Si Bening yang Bersemayam di Perut Raja Laut



ilustrasi
SEPERTI hari-hari yang telah berlalu, di pagi yang cerah itu saya bersua lagi pria paruh baya yang energik di lapak sayur.

Baju kausnya masih basah oleh keringat. Wajahnya berbinar. Ramah menyapa. Dia baru saja joging selama kurang lebih 45 menit mengitari kawasan perumahan.

Sebelum pulang ke kediamannya, dia mampir di lapak sayur yang letaknya tak jauh dari tempat kosku.

“Selamat pagi Pak, wah baru selesai joging ya?” sapaku padanya. Dia menjawab salamku sambil menebarkan senyum. Pak Dirman memang punya kebiasaan menawan. Dia rajin berolahraga serta mau belanja kebutuhan rumah tangga, sesuatu yang tidak banyak dilakoni kaum pria semacam saya.

Sekurang-kurangnya dua atau tiga hari sekali dia belanja sayur mayur, ikan, daging, bumbu dapur dan aneka kebutuhan lainnya di lapak tersebut.


“Bagi tugas dengan istriku. Maklum dia pagi-pagi sekali harus ke kantor, sedangkan waktu kerja saya lebih luwes, bisa atur sendiri,” kata pria berusia 52 tahun asal Jawa Tengah yang wiraswasta ini.

Kebiasaan lainnya adalah dia selalu membawa tas kain dari rumah untuk mengisi semua belanjaannya. Tak pernah sekalipun saya lihat dia meminta tas kresek (plastik) kepada pemilik lapak sayur. Tas kain so pasti bisa dipakai berkali-kali. Bukan cuma sekali lalu berubah menjadi sampah.

“Saya dan istri pakai tas kain untuk isi belanjaan begini sejak lima tahun lalu. Jadi lebih dulu dari Peraturan Gubernur Bali. Kami terinspirasi saat melawat ke negeri Kanguru,” kata Dirman yang sudah 21 tahun tinggal di Denpasar. Yang dia maksudkan adalah Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No. 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbunan Plastik Sekali Pakai.

Peraturan itu sudah berlaku di seluruh Bali sejak penghujung 2018 dan meraih apresiasi positif masyarakat termasuk masyarakat dari luar Bali dan mancanegara. Saya yang belum lama menghuni Pulau Dewata ini masih gagap. Ke minimarket, mal, kios dan pasar masih saja lupa bawa tas yang bisa dipakai berulang. Ini karena kebiasaan mengelola sampah tidak tertanam sejak bocah dan di tempat asalku belum ketat berlaku aturan serupa itu.

Ya, Provinsi Bali tergolong lebih maju merespons kampanye nasional mengurangi sampah plastik di ini negeri. Bali lekas mengeksekusi melalui kebijakan lokal dibandingkan dengan provinsi lain, sebut misalnya tetangganya Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Ketika daerah lain masih omong -omong, Bali sudah mulai beraksi.

Indonesia hari ini sungguh tidak boleh memandang remeh lagi sampah plastik. Berbagai publikasi menyebutkan negara kita nomor dua di dunia yang terbanyak mengotori lautan dengan sampah plastik setelah Tiongkok.

Berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia menebarkan sampah plastik ke laut sebanyak 187,2 juta ton per tahun atau nomor dua setelah China yang mencapai 262,9 juta ton. Urutan ketiga Filipina sebanyak 83,4 juta ton, diikuti Vietnam 55,9 juta ton, dan Sri Lanka yang mencapai 14,6 juta ton per tahun.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut 100 toko anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) menghasilkan 10,95 juta lembar sampah kantong plastik dalam setahun. Jumlah itu setara luas 65,7 hektar kantong plastik atau sekitar 60 kali luas lapangan sepak bola.

Pada 2018, merujuk data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia 64 juta ton per tahun dimana sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut.

Menurut sumber yang sama, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 milar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik. Data Greenpeace Indonesia menyebutkan, produksi sampah di Indonesia mencapai 65 juta ton per tahun. Sebanyak 10,4 juta ton atau 16 persen merupakan sampah plastik. Ngeri bung!

Tsunami kantong plastik di negeri tercinta memang miris. Sampah plastik memenuhi jalanan, saluran air, menyelimuti semak belukar bahkan sudah masuk ke usus hewan yang merupakan sumber protein manusia.

Hari Senin 19 November 2018, Wakatobi geger. Dalam perut paus Sperma sepanjang 9,6 meter yang terdampar ditemukan sampah plastik seberat 5,9 kg. Paus itu mati. Kasus Wakatobi pun menambah litani mamalia ini menelan sampah plastik yang berujung kematian.

Di perairan Bunaken Sulawesi Utara yang indah itu, pada tahun 2012 silam peneliti menemukan si bening sampah plastik bersemayam riang di perut ikan Raja Laut (Coelacanth). Pedih sekali. Ikan purba yang menurut undang-undang dilindungi tersebut sejatinya tak terlindungi sama sekali.

Sampah plastik merusak kesan eksotis suatu destinasi. Pimpinan Tribun Network Kompas Gramedia, Mas Febby Mahendra Putra suatu ketika jalan-jalan ke SoE, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Jarak kota dingin itu dari Kota Kupang kurang lebih 120 km.

Beliau menikmati panorama alam Pulau Timor yang dominan sabana dengan vegetasi khas dan semilir angin sepoi yang menggoda. Namun, kesan yang membekas di batinnya justru mengenai sampah. “Sepanjang jalan saya melihat sampah plastik berserakan di sisi kiri dan kanan jalan. Mengapa orang begitu mudah membuangnya?” kata Febby.

Begitulah adanya. Pemandangan jamak di berbagai pelosok NTT adalah sampah plastik bertebaran. Bahkan daerah cagar alam seperti Gunung Mutis pun tidak luput. Demikian pula Labuan Bajo, Pulau Padar di kawasan Taman Nasional Komodo, Flores Barat yang kesohor itu. Masih saja orang membuang sampah plastik sesukanya.

Jadi langkah Bali mengurangi timbunan sampah plastik merupakan pilihan yang baik. Destinasi wisata andalan provinsi ini bakal kehilangan pesona manakala sampah plastik berlepotan di mana-mana. Lantas apakah Pergub Bali Bali No. 97 Tahun 2018 tersebut efektif? Apa indikator untuk mengukur level keberhasilannya?

*

Mari sejenak berkaca. Kampanye nasional memerangi sampah plastik di Indonesia bisa dilukiskan masih setengah hati. Sampai saat ini pemerintah belum pernah memastikan berapa penurunan penggunaan kantong plastik sejak diterapkan kebijakan kantong plastik berbayar pada 21 Februari 2016.

Mohon maaf tuan dan puan. Efektivitas kebijakan yang bertujuan mengurangi jumlah sampah plastik ini fakir hasil. Jauh panggang dari api. Tipis rasa optimistis sampah bakal menjauh dari saluran air, sisi jalanan dan lautan biru Nusantara yang kaya ikan dan udang.

Maka bolehlah berlayar ke negeri nun jauh Afrika. Berguru dulu ke Kenya barang sejenak karena untuk urusan ini bukan saat yang elok menimba ilmu sampai ke negeri China.

Wartawan Kompas, Ahmad Arif dalam Harian Kompas, 11 April 2019 halaman 10 melaporkan pengalaman inspiratif yang patut ditiru.

Kenya merupakan negara yang membelakukan larangan penuh penggunaan kantong plastik. Negeri itu menerapkan larangan memakai, memproduksi dan mengimpor kantong plastik. Sanksi berat dikenakan bagi pelanggar. Bukan main keras dan beratnya yaitu berupa denda uang mulai dari 19.000 dollar hingga 30.000 dolar AS (kurang lebih Rp 400 juta) hingga penjara 4 tahun.

Hanya setahun sejak pemberlakuan larangan itu, lingkungan di Nairobi, ibukota Kenya mengalami transformasi luar biasa. Tidak terlihat lagi sampah plastik di sepanjang jalan yang terbang ke mana-mana kalau musim angin. Pun sirna sudah kebiasaan buruk sejumlah orang yang bungkus kotoran pascabuang hajat dengan kantong plastik lalu dilempar hingga kota ini dijuluki “toilet terbang”.

Lingkungan Nairobi bersih dari sampah kantong plastik. Di pasar swalayan atau pasar tradisional, orang membungkus barang belanjaan dengan kertas, kardus atau ngiri-ngiri, tas tradisional dari kulit atau kain.

Pelarangan penggunaan kantong plastik memicu inisiatif dan kegairahan baru di kalangan warga untuk mencari pengganti yang inovatif. Sorang siswi di Kenya timur menciptakan tas dari daun pisang kering. Fotonya viral di media sosial.

Banyak orang meniru langkahnya. Demikian pula aneka tas tradisional dari rajutan berbahan serat alami kembali bermunculan. Masyarakat Kenya tidak lagi bergantung sepenuhnya pada kantong plastik.

Tentu saja kebijakan berani itu bukan tanpa perlawanan. Penentang utama terutama datang dari kalangan industri plastik yang berjumlah 170 perusahaan.

Kenya Association of Manufactures (KAM) beralasan warga yang terlibat dalam industri plastik di Kenya mencapai 60.000 orang atau 3 persen dari tenaga kerja di negara tersebut.

Mereka menggugat pemerintah Kenya agar membatalkan aturan ini. Namun pengadilan menguatkan keputusan pemerintah. Memasuki tahun kedua pelarangan kantong plastik sekali pakai ini ternyata tidak menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi berarti. Justru melahirkan industri baru yang produksinya lebih ramah lingkungan.

Kenya kini menjadi tempat belajar masyarakat dunia karena mau memilih opsi tegas. Tiba-tiba tergelitik, mengapa Indonesia atau Bali tidak meniru langkah negeri Afrika tersebut? Larang penuh penggunaan kantong plastik sekali pakai.

Efeknya pasti sesuatu, lebih nyata hasilnya dibandingkan kondisi Bali hari ini. Bali bebas sampah (kantong) plastik niscaya menjadi promosi yang makin mengharumkan namanya. Bagaimana menurut tuan dan puan?  (dion db putra)

Sumber: Rubrik Ngopi Santai Harian Tribun Bali

Wartawan yang Mencintai Profesi Lebih dari Segalanya



Valens Doy
Mengenang 5 Tahun Wafat Valens Doy (3 Mei 2005-3 Mei 2010)

Oleh Steve H Prabowo

“Papa … Papa jangan tinggalin Elva!”

Suasana ruang Intensive Care Unit RSUD Sanglah, Denpasar, mencekam. Gadis itu, Elva, putri sulung wartawan senior Valens Goa Doy, memegang tubuh sang ayah. Sementara sang ibu, Ny Elsa Doy, memegang kaki almarhum.

Air matanya jatuh. Ya, malam itu, Selasa, 3 Mei 2005, Oom Valens – begitu ia biasa dipanggil para murid dan anak buahnya – meninggal dunia.

Beberapa saudara, teman-sahabat dan anak didik Oom Valens yang hadir di ruangan itu tepekur.

Sementara dokter dan paramedis mencoba menyelamatkan hidupnya, yang hadir memanjatkan doa berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing.


Tampak sejumlah wartawan dan mantan wartawan Kompas, Damyan Godho, Frans Sarong, juga bekas anak didik almarhum di Persda Kompas-Gramedia seperti Victorawan “Itong” Sophiaan, Sri Unggul Azul dan Suwidi Tono.

Hampir satu jam upaya membuat jantung Oom Valens berdetak dilakukan. Namun, tubuh Oom Valens tetap tak bergerak. Pendiri koran-koran daerah milik Kelompok Kompas-Gramedia itu meninggal dunia.

Azul yang satu jam sebelumnya telah mengabarkan kematian Oom Valens lewat pesan teks kepada rekan-rekan lainnya, menghela nafas panjang. “Gua nyesel kirim berita duka duluan,” keluhnya.

Satu jam sebelumnya, kami, saya, Azul dan Itong, masih berada di luar ICU, ketika Frans Sarong mengabarkan Oom Valens meninggal. Azul langsung mengirim berita duka ke beberapa teman. Kami pun bergegas masuk ruangan tempat Oom Valens dirawat.

Ternyata, dokter dan para pembantunya sedang mengupayakan penyelamatan. Pesan teks Azul rupanya menjadi pesan berantai yang akhirnya, entah dari tangan ke berapa, kembali lagi pada pengirimnya.

Di dipan rumah sakit, tubuh Oom Valens membujur dikelilingi keluarga dekatnya, Tante Elsa, Elva dan Alex Doy, juga saudara kandungnya, Tante Waldeet dan Romo Frans Doy Pr. Isak tangis masih terdengar.

***

Mendengar tangisan dan ratapan Elva, ingatan saya kembali ke belasan tahun silam. Tepatnya tahun 1989. Oom Valens yang tengah membuka Harian Surya di Surabaya, lebih banyak tidur di mes kantor Jl Basuki Rachmat ketimbang bersama keluarganya di Jl Tumapel.

Malah, ia lebih suka tidur di ruang lay out, ketimbang di kamar mesnya.
Istrinya, Tante Elsa, setiap hari mengirim makanan ke kantor.

“Gila si Oom itu,” kata Manuel Kaisiepo, redaktur saya, ketika ngopi di kantin Gramedia. “Anaknya sudah lima hari di rumah sakit, dia baru tadi jenguk,” imbuh Manuel.

Hari itu memang hari kelima Elva dirawat di rumah sakit. Baru hari itu pula, Oom Valens menjenguk putri sulungnya.

“Nggak sempat,” kata Oom Valens, tertawa ketika saya tanya. “Mana sempat urus yang begitu-begitu (keluarga, pen), kalau kalian masih bikin berita biasa-biasa saja,” ujarnya.

Bagi Valens waktu itu, keluarga nomor dua. Pekerjaan nomor satu. Tapi itu berubah menjelang akhir hidupnya.

Sekitar seminggu sebelum meninggal, ketika hendak makan malam di rumah makan seafood di Cikini Raya, Oom Valens meminta saya ikut mobilnya, sementara teman lain berangkat duluan. Di mobil ia berpesan: “Keluarga itu yang paling penting. Jangan sia-siakan mereka, jaga mereka.”

Mereka yang mengenal Valens, pasti tidak percaya kalimat itu keluar dari mulutnya.

***

Berita adalah hidup sehari-hari Valens. Hidupnya dari deadline ke deadline. Selesai produksi, waktu itu koran masih sering terlambat, sekitar pukul 01.00 WIB, ia sudah rapat dengan para redaktur dan redaktur pelaksana.

Oom Max Margono, Trias Kuncahyono, dan (pada awal-awal Surya terbit) Oom Peter A Rohi, merupakan teman rapat rutinnya setiap dini hari.

Dalam rapat, ia menyusun penugasan kepada para redaktur dan kepala biro, untuk diteruskan kepada reporter-reporternya di lapangan esok harinya. Penugasannya begitu detil dan jelas.

Usai rapat, biasanya koran sudah terbit. Ia langsung memeriksa semua halaman, tak terlewat satu pun. Mencoret-coret koran dengan pena, baik untuk evaluasi maupun untuk dikembangkan lagi beritanya.

Pekerjaan ini biasanya dilakukan sampai subuh.

Pukul 08.00 WIB, Valens sudah rapi duduk di ruang rapat dengan koran yang sudah dicorat-coret di hampir setiap halamannya. Ia siap memimpin rapat redaksi pagi.
Usai rapat dengan redaksi, ia biasa juga mengadakan rapat dengan tim bisnis yang waktu itu dipimpin Herman Darmo.

Sore ia sudah memimpin rapat budgeting. Kantor yang sejak siang sepi, ramai oleh suara ketukan tuts kibor. Canda dan obrolan wartawan terdengar. Di antara hiruk pikuk itu, yang paling keras adalah suara Valens Doy. Teriakan, teguran, bahkan ketawanya terdengar dari depan sampai mes belakang kantor.

Begitulah kegiatan sehari-hari Valens Doy. Rutin, tapi penuh ketegangan, terutama bagi bawahannya.

“Dia memang kerja seperti kuda,” kata DJ Pamoedji, wartawan senior Kompas, saat menunggu jenazah disemayamkan di ruang duka.

Di proyek Surya, Mas Pam pernah berantem hebat dengan Oom Valens. Gara-garanya, Pamoedji marah diajak rapat pukul 03.00. “Emang semua kaya lu, kerja kaya kuda!” bentak Pamoedji, ketika pintu kamarnya diketuk Valens. “Orang perlu istirahat!”
Mereka bertengkar hebat, sampai-sampai Pamoedji membanting pintu. “Gua pulang (ke Jakarta) besok!” katanya.

Pamoedji benar-benar pulang ke Jakarta hari itu.

Menyadari kehilangan teman kerja yang andal, Valens pun minta maaf dan meminta Pamoedji kembali ke Surabaya, melanjutkan proyek Surya.

Istirahat dan santai adalah dua kata yang mungkin tidak dikenal Valens zaman itu. Bekerja bersama dia, jangan sekali pun berharap bisa bersantai. Ada cerita menarik di proyek penerbitan koran di Ambon, Pos Maluku, tahun 1990.

Suatu hari Sabtu sore (koran tidak terbit hari Minggu), kami – saya, Satrio Hutomo, Muhammad Yamin, dan Adrizon Zubair – berencana santai ke diskotek kota itu. Rencana itu gagal dengan kedatangan Oom Valens ke kantor.

 “Ayo, cicil untuk (terbitan) Senin!” teriaknya ketika kami duduk-duduk di depan kantor. Tommy, panggilan Satrio Hutomo, yang paling kesal. Tak lama kemudian, syukur pada Tuhan … listrik mati!

Si Oom marah besar, memaki-maki PLN karena tulisan dia hilang akibat mati listrik. Tommy menahan tawa, demikian juga Adrizon. Sikap mereka itu membuat saya dan Yamin berpikir bahwa merekalah, atau paling tidak salah satu dari mereka, dalang matinya listrik di kantor Pos Maluku.

***

Bekerja dengan Valens Doy sama artinya dengan menempatkan kantor sebagai rumah pertama, sedangkan tempat tinggal hanya “losmen” tempat berganti baju.

Tanggal 7 Desember 1989 malam, saya bertiga bersama Anwar Hudijono dan Trias Kuncahyono ngobrol-ngobrol sehabis kerja. Salah satu topik obrolan adalah wafatnya KH Ali Maksum hari itu.

Pukul 03.00 dini hari saya pamit. Sesampai di rumah, belum sempat ganti baju, sopir kantor datang. “Mas, dijaluk Oom balik kantor. Nggawa klambi, dikongkon luar kota (Mas, diminta Oom kembali ke kantor. Bawa baju, disuruh ke luar kota),” katanya.

Dini hari itu juga, saya berangkat ke Yogya mengikuti Ano – panggilan Anwar Hudijono – meliput wafatnya KH Ali Maksum. Tentu, dalam hati mengeluh: “Daripada pergi jam segini, kan mending dari tadi. Gak cape.”

Keasyikan ngobrol di kantor kadang ada untungnya. Salah satunya yang dialami Trias Kuncahyono, kini Wapemred Kompas. Hari itu, 26 Desember 1989, sekitar pukul 03.00 WIB, Trias masih berada di mejanya usai ngobrol dengan beberapa reporter dan redaktur.
Entah karena tak bisa tidur, ia iseng-iseng melihat lembaran teleks dari kantor berita. Waktu itu ia memang menangani desk luar negeri.

Tiba-tiba matanya membelalak. Malam hari sebelumnya, ia menulis headline “Ceausescu Ditangkap”. Nicolae Ceausescu memang ditangkap 22 Desember 1989 waktu Bucharest.

Tapi, pagi itu ia menemukan berita pendek, entah dari Reuters atau AFP, diktator Romania itu sudah dieksekusi, 25 Desember 1989 waktu setempat. Langsung ia telepon percetakan untuk stop press. Hari itu, sementara semua koran di Indonesia memasang headline Ceausescu ditangkap, Surya memasang judul “Ceausescu Ditembak”.

Total. Itu kata yang tepat untuk menggambarkan kerja Valens Doy. Ia selalu ingin timnya total bekerja. Awal tahun 1990-an, dan pasti sebelumnya juga, ia dikenal sebagai pribadi yang tanpa kompromi untuk hasil terbaik.

 Seperti yang dilakukannya sendiri, Valens Doy selalu menuntut anak buahnya untuk total dan bekerja keras.

“Kerja keras nggak bikin orang mati,” kalimat itu sering didengar anak didik atau rekan kerjanya.

Tentu bagi yang tidak terbiasa, atau bahkan yang sudah terbiasa sekalipun, bekerja sama dengan Valens Doy kadang merupakan siksaan. Baru datang liputan, sudah disuruh berangkat lagi. Entah untuk melengkapi hasil liputan yang dirasa kurang, atau liputan baru lagi.

***

Bagi yang mengenal dia, Valens Doy adalah sosok tanpa kompromi. Apa yang diinginkan harus terpenuhi. “Tidak ada sesuatu pun yang tidak bisa dikerjakan,” kata Oom Valens, di suatu hari bulan April 2005, saat rehat setelah seharian kami bertiga – Oom Valens, Azul Sjafrie dan saya – berdiskusi membahas konsep koran baru milik Grup MNC, Seputar Indonesia.

Ia lalu bercerita tentang awal-awal proyek Surya. Dari cerita itu, tampak jelas sosok seorang Valens yang penuntut, tanpa kompromi.

Ketika memulai proyek Surya, tutur Valens, ia sudah mensyaratkan adanya percetakan sendiri. Dengan saingan Jawa Pos yang sudah meraja, mustahil menerbitkan koran tanpa percetakan sendiri.

Tidak hanya meminta mesin cetak sendiri, Valens Doy juga menuntut mesin harus sudah siap saat dummy koran. Itu artinya, mesin harus sudah siap cetak tiga bulan dari saat kick off.

Tentu saja para ahli percetakan dari Kelompok Kompas Gramedia langsung menggeleng.
“Tidak mungkin,” kata mereka. Mesinnya saja saat itu masih di Jerman. Perjalanan ke Indonesia butuh lebih dari seminggu. Belum lagi fondasi untuk mesin cetak yang menurut mereka butuh paling cepat dua minggu. Ditambah lagi waktu merakit mesinnya.

Bukan Valens Doy kalau ia menyerah pada argumentasi semacam itu. Ia tetap ngotot mesin harus sudah siap cetak dalam waktu tiga bulan. “Nggak ada mesin, nggak ada koran,” ultimatumnya. Ia benar-benar tidak mau kompromi sedikit pun.

Tim percetakan rapat mencari cara untuk mempersiapkan mesin. Akhirnya ditemukan cara, dengan melakukan semua pekerjaan secara paralel. Baik persiapan mesin, pembuatan fondasi untuk gedung percetakan, sampai perakitan mesin, semua dilakukan bersamaan.
Hasilnya, ketika gedung dan konstruksi untuk mesin selesai, mesin pun tiba di Surabaya, tinggal memasangnya. Semuanya tepat waktu.

“Yang dibutuhkan cuma kemauan berpikir di luar frame,” kata Valens, mengakhiri ceritanya.

Jangan pernah bilang “tidak” di depan Valens Doy. Ia tidak akan mendengarnya. Kata “tidak” mungkin tidak ada dalam perbendaharaan otaknya. Kalimat “Ya, Oom!” biasanya otomatis keluar dari mulut, begitu Valens Doy memberi perintah. Bahkan, seringkali belum habis ucapan Valens, anak buahnya sudah menjawab: “Ya, Oom!”

Tidak bisa adalah kalimat tabu bagi dia. Setelah harian Pos Kupang terbit, saya ditugaskan Valens Doy ke Dili untuk proyek Suara Timor Timur (STT). Oom masih di Kupang ketika saya tiba di Dili. Dia menyusul keesokan harinya. Tiga hari ke depan STT harus sudah terbit.

Tiba di kantor STT saya agak pesimistis. Di kantor cuma ada tiga komputer, dua desktop dan satu laptop milik Oom Valens. “Pasti bisa. Harus bisa,’’ kata si Oom. Dari sisi kesiapan redaksi mungkin tidak masalah, karena sebagian wartawan dan redaktur sudah berpengalaman.

Kebanyakan dari Majalah Dian yang terkenal sebagai tempat belajar wartawan asal NTT. Tapi dari sisi infrastruktur? Bagaimana mungkin tiga komputer, salah satunya untuk layout, bisa mendukung deadline?

Benar. Koran bisa terbit sesuai jadwal, meski deadline molor tiga jam. Pagi itu juga, semua koran yang dicetak habis terjual. Tak satu pun koran masih tersisa di kantor, termasuk untuk dokumentasi ikut dijual juga.

***

Tampang sadis, jiwa romantis. Itu ungkapan saya untuk Valens Doy. Meski tanpa kompromi untuk tugas, ternyata hatinya sangat lembut. Ia mudah tergerak hatinya melihat penderitaan orang lain.

Satu peristiwa yang melekat di ingatan saya tentang hal ini. Tahun 1990, saya diajak Oom Valens ikut serta di proyek penerbitan Tifa Irian di Jayapura, Papua. Seperti biasa, tangan besi dipakai Valens di koran baru ini. Ia tak bisa melihat siang hari wartawan masih di kantor.

“Oom istirahat sebentar ya,” katanya pada saya, sambil naik tangga menuju attic kantor yang sehari-hari dijadikan tempat tidur wartawan Tifa malam hari. Sejenak kemudian saya terkejut oleh suara Oom. “Jam segini belum berangkat?” bentaknya marah. Rupanya di atas masih ada seorang wartawan yang masih “di kamar”.

“Tidak bisa bekerja, Bapa,” kata wartawan itu ketakutan. “Harus cuci baju,” lanjutnya. Alasan itu membuat Valens tambah naik pitam. Alasan yang tak masuk akal, masakan mencuci baju saja harus mengorbankan pekerjaan. Rupanya si wartawan hanya punya sepotong baju yang dicuci seminggu sekali.

Mendengar pengakuan wartawan itu, Oom terdiam. Ia menengok ke arah lain, dan turun. Saya lihat matanya berkaca-kaca. Setelah bisa menguasai diri, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan uang dari dompetnya. “Kau belilah baju,” katanya.

Valens Doy menangis. Mungkin tak banyak orang punya kesempatan istimewa melihat hal itu. Kenangan Oom Valens menangis itulah yang melintas di pikiran saya ketika melihat tubuhnya terbujur diam di RSUD Sanglah, 3 Mei 2005 malam itu.

Isak tangis dan untaian doa masih terdengar. Valens Doy masih dikelilingi dokter dan perawat yang mencopoti alat-alat penyelamatan di tubuhnya. Ia diam, wajahnya tenang seperti sedang tidur. Wartawan yang mencintai profesinya melebihi apa pun itu telah pergi. ***

Sumber: Facebook Steve H Prabowo

Pembeli Pun Bisa Belari-lari

ilustrasi
JUDUL menohok ini langsung menarik perhatian saya ketika memulai aktivitas kerja pagi 1 Juli 2019. Kompas.com menulis demikian, Kejayaan ITC Mangga Dua Mulai Surut, Pembeli Pun Bisa Berlari-lari…

Saat diakses pada pukul 09.05 Wita, artikel ini menempati posisi nomor satu terpopuler, sudah dibaca 122.696 kali. Ya, siapa tidak kenal ITC Mangga Dua? Tempat itu merupakan satu di antara pusat perbelanjaan favorit di Jakarta.

Saya pernah beberapa kali berkunjung ke pusat perbelanjaan tersebut. Koleksi pakaiannya memang sangat beragam dan sesuai selera pasar. Kiranya banyak orang pernah ke sana bukan?

Kompas.com melukiskan lokasi ini dulu merupakan salah satu pasar tersibuk di ibu kota. Pada masa itu, pengunjung yang datang untuk berjalan kaki saja susah, tak hanya pengunjung yang padat, tapi ruang-ruang yang ada juga dimanfaatkan oleh pedagang sehingga hanya tersisa sedikit ruang untuk berjalan kaki.

Namun, kini pemandangan itu sirna. Seperti terlihat pada Minggu 30 Juni 2019, hari yang lazimnya masyarakat berbelanja, ITC Mangga Dua tak lagi seramai dulu. Kesepian sungguh terasa. Banyak ruang kosong. “Pembeli pun bisa berlari-lari,” kata seorang penjual dalam nada berseloroh yang miris.

Mau bilang apa, inilah perubahan yang sedang terjadi. Benarlah apa yang sejak lama diingatkan para pakar bahwa generasi milenial akan merontokkan banyak hal, baik produk, layanan jasa bahkan bidang kerja yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun digeluti manusia. Mereka menyebutnya “millennials kill”.

Anda bisa baca ulasan menarik Andrew Bridgman berjudul The Official Ranking of Everything Millennials Have Killed (http://www.collegehumor.com/post/7045438/millennials-are-bad). Dibeberkan aneka produk dan layanan yang “dibunuh” kaum milenial.

Sebut misalnya bir di urutan ke-5, kartu kredit urutan ke-10, sabun batang 15, department store di urutan 20, TV kabel 21, olahraga golf 23 dan berlian di urutan ke-29.

Sekarang kita mengerti mengapa ITC Mangga cenderung sunyi. Nasib yang mirip pun sudah mendera pusat-pusat perbelanjaan lainnya di tanah air.

Sungguh tak dapat dipungkiri bahwa perilaku dan preferensi kaum milenial berubah drastis dibandingkan dengan generasi sebelumnya seperti Baby Boomers dan Gen-X, sehingga produk dan layanan tertentu tidak relevan lagi bahkan terancam punah.

Setidaknya sejak dua tahun terakhir pengunjung department store di seluruh dunia termasuk di Indonesia seperti Ramayana, Matahari Lotus secara pelan tapi pasti mulai bertumbangan. Jumlahnya tak serimbun masa lalu.

Musababnya adalah milenial yang bergeser perilaku dan preferensinya tadi. Ciri perilaku milenial adalah lebih doyan berbelanja via online dan tak lagi getol berburu barang, mereka justru banyak mengonsumsi pengalaman (leisure).

Anak saya yang berusia 19 tahun, saat mengisi liburan kuliah baru-baru ini minta ongkos bukan untuk belanja barang, makan-makan atau nonton film. Tapi untuk jalan-jalan ke berbagai destinasi menarik di Pulau Timor bersama kawan-kawannya. Mereka memburu spot yang instagramable.

Cuma makan nasi bungkus pun mau. Kulitnya terpanggang matahari bukan masalah besar. Sebelumnya, saat liburan tengah semester dia pun jalan-jalan ke bumi Parahyangan. Begitu ceria dan penuh semangat menjelajahi beragam spot menarik di Jawa Barat.

Jadi kaum milenial tak gandrung amat main ke mal hari-hari belakangan. Kalaupun ke sana mereka toh sekadar cuci mata, nongkrong dan mencari suasana berbeda guna mengusir kejenuhan.

Tak berbeda dengan cabang olahraga golf. Popularitas golf mencemaskan . Sebuah survei menemukan fakta hanya 5 persen kaum milenial yang menekuni golf.

Dalam satu dekade terakhir semakin sedikit penonton yang menyaksikan event golf dunia. Jauh berkurang misalnya jika dibandingkan pada masa keemasan pegolf Amerika Serikat berdarah Thailand, Tiger Woods di era 2000-an.

Dampak kesunyian golf merebak ke mana-mana. Pada tahun 2016 raksasa produsen perlengkapan olahraga Adidas menjual sebagian besar bisnis perlengkapan golfnya karena terus-menerus merugi. Pihak Adidas menyatakan ingin fokus pada bisnis sepatu dan pakaian olahraga saja.

Sebenarnya sejak Agustus 2015, perusahaan asal Jerman tersebut meluncurkan tinjauan bisnis golfnya. Sebagai pemasok perlengkapan golf terbesar dunia, Adidas sungguh merasakan dampak buruk dari makin tidak populernya olahraga elit ini (Kompas.com, 6/5/2016, 15:00).

Perilaku kaum milenial yang unik pun mengguncang dunia kerja. Hari gini jangan lagi tuan dan puan bayangkan mereka mau rutin masuk kantor pukul 08.00 pagi dan pulang ke rumah pukul 17.00. Mereka sungguh tak betah terikat pada sistem semacam itu.

Milenial butuh fleksibilitas dalam bekerja. Dengan kata lain mereka mendambakan bisa bekerja di manapun dan kapan pun demi mencapai kinerja yang dipatok. Survei Deloitte menunjukkan, sebesar 92 persen milenial menempatkan fleksibilitas kerja sebagai prioritas utama.

Anak perempuan senior saya di dunia kewartawanan sudah pindah tempat kerja sebanyak 4 kali dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Apakah karena alasan gaji atau pendapatan? Bukan! Baginya besar kecil gaji itu relatif. Dia pindah karena mendambakan fleksibilitas itu.

Sejak penghujung tahun lalu ia bekerja pada sebuah perusahaan multinasional berbasis di Jakarta yang memenuhi harapannya. Maka dia pun bisa bekerja sambil berlibur ke Eropa  bersama kekasihnya, jalan-jalan ke Labuan Bajo dan keliling Pulau Flores yang indah itu bahkan sempat pula ke Bali. “Saya ini workcation, Om. Bekerja sambil liburan,” katanya bangga.

Artinya bila suatu tempat kerja masih kaku menerapkan gaya bekerja ala generasi Baby Boomers, maka pelan tapi pasti akan kehilangan peminat.

Tentu saja batasan waktu masuk kerja sesuai ketentuan UU ketenagakerjaan dan peraturan internal suatu instansi patut diberlakukan pula.

Namun, mengingat perilaku milenial maka unsur fleksibilitasnya jangan terabaikan. Ini menjadi ujian seni mengelola seorang manajer atau pemimpin unit kerja.

Dalam nada agak menyeramkan, ada yang bilang millennials will kill everything! Kalau demikian, tak ada jalan yang lebih elok selain kita mesti melayaninya dengan bijak.

Darwin sejak abad lalu telah mengingatkan, bukan mereka yang kuat dan hebat yang mampu bertahan hidup. Tapi yang mau beradaptasi dengan tuntutan zamannya. Atau bagaimana menurut tuan dan puan? (dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes