena di sana terdapat hak lamafa, laba ketilo, matros, lamauri. Para janda juga mendapatkan hak daging paus. ”Mama janda pasti mendapatkan hak karena mereka biasanya kasih jagung atau kasih rokok," ungkap Tony.

Perihal perburuan pada satwa yang dilindungi itu, mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengatakan saat jumpa pers Festival Adventure Indonesia 2014 di Jakarta, "Kegiatan perburuan paus dilakukan untuk seluruh rakyat Lembata, bukan secara individual. Kita tidak mengabaikan lingkungan hidup, tapi budaya juga perlu dikembangkan."

Perburuan paus di Desa Lamalera, Lembata, merupakan bagian budaya turun temurun dan dilakukan secara tradisional. Walaupun menuai kritik dari para pemerhati lingkungan, namun budaya ini sah di mata internasional. Perburuan paus tradisional sudah diakui dunia internasional, hanya ada di Kanada dan Indonesia saja.

"Dalam perburuan paus ini, ada seluruh rangkaian budaya dan dimensi sosialitas rakyat Lembata. Menghilangkan budaya ini, sama dengan membunuh seluruh rakyat Lembata," ujar Sonny Keraf.

Menurut Tony, ritual perburuan paus ini memiliki nilai religius di setiap aspeknya. Mulai dari persiapan, pembuatan kapal, pengangkatan layar, sampai pelemparan tombak, semuanya mengucap doa terlebih dahulu.

Menjelang perburuan, diadakan upacara adat sekaligus misa untuk memohon berkah dari sang leluhur serta mengenang para Arwah nenek moyang mereka yang gugur di medan Bahari bergelut dengan sang paus. Upacara dan Misa atau biasa disebut lefa dilaksanakan setiap tanggal 1 Mei.

Begitulah, Lamalera memang tidak bisa dipisahkan dari laut dan paus. Alam rupanya juga senantiasa berpihak kepada masyarakat Lamalera dengan mengantarkan paus ke lautan di hadapan tanah air mereka. Sebab setiap tahun, ikan-ikan paus itu bermigrasi antara Samudera Hindia dan Pasifik selama bulan Mei sampai Oktober. Ketika hewan-hewan laut raksasa melewati laut Sawu tepat di depan pintu pulau Lembata itulah, perburuan ikan paus pun dimulai.

Baleo! Baleo!....

Sumber: Kompas.Com

Danrem Buka dengan Lagu Flobamora

Diskusi dengan Danrem 161 WS, A Yuliarto (ist)
KUPANG, PK - Komandan Korem (Danrem) 161 Wirasakti Kupang,  Brigjen TNI   Achmad Yuliarto memperdengarkan suaranya yang merdu saat memulai acara ramah-tamah dengan wartawan di Kupang, Kamis (26/3/2015) pagi.

"Untuk menyegarkan suasana sebaiknya saya buka dengan sebuah lagu," kata Danrem disambut aplaus. Diiringi alunan musik lembut, jenderal  murah senyum itu pun melantunkan lagu  Flobamora yang sungguh menghangatkan suasana pertemuan di Markas Korem 161 Wirasakti di Jl. WJ Lalamentik Kupang.

"Saya baru satu setengah tahun di sini. Tapi saya mencintai Flobamora. Kalau tidak penting sekali, saya lebih memilih berkunjung ke daerah di NTT daripada ikut pertemuan di Jakarta.  Ke sana biar diwakilkan saja," katanya.

Acara ramah-tamah dengan kalangan pers merupakan agenda rutin Korem 161 Wirasakti Kupang. Pertemuan kemarin merupakan yang kesekian kalinya. Dari kalangan  media hadir  antara lain, Kepala Stasiun TVRI NTT, Miswaruddin, Pemimpin Redaksi (Pemred)  Harian Timor Express, Simon Petrus Nilli, Pelaksana Harian Pemred  Pos Kupang, Benny Dasman, Redaktur Pelaksana Harian Victory News, Damianus Ola, Ketua  Komisi Penyiaran Indonesia Daerah ( KPID) Provinsi  NTT,  Yos Gerrard Lema, Ketua PWI Provinsi NTT, Dion DB Putra, Sekretaris PWI NTT Zacky W Fagih, para redaktur  serta wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik di NTT. Hadir juga prajurit TNI dari berbagai Kodim di NTT yang sedang menjalani pelatihan jurnalistik di Kupang.

