Membagi Ilmu Action Plan

BERSAMA para pelatih dan mentor berpengalaman di bidang public relation dan jurnalistik asal Australia dan Indonesia, saya mendapat kesempatan ikut membagi ilmu kepada 20 peserta dari berbagai institusi Kupang, tanggal 14-19 Juli 2008. Inilah kesempatan pertama bagi saya selaku mentor IASTP di NTT membagi pengetahuan dalam suatu pelatihan yang diselenggarakan IASTP III.

Materi yang saya sampaikan sangat penting dalam setiap pelatihan IASTP III yaitu tentang Action Plan atau Rencana Aksi. Saya mendapat kesempatan pada hari pertama pelatihan, Senin 14 Juli 2008 setelah pembicara tamu Magdalena Wenas. Berikut dua berita yang disiarkan Pos Kupang tentang pelatihan tersebut.

20 Peserta Ikut Pelatihan Jurnalistik IASTP III

KUPANG, PK -- Kemitraan Pemerintah Indonesia dan Australia dalam program Indonesia Australia Specialised Training Project (IASTP) III menyelenggarakan pelatihan jurnalistik untuk aparat hubungan masyarakat (Humas) di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pelatihan selama enam hari dari tanggal 14-19 Juli 2008 di Badan Diklat Propinsi NTT, Jl. Fetor Foenay Kupang itu diikuti 20 peserta. Ditemui hari Senin (14/7/2008), Kepala Biro LKBN ANTARA Kupang, Key Tokan Abdul Asis, menjelaskan para peserta pelatihan berasal dari bagian humas pemerintah propinsi, kabupaten, ormas, LSM, kalangan kampus (Unwira, UMK - Kupang), Polda NTT dan dan TNI (Korem 161 Wirasakti).

Selama enam hari, kata Asis, peserta pelatihan akan dibimbing pelatih dan mentor berpengalaman di bidang jurnalistik dan kehumasan (public relation). SPRINT Consultant sebagai training provider menghadirkan pelatih berpengalaman asal Australia, Andrew Dodd dan Marianne Kearney. Dari Indonesia antara lain Martiningsih Agung Chandra, Ignatius Haryanto dan Zainal (mentor IASTP dari LKBN ANTARA Pusat).

Pada hari pertama kemarin, panitia menghadirkan pembicara tamu yang kompeten di bidang kehumasan yakni Magdalena Wenas.

Asis menambahkan, pada hari kedua peserta pelatihan akan melakukan kunjungan lapangan. Mereka diberi kesempatan melakukan studi tentang kemiskinan, terumbu karang, abrasi, pemukiman kumuh di sekitar kawasan pantai Pasir Panjang, Oesapa Kupang.

"Para peserta juga akan menggelar simulasi konferensi pers yang akan dihadiri wartawan senior untuk mengajukan pertanyaan kepada peserta, menulis siaran pers, lobi dan bagaimana membangun hubungan dengan media massa," katanya. (osi) Pos Kupang edisi Selasa, 15 Juli 2008, halaman 10.


Peserta Pelatihan IASTP Gelar Simulasi Jumpa Pers

KUPANG, PK -- Sebanyak 20 aparat hubungan masyarakat (Humas) di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (18/7/2008), menggelar jumpa pers di hadapan para wartawan media cetak di Kupang. Jumpa pers ini digelar sekadar simulasi dalam pelatihan jurnalistik yang sedang mereka ikuti di Balai Diklat Propinsi NTT di Jalan Fetor Foenay, Kupang, yang berlangsung atas kerja sama Pemerintah Indonesia dan Australia dalam program Indonesia Australia Specialised Training Project (IASTP) III.

Ada empat wartawan yang hadir dalam simulasi ini, yakni Agus Sape dan Alfred Dama dari Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang, Yes Bale dari Harian Pagi Timor Express dan Rudi Tokan dari Mingguan Vista Nusa. Keempat wartawan ini adalah alumni IASTP III, baik yang pernah berlangsung di Australia maupun di Kupang. Simulasi jumpa pers tersebut merupakan salah satu materi pelajaran dalam pelatihan itu.

Dalam simulasi yang berlangsung dua jam dan dalam pengawasan para mentor tersebut, para peserta dibagi dalam empat kelompok dengan isu yang berbeda- beda. Mereka membahas isu korupsi, kemiskinan, angka putus sekolah dan gender. Setiap kelompok juga menampilkan fragmen sekadar ilustrasi untuk mendukung isu yang disampaikan.

Setiap kelompok mendapat kesempatan 15 menit untuk memaparkan isu/berita hasil temuannya di lapangan dan ingin dipublikasi melalui media massa. Sementara empat wartawan yang hadir berusaha menggali lebih dalam setiap isu itu dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kritis dengan gayanya masing-masing.

Setiap kelompok berusaha menjawab pertanyaan para wartawan selengkap mungkin, dan berusaha berkelit untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan.

Yes Bale dari Timex menyatakan kagum dengan cara setiap kelompok menghadapi wartawan dalam menyampaikan argumen publikasi. Hal yang sama dikemukakan Rudi Tokan dari Vista Nusa.

Alfered Dama dari Pos Kupang mengatakan, gaya para peserta menyampaikan rilis sangat baik, hanya kurang didukung dengan data yang biasanya sangat dibutuhkan wartawan untuk publikasi.
Agus Sape memuji keseriusan para peserta mengikuti pelatihan ini. Namun dia mengkritik salah satu kelompok yang menampilkan gambar-gambar minuman keras dan tidur-tiduran sebagai penyebab miskinnya masyarakat NTT.

Menurutnya, harus dicari penyebab yang tepat dan bisa dipertanggungjawabkan misikinnya masyarakat NTT. "Orang Eropa juga minum minuman keras dan tidur- tiduran, tapi faktanya mereka kaya dan pintar. Orang NTT banyak yang bekerja sangat keras, tapi tingkat kesejahteraannya tetap saja di bawah orang Eropa. Menurut saya harus dicari penyebab lain yang lebih tepat," kata Agus.

Kepala Biro LKBN ANTARA Kupang, Key Tokan Abdul Asis, menjelaskan para peserta pelatihan berasal dari bagian humas pemerintah propinsi, kabupaten, ormas, LSM, kalangan kampus (Unwira, UMK - Kupang), Polda NTT dan dan TNI (Korem 161 Wirasakti).

Selama enam hari, kata Asis, peserta pelatihan dibimbing pelatih dan mentor berpengalaman di bidang jurnalistik dan kehumasan (public relation). SPRINT Consultant sebagai training provider menghadirkan pelatih berpengalaman asal Australia, Andrew Dodd dan Marianne Kearney. Dari Indonesia antara lain Martiningsih Agung Chandra, Ignatius Haryanto dan Zainal (mentor IASTP dari LKBN ANTARA Pusat). (alf) Pos Kupang edisi Sabtu, 19 Juli 2008 halaman 7.

Humas

DUA puluh orang dari berbagai instansi pemerintah, militer, kepolisian, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga keagamaan dan perguruan tinggi berkumpul di Jl. Fetor Foenay, Kolhua-Kupang. Berkumpul, berdiskusi dan belajar sepanjang pekan di salah satu ruang sejuk Badan Diklat Propinsi NTT. Kebersamaan enam hari yang menggembirakan. Ada saat mengerutkan kening. Ada waktu terbahak-bahak. Menyadari betapa banyak kekurangan yang perlu dibenah.

Menarik sekali mengikuti jalannya pelatihan jurnalistik bagi aparat Hubungan Masyarakat (Humas) yang diselenggarakan Indonesia Australia Specialised Training Project (IASTP) III di Kupang tanggal 14-19 Juli 2008. Program ini bernaung di bawah payung kemitraan Pemerintah Indonesia dan Australia. Bagi publik Flobamora, terutama kalangan pemerintah, nama IASTP tentunya tidak asing lagi.

Pelatihan bertajuk Journalism for Public Relation Officers Training itu tampil beda. Beda warna, gaya dan isi dibandingkan pelatihan serupa yang pernah ada. Kekurangan tak dipungkiri tetapi peserta mendapat tambahan pengetahuan dan keterampilan. Demikian yang mereka tuturkan pada saat evaluasi menjelang acara penutupan Sabtu petang, 19 Juli 2008.

Sebagai mentor lokal IASTP di NTT, beta tak sanggup menolak penilaian tersebut. Senyum pun tersungging di bibir Key Tokan Abdul Asis, Kepala Biro LKBN ANTARA Kupang. Key Tokan bersama kru ANTARA Kupang adalah orang-orang yang sibuk mengurus segala sesuatu demi suksesnya pelatihan tersebut.

Sprint Consultant sebagai training provider bersama LKBN ANTARA (agen nasional dalam pelatihan di bidang jurnalistik), kali ini menghadirkan pelatih dan mentor berkompeten. Mereka pakar public relation (PR), pakar komunikasi, wartawan senior dan berpengalaman.

Berbahagialah ke-20 peserta karena tuan dan puan menerima ilmu dari orang yang tepat. Perlu disebut nama mereka di sini. Dua pelatih berasal dari Australia, Andrew Dodd dan Mariane Kearney. Pelatih dari Jakarta, Martiningsih Agung Chandra, Ignatius Haryanto dan Zainal, mentor Pusat IASTP dari LKBN ANTARA Jakarta. Martiningsih adalah staf pengajar di bidang public relation. Ignatius Haryanto sehari-harinya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dan Direktur Program Mochtar Lubis Award yang 18 Juli 2008 lalu memberi penghargaan bagi para wartawan Indonesia yang membuat karya jurnalistik terbaik.

Tak lupa menyapa Wijanarko, Diana dan Rudi dari Sprint yang setia melayani kebutuhan pelatih dan peserta selama enam hari. Dan, Joy, penerjemah Andrew Dodd yang baru lancar menyebut kata terima kasih, bagus sekali, sampai jumpa.

Suasana menggairahkan terpancar sejak hari pertama ketika pembicara tamu Magdalena Wenas "membakar" para peserta tentang pentingnya tugas kehumasan. Wenas yang energik itu membongkar paradigma lama-- terutama di lingkungan pemerintah -- bahwa Humas itu tempat buangan. Pernyataan yang kembali ditegaskan Humas PT PLN (Persero) Wilayah NTT, Paul Bolla pada evening seminar di pinggir kolam renang Hotel Kristal-Kupang, Rabu (16/7/2008) malam.

Warna beda pelatihan IASTP III terletak pada metodenya yang inklusif dan sungguh menerapkan pembelajaran orang dewasa. Pesertalah yang aktif, bukan pelatih atau mentor. Suasana diciptakan sedemikian rupa sehingga selalu menyenangkan. Peserta bosan adalah haram hukumnya. Selama enam hari tak ada yang mengantuk di kelas. Semua terlibat aktif, baik dalam kelompok maupun tugas perorangan. Peserta juga dikejutkan dengan situasi krisis dan studi kasus sehingga mereka dituntut selalu siap untuk olah pikir dan beraksi.

Kearney, Dodd, Martiningsih dan Zainal membimbing peserta satu per satu. Mereka ikut turun lapangan ke Pantai Oeba dan Oesapa pada hari kedua pelatihan untuk melihat potret "kemiskinan NTT" dari sudut pandang beragam. Hasil studi lapangan itu menjadi bahan bagi peserta untuk dikampanyekan dalam kapasitasnya sebagai public relation atau staf humas.

Pelatihan itu juga menghadirkan empat wartawan senior yang menggugat, mengobok-obok dan menguji peserta saat simulasi jumpa pers. Luar biasa! Ke-20 peserta itu "lulus ujian" dan berhak mendapat sertifikat, suatu tanda bahwa mereka boleh pulang ke instansi atau organisasinya dengan bekal pengetahuan baru, cara berpikir dan wawasan baru.

Mudah-mudahan ke-20 peserta sungguh membawa semangat baru di tempat kerja masing-masing. Meyakinkan kepada atasan serta rekan kerja mereka bahwa tugas kehumasan itu sangat strategis karena menyangkut citra institusi. Ketika kita getol bercakap-cakap tentang akuntabilitas dan transparansi, mengemas public relation secara profesional merupakan jawabannya. Tidak bisa tidak! Ketertinggalan NTT antara lain karena fungsi public relation kita lemah dan tidak serius diurus.
Di rumah besar Flobamora, masih banyak orang berpikir tugas aparat Humas atau Infokom sekadar membuat siaran pers. Peran mereka lebih dari itu dan luas cakupannya.

Memang, tak ada jalan pintas untuk mengubah paradigma lama. Perubahan apapun butuh proses. Maka pesan penting dari pelatihan 14-19 Juli 2008 adalah Rencana Aksi. Mari beraksi mulai dari hal-hal kecil dan sederhana sebagaimana prinsip IASTP: visi tanpa aksi hanyalah mimpi. Aksi tanpa visi cuma membuang-buang energi. Untuk mengubah dunia, mulailah dengan mengubah diri sendiri dan lingkungan sekitarmu. Ayo, kawan-kawan jangan lupa Action Plan dengan kriteria SMART! * (email: dionbata@poskupang.co.id)

Rubrik Beranda Kita (BETA) Pos Kupang edisi Senin, 21 Juli 2008 halaman 1

Saatnya Konsolidasi

PEKAN Olahraga Nasional (PON) 2008 telah berakhir 17 Juli 2008. Kontingen Propinsi Jawa Timur (Jatim) keluar sebagai juara umum PON dengan perolehan 139 medali emas, 114 perak dan 111 medali perunggu. Urutan kedua diraih DKI Jakarta dengan 122 medali emas, 118 perak dan 123 perunggu. Sedangkan tuan rumah Kalimantan Timur berada di urutan ketiga dengan koleksi 116 medali emas, 110 perak dan 115 medali perunggu.

Kontingen Nusa Tenggara Timur (NTT) berada di urutan ke-24 dari 33 propinsi peserta PON 2008. NTT meraih tiga medali emas, empat medali perak dan enam medali perunggu. Tiga medali emas dipersembahkan kenshi Ana Yunita Gelu dan Juliana Toh (cabang kempo) dan Deni Hitarihun (tinju).

Medali perak direbut Yanto Fallo (tinju), Andi Samol, Tezar Ismail (kempo) dan Adriana Waru (atletik). Medali perunggu disumbangkan atlet senior Tersiana Riwu Rohi, Mery Paijo (atletik), Veronika Hakim (kempo), Roy Hamad, Dudy Baranuri (taekwondo) dan Getrudis Taek (tinju).

Di PON 2008, NTT mengirim 47 atlet dari tujuh cabang olahraga yaitu cabang kempo, tinju, pencaksilat, taekwondo, atletik, sepaktakraw dan bermotor. Cabang kempo dan tinju mempertahankan tradisi medali emas. Sedangkan cabang atletik yang selama bertahun-tahun menjadi andalan NTT untuk meraih emas di ajang PON, kali ini tidak terwujud. Cabang atletik hanya menyumbang medali perak. Prestasi NTT di PON 2004 merosot jauh dibandingkan PON sebelumnya. Di Palembang Sumatera Selatan tahun 2004, kontingen NTT berada di urutan ke-17 dengan perolehan delapan medali emas, empat medali perak, empat perunggu. Prestasi empat tahun lalu merupakan yang terbaik sepanjang sejarah keikutsertaan NTT dalam pesta olahraga multievent terbesar di Indonesia tersebut.

Perolehan medali yang sangat minim di Kalimantan Timur 2008 tentu mengecewakan meski sejak awal KONI Propinsi NTT tidak mematok target karena menyadari kemampuan para atlet yang lolos PON 2008 serta berbagai kendala selama persiapan.
Menurut pandangan kita, hasil yang diraih pada PON Kaltim 2008 menjadi bahan refleksi bagi para pengurus cabang olahraga baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, para pembina, pelatih serta para atlet sendiri. Hasil PON 2008 menunjukkan betapa daerah lain lebih baik persiapannya dan meraih prestasi memuaskan.

Langkah segera yang perlu dilakukan KONI NTT adalah mengevaluasi hasil PON 2008. Mencari tahu kelemahan dan kekurangan serta hal-hal positif yang dipetik. Selanjutnya melakukan konsolidasi. Konsolidasi ini luas cakupannya. Bisa diawali dengan konsolidasi organisasi. Tidak sedikit organisasi cabang olahraga di daerah ini yang butuh penyegaran. Butuh pengurus baru yang lebih dinamis dengan program kerja sistematis dan terukur. Pengurus "cuma nama" perlu diperbarui. Adalah peran dan tanggung jawab KONI Propinsi NTT untuk mendorong terwujudnya hal tersebut.

Model pembinaan atlet setiap cabang olahraga, terutama cabang olahraga prioritas NTT, perlu dievaluasi. Boleh jadi metode pembinaan selama ini tidak cocok lagi. Diperlukan terobosan baru agar atlet-atlet NTT lebih berprestasi sampai tingkat internasional. Sejak berakhirnya era kejayaan petinju Hermensen Ballo, belum ada lagi atlet penerus langkah Hermensen Ballo.

Soal klasik yang telah berkali-kali kita singgung menyangkut perhatian terhadap masa depan atlet Flobamora. Sebagai pimpinan KONI Propinsi NTT, kita yakin Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur, Ir. Esthon L Foenay, M.Si sangat memahami kebutuhan tersebut. Mudah-mudahan kealpaan masa lalu tidak terulang. Atlet NTT yang dibina dengan susah payah hingga menjadi juara nasional, akhirnya pindah ke daerah lain karena masa depannya tidak diperhatikan di kampung sendiri.

Menyimak hasil PON 2008, kita "sakit hati" melihat sumbangan atlet NTT bagi daerah yang meminang mereka. Sebagai contoh, atlet NTT yang mutasi ke Kalimantan Timur menyumbang empat medali emas. Empat emas itu datang dari cabang atletik lewat Fery Subnafeu di nomor marathon putri. Di cabang kempo atlet asal NTT, Kamilus de Lero dan Yules Umbu Pulu masing-masing menyumbang satu medali emas. Satu emas lainnya disumbang cabang taekwondo lewat Alfred Blegur.

Selain emas, Fery Subnafeu juga menyumbang dua medali perak bagi Kaltim di nomor lari 10.000 dan 5.000 meter. Atlet asal NTT lainnya yang pada PON 2004 merebut dua emas dan satu perak bagi NTT, Oliva Sadi, menyumbang medali perak untuk Kaltim dari nomor lari 1.500 meter putri. Masih banyak atlet NTT yang membela daerah lain. Bayangkan kalau mereka membela NTT di PON 2008, perolehan medali kita tentunya lebih dari tiga emas. PON Kaltim memberi pelajaran berharga, jangan mengulang kesalahan yang sama sampai dua kali. **

Salam Pos Kupang edisi Sabtu, 19 Juli 2008 halaman 14

Lima Pesan buat Fren

MENTERI Dalam Negeri (Mendagri), H Mardiyanto, Rabu (16/7/2008) bertempat di ruang sidang DPRD Propinsi NTT, melantik Drs. Frans Lebu Raya dan Ir. Esthon L Foenay sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2008 - 2013. Kepada Lebu Raya dan Esthon Foenay yang diangkat dengan keputusan Presiden RI Nomor 52/P/2008 tanggal 9 Juli 2008, Mendagri menitipkan lima pesan.

Lima pesan bagi pasangan yang populer dengan Fren itu, yakni harus menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola keuangan. Melaksanakan fungsi fasilitasi dan pengawasan dalam kapasitas sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

Lebu Raya dan Esthon Foenay juga harus memberikan dukungan dalam penegakan hukum. Menjalin hubungan kerja dengan DPRD, Muspida dan semua komponen masyarakat serta melakukan konsolidasi birokrasi.

Kelima pesan ini disampaikan Mendagri dalam sambutannya seusai melantik Lebu Raya dan Esthon Foenay. Ia mengatakan, lima pesan ini dengan sengaja ia tegaskan agar Lebu Raya dan Foenay dapat membangun suatu sistem pemerintahan dan pola pembangunan yang sesuai dengan kondisi NTT sehingga membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih sejahtera.

Selain itu, Mendagri atas nama Presiden RI juga menghaturkan terima kasih kepada Piet A Tallo, S.H yang bersama Lebu Raya telah memimpin NTT selama lima tahun terakhir (2003 - 2008). Ucapan proficiat dan terima kasih juga disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum, Panwaslu dan masyarakat NTT karena sukses menyelenggarakan Pilkada. "Ini adalah salah satu contoh demokrasi di Indonesia yang harus ditiru karena pelaksanaannya tanpa adanya protes dari para kandidat yang kalah," katanya.

Mardiyanto menyinggung kesan ketidakpatuhan para bupati atau walikota terhadap gubernur karena tidak adanya garis komando di antara mereka. "Sekarang ada kebebasan yang sering menimbulkan kesan ketidakpatuhan antara walikota/bupati dengan gubernur. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sudah diatur dalam UU Nomor 32. Saya minta supaya jangan jalan sendiri-sendiri tetapi saling memahami dan menghormati kewenangan masing-masing," tegas Mardiyanto.

"Sekali lagi saya ingatkan, posisi gubernur sebagai wakil pemeritah pusat di daerah harus kita jaga, karena tidak ada langkah dan kebijakan pemerintah yang diambil meninggalkan komunikasi dengan gubernur," katanya.

Tentang pengelolaan keuangan daerah, Mardiyanto menegaskan, Lebu Raya dan Foenay perlu mengutamakan belanja publik, memprioritaskan penanggulangan kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja. Menurutnya, aspek ini perlu diperhatikan sebagai wujud pelaksanaan amanah dan kepercayaan yang telah masyarakat NTT berikan.

Dalam kesempatan itu, Mendagri juga meminta seluruh komponen masyarakat NTT mendukung Lebu Raya dan Foenay dalam menjalankan visi misi dan program kerja lima tahun ke depan. Dukungan ini, kata Mendagri, dibutuhkan agar keduanya dapat memimpin NTT lima tahun ke depan sesuai dengan cita-cita semua masyarakat NTT.
Peristiwa pelantikan yang ditandai dengan pengucapan sumpah dan kata-kata pelantikan terjadi dalam sidang istimewa DPRD Propinsi NTT, dipimpin Ketua DPRD NTT, Drs. Melkianus Adoe.

Acara yang berlangsung selama satu jam, dimulai pukul 09.30 Wita, disaksikan 1.000 undangan, sekitar 300 orang diantaranya menempati ruang sidang utama Dewan. Hadir mantan Menteri Tenaga Kerja pada pemerintahan Orde Baru, Drs Cosmas Batubara, mantan Gubernur NTT dr. Hendrikus Fernandez, Herman Musakabe, Piet A Tallo, S.H, Pangdam IX/Udayana, Mayjen TNI Hotma Mangradja Pandjaitan, Gubernur Papua Barat Abraham Octovianus Ataruri, para bupati dan walikota serta wakil bupati se-NTT, anggota DPR dan DPD RI asal NTT serta mantan Ketua DPRD NTT, Daniel Woda Palle. Kebanyakan undangan duduk di kursi di luar ruangan sambil mengikuti acara pelantikan dari layar televisi.

Tepuk tangan hadirin menggema di dalam dan luar ruangan sidang tatkala Mendagri menyematkan tanda lambang burung garuda di dada kanan dan 'pin' pada kedua bahu Lebu Raya dan Foenay. Penyematan tanda lambang dilakukan setelah penandatangan berita acara pelantikan. Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan memori jabatan dari Piet Tallo kepada Lebu Raya.

Acara pelantikan gubernur dan wakil gubernur ini dipadukan dengan pelantikan Ketua Tim Penggerak PKK Propinsi NTT, Ny. Adinda Lebu Raya oleh Ketua Tim Penggerak PPK Pusat, Ny. Evi Mardiyanto, dan dilanjutkan dengan penyerahan 'memori' PKK dari Ny. Erny Tallo kepada Ny. Adinda Lebu Raya. Keseluruhan rangkaian acara itu ditutup dengan pemberian ucapan selamat kepada Gubernur dan Wakil Gubernur NTT beserta istri.


Sebagaimana saat tiba, kepulangan Mendagri bersama rombongan juga dihantar dengan tarian dari berbagai etnis, seperti Flores Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Sumba dan Alor, serta atoin meto (sapaan adar) tetua adat Timor. (aca/dar)

Biodata Frans Lebu Raya
Nama : Drs. Frans Lebu Raya
TTL : Watoone, 18 Mei 1960
Istri : Ny. Lusia Adinda Dua Nurak
Anak : - Maria Yubiliani Laetare Nurak
- Karmelia Eleonoraputri Bengan Tokan

Pendidikan :
- SDK Watoona (1971)
- SMP Palugodam (1974)
- SMOA Kupang (1977)
- S1 FKIP Undana Kupang

Organisasi & Karier Politik
- Ketua Umum Senat FKIP Undana (1988-1990)
- Ketua GMNI Cabang Kupang (1991-1992)
- Ketua DPC PDI Kodya Kupang (1996).
- Sekreataris DPD PDIP NTT (1996 - 2000)
- Ketua DPD PDIP NTT (2000-2010).
- Anggota DPRD NTT (1999 - 2004)
- Wakil Ketua DPRD NTT (1999-2003)
- Wakil Gubernur NTT (2003-2008)
- Gubernur NTT (2008 - 2013)

Biodata Esthon Foenay
Nama : Ir. Esthon Foenay, M.Si
TTL : Kupang, 3 Agustus 1950
Istri : Whylmintje Jublina Elisabeth
Anak : 3 orang

Pendidikan :
- SR GMIT XI Kupang (1963)
- SMP Negeri I Kupang (1966)
- SMA Kristen Kupang (1969)
- S1 Peternakan Undana Kupang (1979)
- S2 Studi Pembangunan Satya Wacana (2002)

Organisasi dan Karier
- Ketua Perkumplan Pelajar SMA Kristen Kupang tahun 1968
- Ketua Senat Mahasiwa (1971-1972)
- Ketua Umum KODEMA Fapet Undana Kupang (1974-1975)
- Koordinator GMKI Kupang (1972-1974)
- Ketua AMPI Kabupaten Kupang (1982-1984)
- Ketua Umum Pengda PABDSI NTT (1996 - 2000)
- Ketua Harian KONI NTT (1998-2008)
- Ketua Umum IKA FAPET (2005-2009)
- Ketua Umum Pengda PERKEMI NTT (2004-2008)
- Kepala Seksi Pendidikan Mental Spiritual, Pemerintahan (1984- 1987)
- Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda NTT (1987 - 1991)
- Kepala Biro Bina Sosial Mental Spiritual Setda NTT (1991-1997)
- Direktur III Akademi Teknik Kupang (1993)
- Kepala Biro Penyusunan Program (1997-1998)
- PLH Asisten Administrasi Pembangunan Setda NTT (1998-1999)
- Kepala Bappeda NTT (1998-2003)
- Kepala Badan Diklat NTT (2003-31 Agustus 2006)

Gubernur NTT sejak 1958
1. WJ Lalamentik (1958-1968)
2. El Tari (1968 - 1978)
3. Wang Suwandi, S.H (April - Juni 1978)
4. dr. Ben Mboi (1978 - 1983), dr. Ben Mboi dan Godlief Boeky, S.H (1983 1988)
5. Hendrik Fernandez dan SHM Lerick (1988 - 1993)
6. Herman Musakabe dan Piet A Tallo, S.H (1993-1998)
7. Piet A Tallo dan Yohanis Pake Pani (1998 - 2003), Piet A Tallo dan Drs. Frans Lebu Raya (2003 - 2008)
8. Drs.Frans Lebu Raya dan Ir. Esthon L Foenay, M.Si (2008- 2013)

Hasil Pilkada NTT 2008
Pilkada NTT dilaksanakan 14 Juni 2008
1. Frans Lebu Raya - Esthon Foenay diusung PDIP : 772.030 suara (37,35 persen)
2. Ibrahim A Medah-Paulus Moa diusung Partai Golkar : 711.116 suara (34,40 persen)
3. Gaspar Parang Ehok -Yulius Bobo diusung Koalisi Abdi Flobamora : 584.082 suara (28,25 persen).

Total suara : 2.067.288 suara sah.

Pos Kupang edisi Kamis, 17 Juli 2008, halaman 1

Gubernur Tahun Emas

PASANGAN FRANS Lebu Raya dan Esthon L Foenay mencatat sejumlah sisi menarik dalam sejarah Propinsi NTT yang terbentuk pada 20 Desember 1958. Frans Lebu Raya merupakan Gubernur kedelapan bagi propinsi kepulauan yang tahun ini genap berusia 50 tahun atau merayakan Pesta Emas. Frans dan Esthon juga merupakan pasangan Kepala Daerah NTT pertama yang dipilih rakyat secara langsung. Berikut komentar, pesan, kesan dan harapan sejumlah tokoh bagi keduanya.

dr. Hendrikus Fernandez (Mantan Gubernur NTT)
Gunakan Semua Potensi

TAHUN ini memang momentum emas NTT. Sebagai Gubernur NTT kedelapan, saya mengharapkan Frans menggunakan semua potensi yang ada. Yah, masyarakatnya, sumber daya alamnya, birokrasinya. Semuanya harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan NTT dan demi kebesaran Flobamora. Proficiat untuk Frans dan Esthon dan terima kasih untuk Piet Tallo. (dar)

Herman Musakabe (Mantan Gubernur NTT)
Punya Waktu untuk Warga


DALAM konteks otonomi daerah di mana pemerintah pusat telah mendelegasikan banyak kewenangan kepada Bupati dan Walikota, saya harapkan Frans dan Esthon mampu membangun komunikasi yang baik dengan semua kepala daerah. Lebih dari itu saya mengharapkan keduanya lebih banyak mempunyai waktu untuk masyarakat di pedesaan sehingga bisa membawa NTT keluar dari kemiskinan. (dar)

Cosmas Batubara (Mantan Menteri Tenaga Kerja)
Orbitkan Tokoh Nasional

PAK Frans itu bukan seorang birokrat murni seperti Esthon, melainkan sosok yang datang dari masyarakat karena lama bergerak di dunia LSM. Saya percaya beliau tahu kebutuhan masyarakat NTT. Keduanya merupakan paduan yang ideal. Pesan saya untuk keduanya dan untuk seluruh masyarakat NTT, saat ini hampir tidak kedengaran lagi tokoh-tokoh nasional dari NTT. Dahulu NTT dikenal karena tampilnya beberapa tokoh yang berkualitas. Ini barangkali perlu mendapat perhatian dari Gubernur dan Wakil Gubernur baru ini. (dar)

Abraham Atururi (Gubernur Papua Barat)
Siap Membantu

MASYARAKAT Papua Barat mengucapkan proficiat kepada seluruh masyarakat NTT karena telah memiliki pemimpin yang baru hasil Pilkada langsung pertama tingkat propinsi. Saya ingin menyampaikan pesan, kami di Papua Barat siap membantu Pemda NTT menyelesaikan masalah pengungsi dan perbatasan. Kami siap menampung masyarakat eks Timor Timur bila ada yang ingin berdomisili di Papua Barat. (dar)

Frans Umbu Datta (Rektor Undana Kupang)
Undana Dukung


UNIVERSITAS Nusa Cendana (Undana) Kupang sangat bangga karena Pak Frans dan Pak Esthon adalah alumni Undana. Tetapi, kebanggaan ini serentak tantangan bagi kami. Kegagalan keduanya adalah juga kegagalan Undana. Sebaliknya kesuksesan mereka adalah berkat bagi Undana. Kami akan memberikan kontribusi sesuai dengan keahlian kami bagi keduanya. Tentu kami juga mengharapkan dukungan dari Pak Frans dan Pak Esthon bagi Undana sehingga bisa menghasilkan output yang berguna bagi seluruh masyarakat NTT. (dar)

Inche DP Sayuna, S.H, M.H (Anggota DPRD NTT)
Responsif Gender


INVESTASI yang sudah terbangun baik dengan rakyat jangan disia-siakan. Jaga kekudusan hati untuk memberi pikiran, tangan dan juga hatinya yang terbaik untuk rakyat. Mereka sudah mendapatkan legitimasi kepercayaan dari seluruh masyarakat NTT dan karena itu lepaskan sekat partai, agama dan suku serta kepentingan lain-lain yang sempit. Harus bisa menenun berbagai perbedaan dan kekuatan yang ada untuk menjadikan NTT yang kita cintai lebih baik dari hari kemarin. Secara khusus kami dari komunitas perempuan pernah membangun komitmen dan tiga kandidat gubernur jika terpilih, maka akan memperbaiki regulasi yang ada untuk menghadirkan kebijakan pembangunan daerah yang reponsif gender, dan didukung dengan anggaran yang berbasis gender. Semoga bukan lipservice. (aca)

Saleh Husin (Pengusaha/Sekjen DPP Hanura)
Menjadi Bapak Rakyat

SETELAH dilantik maka Pak Frans dan Pake Esthon harus melepas atribut partai, kelompok dan agama karena telah menjadi bapak bagi seluruh rakyat. Jika tidak maka NTT tidak bakal maju. NTT masih tergolong miskin, padahal sumber daya alamnya banyak. Laut dengan garis pantai yang panjang belum dimanfaatkan optimal, misalnya dengan budidaya rumput laut. Rumput laut jangan hanya diekspor tapi pemerintah perlu bangun pabrik pengolahan supaya ada nilai tambah, diantaranya tercipta lapangan kerja. NTT juga sebagai daerah tambang. Beri kemudahan kepada investor untuk berinvestasi. Hilangkan budaya birokrasi yang berbelit-belit. (aca)

Simon Hayon (Bupati Flores Timur)
Wawasan Interkoneksitas


SELAMA ini program yang dijalankan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota berjalan sendiri-sendiri. Dan, ini dirasakan Flotim. Oleh karena itu, wawasan interkoneksitas harus dikembangkan, dimana pemerintah propinsi menjalankan fungsi koordinasi. Ada dua hal yang harus dilakukan yaitu pembangunan fisik dan jiwa. Fisik ini menyangkut infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Terkait di dalamnya sumber daya manusia. Sedangkan jiwa lebih menyangkut nilai. Pembangunan nilai diserahkan kepada kabupaten/kota karena itu terkait dengan sosial budaya masyarakat. Propinsi fokus pada apa? Mestinya punya agenda jelas karena permasalahan NTT kompleks sehingga menyelesaikannya bertahap. Propinsi mestinya memayungi dalam aspek pembangunan fisik. Dalam leadership ada konsistensi. Jadi, apa yang disampaikan sewaktu kampanye harus dikerjakan. (aca)

Pos Kupang edisi Kamis, 17 Juli 2008 halaman 1

Mantel Putih dan Sumpah



Kado Buat Gubernur dan Wagub NTT (1)

RABU, 16 Juli 2008, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto mengambil sumpah dan melantik Drs. Frans Lebu Raya dan Ir. Esthon Foenay, M.Si sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub) NTT periode 2008 - 2013. Kegiatan seremonial pemerintahan/kenegaraan untuk melegitimasi ini sebagai puncak dari prosesi panjang pelaksanaan Pilkada NTT.

Untuk mencapainya, begitu banyak waktu telah kita habiskan. Energi banyak terkuras. Materi apalagi. Apa boleh buat. Karena kita memang harus mencari pemimpin. Demi sebuah nama yang kita agungkan, demokrasi.

Bagi Lebu Raya, bersumpah janji di hadapan Mendagri adalah yang kedua kalinya. Pertama kali ketika bersama Piet A Tallo, S.H dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2003 - 2008, lima tahun lalu. Sedangkan bagi Esthon, mungkin ini merupakan yang pertama kali dialami.

Peristiwa pelantikan ini sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat NTT. Kita telah menyaksikan peristiwa serupa pada waktu-waktu sebelumnya. Apabila masa tugas telah berakhir, maka siapa pun yang terpilih menggantikan pemimpin sebelumnya atau pemimpin yang sama dipilih kembali, pasti akan dilantik Mendagri. Yang dilantik, harus mengenakan busana serba putih, dari kapal sampai ujung kaki. Baju dan celana putih. Topi dan sepatu putih.

Mengapa putih? Karena sebagai simbol kesucian, kesederhanaan, kebersihan. Juga mengandung makna persatuan dan persahabatan. Di dada kanan terpasang emblin burung garuda kuning. Berdiri tegap sambil mengangkat telunjuk dan jari tengah tangan kanan membentuk V, berikrar membangun masyarakat dan daerah. Lazim memang!

Sejauh ini, sampai genap berusia 50 tahun pada 20 Desember 2008, NTT sudah memiliki delapan gubernur. Secara berturut-turut, yaitu WJ Lalamentik (1958-1968), El Tari (1968 - 1978), Wang Suwandi, S.H (April - Juni 1978), dr. Ben Mboi (1978 - 1988), Hendrik Fernandez (1988 - 1993), Herman Musakabe (1993-1998), Piet A Tallo (1998 - 2008) dan sekarang yang kedelapan adalah Frans Lebu Raya. Sementara Esthon menjadi Wagub NTT yang keenam.

Sejak lahirnya aturan yang memberi peluang ada wakil gubernur, yang menjadi wakil Gubernur NTT pertama adalah Godlief Boeky, S.H, mendampingi Ben Mboi (1983- 1988). SHM Lerik mendampingi Hendrik Fernandez dan Piet A Tallo mendampingi Herman Musakabe. Pada periode pertama kepemimpinannya (1998-2003), Piet Tallo didampingi Yohanes Pake Pani dan di periode kedua, didampingi Frans Lebu Raya.

Hal yang membedakan Lebu Raya - Esthon dengan kepala daerah sebelumnya adalah keduanya dipilih langsung oleh rakyat NTT. Yang dulu dipilih oleh wakil rakyat yang ada di lembaga legislatif. Adapun hasil dari pemilihan langsung yang digelar 14 Juni lalu itu, Lebu Raya - Esthon (Paket Fren) yang diusung PDI Perjuangan mendulang 772.030 suara atau sekitar 37,35 persen dari 2.067.288 total suara sah. Unggul atas pasangan Ibrahim Agustinus Medah-Paulus Moa (Tulus) yang diusung Partai Golkar dengan mengumpulkan 711.116 suara (34,40 persen) dan pasangan Gaspar Parang Ehok -Yulius Bobo (Gaul) yang diusung Koalisi Abdi Flobamora dengan 584.082 suara (28,25 persen). Pemilihan tidak diwarnai dengan intimidasi. Tidak ada kecurangan karena masyarakat melakukannya secara sadar. Maka tidak salah kalau kita katakan Lebu Raya - Esthon dihasilkan oleh rakyat secara berhati nurani. Karenanya, keunggulan yang diperoleh menjadi kemenangan bagi masyarakat NTT umumnya.

Sebagai masyarakat NTT, sudah tentu kita menaruh harapan kepada pemimpin baru. Karena mendambakan perubahan. Hidup yang lebih baik dengan daerah yang maju. Dambaan itu sangatlah wajar. Karena tampilan wajah NTT sangat berbeda dengan usianya yang matang. Berbagai kerawanan masih melekat erat dalam keseharian masyarakat. Rawan ekonomi, rawan kesehatan, rawan pendidikan, dll, terus terjadi. Pemimpin yang baru harusnya bisa merubah kerawanan menjadi ketahanan.

Hendrik Mada, warga Kabupaten Ngada, lewat pesan singkatnya (short mesage service/SMS) yang dikirim kepada Pos Kupang, menulis begini : usia NTT 50 tahun adalah usia yang penuh harapan dari segala aspek kehidupan. Ultah NTT dan Pilkada NTT adalah moment yang sangat tepat untuk mawas diri, introspeksi diri dari lingkungan kemiskinan dan kemelaratan.

Harapan pemilik nomor hand phone 08133936XXXX, lain lagi. Dia menulis : Pemimpin terpilih harus bisa menghilangkan ketergantungan rakyatnya pada prinsip NTT = Nanti Tuhan Tolong.

Leonard, warga Kelurahan Liliba, Kota Kupang berharap semoga di usia emas NTT, terlahir juga anak-anak emas yang mampu menghasilkan emas-emas di nusa Flobamora sehingga masyarakatnya bisa hidup sejahtera.

Dami Wuran, warga Kabupaten Flores Timur lewat pesan singkatnya berujar : Pemimpin itu punya kekuasaan. Kekuasaan itu hanya sebatas sarana untuk mengefektifkan dan memaksimalkan pelayanan, bukan menghasilkan birokrasi baru yang menyulitkan pelayanan. Di usia yang ke-50 tahun, mari kita memberi disposisi bathin untuk secara elegan dan jujur bersuara bahwa NTT masih seperti ini - sembari menentukan sikap buat figur NTT 1-2 yang diyakini bisa mencairkan kebekuan birokrasi selama ini dan siap menerima risiko demi sebuah karya penyelamatan.

Kita memang butuh upaya penyelamatan. Saat ini kita sedang dilanda kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ini tentunya, berdampak sekali dengan kehidupan masyarakat. Betapa tidak, kenaikan harga BBM mengakibatkan segala bahan pokok untuk kebutuhan kehidupan masyarakat sehari-hari juga ikut-ikutan naik.

Biaya pendidikan di NTT dinilai mahal. Belum lagi ribuan siswa/i SMP terkatung- katung nasibnya karena tidak diterima di SMA. Pelayanan kesehatan juga demikian parahnya. Hal ini perlu diperhatikan pemimpin baru. Seyogyanya, sumpah janji yang diucapkan saat memakai 'mantel putih', harus diejawantahkan dengan karya penyelamatan. (Alfons Nedabang/bersambung)

Pos Kupang edisi Selasa, 15 Juli 2008, halaman 1

Menagih Janji Kampanye

Kado Buat Gubernur dan Wagub NTT (2)

KURANG lebih tiga bulan lamanya, rubrik SMS Pilkada dan Apa Kata Mereka, menghiasi salah satu halaman media ini. Ada saja warga yang menyampaikan aspirasinya terkait dengan Pilkada NTT, diantaranya dengan mengirim short mesage service atau pesan singkat. Aspirasinya beragam. Kritik, usul dan saran mengalir deras. Jumlahnya? Sangat banyak.

Umumnya curhat tentang masalah-masalah pembangunan. Pembangunan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja, pembangunan kesehatan, infrastruktur serta penegakan hukum di NTT yang mandek. Birokrasi yang agak kebablasan dan tentang kemiskinan yang kian merajalela. Semua yang dicurahkan berangkat dari apa yang sedang dialami dan dirasakan. Yang terjadi di sekeliling dan sekitar kita.

Beberapa curhat di antaranya saya kedepankan disini. Yosi Patirulan, warga Sikumana, misalnya, ini meminta agar pemimpin terpilih memperhatikan kecukupan pangan bagi rakyat. Peduli dan cepat tanggap terhadap masalah pertanian, kesehatan dan pendidikan. Ny. Sri, penjual bakso, di Ba'a, Kabupaten Rote Ndao mengharapkan pemerintah berupaya untuk menstabilkan harga sembako.

Menurutnya, harga sembilan bahan pokok (sembako) yang terus naik sangat memberatkan masyarakat kecil. Kenaikan harga sembako, berdampak langsung pada usaha yang dijalankan.

Hilda Irene Dimu, Warga Oebobo mengharapkan gubernur dan wakil gubernur terpilih memiliki komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi. "Jangan hanya tebar pesona saat kampanye saja. Tetapi harus memiliki keberanian untuk memberantas korupsi dengan mendorong aparat hukum untuk memroses para pejabat-pejabat baik di kabupaten/kota maupun propinsi yang makan uang rakyat."

Harapan yang sama disampaikan Eman Bata di Bajawa. Dia meminta agar penegakan hukum dilakukan tidak tebang pilih, masyarakat kecil yang terlbat kasus diproses sementara para pejabat yang korupsi tidak disentuh aparat.

Sedangkan Basilius Nou, warga Kelurahan Oebobo, mengharapkan agar pemimpin tidak berpikir primodial. Karena itu akan merusak tatanan kehidupan di NTT yang masyarakatnya heterogen.

Apa yang diutarakan, intinya masyarakat menghendaki perubahan yang lebih baik daripada sebelumnya. Di antaranya, yaitu agar gubernur terpilih lebih dekat kepada rakyat dan bersifat populis, kebijakannya harus pro ke rakyat, membersihkan korupsi di tubuh birokrasi, dan yang lebih penting adalah agar memenuhi janji-janjinya dalam kampanye yang lalu.

Tentu ini bukan sebuah beban yang berat, melainkan amanah yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan. Kita sedikit terhibur karena Lebu Raya dan Esthon bukanlah pendatang baru. Keduanya berpengelaman. Frans Lebu Raya selama lima tahun menjadi wakil gubernur. Sebelumnya menjadi wakil rakyat di DPRD NTT. Jauh sebelumnya lagi, pernah menjadi guru dan aktivis LSM. Esthon dianggap sebagai birokrat tulen. Mengerti tentang birokrasi.

Lebu Raya dan Esthon mengidentikkan diri sebagai orang kecil. Dalam setiap kesempatan, Lebu Raya selalu mengatakan dirinya adalah anak petani dari desa. Makanan kesukaannya adalah jagung titi dan sayur rumpu rampe. Esthon juga demikian, anak desa. Meski memiliki 'darah biru' selalu terlihat menguyah siri pinang.

Dengan beragam latar belakang ini, diyakini Lebu Raya - Esthon cukup familiar dengan persoalan rakyat. Karena bukan orang baru maka otomatis tidak memerlukan waktu untuk penyesuaian diri sehingga setelah waktu pelantikan mulai dapat berbuat perubahan-perubahan. Fren sangat memahami betul karakter pemerintahan, sehingga jika menginginkan penataan birokrasi pasti cuma memerlukan waktu yang singkat.

Terkait dengan penataan birokrasi ini, kita mengharapkan agar dilakukan dengan mengedepankan semangat profesionalisme. Orang yang ditempatkan pada satu jabatan, bukan dengan pertimbangan balas budi karena berjasa dalam pilkada. Atau juga tidak dengan pertimbangan orang ini dan itu adalah keluarga saya, sesuku, segolongan. Prinsip like and dislike yang selema ini melekat pada kepemimpinan sebelumnya, mestinya harus dihilangkan. Ini dimaksudkan agar birokrasi kita bekerja profesional, mengutamakan kepentingan pelayanan kepada masyarakat.

Lebu Raya dan Esthon juga masih berusia muda, enerjik. Karena itu, mestinya lebih banyak turun ke desa-desa untuk melihat kondisi masyarakat sebenarnya. Dengan begitu, bisa membuat program yang sesuai dengan karakteristik daerah untuk menjawab persialan masyarakat. Jangan hanya duduk dibelakang meja dan menerima laporan dari staf. Kalau dicermati, apa yang menjadi harapan masyarakat sejalan dengan visi mewujudkan masyarakat NTT yang berkualitas, sejahtera, adil dan demokratis.


Dalam setiap kesempatan kampanye, duet yang dikenal dengan Fren ini selalu mengatakan, akan melaksanakan delapan agenda pembangunan, diantaranya pemantapan kualitas pendidikan, pembangunan kesehatan, pembanguna ekonomi (perluasan kesempatan kerja), pembangunan infrastruktur, pembenahan sistim hukum daerah, konsolidasi tata ruang dan pengelolaan lingkungan, pemberdayaan perempuan, anak dan pemuda, serta agenda khusus yaitu penanggulangan kemiskinan, pembangunan daerah perbatasan, daerah kepulauan dan pembangunan daerah rawan bencana.

Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah paradigma Anggur Merah (Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera) yaitu mengembangkan birokrasi pelayanan publik yang cepat dan murah melalui penataan kelembagaan dan kultur untuk mewujudkan anggaran pembangunan yang lebih besar berpihak pada kepentingan rakyat daripada untuk belanja pemerintahan dengan penerapan APBD yang pro rakyat.

Visi, misi, agenda kerja dan paradigma ini, kedengarannya indah. Ketika diucapkan masyarakat merasa sedang bermimpi. Sekarang yang didambakan oleh masyarakat adalah supaya mimpi itu menjadi nyata. Kepercayaan yang sudah diberikan masyarakat harus dijaga dan dipelihara, diantaranya dengan menepati janji-janju sewaktu kampanye. "Pemimpin yang terpilih harus menepati janjinya. Jangan hanya omong saat kampanye seperti pemimpin yang lain. Cape deh!," demikian bunyi pesan pemilik nomor hand phone 08523911XXXX. (Alfons Nedabang/habis)

Pos Kupang edisi Rabu, 16 Juli 2008, halaman 1

Main di Tepi Danau


Diskusi Terbatas Ekonomi Lokal NTT (1)


Rabu (18/6/2008), Pos Kupang menggelar diskusi terbatas bertajuk, "Membangun Ekonomi Lokal NTT." Diskusi yang dipandu Redpel, Dami Ola, ini menghadirkan Pengamat Ekonomi Undana, Dr. Fred Benu; Ketua Ikatan Sarjana Indonesia (ISEI) NTT, Christofel Liyanto, SE; Pelaku Ekonomi, Drs. Guido Fulbertus; Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Kupang, Ny. Paulina Adoe; Direktur Kepatutan dan Manejemen Risiko Bank NTT, Helena Beatrix Parera; serta dua orang pengusaha UKM, Alauddin H Kamaluddin dan Frans K Tukan. Materi diskusi diturunkan secara berseri dalam empat edisi. Selamat membaca.


PERNYATAAN yang dikutip menjadi judul di atas muncul dalam forum diskusi. "Hanya ikan besar bermain di samudra. Ikan kecil bermain dan menari-nari di tepi danau. Hanya pengusaha besar yang bisa bermain di pasar nasional dan global. Pengusaha kecil hanya bisa bermain dan puas di pasar lokal."

Keadaan bisa terbalik. Pengusaha kecil bisa bermain di pasar nasional dan global. Tapi ada syaratnya. Jika didukung oleh konstruksi sosial, konstruksi budaya dan kebijakan pemerintah daerah yang terfokus. Pengusaha NTT? Sudah bisa bermain di samudera atau hanya mampu bermain dan menari-nari di tepi danau?

Guido Fulbertus, salah satu pelaku ekonomi di NTT, memulai diskusi dengan pertanyaan retoris. Kenapa kita harus bicara ekonomi? Sangat pentingkah ekonomi itu?

Guido mengatakan, mulai dari manusia bangun tidur sampai tidur lagi, selalu dihadapkan dengan biaya ekonomi. Karena itu, katanya, berbicara ekonomi sangatlah penting.

"Bangun pagi, kita sudah diperhadapkan dengan biaya ekonomi. Mulai dari sikat gigi, odol gigi, air dan semua aktivitas pasti ada hubungannya dengan biaya. Termasuk perjalanan ke kantor, pulang rumah, menonton televisi, hingga tidur di atas kasur pun ada biaya ekonominya. Sementara di satu pihak pendapatan kita tidak diperoleh setiap hari," kata Guido.

Data menunjukkan, pada sektor pertanian, dari 100 orang yang bekerja, ada 57,3 persen menganggur. Itu berarti kontribusi dari sektor pertanian, 43 orang bekerja untuk menghidupi 57 orang yang menganggur. Artinya, masih banyak orang di NTT tidak menghasilkan pendapatan setiap hari, meski setiap hari melakukan aktivitas ekonomi. Dengan kata lain, kata Guido, setengah dari satu piring nasi yang dihasilkan oleh 43 orang, harus dibagikan kepada 57 orang yang tidak bekerja. "Dari ilustrasi ini saja bisa dilihat bahwa etos kerja orang NTT masih rendah," ujarnya.

Rendahnya etos kerja masyarakat NTT berbanding lurus dengan membengkaknya angka pengangguran setiap tahun. Data dari Dinas Nakertrans NTT yang dikeluarkan akhir tahun 2007 menyebutkan, jumlah tenaga kerja di NTT 2.152.396 orang. Jumlah angkatan kerja 2.152.396 orang, penganggur terbuka 118.821 orang, pencari kerja (pencaker) yang terdaftar mencapai 76.916 orang. Sementara tenaga kerja yang terserap di sektor pemerintah 7.326 orang. Tenaga kerja yang terserap di sektor swasta 21.126 orang, dan 45.000 orang tenaga kerja bekerja pada 4.000 perusahaan yang tersebar di berbagai daerah di NTT.

Dari data ini jumlah penganggur sangat dominan. Masalah yang selalu dilitanikan dari tahun ke tahun. Pengangguran lebih disebabkan ketersediaan lapangan kerja yang terbatas. Ujung-ujungnya, angka kemiskinan juga membengkak. Data tahun 2007 menunjukkan, jumlah kepala keluarga (KK) miskin di NTT sebanyak 952.107 KK dan jumlah rumah tangga miskin (RTM) sebanyak 623.137 RTM.

Menurut Guido, ekonomi menjadi tumpuan bagi siapa saja karena terkait erat dengan empat hal mendasar hidup manusia, yakni biaya hidup, biaya kesehatan, biaya pendidikan (sekolah), dan biaya rumah.

Untuk membiayai empat bidang ini, katanya, kita harus punya landasan ekonomi kuat. Jika fondasi ekonomi kuat, kita dapat membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya sesuai potensi daerah dengan memberdayakan potensi sumber daya manusia (SDM) yang ada. Di lain pihak, tentu kita berharap agar angka pengangguran berkurang dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari bisa teatasi. Tetapi, semua apa yang kita harapkan itu, kembali pada etos kerja kita.

"Jika etos kerja masyarakat kita rendah, maka masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan, pengangguran dan kemiskinan akan tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat NTT. Orang sukses harus punya etos kerja. Tetapi bukan hanya itu, karena dalam etos kerja ada masalah yang sangat mendasar, harus ada kredibilitas dan integritas. Hal ini sangat melekat dengan dunia usaha," ujarnya.

Berani berspekulasi
Dari aspek ekonomi riil, menurut Guido, Kota Kupang adalah kota jasa dan niaga, tidak ada lain. "Kalau kelautan saja, bagi saya itu bukan industri kelautan, hanya petani nelayan," tegasnya.

Menurutnya, kebijakan ekonomi di suatu daerah harus disesuaikan dengan potensi yang ada di daerah itu. Misalnya, di Kota Kupang, ada dua sektor yang harus mendapat perhatian pemerintah kota, yaitu sektor jasa dan niaga.

Dalam dunia bisnis, Guido menyebut dua hal penting yang harus dilakuan, yakni spekulasi dan sindikasi. Spekulasi di sini dalam hal positif. Pinjam uang adalah spekulasi. Apakah bank menjamin kalau seseorang pinjam uang lalu akan berhasil, belum tentu. Hal penting yang perlu dilakukan oleh masyarakat, terutama kalangan dunia usaha, harus berani berspekulasi, baik dalam hal memproduksi barang maupun menjual hasil-hasilnya.

Selain itu, lanjutnya, harus berani melakukan sindikasi dengan pengusaha di daerah lain, khususnya dalam memasarkan produk-produk yang dihasilkan dari potensi ekonomi yang ada di daerah ini. Jadi, sindikasi yang dimaksud di sini adalah membuat jaringan bisnis.

Pengusaha kecil, misalnya Alauddin H Kamaluddin, Direktur CV Bumi Cendana, yang memroduksi sepatu dan tas kulit, bisa menembus pasar nasional dengan membuka cabang di Pasar Tanah Abang-Jakarta.

"Pak Alauddin bisa terobos pasar nasional karena ada sindikasi dengan pengusaha di sana. Ini sindikasi yang positif untuk memasarkan produk-produk lokal dari NTT. Ini dua hal penting yang sebenarnya menjadi pegangan agar orang NTT itu berani dalam dunia usaha. Tetapi, dari pengamatan selama ini sebagai pelaku ekonomi, banyak orang NTT bisa omong, tapi takut berspekulasi dan takut melakukan sindikasi dengan dunia luar. Itu persoalan kita di NTT," kata Guido.

Terkait pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), Alauddin Kamaluddin, salah seorang pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di Kota Kupang-- memroduksi sepatu dan tas kulit, serta spring bad--, punya kiat tersendiri.

Untuk menjalankan bisnis, Alauddin merekrut dan melatih sejumlah angkatan kerja yang masih menganggur agar mereka memiliki keterampilan. "Di tempat usaha saya di Kampung Meleset, Namosain-Kupang, saya melatih sejumlah tenaga kerja agar memiliki keterampilan seperti yang saya miliki. Untuk hal ini, saya bekerja sama dengan Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Nusa Tenggara Timur (NTT)," ceritanya.

Kasubdin PLS Dinas Dikbud NTT, Ir. Marthen Dira Tome, diakuinya, memfasilitasi pelatihan keterampilan dimaksud agar para tenaga kerja pengangguran memiliki keterampilan yang dapat menjadi sumber hidup bagi dirinya dan keluarga.

"Tapi, melatih para tenaga penganggur itu sangat susah. Etos kerjanya lemah sekali. Saat sedang dilatih, misalnya, mereka terima SMS (pesan singkat) lalu pergi dan tidak kembali lagi. Yang saya alami, lebih baik melatih para tenaga penganggur yang adalah anak-anak desa daripada anak-anak kota. Tapi intinya, etos kerja anak-anak di NTT lemah sekali. Padahal etos kerja dan motivasi diri sangat penting untuk membuat sesuatu menjadi lebih bermakna," ujarnya.

Untuk menciptakan SDM yang berkualitas dengan etos kerja yang memadai, pada tahun 2008 ini Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) NTT menerapkan program three in one, yakni pelatihan, sertifikasi dan penempatan. Sesuai rencana, dalam program ini sekitar 5.000 angkatan kerja lokal akan digembleng mengikuti pelatihan sesuai kebutuhan pasar kerja. Pelatihan yang diberikan, antara lain pertukangan, kelistrikan, las, ukir kayu, penangkapan ikan, tukang batu, tukang kayu, menjahit, pelatihan mengolah makanan dan minuman, serta otomotif.

Tiga domain
Pengamat ekonomi dari Undana, Dr. Fred Benu berpendapat, ada tiga domain yang menentukan keberhasilan (usaha) masyarakat NTT, baik individu maupun tingkat yang lebih makro regional NTT. Domain pertama, kata Fred, adalah diri pelaku bisnis itu sendiri yang terkait dengan eros kerja. Etos kerja ini sangat terkait dengan perilaku pengusaha itu sendiri.

Domain kedua, konstruksi sosial, budaya dan struktur kelembagaan yang ada mendeterminasi suatu pelaku usaha tertentu untuk bisa eksis dan berkembang. Domain ketiga, sebut Fred, pada tataran pemerintah yang disebut dengan good governance.
"Bagi saya, berhasil atau tidak, entitas usaha tidak semata-mata ditentukan orang itu sendiri, pelaku bisnis itu sendiri, melainkan juga dideterminasi oleh konstruksi sosial, konstruksi budaya dan konstruksi struktur pemerintahan. Pada tataran domain pribadi, kita asumsikan konstruksi sosial, konstruksi budaya dan konstruksi struktur pemerintahan tidak berpengaruh, tergantung pada individu itu sendiri. Karena itu, diperlukan terobosan tertentu untuk menghilangkan stereotipe yang menghambat orang untuk berkembang. Cerita bapak dan ibu dalam diskusi ini menunjukkan bahwa eksisnya suatu entitas usaha bisnis perlu ada terobosan-terobosan, dan perlu mengambil risiko. Dan, itu adalah hasil dari upaya individu, bukan dalam sistem yang dibangun secara konstruktif mendorong kita semua untuk maju, bukan," kata Fred.

Menurut dia, pelaku bisnis bisa eksis karena berani mengambil risiko. Contohnya, Pak Uddin (Alauddin Kamaluddin, Red) berani mengambil risiko menerobos stereotipe, baik stereotipe dari konstruksi sosial budaya, personal dan etos kerja maupun pemerintahan yang dia terobos sampai ke pasar Jakarta.

"Kita baru bisa menjadi pemain besar kalau berani mengambil risiko. Hanya ikan besar saja yang main di tengah samudera, kita lebih banyak ikan kecil yang hanya bisa main di tepi danau," ujar Fred.

Fred benar. Selama kita main di tepi danau dan terus dihambat oleh konstruksi sosial budaya, tidak di-back up dengan kebijakan dan struktur pemerintahan yang cukup baik, maka kita tidak akan menjadi pemain besar. Tidak bisa menjadin ikan besar yang mainnya di tengah samudera.

"Kita lihat Pak Udin, sudah main di tengah samudera, tapi bisa eksis atau tidak. Kalau dia (Pak Udin, Red) bermain sendiri dan bukan merupakan hasil kreasi dari suatu sistem, jangan sampai suatu saat dia turun kembali ke tepi danau. Kita bicara ini bukan barang baru," tegasnya.

Fred mengakui, forum diskusi Pos Kupang ini tidak menghasilkan barang baru bagi kita semua, khususnya bagi pemerintah. "Kita sadar itu. Sadar ada semacam gap antar kesadaran berpikir dengan realitas perilaku pengambil kebijakan. Pemerintah bukan tidak pahami ini, apa yang harus dilakukan," tegas Fred. Artinya, selama 50 tahun orang NTT belum puas untuk bermain dan menari di tepi danau. Sampai kapan? (Hermin Pello, Frans Krowin, Hyeron Modo/bersambung)

Pos Kupang edisi 4 Juli 2008, halaman 1

Petualangan Paulina


Diskusi Terbatas Ekonomi Lokal NTT (2)

BERKHAYAL mau makan ayam panggang? Boleh! Tapi percuma kalau bentuknya saja tidak tahu, apalagi tak pernah membauinya. Ini terjadi gara-gara saya tidur terus, nyenyak, dininabobokan oleh program pemerintah yang sudah dikasih.

Begitulah cara Ny. Paulina Adoe mengkritisi pola bantuan yang diberikan pemerintah selama ini. Banyak yang diberikan cuma-cuma, membuat masyarakat tidur. Ny. Paulina bukannya tak sependapat dengan bantuan dana dari pemerintah, namun tidak diberikan cuma-cuma. Pemberiannya harus melalui program yang matang untuk memandirikan nelayan atau petani yang modalnya pas-pasan. "Kalau nelayan punya modal, tentu mereka tidak menjadi nelayan miskin," ujarnya.

Paulina pun menceritakan 'petualangannya' mencari modal dari bank ke bank untuk mengembangkan usaha serta membangun pabrik es dan SPDN (Solar Packed Dealer Nelayan) di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Oeba bagi para nelayan anggota HNSI Kota Kupang.

"Saya berpikir, bagaimana bank percaya saya karena saya tak punya tanah, modal, dan lainnya untuk jaminan pinjaman. Tetapi bersyukur, bank yang paling pertama percaya saya adalah Bank Mandiri. Jadi, hampir dua tahun saya urus surat untuk bangun SPDN di PPI Oeba. Tahun 2005 baru operasional dan pada waktu itu diresmikan oleh Pak Jonas Salean (kala itu Sekretaris Kota Kupang, Red)," tutur Paulina Adoe.

Menurutnya, walaupun motivasi kerja tinggi, namun tidak didukung kebijakan permodalan dari pemerintah, maka usaha apapun yang dilakukan tidak berkembang, Bahkan usaha yang sedang berjalan pun bisa bangkrut karena ketiadaan modal. Di sini, Ketua Himpinan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Kupang itu mau menegaskan bahwa modal menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan seseorang dalam berusaha atau berbisnis.

Untuk mendorong perkembangan dunia usaha khususnya usaha kecil menengah (UKM), termasuk di bidang perikanan, Paulina menyarankan perbankan umum yang menyediakan dana jangan terlalu birokrasi dalam menyalurkan kredit. Selain itu, bunga bank, khususnya Bank NTT sebagai bank milik pemerintah daerah, agar jangan terlalu tinggi. "Kalau mau membantu masyarakat NTT, terutama mereka yang bergerak di sektor UKM, diharapkan bunga pinjaman Bank NTT jangan terlalu tinggi," tegasnya.

Paulina berpendapat, kebijakan pemerintah daerah untuk membantu pengembangan bidang ekonomi perlu dilihat dan diamati lebih cermat sehingga bantuan modal yang diberikan benar-benar mendukung usaha yang ditekuni para pelaku UKM. Bantuan yang diberikan harus bertahap disesuaikan dengan peningkatan bidang usaha yang dilakukan.

Berbicara tentang peran perbankan dalam mendukung pembangunan ekonomi di NTT, Guido Fulbertus menyoroti bahwa kondisi NTT dilihat dari struktur ekonomi mulai dari segi moneter, dana yang dihimpun perbankan di NTT, sekitar 70 persen keluar dari NTT. Itu berarti kontribusi dari sektor moneter terhadap pembangunan bidang ekonomi di NTT hanya 30 persen.

Saat ini, 12 bank umum beroperasi di NTT, yakni Bank NTT, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Central Asia (BCA), Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Bukopin, Bank Danamon, Bank Artha Graha, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), Bank Internasional Indonesia (BII), Bank Mandiri, dan Bank Muamalat. Beberapa dari bank ini telah menyalurkan dana berupa kredit untuk mendukung usaha kecil mikro di NTT.

Berdasarkan statistik ekonomi dan keuangan daerah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) Kupang edisi Mei 2008, kredit mikro, kecil dan menengah (KMKM) yang dikucurkan bank umum yang beroperasi di NTT tahun 2006, 2007 dan tahun 2008, posisi Januari hingga April 2008 cenderung meningkat. Pada tahun 2006 total penyaluran dana dari bank umum di NTT untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebesar Rp 3.171.975.000.000 (Rp 3,171 triliun lebih). Tahun 2007 penyaluran kredit UMKM meningkat menjadi 4.157.338.000.000 (Rp 4,157 triliun lebih).

Sementara pada Januari 2008 sebesar Rp 3.987.178.000.000 (Rp 3,987 triliun lebih). Februari sebesar Rp 4.148.616.000.000 (Rp 4,148 trilun lebih), Maret sebesar Rp 4.275.979.000.000 (Rp 4,275 triliun lebih) dan April 2008 sebesar Rp 4.450.184.000.000 (Rp 4,450 triliun lebih). Data tersebut menunjukkan bahwa penyaluran kredit bank-bank umum di NTT untuk pengembangan MKM cenderung meningkat. Sementara jumlah dana simpanan masyarakat di bank-bank di NTT tahun 2006 sebesar Rp 6.076.375.000.000 dan tahun 2007 meningkat menjadi Rp 7.103.557.000.000.

Sedangkan pinjaman modal kerja berdasarkan sektor usaha, antara lain sektor pertanian tahun 2006 sebesar Rp 62.298.000.000 (Rp 62,2 miliar lebih), pertambangan Rp 1.457.000.000 (Rp 1,4 miliar), perindustrian Rp 12.345.000.000 (Rp 12,3 miliar lebih), perdagangan Rp 677.818.000.000 (Rp 677,8 miliar). Tahun 2007 sektor pertanian Rp 55.019.000.000 (Rp 55 miliar lebih), pertambangan Rp 832 juta, perindustrian Rp 17.371.000.000 (Rp 17,3 miliar lebih), perdagangan Rp 921.268.000.000 ( Rp 921,2 miliar lebih).

Kebijakan kredit perbankan dilaksanakan untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat sekaligus mendorong kegiatan usaha kecil menengah. Kebijakan ini antara lain meliputi pengaturan kredit usaha kecil (Peraturan BI No. 3/2/PBI/2001 tentang "Pemberian Kredit Usaha Kecil") dan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) dengan pemerintah (daerah) dalam rangka penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan dan pengembangan UMKM.

Meski begitu, Guido menyoroti peran Bank NTT sebagai aset daerah dalam membangun ekonomi rakyat NTT. Dikatakannya, Bank NTT adalah bank rakyat NTT karena pemegang sahamnya adalah masyarakat NTT melalui saham-saham yang dimiliki pemerintah daerah di seluruh NTT. Di sini, tegas Guido, Bank NTT mempunyai tanggung jawab moral yang lebih besar dari bank lain untuk membangun NTT. Itu yang harus dipahami oleh manajemen Bank NTT.

Bank NTT mengembangkan sayap ke Surabaya, Jawa Timur, sementara di NTT rakyatnya masih miskin, dan masih membutuhkan modal. Ini menjadi catatan. "Ini kita beri masukan untuk manajamen Bank NTT," kata Guido. Apa yang disoroti Guido sejalan dengan misi Bank NTT, antara lain mendorong pertumbuhan perkonomian dan pembangunan daerah di segala bidang, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pembiayaan kepada usaha kecil menengah dan perorangan sebagai wujud komitmen bank terhadap pembangunan usaha di NTT.

Direktur Kepatutan dan Manajemen Risiko Bank NTT, Helena Beatrix Parera, menegaskan, Bank NTT membuka cabang di Surabaya bertujuan untuk menahan dana karena berdasarkan transaksi perdagangan banyak dilakukan di Surabaya. Jadi, Bank NTT ekspansi ke Surabaya beberapa tahun lalu bukan untuk membangun Jawa Timur. "Jika kehadiran Bank NTT di sana untuk berorientasi bisnis, maka kita kalah bersaing dengan bank-bank yang ada di sana," ujarnya.

Menyandang moto 'Melayani Lebih Sungguh', demikian Helena, Bank NTT berperan untuk rakyat NTT. Potensi usaha mikro di NTT, diakuinya, bagus, dan Bank NTT sudah mulai dengan pembentukan divisi mikro. Bank NTT, katanya, sudah punya peta data potensi usaha mikro sampai ke desa-desa, bahkan sampai mendata tokoh-tokoh masyarakat di desa. Peranan Bank NTT selama 42 tahun, sejak berdiri tanggal 17 Juli 1962 silam, telah banyak menyalurkan kredit konsumsi kepada pegawai negeri sipil (PNS) dan masyarakat kecil. Memang diakui, kredit investasi masih kecil dan ini yang selalu dikritik oleh Bank Indonesia (BI) Kupang. Kredit konsumsi yang diberikan, kata Helena, antara lain digunakan untuk biaya pendidikan anak sekolah.

"Kita melihat justru kondisi masyarakat NTT lebih memilih memanfaatkan kredit konsumsi untuk membiayai sekolah anaknya. Itu human invest yang terselubung dalam kredit konsumsi. Ada juga untuk bangun rumah karena kreditur tidak punya rumah yang layak. Tetapi, kalau masyarakat NTT lebih siap untuk memanfaatkan kredit investasi, maka kami akan berikan kredit investasi," kata Helena.

Pada tahun 2007 Bank NTT telah menyalurkan kredit sebesar Rp 1,6 triliun. Posisi sampai akhir Mei 2008, lanjut Helena, kredit yang sudah disalurkan oleh Bank NTT mencapai Rp 2.024.810.000.000 (Rp 2 triliun lebih). Dari jumlah itu, sebesar 85 persen atau sekitar Rp 1,7 triliun lebih kredit konsumsi.

Helena menjelaskan, sejak awal November 2007 pemerintah pusat membuat program kredit usaha rakyat (KUR). "Kebetulan saya mengikuti acaranya di Jakarta beberapa waktu lalu. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan arahan agar KUR itu diprogramkan untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Pada Juni 2008 ini sudah Rp 7 triliun keluar. Tetapi saya lihat masih ada kurangnya, karena yang melaksanakan KUR dari Rp 5 juta hingga Rp 500 juta adalah bank-bank besar. Mereka yang sudah berkecimpung di bidang korporate, kredit besar, belum berpengalaman untuk kredit kecil. Bagaimana mereka tidak ada cabang di Oinlasi, mereka bisa memberikan KUR. Untuk solusi itu, pemerintah buat LKM (lembaga keuangan mikro) atau fasilitasi LKM berbentuk koperasi. Lembaga ini yang membawa uang kepada rakyat. Jadi, ada mediasi, ada channeling. Kalau menurut evaluasi kami, ini sebenarnya efektif," ujarnya.

Produktivitas Terselubung
Pengamat ekonomi dari Undana, Dr. Fred Benu berpendapat, kredit konsumsi merupakan salah satu penggerak ekonomi daerah meskipun nilai tambahnya kecil dibandingkan dengan kredit investasi. "Saya yakin, peran kredit konsumsi masih ada pengaruhnya untuk meningkatkan taraf hidup masyaraat NTT, dan setelah itu pada gilirannya masyarakat sudah siap untuk investasi," kata Fred.

Fred mengatakan, kredit Rp 25 juta ke bawah itu kan kategori kredit konsumsi. Padahal, dari kredit itu peminjam beli sepeda motor untuk ojek atau beli ternak untuk dipelihara. "Jadi, di sini ada produktivitas yang terselubung dalam kredit konsumsi itu. Misalnya, 90 persen dari Rp 1,6 triliun kredit yang telah dikucurkan Bank NTT untuk kredit konsumsi, tapi kita belum punya data berapa persen yang digunakan untuk produktivitas," ujarnya

Jadi, tegas Fred, tidak boleh apatis terhadap kredit konsumsi. Sebab, kredit investasi yang disalurkan belum maksimal untuk menggerakkan ekonomi daerah ini. Investasi juga harus fokus pada salah satu sektor unggulan.

Pelaku usaha kecil, Alauddin Kamaluddin mengatakan, keberanian, motivasi dan etos kerja yang tinggi tidak cukup untuk kita membuka suatu usaha di bidang apa saja. "Maka di sini saya mau katakan bahwa modal menjadi sangat penting bagi kita untuk membuka usaha apa saja, mau dari hilir atau hulu. Jadi, modal dan motivasi harus dikawinkan," katanya.

"Saya memulai usaha mebel, seperti sofa dan spring bad. Namun, untuk usaha ini dibutuhkan modal yang besar karena orang yang mau beli harus di atas Rp 500 ribu. Jadi, walaupun kita ada ilmu atau keahlian/keterampilan, tapi harus punya modal untuk buka usaha. Pihak perbankan didekati untuk mengajukan kredit, tapi beberapa bank di Kupang menolak permohonan saya ambil kredit. Lalu saya dekati Bank NTT, syukur satu minggu kemudian Bank NTT mencairkan dana sebesar Rp 50 juta. Dengan modal itu usaha saya bisa berkembang. Setahun kemudian ada sidak dari BI Kupang. Dan, setelah itu ada lagi bantuan dana sebesar Rp 50 juta," kisah Alauddin.
Menurut Alauddin, dana pemberdayaan ekonomi rakyat (PER) yang dikucurkan oleh pemerintah daerah selama ini pengembaliannya macet karena banyak usaha dadakan hanya untuk mendapatkan dana. Bahkan, ada orang yang mendapatkan dana PER tapi tidak ada usahanya.

Sementara Frans Tukan, salah satu pengusaha UKM mengatakan, pengalaman selama menekuni sektor wiraswasta, yang miskin itu diintegrasi program dan ada kecemburuan di tingkat birokrat dalam peluncuran program bantuan untuk UKM.
"Kita terbuka saja, itu salah. Ketika salah satu instansi lebih dominan, instansi lainnya mengatakan bahwa itu kelompoknya. Tetapi, dalam perjalanan, instansi itu tidak memperhatikan kelompoknya. Saran saya, untuk pengembangan ekonomi, khususnya UKM harus ada integrasi lintas sektor. Kalau bisa dana bantuan untuk UKM harus melalui atau berpusat pada satu pintu. Sedangkan proposal bisa ke berbagai sektor dinas terkait yang punya kewajiban menyalurkan bantuan dan mengikuti ikut perkembangan UKM yang diberi dana," tegas Frans.


Frans menyarankan agar selain bantuan modal usaha, perlu juga pendamping dalam pembinaan UKM yang ada. Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya yang harus dipikirkan dan difasilitasi oleh pemerintah adalah pemasarannya. "Jadi, harus ada akses pasar," katanya.

Konklusinya, bank-bank agar menerapkan regulasi yang lebih longgar namun tetap mengacu pada aspek kehati-hatian. Sebab, masalah utama yang dihadapi pelaku UKM di NTT selama ini minimnya permodalan dan kemampuan manajemen. (Hermin Pello, Frans Krowin, Hyeron Modo/bersambung)

Pos Kupang edisi 5 Juli 2008, halaman 1

Masih Ada Air...


Diskusi Terbatas Ekonomi Lokal NTT (3)

HAMPARAN sawah itu membentang luas. Tanaman pertanian tumbuh menghijau di atasnya. Ada terung, kacang hijau, kacang panjang. Tapi, jagung dan padi paling dominan. Sejauh mata memandang, tanaman itu amat subur. Tanaman jagung dibudidayakan pada ratusan hektar lahan di sisi kiri jalan trans Timor, satu- satunya jalan yang menghubungkan Timor Barat dengan Negara Timor Leste.

Sementara padi, dikembangkan pada hamparan sawah di sebelah kanan jalan itu.
Itulah sekilas tentang lahan persawahan di Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang. Beberapa tahun terakhir, Oesao merupakan sumber jagung muda untuk dijual di Kota Kupang dan kota-kota lainnya di daratan Pulau Timor. Di sini pulalah kiblat semua penjual jagung di Kota Kupang memperoleh jagung muda.

Tapi, Oesao, kini tak jauh berbeda dengan yang dulu. Oesao yang dulu dan sekarang hanyalah daerah penyanggah pangan di Kabupaten Kupang, yang belum mendapat intervensi maksimal baik dari pemerintah kabupaten maupun propinsi.
Suburnya lahan di tempat itu hanya karena sentuhan natural para petani. Lantaran tenaganya terbatas, sementara fasilitas penunjang untuk mengelola lahan itu demikian terbatas, banyak juga lahan yang dibiarkan terlantar. Lahan itu tak digarap, sehingga aneka rerumputan tumbuh subur memenuhi lahan tersebut. Lahan potensial itu masih jadi lahan 'tidur'.

Ini contoh nyata, betapa etos kerja masyarakat setempat, etos kerja pemerintah dengan program-programnya, belum terarah pada pengoptimalan potensi lahan demi menguatkan ekonomi rakyat.

Pada diskusi bertajuk, "Membangun Ekonomi Lokal NTT," di Redaksi Pos Kupang, Rabu (18/6/2008) siang, Dr. Fred Benu, MS, menyebutkan, NTT memiliki banyak potensi. Jambu mete, ikan, rumput laut, jagung dan padi serta potensi alam lainnya. Namun, potensi itu belum memberikan hasil maksimal.
NTT, lanjut Benu, adalah daerah agraris dengan lahan pertanian yang amat sangat luas. Areal tanam untuk jagung, misalnya, jauh lebih luas dari lahan untuk tanaman lainnya. Bahkan dibanding Propinsi Gorontalo yang kini terkenal sebagai sentra jagung di Indonesia Timur, NTT jauh lebih potensial.

"Kondisi alam Gorontalo tak jauh berbeda dengan NTT. Iklimnya panas dan kering. Tapi di sana, pemerintahnya bekerja fokus. Pemerintah punya komitmen yang kuat untuk mengembangkan jagung sebagai komoditi unggulan. Maka, jadinya hanya seketika Gorontalo menjadi terkenal. Ekonomi masyarakatnya juga membaik," ujar Benu memberi contoh.

Sementara NTT? Boleh dibilang jauh panggang dari api. Lahan jagungnya luas, kondisi alam pun memungkinkan untuk pengembangan yang lebih maksimal. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Lahan yang ada belum dimaksimalkan. Bibit jagung yang ditanam pun hanya itu-itu saja.

Mengapa? Karena di NTT, baik pemerintah maupun masyarakat, tidak mempunyai program yang fokus dan terarah untuk satu potensi. Masyarakat dibiarkan menanam jagung secara musiman pada lahan yang dimiliki. Optimalisasi luas lahan dengan sentuhan teknologi tepat guna, pun hampir tidak ada. "Kalau seperti ini, kapan NTT berubah?" kritik Benu.

Jadi, kata Fred, yang perlu dilakukan ke depan, pemerintah harus punya program unggulan yang jelas dan terarah. Program unggulan tersebut harus diselaraskan dengan alam NTT yang agraris dan dikelilingi laut. "Jika program itu benar-benar dijalani dengan fokus dan terarah, pasti akan memberikan hasil yang maksimal pula," ujar Fred.

Dia mengakui, NTT memiliki lahan untuk tanaman jagung, sangat besar. Luasnya mencapai ratusan ribu hektar. Tapi pemanfaatan lahannya belum terencana. Tanaman itu hanya ditaman untuk satu orientasi, dikonsumsi sendiri. Dan, pemerintah sebagai penyelenggara pembangunan, sepertinya belum memiliki kemauan untuk meningkatkan produksi jagung. Itu tertanda dari program yang tidak menjamah potensi jagung dengan program yang produktif. Makanya, hasil yang diperoleh pun biasa-biasa saja. Hasilnya bukannya meningkat melainkan melorot. Konsekuensinya, muncul masalah kekurangan pangan dan dampak ikutan berupa busung lapar dan lainnya.

Data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTT, menyebutkan, luas tanam jagung di NTT 244.768 hektar. Luas panen 232.529 hektar dengan produksi 588.152 ton. Itu berarti, setiap satu hektar tanaman jagung, hanya menghasilkan dua ton lebih.

Sementara padi sawah, dari 110.590 hektar luas tanam, luas lahan yang dipanen 110.482 hektar dengan produksi 407.458 ton. Dan, padi ladang, dari luas tanam 65.253 hektar, luas panen 58.080 dengan produksi 127.253 ton. Kacang tanah, luas tanam 13.538 hektar, luas panen 13.089 hektar dengan hasil panen 14.699 ton. Volume kacang yang dipanen rata-rata satu ton. Sementara kacang hijau, luas lahan 24.856 hektar, luas panen 23.186 dengan produksi 21.633 ton.

Terkait potensi tersebut, Helena Beatrix Parera menyebut perumpamaan air dan gelas. Dia mengatakan, di dalam gelas ada air, tapi tidak penuh lagi. Kalau orang pesimis, akan memandang bahwa air dalam gelas itu sudah kurang. Namun orang yang optimis tidak seperti itu. Ia memandang bahwa masih ada air. Masih ada kehidupan. Jadi, katanya, filosofi semacam ini harus selalu dikedepankan sehingga perlahan-lahan orang NTT bisa berubah menjadi orang yang optimis. Orang optimis itu selalu melihat semua aspek dari sisi positif, dan mengoptimalkan itu demi kepentingan yang lebih besar.

"Saya tidak setuju kalau orang NTT itu disebut miskin. Saya tidak sependapat kalau dikatakan NTT itu terbelakang. Yang ingin saya katakan bahwa kita punya potensi dan itu harus dieksplorasi demi kepentingan bersama. Potensi di NTT banyak sekali," tandasnya.

Dengan demikian, lanjut Parera, jika ingin maju, maka semua komponen di NTT, baik eksekutif, legislatif, pengusaha, LSM maupun masyarakat, harus sama-sama berpikir untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi tersebut. Pemerintah dengan programnya, legislatif memberi dukungan dan pengusaha, LSM plus masyarakat sebagai pelaksana lapangan, semuanya harus optimal menggarap potensi yang ada.

Kecuali itu, pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki, perlu menghadirkan program-program global dan produktif. Dan, di tingkat lokal, masyarakat diarahkan untuk menekuni program itu demi perbaikan kualitas hidup masyarakat.
Kalangan perbankan, katanya, tentu tidak berdiam diri. Dengan kebijakan masing- masing, pasti lembaga keuangan ikut memberi dukungan agar program pemerintah dapat berhasil. "Bank NTT, misalnya, sudah berencana membuka unit di seluruh desa di NTT. Dan, itu sudah dilaksanakan. Diharapkan langkah ini menjadi salah satu domain bagi masyarakat untuk maju," ujarnya.

Bantuan Relatif Kecil
Data dari Bank Indonesia Kupang medio Mei 2008, menyebutkan, kucuran dana sebagai pinjaman modal kerja untuk setiap sektor, berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Dan, sektor pertanian mendapatkan dana yang relatif kecil dibanding dengan sektor perdagangan.

Tahun 2006, misalnya, dana untuk sektor pertanian Rp 62.298.000,000,00. Tahun 2007 turun menjadi Rp 55.019.000.000,00. Sementara dalam tahun yang sama, kucuran dana bank untuk sektor perdagangan Rp 677.818.000.000,00 di tahun 2006 dan Rp 921.268.000.000,00 di tahun 2007.

Pada catur wulan pertama tahun 2008, realisasi dana relatif sama untuk sektor pertanian. Pada Januari, dana yang disalurkan Rp 53,253.000.000,00, kemudian turun menjadi Rp 52.909.000.000,00 pada Februari, turun lagi menjadi Rp 51.680.000.000,00 pada bulan Maret. Medio April 2008, mengalami sedikit kenaikan yakni Rp 53.127.000.000,00.

Sementara di sektor perdagangan, pada Januari 2008 tercatat kucuran dana bank mencapai Rp 852.953.000.000,00, kemudian turun menjadi Rp 881.636.000.000,00 pada Februari. Pada Maret 2008 naik lagi menjadi Rp 950.135.000.000,00 dan medio April naik Rp 45 miliar lebih, sehingga total dana yang disalurkan mencapai Rp 998.190.000.000,00.

Data ini menggambarkan, betapa perhatian dunia perbankan terhadap sektor pertanian belum maksimal. Yang lebih diberi tempat adalah sektor perdagangan. Padahal, sektor perdagangan hanya digeluti segelintir orang. Mungkinkah Bank NTT dapat menjadi lokomotif untuk membalik paradigma yang diusung perbankan selama ini?

Mungkinkah kebijakan manajemen Bank NTT menghadirkan unit-unit bank di desa-desa, dapat menggerakkan sektor pertanian agar lebih maju? Dapatkan kalangan perbankan memfokuskan perhatian pada sektor pertanian, karena lahannya lebih luas, potensi pun memungkinkan dan banyak masyarakat menyandarkan hidupnya pada sektor ini? Mudah-mudahan seperti itu.

Tapi, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Kupang, Ny. Paulina Adoe, mengisahkan, untuk mendapatkan dana dari lembaga keuangan, birokrasinya masih berbelit-belit. Bunga yang diberlakukan pun amat tinggi. Konsekuensinya, masyarakat enggan mengajukan pinjaman, apalagi bunga bank yang tinggi menjadikan masyarakat memikul beban tambahan.

Karena itu, dia menyarankan agar ke depan, jajaran perbankan lebih pro petani. Bunga bank yang diterapkan pun jangan seperti rentenir. Bank harus lebih fleksibel memberikan bunga, sehingga masyarakat bersemangat untuk pinjam. Masyarakat juga tidak terbeban dengan cicilan yang ditunaikan tiap bulan.

Jagung, Gorontalo Maju
Usia Propinsi Gorontalo baru tujuh tahun empat bulan, terhitung 17 Februari 2001. Meski demikian, daerah itu mencatat kemajuan ekonomi yang amat pesat. Hanya dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, Gorontalo 'go internasional'. Pesatnya kemajuan itu berkat pengembangan tanaman jagung. Berdasarkan UU No. 38 tahun 2001, Gorontalo ditetapkan sebagai propinsi definitif, atau terpisah dari Propinsi Sulawesi Utara (Sulut). Gorontalo jadi propinsi ke-32 di Indonesia. Luas wilayahnya 12.215,45 km2.

Sebelum tahun 2001, perekonomian masyarakat Gorontalo dibilang tertinggal dibandingkan propinsi lain di kawasan Indonesia Timur. Namun predikat itu seketika sirna. Di tangan Gubernur Fadel Muhammad, perekonomian Gorontalo melejit drastis dan taraf hidup masyarakat mengalami kemajuan yang luar biasa.
Tahun 2000, katanya, areal tanaman jagung hanya 34.412 hektar dengan produksi 76.573 ton. Namun di tahun 2005, luas lahan sudah mencapai 105.258 hektar dengan volume produksi mencapai 451.094 ton. Saat ini jumlahnya jauh di atas itu.

Apa resep yang dilakukan Gubernur Fadel Muhammad? Pertama, mengedepankan manajemen capacity, manajemen mengatur pemerintahan. Salah satunya adalah mengumpulkan seluruh birokrat setempat. Mereka diajak diskusi mengenai apa yang harus dikerjakan untuk Gorontalo. Dari hasil diskusi akhirnya dipilih bidang pertanian skala luas sebagai salah satu bidang yang dikembangkan mengingat besarnya potensi pertanian di kawasan ini.

Berikutnya, peternakan, perikanan dan kelautan, serta potensi kerakyatan lainnya. Khusus untuk pertanian, salah satu yang dipilih adalah tanaman jagung yang dinilai cocok dengan alam Gorontalo yang panas dan kering.

Kedua, membangun budaya birokrasi yang bersandar pada tiga pilar, yakni inovasi, team work dan bekerja untuk membangun kepercayaan rakyat, bukan takut kepada gubernur, bupati maupun camat. Dengan budaya itu, siapapun yang bekerja akan mendapatkan insentif yang lebih besar. Ada mekanisme reward and punishment. Akhirnya semacam perlombaan merombak budaya kerja untuk tujuan mendapatkan bonus. "Gaji pegawai saya tingkatkan jika berhasil meningkatkan kinerjanya. Tunjangan juga saya naikkan. Dampaknya, mereka bekerja keras dan ikhlas, tidak setengah hati," paparnya.

Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Propinsi Gorontalo tahun 2007, menyebutkan, total jagung Gorontalo yang dipasarkan antardaerah sebanyak 49.421 ton. Rinciannya, 43.771 ton ke Surabaya dan 5.560 ton ke Jakarta.
Sementara untuk ekspor, tercatat 39.361 ton. Volume ekspor itu terbanyak Malaysia 19.900 ton, Filipina 19.380 ton, dan sisanya ke Jepang 66 ton. Jadi, total jagung yang dikeluarkan dari gudang-gudang milik rakyat 88.736 ton.

Bila data potensi jagung di Propinsi Gorontalo dibandingkan dengan NTT, maka NTT sesungguhnya lebih potensial. Lahan tanamnya luas, panenan pun demikian. Hanya kelemahannya, NTT tidak punya program yang terfokus untuk mengembangkan satu potensi. Akankah kondisi terpuruk ini tetap bertahan untuk tahun-tahun mendatang? Hanya pemerintahan baru NTT yang bisa menjawab. (Oleh Hermin Pello, Frans Krowin, Hyeron Modo/bersambung)

Pos Kupang edisi 6 Juli 2008, halaman 1

Menanti Jalan Pembebasan

Diskusi Terbatas Ekonomi Lokal NTT (4)
ISRAEL, Mesir, dan NTT sama-sama gersang. Bedanya, petani kacang di Israel bisa beli mobil, di NTT tidak. Mengapa? Tanah Israel yang gersang itu bisa ditumbuhi aneka tanaman, seperti kacang-kacangan. Petaninya bekerja keras. Mereka membangun pipa-pipa air yang besar untuk mengairi tanaman pertanian. Seorang petani di sana (Israel) bisa memiliki berhektar-hektar lahan pertanian. Sebaliknya, di Mesir rakyatnya miskin karena mereka tidak mau bekerja keras.

Ini kesaksian Christofel Liyanto, SE, salah satu pelaku usaha di Kota Kupang, ketika menghadiri diskusi terbatas bertajuk, "Membangun Ekonomi Lokal NTT," di Redaksi Pos Kupang, Rabu (18/6/2008). "Saya lihat penjual kacang di Israel bawa mobil. Walau gersang, tapi sejauh mata memandang ada macam-macam tanaman," tutur Christofel.

Ketua Ikatan Sarjana Eknomi Indonesia (ISEI) NTT ini sengaja menceritakan tentang Israel karena kondisi wilayahnya hampir sama dengan NTT, gersang. Tetapi, mengapa masih banyak rakyat di NTT masuk kategori miskin sehingga mereka menerima bantuan langsung tunai (BLT) dan penerima beras untuk rakyat miskin (raskin)? "Ini karena motivasi dan etos kerja orang NTT masih rendah, banyak potensi sumber daya alam belum digarap optimal," katanya.

Cerita Christofel sebenarnya mau mengingatkan kita bahwa kondisi NTT yang gersang bukan menjadi alasan untuk rakyatnya miskin. Keadaan bisa seperti di Israel jika kita memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi, serta didukung kebijakan pemerintah yang lebih terfokus pada pemberdayaan lahan pertanian yang ada. Ini yang harus kita pacu. Pemerintah harus serius memperhatikan etos kerja masyarakat di daerah ini. Pemerintah di tingkat propinsi harus membangun komitmen dengan pemerintah di kabupaten-kabupaten/kota di NTT untuk membuat suatu gebrakan membangun sektor pertanian dengan fokus pada satu sektor unggulan.

Menurut Christofel, ISEI pernah menawarkan agenda kepada para paket calon gubernur/wakil gubernur saat mereka kampanye untuk melakukan dialog mengenai ekonomi NTT ke depan. Namun, agenda itu tidak bisa dilaksanakan karena para calon lebih tertarik membicarakan masalah di luar bidang ekonomi. Padahal, kata Christofel, sektor ekonomi menjadi salah satu tema yang sangat penting untuk didiskusikan.

Terkait BLT dan pemberian raskin kepada rakyat miskin di NTT, Christofel menyarankan program pengetasan kemiskinan itu harus dievaluasi. Maksudnya, apakah gubernur/wakil gubernur baru nanti mampu meningkatkan (penerima BLT, Red) atau menghapus penerima BLT? Untuk lima tahun ke depan, mampukah gubernur/wagub mengurangi penerima BLT? Padahal siapapun yang menjadi gubernur selalu mempunyai program pengentasan kemiskinan.

Gubernur NTT, Piet Tallo, mempunyai program Tiga Batu Tungku, salah satunya pengembangan ekonomi. Tetapi, kata Christofel,--bukan tidak menghargai beliau-- Pak Piet Tallo belum melakukan diskusi mengenai pemberdayaan ekonomi.

"Mudah-mudahan gubernur baru nanti bisa, walaupun bukan berlatar belakang ekonomi, tapi setidak-tidaknya bidang ekonomi menempati skala prioritas utama. Bidang pendidikan dan kesehatan tentu tetap menjadi prioritas. Di bidang kesehatan kalau konsisten memberikan makanan (makanan tambahan, Red), maka anak busung lapar akan menjadi normal. Tetapi kalau dilepas, anak yang sudah normal akan menjadi busung lapar lagi," tegasnya.

Pokok permasalahannya, menurut Christofel, adalah memberikan pekerjaan kepada orangtuanya. "Sopir saya anaknya empat orang, tapi tidak ada yang busung lapar karena memiliki penghasilan. Seharusnya kita konsentrasi pada masalah ekonomi. Apalagi pemerintah pusat sudah ada anggaran untuk gakin dan untuk sekolah. Pemerintah kita, dengan APBD yang ada, fokuskan pada masalah ekonomi, bukan dengan program macam-macam. Saya kasih contoh, di depan kantor gubernur, ada lahan kosong, orang menanam sayur-sayuran. Saya pikir, salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan mereka adalah beri mereka mesin pompa air sehingga mereka tidak susah-susah angkat air," kata Christofel.

Perlu POAC
Direktur Kepatutan dan Manajemen Risiko Bank NTT, Helena Beatrix Parera, mengatakan, yang perlu dibangun adalah orang-orang yang bisa memotivasi, memberi masukan sehingga ada gunanya untuk memberikan masukan bagi pemerintah yang baru. Jadi, untuk mengembangkan potensi unggulan NTT harus ada konsep yang global, yaitu konsep tentang bagimana menggerakkan dan membangun ekonomi lokal. Tetapi ada beberapa hal yang kurang diamati, yakni mengevaluasi secara berkesinambungan, mengontrol dan menghimpun data.

Menurut Helena, pola untuk membangun ekonomi itu sangat sederhana dan sudah ada. Hal sederhana yang diperlukan untuk membangun ekonomi adalah planing, organizing, actuality dan control (POAC). Pola POAC ini, katanya, kalau dilakukan secara berkesinambungan, terkontrol, terorganisir, secara tuntas dan detail, bisa menghasilkan sesuatu sesuai rencana.

Di dalam perencanaan (planing), pemerintah membutuhkan data dan sekarang saja kita lihat, data dari BKKBN dan data sensus tentang orang miskin, berbeda. Solusinya, pemerintah harus memfasilitasi sebuah lembaga independen, menggandeng biro ekonomi, tapi kerjanya independen untuk menjadi mitra kerja, misalnya, LSM yang punya kapasitas untuk membangun ekonomi. Jadi, ada lembaga atau badan yang pemerintah manfaatkan sebagai pusat data atau yang menghimpun dana sehingga dia bisa membuat suatu perencanaan untuk satu masa jabatan dengan data yang akurat. Ada data tapi tidak tersentralisasi, ada data tapi sepotong-sepotong. Setelah mengumpulkan data, bisa buat perencanaan anggaran untuk satu tahun.

Terkait organisasi, kata Helena, pemerintah perlu membentuk semacam badan yang bekerja independen untuk mengkaji data. Pemetaan data yang sudah terjadi mengenai halangan atau faktor penyebab kegagalan. Contohnya, bantuan BUMN yang dulu misalnya Pertamina sebelum kampanye, bantuan kecil yang diserahkan lewat kami (Bank NTT) cukup banyak. Tapi masyarakat berpikir bahwa itu dana kampanye, jadi biar saja. Jadi, faktor kegagalan itu harus dipetakan desa per desa karena setiap desa berbeda-beda masalahnya. Setelah itu dicari solusinya? Di sini pemerintah perlu kerja sama dengan banyak pihak.

Menurut Helena, falsafah untuk mengentaskan kemiskinan adalah ikan dan kail. Ikan itu untuk membantu orang miskin pada saat insidentil, misalnya saat terjadi bencana. BLT itu ikan, membantu orang miskin pada saat bencana atau pada saat BBM naik, ada raskin. Tapi itu tidak boleh berkesinambungan karena ikan tidak boleh terus menjadi ikan, tapi harus meningkat menjadi kail. Dan, setelah itu dikasih perahu. Itu bagus, kalau diterapkan di sini tetapi bagaimana equity, itu harus banyak komponen, ada pihak lain misalnya swasta. "Orang NTT yang pintar banyak, hanya perlu satu pola yang terpadu untuk bisa rangkul mereka. Inisiatif itu harus dari pemerintah dan DPRD," ujarnya.

Alauddin Kamaluddin, pelaku usaha kecil menengah di Kota Kupang mengatakan, BLT yang dikucurkan pemerintah kurang mendidik. Karena yang datang ambil BLT pakai celana jeans, punya hand phone (HP) kamera dan pakai sepeda motor. Pertanyaannya, apakah orang itu tergolong orang miskin?

Harus Ada Pembebasan
Pengamat ekonomi dari Undana Kupang, Dr. Fred Benu, mengatakan, forum diskusi ini tidak menghasilkan barang baru bagi masyarakat khususnya bagi pemerintah. Kita sadar itu. Sadar, ada semacam gap antara kesadaran berpikir dengan realitas perilaku pengambil kebijakan. Pemerintah bukan tidak pahami ini, apa yang harus dilakukan?

Ini berarti , kata Fred, fokus permasalahan bukan hanya soal pencerahan. Pencerahan sudah dilakukan di banyak forum diskusi seperti ini. Fokus tidak boleh berhenti pada pencerahan, tapi harus ada pembebasan, bahkan pertobatan. Tidak bisa mengharapkan dari entitas individu. Pencerahan seperti ini tidak hanya sekadar menghasilkan suatu pemikiran yang konstruktif, yang hanya disampaikan pada publik, dan kita hanya mendapat pencerahan, tanpa ada pembebasan.

Menurut Fred, ini berarti ada tuntutan lebih bagi kita semua, bahwa pencerahan saja tidak cukup, sudah terlalu banyak yang ditulis Pos Kupang, Tidak cukup cerah kan kita. Pencerahan saja tidak cukup karena ada gap. Karena itu, harus ada pembebasan, Nah, bagaimana pembebasan ini. "Kita main pada konstruksi yang lebih lanjut, daripada hanya sekadar pencerahan. Saya melihat ini hanya main pada mikro, bagaimana di tingkat makro. Bukankah kita semua sudah paham dan pemerintah juga sudah paham apa sebenarnya sektor yang bisa diandalkan untuk mendorong kinerja perekonomian daerah ini?" katanya.

Itu berarti, demikian Fred, harus ada sektor tertentu yang menjadi perhatian utama pemerintah. Maksudnya, membangun bidang pertanian misalnya, pemerintah harus fokus pada satu komoditi unggulan yang punya prospek ke depan. Bahwa kalau orang ini berpikir begini berarti harus ada suatu kebijakan terobosan khusus pada sektor itu sehingga mendorong dia untuk berkembang, bukan sekadar tahu, tapi bagaimana dia berbuat. Kalau pada tingkat makro NTT misalnya, saya sering katakan, selalu terjadi semacam paradoks.

Kalau kita mau mendorong perekonomian daerah yang masih mengharapkan pada sektor primer, tidak bisa hanya pada tingkat hulu saja, harus terus sampai ke hilir. Kalau hanya urus ternak, kapanpun kita tidak akan maju. Kalau urus ternak hanya urus dagingnya saja, produksinya saja, tidak bisa. Tapi harus ada lanjutannya, apa di hilirnya. Itu baru bisa. "Saya sering katakan dalam forum diskusi bahwa perekonomian di NTT potensinya besar. Ibarat sebuah mobil, kapasitas enginenya cukup besar, yaitu di sektor primer misalnya ternak, perikanan, pertanian dan lainnya. Cuma susahnya, pemerintah sebagai driver tidak injak ekselelator untuk memaksa engine ini lari cepat, dia turun dan dia dorong saja. Kapan baru bisa terjadi akselerasi perekonomian, tidak ada," ceritanya.

Kalau pemerintah sadar, katanya, sektor primer di pertanian, misalnya, peternakan masuk pertanian, itu yang digagas, itu yang dipacu. Kita pencet akselerasi biar lari, seperti yang Pak Alauddin katakan, akselerasinya kulit-kulit sapi, tidak perlu dibawa tapi poles dia,. Bangun industri, itu kan tipe agroindustri. Bukan industri skala besar, bukan pabrik semen. Bukan berarti kita anti industri besar, tapi ada satu sektor khusus yang menampung sebagian besar pelaku ekonomi rakyat di daerah ini. Kita tahu, basis ekonomi kita masih pada sektor pertanian, tapi yang saya katakan, driver-nya turun dan dorong karena akselelator primer itu bukan sektor pertanian.

Menurutnya, sektor primer NTT adalah pertanian, tapi pertumbuhannnya berkisar dua persen hingga empat persen per tahun. Sedangkan sektor sekunder tumbuh antara empat persen sampail lima persen per tahun, dan sektor jasa bertumbuh antara tujuh persen sampai 10 persen. Namun, jasa di sini lebih didominasi oleh jasa pemerintahan.

Fred mengatakan, dari data yang ada, basis ekonomi primer NTT di sektor pertanian sudah mencapai hasil pertumbuhan yang tidak bisa diharapkan lagi untuk mendongkrak peningkatan kesejahteraan rakyat dan pendapatan daerah. Ini karena banyak orang yang bermain di sektor tersebut, khususnya dalam kepemilikan lahan. Khusus ekonomi berbasis lahan, menurut Fred, produktivitas per kapita sudah turun. Kalau dulu kontribusi sektor ekonomi berbasis lahan (pertanian) mencapai 60 persen terhadap totalitas ekonomi regional NTT, tetapi sekarang hanya sekitar 41 persen sampai 42 persen. Kontribusi sudah di take over atau diambil alih oleh sektor lainnya karena itu harus dibuat rasionalisasi. Solusinya, kata Fred, menarik sebagian tekanan dari ekonomi berbasis lahan sehingga pertumbuhannya kembali dari tumbuh dengan kecepatan menurun menjadi tumbuh dengan kecepatan meningkat.

"Saya percaya dan sudah sering ditulis, pemerintah tahu itu, tapi kita harus bahas bersama lagi. Bukan soal pencerahan lagi, tapi harus ada pembebasan pada tingkat pemerintahan. Bagaimana suatu soal benar-benar pemerintah paham, lalu bagaimana implementasinya, benar-benar terjadi atau tidak. Basis primer lain, kebijakan implementasi pemerintah lain, kita mau bergerak bagaimana. Bagaimana menjadi ikan besar kalau tidak ada back-up dari pemerintah? Jadi, untuk menggerakkan ekonomi rakyat NTT harus ada pembebasan di tingkat pemerintahan," tegas Fred. Kita menanti jalan pembebasan dari pemimpin baru NTT. (Hermin Pello, Frans Krowin, Hyeron Modo/habis)

Pos Kupang edisi 7 Juli 2008, halaman 1

Guru

DIA seorang pria muda, energik dan memiliki idealisme. Idealisme sederhana. Ingin menjadi pendidik yang bekerja dengan kesungguhan hati untuk memanusiakan manusia sebagaimana mendiang ayahnya. Pria muda itu seorang guru.

Dia sahabatku. Kami bertemu pertengahan minggu di rumah kontrakannya yang sederhana di salah satu sudut Kota Kupang. Tidak biasanya -- hari itu dia begitu murung. "Tidak ada kebanggaan lagi menjadi guru sekarang ini. Seorang anak yang kita ikuti perkembangan akademisnya hari demi hari, pada akhirnya ditentukan pihak lain untuk lulus atau tidak. Ujian Nasional (UN) sungguh pembunuh," kata sahabatku itu.

Lalu dia bercerita tentang pengalamannya terkini. Dia guru kelas 3 pada salah satu SMP Negeri. Menghadapi Ujian Nasional (UN) tahun 2008 yang baru berlalu, sekolah melakukan persiapan lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Selain menambah pelajaran di luar jam sekolah, para guru menyelenggarakan ujicoba UN bagi siswa-siswi kelas 3. Ujicoba digelar beberapa kali agar peserta didik mereka lebih siap menghadapi UN. Harapan sekolah persentase kelulusan lebih meningkat dari tahun 2007.

Hasil UN 2008 ternyata jauh dari harapan. Persentase kelulusan tidak mengalami perubahan signifikan. "Yang lebih menyakitkan hati kami sebagai guru adalah dua anak yang selalu masuk ranking lima besar sejak kelas satu tidak lulus UN. Sebaliknya, anak dengan prestasi dan kelakuan buruk justru lulus UN," kata sahabat itu.

Dua anak berprestasi sangat terpukul menghadapi kenyataan tidak lulus UN. Ada seorang siswi bahkan tiga hari tidak berani keluar rumah karena merasa malu dengan teman-temannya. Anak yang ceria itu berubah muram. Kehilangan rasa percaya diri. Orangtua memprotes guru dan kepala sekolah. "Mau menjelaskan bagaimana, kami tidak memiliki kewenangan apapun untuk menentukan anak didik lulus atau tidak. Semua tergantung hasil UN. Kerja keras seorang anak selama tiga tahun seolah tak ada artinya," kata guru itu.

Murid SMP yang tidak lulus itu kemudian mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Paket B lalu melamar ke sejumlah SLTA di Kota Kupang. Namun, mereka ditolak karena belum memiliki keterangan lulus UNPK yang baru bisa diperoleh bulan Agustus 2008. Sementara masa Penerimaan Siswa Baru di SLTA negeri dan swasta sudah berakhir. Nasib anak- anak itu ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dan, jumlah mereka tidak sedikit. Di Kota Kupang saja tercatat 3.336 siswa-siswi SLTP yang kini belum pasti melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA.

Menurut data hasil UN SLTP di Propinsi NTT tahun 2008, tercatat 31.437 siswa-siswi yang tidak lulus. Jika 50 persen dari jumlah itu mengikuti jalur UNPK untuk ke SLTA, maka ada sekitar 16 ribu siswa di NTT yang nasibnya kini tidak menentu.

Sungguh bencana pendidikan sedang terjadi di rumah besar Flobamora. Sebagian di antara mereka tidak dapat melanjutkan sekolah ke SLTA bukan karena bodoh dan berwatak buruk. Maka bisa dimengerti perasaan Pak Guru sahabatku itu. Seorang guru seolah tak berarti apapun bagi siswa-siswi yang dibinanya sekian tahun. Dia tahu perilaku sang anak. Tahu tingkat kecerdasannya. Pada akhirnya UN bisa menghapus segala-galanya!

Apakah UN salah? Belum tentu. Yang pasti bagi kita ada persoalan besar di depan mata yang mesti disikapi segera lewat aksi nyata. Tak ada dalil bahwa suatu bangsa bisa maju tanpa pendidikan yang baik. Sistem pendidikan yang berlaku sekarang mutlak direspons dengan kritis serta kesungguhan hati. Juga tidak asal-asalan dalam mengeluarkan suatu kebijakan.

Pembatasan rombongan belajar di Kota Kupang, misalnya, tentu bermaksud baik. Persoalannya apakah kebijakan itu sudah dipertimbangkan dengan jumlah peserta didik yang bisa ditampung sekolah-sekolah yang ada? Seandainya 3.336 siswa-siswi SLTP yang mengikuti UNPK Paket B semuanya lulus, adakah sekolah yang mampu menampung mereka? Sangat mungkin instansi berwenang di sini tidak cermat dan belum siap mengaplikasikan kebijakan tersebut.

Kelemahan terbesar kita adalah akurasi data dan bagaimana memanfaatkan data untuk kebutuhan perencanaan pendidikan. Dinas Pendidikan memiliki data jumlah siswa dari mulai tingkat TK, SD hingga Perguruan Tinggi. Jika data valid dan dipandang penting, data tersebut akan sangat memudahkan siapa pun dalam membuat perencanaan.

Instansi berwenang di bidang pendidikan seharusnya tahu rasio daya tampung sekolah dengan jumlah peserta didik. Kondisi setiap daerah tentu berbeda-beda. Khusus di Kota Kupang, pembatasan rombongan belajar otomatis melahirkan konsekwensi berupa melubernya jumlah siswa yang tak tertampung.

Solusinya apa? Tuan dan puan kiranya tidak serta merta menyalahkan guru, sekolah dan penyelenggara UN sebagai pihak yang salah atau mencari kambing hitam lain untuk dicerca. Bencana pendidikan di rumah Flobamora memerlukan kepedulian yang tinggi mengingat kompleksitasnya. Angka 31.437 pelajar SLTP di NTT yang tidak lulus UN tahun 2008 tidak sekadar nominal di atas kertas. Itu satu angkatan generasi Flobamora yang sedang bertumbuh dan butuh pendidikan demi masa depan. Keterlaluan kalau kita masih bermain-main dengan prahara ini! * (email:dionbata@poskupang.co.id)

Beranda Kita Pos Kupang edisi Senin, 14 Juli 2008 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes