Diskusi Terbatas Ekonomi Lokal NTT (3)
HAMPARAN sawah itu membentang luas. Tanaman pertanian tumbuh menghijau di atasnya. Ada terung, kacang hijau, kacang panjang. Tapi, jagung dan padi paling dominan. Sejauh mata memandang, tanaman itu amat subur. Tanaman jagung dibudidayakan pada ratusan hektar lahan di sisi kiri jalan trans Timor, satu- satunya jalan yang menghubungkan Timor Barat dengan Negara Timor Leste.
Sementara padi, dikembangkan pada hamparan sawah di sebelah kanan jalan itu.
Itulah sekilas tentang lahan persawahan di Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang. Beberapa tahun terakhir, Oesao merupakan sumber jagung muda untuk dijual di Kota Kupang dan kota-kota lainnya di daratan Pulau Timor. Di sini pulalah kiblat semua penjual jagung di Kota Kupang memperoleh jagung muda.
Tapi, Oesao, kini tak jauh berbeda dengan yang dulu. Oesao yang dulu dan sekarang hanyalah daerah penyanggah pangan di Kabupaten Kupang, yang belum mendapat intervensi maksimal baik dari pemerintah kabupaten maupun propinsi.
Suburnya lahan di tempat itu hanya karena sentuhan natural para petani. Lantaran tenaganya terbatas, sementara fasilitas penunjang untuk mengelola lahan itu demikian terbatas, banyak juga lahan yang dibiarkan terlantar. Lahan itu tak digarap, sehingga aneka rerumputan tumbuh subur memenuhi lahan tersebut. Lahan potensial itu masih jadi lahan 'tidur'.
Ini contoh nyata, betapa etos kerja masyarakat setempat, etos kerja pemerintah dengan program-programnya, belum terarah pada pengoptimalan potensi lahan demi menguatkan ekonomi rakyat.
Pada diskusi bertajuk, "Membangun Ekonomi Lokal NTT," di Redaksi Pos Kupang, Rabu (18/6/2008) siang, Dr. Fred Benu, MS, menyebutkan, NTT memiliki banyak potensi. Jambu mete, ikan, rumput laut, jagung dan padi serta potensi alam lainnya. Namun, potensi itu belum memberikan hasil maksimal.
NTT, lanjut Benu, adalah daerah agraris dengan lahan pertanian yang amat sangat luas. Areal tanam untuk jagung, misalnya, jauh lebih luas dari lahan untuk tanaman lainnya. Bahkan dibanding Propinsi Gorontalo yang kini terkenal sebagai sentra jagung di Indonesia Timur, NTT jauh lebih potensial.
"Kondisi alam Gorontalo tak jauh berbeda dengan NTT. Iklimnya panas dan kering. Tapi di sana, pemerintahnya bekerja fokus. Pemerintah punya komitmen yang kuat untuk mengembangkan jagung sebagai komoditi unggulan. Maka, jadinya hanya seketika Gorontalo menjadi terkenal. Ekonomi masyarakatnya juga membaik," ujar Benu memberi contoh.
Sementara NTT? Boleh dibilang jauh panggang dari api. Lahan jagungnya luas, kondisi alam pun memungkinkan untuk pengembangan yang lebih maksimal. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Lahan yang ada belum dimaksimalkan. Bibit jagung yang ditanam pun hanya itu-itu saja.
Mengapa? Karena di NTT, baik pemerintah maupun masyarakat, tidak mempunyai program yang fokus dan terarah untuk satu potensi. Masyarakat dibiarkan menanam jagung secara musiman pada lahan yang dimiliki. Optimalisasi luas lahan dengan sentuhan teknologi tepat guna, pun hampir tidak ada. "Kalau seperti ini, kapan NTT berubah?" kritik Benu.
Jadi, kata Fred, yang perlu dilakukan ke depan, pemerintah harus punya program unggulan yang jelas dan terarah. Program unggulan tersebut harus diselaraskan dengan alam NTT yang agraris dan dikelilingi laut. "Jika program itu benar-benar dijalani dengan fokus dan terarah, pasti akan memberikan hasil yang maksimal pula," ujar Fred.
Dia mengakui, NTT memiliki lahan untuk tanaman jagung, sangat besar. Luasnya mencapai ratusan ribu hektar. Tapi pemanfaatan lahannya belum terencana. Tanaman itu hanya ditaman untuk satu orientasi, dikonsumsi sendiri. Dan, pemerintah sebagai penyelenggara pembangunan, sepertinya belum memiliki kemauan untuk meningkatkan produksi jagung. Itu tertanda dari program yang tidak menjamah potensi jagung dengan program yang produktif. Makanya, hasil yang diperoleh pun biasa-biasa saja. Hasilnya bukannya meningkat melainkan melorot. Konsekuensinya, muncul masalah kekurangan pangan dan dampak ikutan berupa busung lapar dan lainnya.
Data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTT, menyebutkan, luas tanam jagung di NTT 244.768 hektar. Luas panen 232.529 hektar dengan produksi 588.152 ton. Itu berarti, setiap satu hektar tanaman jagung, hanya menghasilkan dua ton lebih.
Sementara padi sawah, dari 110.590 hektar luas tanam, luas lahan yang dipanen 110.482 hektar dengan produksi 407.458 ton. Dan, padi ladang, dari luas tanam 65.253 hektar, luas panen 58.080 dengan produksi 127.253 ton. Kacang tanah, luas tanam 13.538 hektar, luas panen 13.089 hektar dengan hasil panen 14.699 ton. Volume kacang yang dipanen rata-rata satu ton. Sementara kacang hijau, luas lahan 24.856 hektar, luas panen 23.186 dengan produksi 21.633 ton.
Terkait potensi tersebut, Helena Beatrix Parera menyebut perumpamaan air dan gelas. Dia mengatakan, di dalam gelas ada air, tapi tidak penuh lagi. Kalau orang pesimis, akan memandang bahwa air dalam gelas itu sudah kurang. Namun orang yang optimis tidak seperti itu. Ia memandang bahwa masih ada air. Masih ada kehidupan. Jadi, katanya, filosofi semacam ini harus selalu dikedepankan sehingga perlahan-lahan orang NTT bisa berubah menjadi orang yang optimis. Orang optimis itu selalu melihat semua aspek dari sisi positif, dan mengoptimalkan itu demi kepentingan yang lebih besar.
"Saya tidak setuju kalau orang NTT itu disebut miskin. Saya tidak sependapat kalau dikatakan NTT itu terbelakang. Yang ingin saya katakan bahwa kita punya potensi dan itu harus dieksplorasi demi kepentingan bersama. Potensi di NTT banyak sekali," tandasnya.
Dengan demikian, lanjut Parera, jika ingin maju, maka semua komponen di NTT, baik eksekutif, legislatif, pengusaha, LSM maupun masyarakat, harus sama-sama berpikir untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi tersebut. Pemerintah dengan programnya, legislatif memberi dukungan dan pengusaha, LSM plus masyarakat sebagai pelaksana lapangan, semuanya harus optimal menggarap potensi yang ada.
Kecuali itu, pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki, perlu menghadirkan program-program global dan produktif. Dan, di tingkat lokal, masyarakat diarahkan untuk menekuni program itu demi perbaikan kualitas hidup masyarakat.
Kalangan perbankan, katanya, tentu tidak berdiam diri. Dengan kebijakan masing- masing, pasti lembaga keuangan ikut memberi dukungan agar program pemerintah dapat berhasil. "Bank NTT, misalnya, sudah berencana membuka unit di seluruh desa di NTT. Dan, itu sudah dilaksanakan. Diharapkan langkah ini menjadi salah satu domain bagi masyarakat untuk maju," ujarnya.
Bantuan Relatif Kecil
Data dari Bank Indonesia Kupang medio Mei 2008, menyebutkan, kucuran dana sebagai pinjaman modal kerja untuk setiap sektor, berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Dan, sektor pertanian mendapatkan dana yang relatif kecil dibanding dengan sektor perdagangan.
Tahun 2006, misalnya, dana untuk sektor pertanian Rp 62.298.000,000,00. Tahun 2007 turun menjadi Rp 55.019.000.000,00. Sementara dalam tahun yang sama, kucuran dana bank untuk sektor perdagangan Rp 677.818.000.000,00 di tahun 2006 dan Rp 921.268.000.000,00 di tahun 2007.
Pada catur wulan pertama tahun 2008, realisasi dana relatif sama untuk sektor pertanian. Pada Januari, dana yang disalurkan Rp 53,253.000.000,00, kemudian turun menjadi Rp 52.909.000.000,00 pada Februari, turun lagi menjadi Rp 51.680.000.000,00 pada bulan Maret. Medio April 2008, mengalami sedikit kenaikan yakni Rp 53.127.000.000,00.
Sementara di sektor perdagangan, pada Januari 2008 tercatat kucuran dana bank mencapai Rp 852.953.000.000,00, kemudian turun menjadi Rp 881.636.000.000,00 pada Februari. Pada Maret 2008 naik lagi menjadi Rp 950.135.000.000,00 dan medio April naik Rp 45 miliar lebih, sehingga total dana yang disalurkan mencapai Rp 998.190.000.000,00.
Data ini menggambarkan, betapa perhatian dunia perbankan terhadap sektor pertanian belum maksimal. Yang lebih diberi tempat adalah sektor perdagangan. Padahal, sektor perdagangan hanya digeluti segelintir orang. Mungkinkah Bank NTT dapat menjadi lokomotif untuk membalik paradigma yang diusung perbankan selama ini?
Mungkinkah kebijakan manajemen Bank NTT menghadirkan unit-unit bank di desa-desa, dapat menggerakkan sektor pertanian agar lebih maju? Dapatkan kalangan perbankan memfokuskan perhatian pada sektor pertanian, karena lahannya lebih luas, potensi pun memungkinkan dan banyak masyarakat menyandarkan hidupnya pada sektor ini? Mudah-mudahan seperti itu.
Tapi, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Kupang, Ny. Paulina Adoe, mengisahkan, untuk mendapatkan dana dari lembaga keuangan, birokrasinya masih berbelit-belit. Bunga yang diberlakukan pun amat tinggi. Konsekuensinya, masyarakat enggan mengajukan pinjaman, apalagi bunga bank yang tinggi menjadikan masyarakat memikul beban tambahan.
Karena itu, dia menyarankan agar ke depan, jajaran perbankan lebih pro petani. Bunga bank yang diterapkan pun jangan seperti rentenir. Bank harus lebih fleksibel memberikan bunga, sehingga masyarakat bersemangat untuk pinjam. Masyarakat juga tidak terbeban dengan cicilan yang ditunaikan tiap bulan.
Jagung, Gorontalo Maju
Usia Propinsi Gorontalo baru tujuh tahun empat bulan, terhitung 17 Februari 2001. Meski demikian, daerah itu mencatat kemajuan ekonomi yang amat pesat. Hanya dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, Gorontalo 'go internasional'. Pesatnya kemajuan itu berkat pengembangan tanaman jagung. Berdasarkan UU No. 38 tahun 2001, Gorontalo ditetapkan sebagai propinsi definitif, atau terpisah dari Propinsi Sulawesi Utara (Sulut). Gorontalo jadi propinsi ke-32 di Indonesia. Luas wilayahnya 12.215,45 km2.
Sebelum tahun 2001, perekonomian masyarakat Gorontalo dibilang tertinggal dibandingkan propinsi lain di kawasan Indonesia Timur. Namun predikat itu seketika sirna. Di tangan Gubernur Fadel Muhammad, perekonomian Gorontalo melejit drastis dan taraf hidup masyarakat mengalami kemajuan yang luar biasa.
Tahun 2000, katanya, areal tanaman jagung hanya 34.412 hektar dengan produksi 76.573 ton. Namun di tahun 2005, luas lahan sudah mencapai 105.258 hektar dengan volume produksi mencapai 451.094 ton. Saat ini jumlahnya jauh di atas itu.
Apa resep yang dilakukan Gubernur Fadel Muhammad? Pertama, mengedepankan manajemen capacity, manajemen mengatur pemerintahan. Salah satunya adalah mengumpulkan seluruh birokrat setempat. Mereka diajak diskusi mengenai apa yang harus dikerjakan untuk Gorontalo. Dari hasil diskusi akhirnya dipilih bidang pertanian skala luas sebagai salah satu bidang yang dikembangkan mengingat besarnya potensi pertanian di kawasan ini.
Berikutnya, peternakan, perikanan dan kelautan, serta potensi kerakyatan lainnya. Khusus untuk pertanian, salah satu yang dipilih adalah tanaman jagung yang dinilai cocok dengan alam Gorontalo yang panas dan kering.
Kedua, membangun budaya birokrasi yang bersandar pada tiga pilar, yakni inovasi, team work dan bekerja untuk membangun kepercayaan rakyat, bukan takut kepada gubernur, bupati maupun camat. Dengan budaya itu, siapapun yang bekerja akan mendapatkan insentif yang lebih besar. Ada mekanisme reward and punishment. Akhirnya semacam perlombaan merombak budaya kerja untuk tujuan mendapatkan bonus. "Gaji pegawai saya tingkatkan jika berhasil meningkatkan kinerjanya. Tunjangan juga saya naikkan. Dampaknya, mereka bekerja keras dan ikhlas, tidak setengah hati," paparnya.
Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Propinsi Gorontalo tahun 2007, menyebutkan, total jagung Gorontalo yang dipasarkan antardaerah sebanyak 49.421 ton. Rinciannya, 43.771 ton ke Surabaya dan 5.560 ton ke Jakarta.
Sementara untuk ekspor, tercatat 39.361 ton. Volume ekspor itu terbanyak Malaysia 19.900 ton, Filipina 19.380 ton, dan sisanya ke Jepang 66 ton. Jadi, total jagung yang dikeluarkan dari gudang-gudang milik rakyat 88.736 ton.
Bila data potensi jagung di Propinsi Gorontalo dibandingkan dengan NTT, maka NTT sesungguhnya lebih potensial. Lahan tanamnya luas, panenan pun demikian. Hanya kelemahannya, NTT tidak punya program yang terfokus untuk mengembangkan satu potensi. Akankah kondisi terpuruk ini tetap bertahan untuk tahun-tahun mendatang? Hanya pemerintahan baru NTT yang bisa menjawab. (Oleh Hermin Pello, Frans Krowin, Hyeron Modo/bersambung)
Pos Kupang edisi 6 Juli 2008, halaman 1