Dalam sambutannya yang sesekali  diselingi canda tawa, Danrem Achmad Yuliarto menjelaskan berbagai aksi nyata  TNI Angkatan Darat di Nusa Tenggara Timur. Danrem kembali  menjelaskan perkembangan budidaya tanaman kelor di beberapa daerah di Pulau Timor dan Alor. "Masyarakat NTT kini mulai menyadari nilai ekonomis tanaman kelor," ujarnya.

Untuk membantu masyarakat NTT  mengatasi krisis air bersih, lanjut Danrem, prajurit TNI telah memasang 103 unit pipa ram hidrolik di beberapa kabupatan. TNI pun giat membantu pemerintah daerah dalam program sosialisasi swasembada pangan. "TNI bantu distribusi alat tanam padi. Mengecek distribusi pupuk. Tanam dan  panen bersama  masyarakat," jelasnya.

Khusus di daerah perbatasan antara Indonesia dan negara Timor Leste, Danrem menjelaskan tentang aksi tentara masuk sekolah. Prajurit TNI menjadi guru. "Selain mengajar mata pelajaran seperti matematika, saya minta prajurit TNI ajarkan anak-anak di perbatasan menyanyikan lagu untuk bangkitkan nasionalisme seperti Maju tak Gentar, Tanah Airku Indonesia dan lainnya," kata Danrem.

Untuk generasi muda, khususnya pemuda dan mahasiswa, Danrem berbagi tentang latihan bela negara yang mendapat respon  positif dari orang muda. "Saat evaluasi, ada yang bilang pelatihan bela negara selama tiga hari itu terlalu singkat. Mereka maunya sampai dua minggu," kata Danrem. Terakhir, Danrem menyebut pelatihan jurnalistik bagi prajurit TNI. "Saya mau prajurit TNI itu harus bisa menulis.  Makanya perlu diajarkan langsung oleh para pakarnya," kata Danrem. (osi)


Sumber: Pos Kupang 27 Maret 2015 halaman 6

Keindahan Pasir Putih Pantai Nangateke di Flores


KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR 
Kotajogo, pantai berpasir putih di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

USIA Kabupaten Nagekeo, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur baru memasuki tujuh tahun, namun, kabupaten ini menyimpan kekayaan pariwisata, baik keutuhan rumah adat, maupun berbagai tari-tarian, keunikan ETU atau tinju adat. Kekayaan pariwisata Kabupaten Nagekeo masih sangat asli dan membutuhkan promosi secara terus menerus ke tingkat internasional, Asia, dan Nusantara.

Setelah kita berkeliling mengunjungi Pantai Pasir Putih Rii Ta, di Desa Tonggurambang, Kecamatan Aesesa, dan juga mata kita dimanjakan oleh keunikan batu kodok (frog stones), serta keaslian rumah adat Kampung Tutubhada dan Kampung Boawae. Dalam keadaan badan sedikit lelah, kita bisa mandi dan berjemur di Pantai Pasir Putih Nangateke serta kita bisa berkeliling dengan perahu nelayan di Pantai Kotajogo, mengelilingi Tanjung Todo, hutan bakau, di Desa Anakoli, Kecamatan Wolowae di bagian Timur dari Kota Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo. Bahkan Pantai itu berada dipinggir Jalan Negara Transflores bagian Timur.

Pantai pasir Putih Nangateke dan Kotajogo masih jarang dikunjungi wisatawan asing. Selama ini pantai ini selalu dikunjungi warga masyarakat Kota Mbay dan sejumlah warga lainnya di Pulau Flores pada hari minggu dan hari libur umum.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Berwisata di Kotajogo, pantai berpasir putih di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Di wilayah Kecamatan Wolowae yang berada di bagian Timur dari Kota Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo ini sangat terkenal dengan ternak sapi karena memiliki padang savana terluas di Kabupaten Nagekeo.

Selain itu, wilayah Wolowae juga merupakan daerah penghasil garam untuk Nusa Tenggara Timur maupun di luar Pulau Flores serta dikirim ke Pulau Jawa. Wilayah Kecamatan Wolowae berada di Jalan Negara Lintas Utara yang berbatasan langsung ke Kabupaten Ende sehingga sebagian masyarakat yang berada di wilayah perbatasan itu membaur dalam interaksi sosial budaya yang berbeda.

Beberapa waktu lalu KompasTravel berkunjung ke Pantai Pasir Putih Nangateke, Pantai Kotajogo, Tanjung Todo. Konon, masyarakat setempat berkisah bahwa, saat Belanda dan Jepang menduduki Indonesia, khusus di Pulau Flores, Tanjung Todo dijadikan tempat berlabuhnya sejumlah kapal-kapal perang. Pada acara Sail Komodo, wisatawan melabuhkan kapal-kapal wisata mereka di sini.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR -- Bersantai di pantai Kotajogo, pantai berpasir putih di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Dari Tanjung Todo itu, wisatawan dapat mengunjungi sejumlah obyek yang menarik di sekitar Kecamatan Wolowae. Kemungkinan ada kesamaan nama dengan Kampung Todo di wilayah Kecamatan Satarmese Barat, di Kabupaten Manggarai. Sebab di Kabupaten Manggarai ada nama kampung Kampung Todo.
Setelah kita menjelajahi Pasir Putih Nangateke, Pantai Kotajogo, berkeliling dengan perahu nelayan di Tanjung Todo. Kita dipandu oleh pemandu lokal untuk mengunjungi Goa Jepang. Mengunjungi Goa Jepang mengingatkan kita akan Jepang yang menguasai Pulau Flores. Wilayah Nagekeo dijadikan pusat dari pergerakan Tentara Jepang saat menguasai Pulau Flores. Bahkan di Kabupaten Nagekeo ada bekas bandara yang dibangun tentara Jepang dengan sebutan Bandara Surabaya II.
Menelusuri bunker peninggalan Jepang di Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo dapat menjadi alternatif berwisata yang eksotis dan menantang. Terdapat 33 titik goa atau bunker peninggalan Jepang di sekitar Kota Mbay, tepatnya di Kecamatan Aesesa. Bahkan, berada di jalur Jalan Negara Lintas Utara Nagekeo-Maumere.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR - Goa Jepang di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Memang tidak semua mudah diakses. Namun, jalurnya cukup menarik bila anda memutuskan untuk berwisata melintasi alam karena lokasi gua-gua atau bunker tersebut terletak di balik berbukitan savana yang terbentang dengan rimbunan semak dan pepohonan.

Berpetualangan ke tempat ini disarankan untuk memakai pakaian tertutup demi menghindari goresan ilalang dan semak berduri yang bertebaran di sepanjang perjalanan. Sepatu yang nyaman dan topi untuk menahan panas juga sangat penting. Selain itu persiapan bekal atau snack perjalanan disediakan secukupnya.
Selain itu pastikan anda membawa kamera apabila ingin mengeksplorasi situasi di dalam gua dan tentunya dibutuhkan penerangan menggunakan senter atau sejenisnya karena yang namanya goa pada umumnya gelap.

Berjalan melintasi alam menelusuri goa-goa ini sangat menarik. Daya tarik yang paling eksotis di tempat ini sebenarnya adalah jalur lintas alam yang menghubungkan titik-titik goa yang akan memberikan banyak kesempatan kepada anda untuk belajar mencintai alam. Selain itu, anda juga bisa bereksplorasi tentang sejarah keberadaan goa-goa tersebut dari para pemandu lokal.
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR -Goa Jepang di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Seorang tokoh masyarakat di Flores, Agustinus Nggose kepada KompasTravel menuturkan, orangtuanya pernah bekerja untuk menggali bunker di Kabupaten Nagekeo pada saat tentara Jepang menduduki Flores. Orang Flores yang membangun bunker itu dipaksa bekerja oleh tentara Jepang. Agustinus menjelaskan, orangtuanya tidak sanggup bekerja secara paksa sehingga melarikan diri ke Manggarai melalui jalan-jalan di hutan dari Nagekeo.

Menurut catatan KompasTravel, Pulau Flores bukan hanya keindahan alamn, budaya, pantai dan pegunungan api tetapi keunikan goa-goa yang tersebar dari Kabupaten Manggarai Barat yang terkenal dengan Goa Istana Ular, Goa Batu Cermin. Dari sana kita menuju ke Kabupaten Manggarai yang terkenal dengan Goa Liang Bua, tempat hidup manusia Flores. Selain itu masih banyak goa-goa yang belum dipromosikan seperti goa tempat hidup burung kalong.

Sumber: Kompas.Com

Wajah Kota Oelamasi

OELAMASI hari ini sudah banyak berubah. Dulu tempat itu penuh belukar dan aneka jenis pepohonan. Tempat subur bagi para gembala sapi.  Tak banyak rumah penduduk di sana. Namanya pun tak terkenal. Jauh tenggelam di bawah kesohoran Oesao, Lili, Naibonat dan Camplong.

Oelamasi berubah wujud seiring pemekaran Kota Kupang menjadi  daerah otonom dari induknya Kabupaten Kupang.  Demi menciptakan pusat pertumbuhan yang baru, Kabupaten Kupang harus memilih lokasi ibu kota yang baru.  Awalnya Kabupaten Kupang memilih Sulamu, namun belakangan jatuh hati  ke Oelamasi karena lokasinya dianggap lebih strategis dan mudah diakses. Sulamu memang nun jauh di pesisir utara. Akses transportasi ke sana tidaklah mudah. Sementara Oelamasi berada persis di sisi jalan trans Timor Raya.

Oelamasi sedang bergerak menuju nama yang monumental. Suatu ketika dia tidak lagi sekadar menjadi kota satelit dari Kupang yang sudah berusia ratusan tahun dan telah tercatat dalam sejarah dunia. Oelamasi diharapkan menjadi magnet yang mendorong tumbuhnya pusat bisnis baru di kawasan Kupang dan sekitarnya.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kupang sudah merintis jalan ke sana. Lima tahun lalu Pemkab Kupang resmi pindah kantor ke Oelamasi. Sejak tahun 2010 seluruh aktivitas pemerintahan dan pembangunan Kabupaten Kupang berpusat di Oelamasi. Sebagian  pegawai negeri sipil (PNS) di  lingkup Pemkab Kupang mulai pindah domisili ke Oelamasi atau daerah terdekat seperti Oesao atau Naibonat. Sebagian besar memang masih berdomisili di Kota Kupang. Saban hari kerja mereka bolak-balik Kupang-Oelamasi yang berjarak sekitar 35 km.

Idealnya Oelamasi kini berwajah kota atau sekurang-kurangnya berciri perkotaan. Itu berarti kota yang bersih, asri, indah dan menyenangkan sebagai tempat beraktivitas bagi siapa saja. Faktanya tidak demikian. Seperti dilaporkan wartawan harian ini, komplek perkantoran pemerintah (civic center) di Oelamasi masih 'dikepung' gubuk-gubuk reyot dan kumuh. Selain itu, rumput liar dan tebal memenuhi halaman perkantoran. Bahkan sebagian areal perkantoran dijadikan kebun jagung dan ditanami padi oleh oknum warga eks pengungsi Timtim.

"Saya tidak percaya kalau orang bilang ini pusat perkantoran milik pemerintah. Sebab, rumput tebal juga memenuhi halaman kantor. Ada kambing yang berkeliaran di halaman kantor," kata Ny. Antonia Fernandez yang mengurus sertifikat tanah di Kantor BPN Kabupaten Kupang, Rabu (18/3/2015) siang.

Keterkejutan Antonia agaknya bisa dimengerti. Setelah lima tahun menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Kupang, wajah Oelamasi seharusnya sudah berubah. Jangan malah sebaliknya. Kepungan gubuk reyot itu jelas sangat mengganggu. Belukar yang mengganas tak terurus  menandakan seolah-olah tidak ada manusia di sana. Bangunan kantor pemerintahan yang megah di Oelamasi pun kehilangan daya pikatnya. Kita percaya wajah buram itu hanyalah masalah kecil bagi Pemkab Kupang di bawah kendali Bupati Ayub Titu Eki. Kalau ada kemauan untuk berbenah, ada banyak solusi yang bisa dipilih bukan? *

Sumber: Pos Kupang 20 Maret 2015 halaman 4

Sensitif Berurusan dengan Polisi

Muncul gejala  sosial yang kurang elok belakangan ini yang bersentuhan dengan kepolisian, baik secara personal maupun institusi. Masyarakat kita cenderung mudah meledak, gampang tersulut emosi dan amat berani melakukan perlawanan. Cukup sering perlawanan itu berujung anarkis dengan aroma kekerasan mengental berlepotan.

Kita cuplik sekilas peristiwa terkini dari ujung timur Pulau Flores.  Hari Minggu 1 Maret 2015, sekelompok warga Larantuka merusak Pos Polisi di depan Rumah Jabatan Bupati Flotim di Kelurahan Postoh. Mereka menghancurkan pos polisi tersebut menyusul peristiwa sehari sebelumnya yang melibatkan Anggota Satuan Lalu Lintas Polres Flores Timur (Flotim), Brigpol M Imran.

Pada Sabtu (28/2/2015) sekitar pukul 17.55 Wita, Imran menabrak pejalan kaki, Lodofikus Gege Hadjon (46),  warga Waibalun, Kecamatan Larantuka hingga sekarat. Korban dilarikan ke RSUD Larantuka,  namun pada Minggu  (1/3/2015)   sekitar pukul 10.00 Wita, korban menghembuskan napas terakhir. Perusakan pos polisi merupakan wujud kekesalan sejumlah anggota keluarga korban atas kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan  Lodofikus  meninggal dunia.

Agaknya bisa dimaklumi bila keluarga korban kecewa dan marah. Mereka kehilangan seorang yang mereka kasihi. Meski demikian pelampiasan dengan merusak pos polisi yang merupakan fasilitas pulik bukanlah sesuatu yang mudah diterima.

Kita beri apresiasi terhadap Kapolres Flotim, AKBP Dewa Putu Gede Artha dan jajarannya yang bergerak cepat. Aparat kepolisian sudah menahan Brigpol M Imran dan menjanjikan proses hukum yang adil. Keluarga korban dan masyarakat umum kini menunggu realisasi janji kepolisian di Flotim. Siapa  yang bersalah harus mendapat hukuman setimpal, termasuk anggota polisi. Tak seorang pun yang kebal hukum di negeri ini.

Terlepas dari kasus kecelakaan lalu lintas, insiden di Larantuka itu  menyentuh sesuatu yang sangat mahal yakni kepercayaan publik. Jujur mesti dikatakan bahwa ada gejala krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian belakangan ini. Itulah sebabnya mengapa muncul reaksi negatif manakala ada hal-hal yang kurang berkenan saat berurusan dengan polisi. Warga gampang marah, gampang menghujat, mudah mengecam serta melawan dalam berbagai rupa dan cara. Polisi (menjadi) sahabat masyarakat kiranya masih sebuah impian daripada kenyataan.
Fakta miris ini mesti menjadi bahan refleksi bagi pimpinan kepolisian di setiap level serta seluruh jajaran Polri yang bertugas di manapun.

Sebagai aparat penegak hukum, polisi mesti menjadi penegak hukum yang adil. Ketika oknum anggota Polri terlibat suatu tindak pidana, misalnya, janganlah menempuh segala cara untuk membela diri. Sebaliknya, rekan sendiri pun 'dihabisi' manakala dia bersuara sedikit lantang menunjuk kebobrokan atau tindakan melawan hukum yang justru dilakoni anggota Polri. Kita tak henti-hentinya mengingatkan agar Polri terus berikhtiar memperbaiki citra diri. Citra yang positif dengan meraih kembali kepercayaan publik.*

Sumber: Pos Kupang 4 Maret 2015 halaman 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes