Kado Buat Gubernur dan Wagub NTT (2)
KURANG lebih tiga bulan lamanya, rubrik SMS Pilkada dan Apa Kata Mereka, menghiasi salah satu halaman media ini. Ada saja warga yang menyampaikan aspirasinya terkait dengan Pilkada NTT, diantaranya dengan mengirim short mesage service atau pesan singkat. Aspirasinya beragam. Kritik, usul dan saran mengalir deras. Jumlahnya? Sangat banyak.
Umumnya curhat tentang masalah-masalah pembangunan. Pembangunan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja, pembangunan kesehatan, infrastruktur serta penegakan hukum di NTT yang mandek. Birokrasi yang agak kebablasan dan tentang kemiskinan yang kian merajalela. Semua yang dicurahkan berangkat dari apa yang sedang dialami dan dirasakan. Yang terjadi di sekeliling dan sekitar kita.
Beberapa curhat di antaranya saya kedepankan disini. Yosi Patirulan, warga Sikumana, misalnya, ini meminta agar pemimpin terpilih memperhatikan kecukupan pangan bagi rakyat. Peduli dan cepat tanggap terhadap masalah pertanian, kesehatan dan pendidikan. Ny. Sri, penjual bakso, di Ba'a, Kabupaten Rote Ndao mengharapkan pemerintah berupaya untuk menstabilkan harga sembako.
Menurutnya, harga sembilan bahan pokok (sembako) yang terus naik sangat memberatkan masyarakat kecil. Kenaikan harga sembako, berdampak langsung pada usaha yang dijalankan.
Hilda Irene Dimu, Warga Oebobo mengharapkan gubernur dan wakil gubernur terpilih memiliki komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi. "Jangan hanya tebar pesona saat kampanye saja. Tetapi harus memiliki keberanian untuk memberantas korupsi dengan mendorong aparat hukum untuk memroses para pejabat-pejabat baik di kabupaten/kota maupun propinsi yang makan uang rakyat."
Harapan yang sama disampaikan Eman Bata di Bajawa. Dia meminta agar penegakan hukum dilakukan tidak tebang pilih, masyarakat kecil yang terlbat kasus diproses sementara para pejabat yang korupsi tidak disentuh aparat.
Sedangkan Basilius Nou, warga Kelurahan Oebobo, mengharapkan agar pemimpin tidak berpikir primodial. Karena itu akan merusak tatanan kehidupan di NTT yang masyarakatnya heterogen.
Apa yang diutarakan, intinya masyarakat menghendaki perubahan yang lebih baik daripada sebelumnya. Di antaranya, yaitu agar gubernur terpilih lebih dekat kepada rakyat dan bersifat populis, kebijakannya harus pro ke rakyat, membersihkan korupsi di tubuh birokrasi, dan yang lebih penting adalah agar memenuhi janji-janjinya dalam kampanye yang lalu.
Tentu ini bukan sebuah beban yang berat, melainkan amanah yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan. Kita sedikit terhibur karena Lebu Raya dan Esthon bukanlah pendatang baru. Keduanya berpengelaman. Frans Lebu Raya selama lima tahun menjadi wakil gubernur. Sebelumnya menjadi wakil rakyat di DPRD NTT. Jauh sebelumnya lagi, pernah menjadi guru dan aktivis LSM. Esthon dianggap sebagai birokrat tulen. Mengerti tentang birokrasi.
Lebu Raya dan Esthon mengidentikkan diri sebagai orang kecil. Dalam setiap kesempatan, Lebu Raya selalu mengatakan dirinya adalah anak petani dari desa. Makanan kesukaannya adalah jagung titi dan sayur rumpu rampe. Esthon juga demikian, anak desa. Meski memiliki 'darah biru' selalu terlihat menguyah siri pinang.
Dengan beragam latar belakang ini, diyakini Lebu Raya - Esthon cukup familiar dengan persoalan rakyat. Karena bukan orang baru maka otomatis tidak memerlukan waktu untuk penyesuaian diri sehingga setelah waktu pelantikan mulai dapat berbuat perubahan-perubahan. Fren sangat memahami betul karakter pemerintahan, sehingga jika menginginkan penataan birokrasi pasti cuma memerlukan waktu yang singkat.
Terkait dengan penataan birokrasi ini, kita mengharapkan agar dilakukan dengan mengedepankan semangat profesionalisme. Orang yang ditempatkan pada satu jabatan, bukan dengan pertimbangan balas budi karena berjasa dalam pilkada. Atau juga tidak dengan pertimbangan orang ini dan itu adalah keluarga saya, sesuku, segolongan. Prinsip like and dislike yang selema ini melekat pada kepemimpinan sebelumnya, mestinya harus dihilangkan. Ini dimaksudkan agar birokrasi kita bekerja profesional, mengutamakan kepentingan pelayanan kepada masyarakat.
Lebu Raya dan Esthon juga masih berusia muda, enerjik. Karena itu, mestinya lebih banyak turun ke desa-desa untuk melihat kondisi masyarakat sebenarnya. Dengan begitu, bisa membuat program yang sesuai dengan karakteristik daerah untuk menjawab persialan masyarakat. Jangan hanya duduk dibelakang meja dan menerima laporan dari staf. Kalau dicermati, apa yang menjadi harapan masyarakat sejalan dengan visi mewujudkan masyarakat NTT yang berkualitas, sejahtera, adil dan demokratis.
Dalam setiap kesempatan kampanye, duet yang dikenal dengan Fren ini selalu mengatakan, akan melaksanakan delapan agenda pembangunan, diantaranya pemantapan kualitas pendidikan, pembangunan kesehatan, pembanguna ekonomi (perluasan kesempatan kerja), pembangunan infrastruktur, pembenahan sistim hukum daerah, konsolidasi tata ruang dan pengelolaan lingkungan, pemberdayaan perempuan, anak dan pemuda, serta agenda khusus yaitu penanggulangan kemiskinan, pembangunan daerah perbatasan, daerah kepulauan dan pembangunan daerah rawan bencana.
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah paradigma Anggur Merah (Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera) yaitu mengembangkan birokrasi pelayanan publik yang cepat dan murah melalui penataan kelembagaan dan kultur untuk mewujudkan anggaran pembangunan yang lebih besar berpihak pada kepentingan rakyat daripada untuk belanja pemerintahan dengan penerapan APBD yang pro rakyat.
Visi, misi, agenda kerja dan paradigma ini, kedengarannya indah. Ketika diucapkan masyarakat merasa sedang bermimpi. Sekarang yang didambakan oleh masyarakat adalah supaya mimpi itu menjadi nyata. Kepercayaan yang sudah diberikan masyarakat harus dijaga dan dipelihara, diantaranya dengan menepati janji-janju sewaktu kampanye. "Pemimpin yang terpilih harus menepati janjinya. Jangan hanya omong saat kampanye seperti pemimpin yang lain. Cape deh!," demikian bunyi pesan pemilik nomor hand phone 08523911XXXX. (Alfons Nedabang/habis)
KURANG lebih tiga bulan lamanya, rubrik SMS Pilkada dan Apa Kata Mereka, menghiasi salah satu halaman media ini. Ada saja warga yang menyampaikan aspirasinya terkait dengan Pilkada NTT, diantaranya dengan mengirim short mesage service atau pesan singkat. Aspirasinya beragam. Kritik, usul dan saran mengalir deras. Jumlahnya? Sangat banyak.
Umumnya curhat tentang masalah-masalah pembangunan. Pembangunan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja, pembangunan kesehatan, infrastruktur serta penegakan hukum di NTT yang mandek. Birokrasi yang agak kebablasan dan tentang kemiskinan yang kian merajalela. Semua yang dicurahkan berangkat dari apa yang sedang dialami dan dirasakan. Yang terjadi di sekeliling dan sekitar kita.
Beberapa curhat di antaranya saya kedepankan disini. Yosi Patirulan, warga Sikumana, misalnya, ini meminta agar pemimpin terpilih memperhatikan kecukupan pangan bagi rakyat. Peduli dan cepat tanggap terhadap masalah pertanian, kesehatan dan pendidikan. Ny. Sri, penjual bakso, di Ba'a, Kabupaten Rote Ndao mengharapkan pemerintah berupaya untuk menstabilkan harga sembako.
Menurutnya, harga sembilan bahan pokok (sembako) yang terus naik sangat memberatkan masyarakat kecil. Kenaikan harga sembako, berdampak langsung pada usaha yang dijalankan.
Hilda Irene Dimu, Warga Oebobo mengharapkan gubernur dan wakil gubernur terpilih memiliki komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi. "Jangan hanya tebar pesona saat kampanye saja. Tetapi harus memiliki keberanian untuk memberantas korupsi dengan mendorong aparat hukum untuk memroses para pejabat-pejabat baik di kabupaten/kota maupun propinsi yang makan uang rakyat."
Harapan yang sama disampaikan Eman Bata di Bajawa. Dia meminta agar penegakan hukum dilakukan tidak tebang pilih, masyarakat kecil yang terlbat kasus diproses sementara para pejabat yang korupsi tidak disentuh aparat.
Sedangkan Basilius Nou, warga Kelurahan Oebobo, mengharapkan agar pemimpin tidak berpikir primodial. Karena itu akan merusak tatanan kehidupan di NTT yang masyarakatnya heterogen.
Apa yang diutarakan, intinya masyarakat menghendaki perubahan yang lebih baik daripada sebelumnya. Di antaranya, yaitu agar gubernur terpilih lebih dekat kepada rakyat dan bersifat populis, kebijakannya harus pro ke rakyat, membersihkan korupsi di tubuh birokrasi, dan yang lebih penting adalah agar memenuhi janji-janjinya dalam kampanye yang lalu.
Tentu ini bukan sebuah beban yang berat, melainkan amanah yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan. Kita sedikit terhibur karena Lebu Raya dan Esthon bukanlah pendatang baru. Keduanya berpengelaman. Frans Lebu Raya selama lima tahun menjadi wakil gubernur. Sebelumnya menjadi wakil rakyat di DPRD NTT. Jauh sebelumnya lagi, pernah menjadi guru dan aktivis LSM. Esthon dianggap sebagai birokrat tulen. Mengerti tentang birokrasi.
Lebu Raya dan Esthon mengidentikkan diri sebagai orang kecil. Dalam setiap kesempatan, Lebu Raya selalu mengatakan dirinya adalah anak petani dari desa. Makanan kesukaannya adalah jagung titi dan sayur rumpu rampe. Esthon juga demikian, anak desa. Meski memiliki 'darah biru' selalu terlihat menguyah siri pinang.
Dengan beragam latar belakang ini, diyakini Lebu Raya - Esthon cukup familiar dengan persoalan rakyat. Karena bukan orang baru maka otomatis tidak memerlukan waktu untuk penyesuaian diri sehingga setelah waktu pelantikan mulai dapat berbuat perubahan-perubahan. Fren sangat memahami betul karakter pemerintahan, sehingga jika menginginkan penataan birokrasi pasti cuma memerlukan waktu yang singkat.
Terkait dengan penataan birokrasi ini, kita mengharapkan agar dilakukan dengan mengedepankan semangat profesionalisme. Orang yang ditempatkan pada satu jabatan, bukan dengan pertimbangan balas budi karena berjasa dalam pilkada. Atau juga tidak dengan pertimbangan orang ini dan itu adalah keluarga saya, sesuku, segolongan. Prinsip like and dislike yang selema ini melekat pada kepemimpinan sebelumnya, mestinya harus dihilangkan. Ini dimaksudkan agar birokrasi kita bekerja profesional, mengutamakan kepentingan pelayanan kepada masyarakat.
Lebu Raya dan Esthon juga masih berusia muda, enerjik. Karena itu, mestinya lebih banyak turun ke desa-desa untuk melihat kondisi masyarakat sebenarnya. Dengan begitu, bisa membuat program yang sesuai dengan karakteristik daerah untuk menjawab persialan masyarakat. Jangan hanya duduk dibelakang meja dan menerima laporan dari staf. Kalau dicermati, apa yang menjadi harapan masyarakat sejalan dengan visi mewujudkan masyarakat NTT yang berkualitas, sejahtera, adil dan demokratis.
Dalam setiap kesempatan kampanye, duet yang dikenal dengan Fren ini selalu mengatakan, akan melaksanakan delapan agenda pembangunan, diantaranya pemantapan kualitas pendidikan, pembangunan kesehatan, pembanguna ekonomi (perluasan kesempatan kerja), pembangunan infrastruktur, pembenahan sistim hukum daerah, konsolidasi tata ruang dan pengelolaan lingkungan, pemberdayaan perempuan, anak dan pemuda, serta agenda khusus yaitu penanggulangan kemiskinan, pembangunan daerah perbatasan, daerah kepulauan dan pembangunan daerah rawan bencana.
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah paradigma Anggur Merah (Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera) yaitu mengembangkan birokrasi pelayanan publik yang cepat dan murah melalui penataan kelembagaan dan kultur untuk mewujudkan anggaran pembangunan yang lebih besar berpihak pada kepentingan rakyat daripada untuk belanja pemerintahan dengan penerapan APBD yang pro rakyat.
Visi, misi, agenda kerja dan paradigma ini, kedengarannya indah. Ketika diucapkan masyarakat merasa sedang bermimpi. Sekarang yang didambakan oleh masyarakat adalah supaya mimpi itu menjadi nyata. Kepercayaan yang sudah diberikan masyarakat harus dijaga dan dipelihara, diantaranya dengan menepati janji-janju sewaktu kampanye. "Pemimpin yang terpilih harus menepati janjinya. Jangan hanya omong saat kampanye seperti pemimpin yang lain. Cape deh!," demikian bunyi pesan pemilik nomor hand phone 08523911XXXX. (Alfons Nedabang/habis)
Pos Kupang edisi Rabu, 16 Juli 2008, halaman 1