ilustrasi |
Baju kausnya masih basah oleh keringat. Wajahnya berbinar. Ramah menyapa. Dia baru saja joging selama kurang lebih 45 menit mengitari kawasan perumahan.
Sebelum pulang ke kediamannya, dia mampir di lapak sayur yang letaknya tak jauh dari tempat kosku.
“Selamat pagi Pak, wah baru selesai joging ya?” sapaku padanya. Dia menjawab salamku sambil menebarkan senyum. Pak Dirman memang punya kebiasaan menawan. Dia rajin berolahraga serta mau belanja kebutuhan rumah tangga, sesuatu yang tidak banyak dilakoni kaum pria semacam saya.
Sekurang-kurangnya dua atau tiga hari sekali dia belanja sayur mayur, ikan, daging, bumbu dapur dan aneka kebutuhan lainnya di lapak tersebut.
“Bagi tugas dengan istriku. Maklum dia pagi-pagi sekali harus ke kantor, sedangkan waktu kerja saya lebih luwes, bisa atur sendiri,” kata pria berusia 52 tahun asal Jawa Tengah yang wiraswasta ini.
Kebiasaan lainnya adalah dia selalu membawa tas kain dari rumah untuk mengisi semua belanjaannya. Tak pernah sekalipun saya lihat dia meminta tas kresek (plastik) kepada pemilik lapak sayur. Tas kain so pasti bisa dipakai berkali-kali. Bukan cuma sekali lalu berubah menjadi sampah.
“Saya dan istri pakai tas kain untuk isi belanjaan begini sejak lima tahun lalu. Jadi lebih dulu dari Peraturan Gubernur Bali. Kami terinspirasi saat melawat ke negeri Kanguru,” kata Dirman yang sudah 21 tahun tinggal di Denpasar. Yang dia maksudkan adalah Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No. 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbunan Plastik Sekali Pakai.
Peraturan itu sudah berlaku di seluruh Bali sejak penghujung 2018 dan meraih apresiasi positif masyarakat termasuk masyarakat dari luar Bali dan mancanegara. Saya yang belum lama menghuni Pulau Dewata ini masih gagap. Ke minimarket, mal, kios dan pasar masih saja lupa bawa tas yang bisa dipakai berulang. Ini karena kebiasaan mengelola sampah tidak tertanam sejak bocah dan di tempat asalku belum ketat berlaku aturan serupa itu.
Ya, Provinsi Bali tergolong lebih maju merespons kampanye nasional mengurangi sampah plastik di ini negeri. Bali lekas mengeksekusi melalui kebijakan lokal dibandingkan dengan provinsi lain, sebut misalnya tetangganya Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Ketika daerah lain masih omong -omong, Bali sudah mulai beraksi.
Indonesia hari ini sungguh tidak boleh memandang remeh lagi sampah plastik. Berbagai publikasi menyebutkan negara kita nomor dua di dunia yang terbanyak mengotori lautan dengan sampah plastik setelah Tiongkok.
Berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia menebarkan sampah plastik ke laut sebanyak 187,2 juta ton per tahun atau nomor dua setelah China yang mencapai 262,9 juta ton. Urutan ketiga Filipina sebanyak 83,4 juta ton, diikuti Vietnam 55,9 juta ton, dan Sri Lanka yang mencapai 14,6 juta ton per tahun.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut 100 toko anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) menghasilkan 10,95 juta lembar sampah kantong plastik dalam setahun. Jumlah itu setara luas 65,7 hektar kantong plastik atau sekitar 60 kali luas lapangan sepak bola.
Pada 2018, merujuk data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia 64 juta ton per tahun dimana sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut.
Menurut sumber yang sama, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 milar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik. Data Greenpeace Indonesia menyebutkan, produksi sampah di Indonesia mencapai 65 juta ton per tahun. Sebanyak 10,4 juta ton atau 16 persen merupakan sampah plastik. Ngeri bung!
Tsunami kantong plastik di negeri tercinta memang miris. Sampah plastik memenuhi jalanan, saluran air, menyelimuti semak belukar bahkan sudah masuk ke usus hewan yang merupakan sumber protein manusia.
Hari Senin 19 November 2018, Wakatobi geger. Dalam perut paus Sperma sepanjang 9,6 meter yang terdampar ditemukan sampah plastik seberat 5,9 kg. Paus itu mati. Kasus Wakatobi pun menambah litani mamalia ini menelan sampah plastik yang berujung kematian.
Di perairan Bunaken Sulawesi Utara yang indah itu, pada tahun 2012 silam peneliti menemukan si bening sampah plastik bersemayam riang di perut ikan Raja Laut (Coelacanth). Pedih sekali. Ikan purba yang menurut undang-undang dilindungi tersebut sejatinya tak terlindungi sama sekali.
Sampah plastik merusak kesan eksotis suatu destinasi. Pimpinan Tribun Network Kompas Gramedia, Mas Febby Mahendra Putra suatu ketika jalan-jalan ke SoE, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Jarak kota dingin itu dari Kota Kupang kurang lebih 120 km.
Beliau menikmati panorama alam Pulau Timor yang dominan sabana dengan vegetasi khas dan semilir angin sepoi yang menggoda. Namun, kesan yang membekas di batinnya justru mengenai sampah. “Sepanjang jalan saya melihat sampah plastik berserakan di sisi kiri dan kanan jalan. Mengapa orang begitu mudah membuangnya?” kata Febby.
Begitulah adanya. Pemandangan jamak di berbagai pelosok NTT adalah sampah plastik bertebaran. Bahkan daerah cagar alam seperti Gunung Mutis pun tidak luput. Demikian pula Labuan Bajo, Pulau Padar di kawasan Taman Nasional Komodo, Flores Barat yang kesohor itu. Masih saja orang membuang sampah plastik sesukanya.
Jadi langkah Bali mengurangi timbunan sampah plastik merupakan pilihan yang baik. Destinasi wisata andalan provinsi ini bakal kehilangan pesona manakala sampah plastik berlepotan di mana-mana. Lantas apakah Pergub Bali Bali No. 97 Tahun 2018 tersebut efektif? Apa indikator untuk mengukur level keberhasilannya?
*
Mari sejenak berkaca. Kampanye nasional memerangi sampah plastik di Indonesia bisa dilukiskan masih setengah hati. Sampai saat ini pemerintah belum pernah memastikan berapa penurunan penggunaan kantong plastik sejak diterapkan kebijakan kantong plastik berbayar pada 21 Februari 2016.
Mohon maaf tuan dan puan. Efektivitas kebijakan yang bertujuan mengurangi jumlah sampah plastik ini fakir hasil. Jauh panggang dari api. Tipis rasa optimistis sampah bakal menjauh dari saluran air, sisi jalanan dan lautan biru Nusantara yang kaya ikan dan udang.
Maka bolehlah berlayar ke negeri nun jauh Afrika. Berguru dulu ke Kenya barang sejenak karena untuk urusan ini bukan saat yang elok menimba ilmu sampai ke negeri China.
Wartawan Kompas, Ahmad Arif dalam Harian Kompas, 11 April 2019 halaman 10 melaporkan pengalaman inspiratif yang patut ditiru.
Kenya merupakan negara yang membelakukan larangan penuh penggunaan kantong plastik. Negeri itu menerapkan larangan memakai, memproduksi dan mengimpor kantong plastik. Sanksi berat dikenakan bagi pelanggar. Bukan main keras dan beratnya yaitu berupa denda uang mulai dari 19.000 dollar hingga 30.000 dolar AS (kurang lebih Rp 400 juta) hingga penjara 4 tahun.
Hanya setahun sejak pemberlakuan larangan itu, lingkungan di Nairobi, ibukota Kenya mengalami transformasi luar biasa. Tidak terlihat lagi sampah plastik di sepanjang jalan yang terbang ke mana-mana kalau musim angin. Pun sirna sudah kebiasaan buruk sejumlah orang yang bungkus kotoran pascabuang hajat dengan kantong plastik lalu dilempar hingga kota ini dijuluki “toilet terbang”.
Lingkungan Nairobi bersih dari sampah kantong plastik. Di pasar swalayan atau pasar tradisional, orang membungkus barang belanjaan dengan kertas, kardus atau ngiri-ngiri, tas tradisional dari kulit atau kain.
Pelarangan penggunaan kantong plastik memicu inisiatif dan kegairahan baru di kalangan warga untuk mencari pengganti yang inovatif. Sorang siswi di Kenya timur menciptakan tas dari daun pisang kering. Fotonya viral di media sosial.
Banyak orang meniru langkahnya. Demikian pula aneka tas tradisional dari rajutan berbahan serat alami kembali bermunculan. Masyarakat Kenya tidak lagi bergantung sepenuhnya pada kantong plastik.
Tentu saja kebijakan berani itu bukan tanpa perlawanan. Penentang utama terutama datang dari kalangan industri plastik yang berjumlah 170 perusahaan.
Kenya Association of Manufactures (KAM) beralasan warga yang terlibat dalam industri plastik di Kenya mencapai 60.000 orang atau 3 persen dari tenaga kerja di negara tersebut.
Mereka menggugat pemerintah Kenya agar membatalkan aturan ini. Namun pengadilan menguatkan keputusan pemerintah. Memasuki tahun kedua pelarangan kantong plastik sekali pakai ini ternyata tidak menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi berarti. Justru melahirkan industri baru yang produksinya lebih ramah lingkungan.
Kenya kini menjadi tempat belajar masyarakat dunia karena mau memilih opsi tegas. Tiba-tiba tergelitik, mengapa Indonesia atau Bali tidak meniru langkah negeri Afrika tersebut? Larang penuh penggunaan kantong plastik sekali pakai.
Efeknya pasti sesuatu, lebih nyata hasilnya dibandingkan kondisi Bali hari ini. Bali bebas sampah (kantong) plastik niscaya menjadi promosi yang makin mengharumkan namanya. Bagaimana menurut tuan dan puan? (dion db putra)
Sumber: Rubrik Ngopi Santai Harian Tribun Bali