|
Dion DB Putra |
Kelompok Menulis di Koran - Ledalero (KMKL) dalam kiat-kiatnya
melatih dan mengembangkan potensi menulis para anggotanya merencanakan
kegiatan magang dan pelatihan saat liburan semester kedua. Sesuai
rencana magang dilakukan di tiga tempat.
Kantor Redaksi Pos Kupang (PK), Flores Pos dan Penerbit Nusa Indah.
KMK menunjuk dua orang anggotanya untuk masing-masing tempat.
Ve
Nahak dan J.Loin menyinggahi dapur Harian Umum Pos Kupang. Berikut
rekaman pengalaman Ve Nahak selama 10 hari (dari tanggal 7 s/d 17 Juli
2006) menjadi "wartawan tembak" di Kantor Redaksi Harian terkemuka di
NTT itu.
Menepis mitos "dapur" sialan
Sebuah gedung berlantai dua dengan cat putih yang sudah mulai kusam oleh
terik matahari kota Kupang. Perbaikan-perbaikan kecil di beberapa sudut
kelihatan belum rampung. Gedung itu bekas sebuah ruko (rumah toko)
milik seorang Tionghoa.
Konon, karena posisinya yang kurang bagus menurut ramalan Fengshui,
pemiliknya melelang gedung yang berdiri di atas tanah kelas satu itu.
Pos Kupang mendapat tawaran pertama.
Alih-alih ditawari barang bagus, gayung pun bersambut. Bak mendapat
durian runtuh, para senior PK yang kala itu menempati sebuah gedung
sederhana langsung mengiyakan tawaran menarik itu.
Belakangan, kesuksesan PK dan prestasinya sebagai Harian Umum Terbaik
tahun 2005 paling tidak menepis sementara ramalan dan tafsiran Fengshui
sang pemilik ruko tujuh tahun silam.
Beralamat di jalan Kenari No.1 Naikoten Kupang, dapur redaksi yang
mempekerjakan 121 karyawan/watinya ini sudah mampu melayani pelanggan
dan mitra-mitranya di seantero wilayah NTT.
Sejak 1 Desember 1992, PK sudah mulai mengibarkan benderanya di bumi
Flobamorata. Tak pelak, termasuk Surat Kabar senior di NTT, PK dikenal
hampir di seluruh wilayah NTT. Kebutuhan akan informasi dan kemajuan
teknologi informasi baik cetak maupun elektronik selalau memacu PK untuk
tidak menjadi Koran yang mubazir di tangan para pembacanya.
Memang, tantangan utama di awal reformasi adalah bagaimana menampilkan
citranya sebagai Koran daerah yang konsisten dan berwibawa di tengah
maraknya persaingan antara koran-koran lokal yang kala itu tumbuh bak
jamur di musim hujan. Di sini, PK benar-benar diuji sebagai "Korannya
NTT". Koran yang mewakili suara orang-orang NTT.
Sederetan nama Koran lokal (Kupang) yang tercatat dalam sejarah pers
daerah ini: Sasando Pos, Suara Timor, Surya Timor, Radar Timor dan masih
banyak yang lainnya.
Di mana rimbanya kini? Kita boleh bertanya-tanya. Satu hal yang patut
dicatat, ketahanan untuk berdiri kokoh mesti datang dari komitmen,
keringat dan kerja keras. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa
orang-orang yang sedang bekerja di belakang meja Pos Kupang itu tidak
sedang bermain-main.
"Kesuksesan koran manapun termasuk PK, bukan terutama pada kemampuan
menguasai pasar bisnis tetapi bagaimana koran itu dapat
mempertanggungjawabkan kepercayaan masyarakat padanya. Sayangnya, ini
bukan perkara mudah bagi banyak majalah, surat kabar dan Koran-koran
kita. Saya berbicara tentang komitmen dan ketahanan," ungkap Tony
Kleden, seorang senior PK.
Seiring dengan kemajuan jaman dan komitmen pelayanan masyarakat, sejak
2003 PK sudah mengembangkan tekhnologi cetak jarak jauh yang berpusat di
dua kota daratan Flores masing-masing, Maumere untuk melayani kebutuhan
masyrakat Sikka, Flores Timur, Lembata dan Ruteng untuk melayani
Manggarai, Ngada dan Mabar.
Beberapa tahun terakhir Pos Kupang bergabung dalam Kelompok Kompas
Gramedia (KKG) - Koran daerahnya Kompas dan juga sudah mulai
mengembangkan Media elektronik online sejak tahun 1997.
Kisah sukses Harian Umum Pos Kupang tidak lepas dari perjuangan keras
para krunya. Tanpa keringat dan kerja keras serta komitmen yang tangguh
dari orang-orang di belakang meja ini, Pos Kupang bukan apa-apanya.
Mereka datang dari berbagai latar belakang disiplin ilmu tetapi punya
satu tekad. Membangun NTT.
Ada "reuni" di ruang sidang
Syukur. Om sopir angkota lampu 5, Torpedo, yang membawa kami dari
Oesapa berbaik hati mengantarkan kami persis di gang masuk. Jumat
(7/7/2006), kira-kira pukul enam lewat seperempat kami benar-benar
berdiri di depan kantor redaksi Pos Kupang, koran top one di daerah ini.
Di depan pintu ada sebuah pesan singkat yang dicetak hitam, "Tidak
menerima permintaan sumbangan". Kalimat ini tak begitu menganggu. Sudah
sering dijumpai di mana-mana.
Kantor-kantor, rumah sakit, sekolah-sekolah, biara-biara. Sepertinya,
kalimat ini juga ada di pintu ruang tamu Soverdi Ruteng atau di mana
lagi. Merasa diri bukan peminta sumbangan kami langsung sarobot tanpa
tanggung-tanggung.
Ruang depan kantor ini digunakan sebagai biro iklan dan bisnis merangkap
ruang tamu bagi orang-orang yang berkepentingan. Kami diterima Pak
Sipri, Satpam yang piket sore itu. Pak Hyron Modo, seorang wartawan
senior Pos Kupang muncul dari balik pintu dan menyapa dengan ramah.
Kentara sekali dialeg Manggarainya yang memaksa saya dan Jilo satu dua
kali main mata dan batuk-batuk kecil. Kami dipersilahkan masuk.
Basa-basi terus berlanjut sambil melewati lorong kecil ke arah belakang.
Hanya lima meter di depan kami belok kiri dan menaiki tangga menuju
lantai dua. Jam dinding sudah menunjuk pukul 19.00 Wita. Aktivitas di
lantai bawah sudah mulai sepi. Kata Pak Hyron, sebentar lagi pintu
depan ditutup.
Derit tarikan pintu lantai dua dan sapaan selamat malam yang spontan
kami ucapkan sepertinya mengusik ketenangan para kru di balik meja
kerja. Tiap orang kelihatan sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Mengedit
teks dan naskah memang membutuhkan konsentrasi lebih.
Jeda sekian detik, mungkin untuk sekedar menekan tuts Ctrl+S (save) pada
keyboard komputer. Masing-masing angkat muka penuh tanda tanya. Tanpa
basa-basi lebih lama perkenalan pun dimulai. Dari meja ke meja kami
disambut dengan jabatan tangan dan senyuman ramah.
Wajah-wajah baru tetapi nama-nama mereka sudah akrab bagi pembaca setia
Harian ini. Tony Kleden, Agus Sape, Paul Burin, Hyron Modo, Alfred Dama,
Beny Jahang, Damyan Ola, Gerardus Manyela dengan feature-feature-nya
yang selalu mengisi halaman-halaman PK. Cukup mudah mengenal mereka.
Nama, sudah di luar kepala. Tugas kami tinggal menghafal potongan wajah
dan postur tubuh masing-masing orang saja.
Kami sudah jalan dari meja ke meja. Rasanya masih ada yang kurang. Orang
yang dicari tidak ada di antara mereka-mereka ini. Siapa lagi kalau
bukan Dion DB Putra, Pemimpin Redaksi yang biasa nongol dengan catatan
bolanya yang padat, kaya informasi dan selalu bikin penasaran para
masgibol.
Tahu kalau kami dari Ledalero, banyak yang bergabung dan numpang tanya
tentang dosen-dosen Ledalero sekarang, teman-teman seangkatan, imam-imam
yang keluar, yang melanjutkan studi, keadaan kampus Ritapiret.
Macam-macam. Selanjutnya suasana menjadi semacam reunian antara para ex
seminari. Hangat dan nyambung. Ada signal!
"Inilah cara kami berdoa"
Duduk di atas kursi putar yang agak tinggi. Kerutan di dahi dan tatapan
matanya pada layar komputer pertanda lelaki setengah baya berpostur
gemuk- pendek itu sedang serius mengerjakan sesuatu.
Sebagai seorang Pemimpin Redaksi, Dion DB Putra tergolong muda di
antara para senior Pos Kupang. Tahun ini umurnya baru genap 37. Usia
yang terbilang muda untuk ukuran seorang jurnalis. Sepak terjangnya di
dunia kewartawanan tak perlu diragukan lagi.
"Ia sudah makan asam garam dalam dunia jurnalistik," komentar Agus
Sape, seorang senior PK. Barangkali, inilah alasan utama mengapa di
usianya yang masih tergolong muda, rekan-rekannya mempercayakan posisi
ini kepadanya beberapa tahun lalu utnuk menggantikan Damyan Godho.
Kami masuk ke ruang kerjanya usai reunia-an yang makan waktu lebih dari
30 menit itu. Ia menyambut kami dengan ramah. Suara tenornya kedengaran
khas sekali ketika mulai bicara.
Beliau baru saja kembali dari sebuah acara penting di pusat kota yang
dihadiri para petinggi daerah. Bincang-bincang makin hangat ketika kami
masuk dalam wilayah "baomong bola" ditemani U Mild yang terus mengepul
memenuhi ruangan 4 kali 5 meter itu.
Sebuah ruangan sederhana yang tidak terlalu tertata. Kabel-kabel
melintang sana-sini bahkan ada yang dibiarkan tergantung begitu saja
pada dinding ruangan.
Sebuah meja kerja dengan satu unit komputer pentium empat ada di sudut
kiri. Selebihnya, sebuah sofa panjang dan meja untuk tamu dan rak buku
yang agak longgar. Ditemani U Mild, rokok kesukaannya, dari ruang inilah
Om Dion, begitu ia akrab disapa mengkoordinasi jalannya kegiatan Harian
ini.
"Frater berdua boleh lihat sendiri. Inilah cara kami berdoa," ujarnya
tenang. Pernah, ada sekelompok mahasiswa dan mahasiswi Fakultas
Kesehatan Masyarakat (FKM) Undana membuat penelitian perihal posisi
duduk para wartawan saat mengetik. Dari sinilah barangkali lahir ide
tentang sikap doa tadi. "CD (baca: Cara duduk) tu..? CD juga kan sikap
berdoa?" Katanya sambil tertawa.
SMS itu.
"Ketika di lapangan anda sudah harus siap. Sekarang berlakulah sebagai
seorang wartawan Pos Kupang," pesan Om Marsel Ali di atas sepeda
motornya ketika kami menuju El Tari untuk menghadiri rapat koordinasi
Sail Indonesia 2006. Setelah mengakrabi situasi dan kesibukan di kantor
redaksi selama dua hari pertama kini saat yang ditunggu-tunggu itupun
tiba. Turun lapangan.
Pesan singkat Ka'e Charles Beraf di telepon selulerku belum juga kuhapus
untuk satu atau dua hari ini. "Gunakan indra-indramu. Pasang telinga,
mata dan hidung dan segala kemampuanmu untuk merekam apa yang terjadi."
Kubawa pesan ini kemana-mana sambil sesekali kubuka inbox dan membacanya
sebagai penyegaran.
Rapat akan segera dimulai. Peserta sidang berarak masuk ke ruang Pak
Wagub NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Sebagian besar peserta sidang adalah
Kepala Dinas Pariwisata enam Kabupaten yang akan disinggahi peserta
lomba layar masing-masing Kupang, Alor, Lembata, Maumere, Ngada dan
Manggarai Barat dan pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan even
ini. Para wartawan cetak dan elektronik mengambil tempat yang telah
disiapkan.
Ketika sidang resmi dibuka para wartawan mulai sibuk mengambil gambar.
Saya duduk di salah satu kursi deret belakang dan mulai mencatat apa-apa
yang perlu. Pesan Om Marsel dan SMS Ka'e Charles masih segar dalam
ingatanku. Jam pertemuan, jumlah pesertanya, agenda-agenda rapatnya,
tema dan isi pertemuan, komentar-komentar dan imbauan-imbauan Wagub,
evaluasi para peserta sidang dan masih banyak lagi.
Usai sidang Om Marsel mengarahkan motornya kembali ke kantor redaksi.
Hari pertama saya berkonsentrasi untuk membuat satu berita tadi. Om
Marsel masih melanjutkan tugasnya untuk meliput dua atau tiga peristiwa
lagi. Berbekal teori seadanya dari buku-buku jurnalistik yang sempat
kubaca, kebiasaan membaca koran atau majalah dan pelatihan jurnalistik
di waktu Seminari Menegah dan Novisiat dulu saya coba "panjat pohon
kelapa".
Kata pertama, setengah mati apalagi memikirkan judulnya. Di kepalaku
tertumpuk begitu banyak ide mirip perangkat keras komputer yang
serabutan dan simpang siur oleh kabel-kabel besar kecil. Sambil
menikmati kesulitan-kesulitan ini saya mulai berbuat sesuatu.
Mainkan angle-nya bro.
"Mainkan angle-nya bro." pesan ini biasa terdengar pada sore hari
kira-kira pukul 15.00 Wita. Ketika hampir seluruh Wartawan Kota (warkot)
kembali dari kegiatan meliput berita. Para kru biasanya melontarkan
slank ini di antara mereka sebagai guyon ringan.
Maksudnya, judul dan lead berita mesti punya daya jual yang tinggi.
Caranya, dengan mengolah sudut pandang berita sehingga memiliki
kharakter yang kuat, khas dan memikat. Wartawan PK sudah tahu
mau-maunya. Biasa.
Sebuah kutipan. "Bola mata Juani berkaca-kaca ketika mengintip
kemanakannya, Soleka, yang sedang mandi sore itu. Dari balik dinding
sumur terbuat dari bebak, ia melihat kain basahan Soleka sering
tersibak." Apa judul yang pas untuk kisah ini? Majalah Tempo edisi 2
Januari 2004 memberi judul tulisan ini dengan "Kasmaran maut di Sarang
Elang".
Cita rasa sajian berita dan feature Tempo dan Kompas memang luar biasa.
Ketajaman anlisis, padatnya informasi dan kupasan peristiwa yang akurat
dan tuntas selalu memanjakan para pencari informasi. Membaca
feature-feature kedua terbitan ini kadang kala bak menyelesaikan adegan
puncak novel-novel detektif Agatha Christie.
Pada bab terakhir "Pembunuhan atas Roger Acroyd", salah satu novel
detektifnya saya memutuskan untuk berhenti. Kuambil novel itu,
kuletakkan di bawah bantal agar "ending" ceritanya bisa menyatu dalam
mimpi-mimpiku. Saya membiarkan dua hari berlalu dalam tanda tanya tanpa
membolak-balik bantal tempat novel itu kuletakkan.
Malam yang tenang. Lampu belajar di atas meja. Saya tahu, ujian yang
paling berat bagi para pembaca novel adalah kecerobohan untuk melompat
ke halaman belakang sebelum waktunya. Saya memberanikan diri. Membaca
kata demi kata dan tak mengulangi kecurangan itu.
Kebolehan seorang Agatha Christie ada pada kemampuannya membuat
kejutan-kejutan dan menciptakan "bom" di tengah cerita. Ia punya pilihan
untuk mengakhiri cerita-ceritanya dengan caranya sendiri dan sering di
luar dugaan pembaca. Ia seorang pencerita yang dapat menjadikan pembaca
sebagai musuh utamanya. Di sinilah ketegangan itu muncul. Buku-bukunya
diburu di mana-mana. Dan, di akhir ronde ia keluar sebagai pemenang
dengan angka telak.
Keberhasilan seorang pengarang mungkin ada di sini. Ketika ia dapat
"meresahkan" para pembacanya dengan riak-riak gelombang yang dapat
memompa jantung lebih cepat. Saya sedang berbicara tentang sudut pandang
(angle) sebuah tulisan. Wartawan yang baik adalah wartawan yang dapat
menciptakan angle yang tajam tanpa berusaha membuat sensasi.
Saat pendampingan, Om Tony Kleden memberi contoh. "Sebagai wartawan PK,
anda hadir dalam sebuah acara nikah massal di Gereja Pentekosta
Sikumana. Apa kira-kira yang menarik di sana? Khotbah si Pendeta yang
panjang lebar itu? Pesan dan kesan pasangan yang menikah? Jumlah
pesertanya yang begitu banyak?".
Seorang wartawan harus berani untuk tidak meilih ketiga-tiganya. Apa
yang tersembunyi alias "nyeleneh" di acara tahunan itu? Anda berhasil,
ketika anda dengan jeli menemukan bahwa di antara 50-an pasangan nikah
massal itu ada seorang kakek berusia 74 tahun dan pasangannya yang juga
berusia kepala tujuh. Mereka ikut dalam arak-arakan dengan memegang
lilin didampingi cucu-cucunya. Di sini, berita anda niscaya mempunyai
kharakter, kekuatan dan daya ledak. Lalu anda memberi judul untuk
beritamu, "Gita cinta di senja kala".
Berita-berita dan feture-feature dengan kharakter yang kuat dapat kita
temukan dalam Tempo dan Kompas. Dari sini kita dapat belajar untuk
berbuat sesuatu. Namun ingat, nama besar kedua terbitan ini selalu
diikuti dengan usaha dan kerja keras para krunya.
Konon, seorang wartawan Kompas digembleng selama enam bulan untuk
berlatih membuat feature sebelum turun ke lapangan. Apa artinya sepuluh
hari magang di Pos Kupang? Tanpa latihan rutin kita tidak bisa apa-apa
bro!
Ketika berita cari wartawan
Tiga berita sehari. Ini kewajiban tiap wartwan kota maupun daerah. Dulu
tiga berita sehari memang bukan perkara mudah apalagi pers di jaman Orba
sering lebih suka tutup mata atau sepertinya malas tahu dengan banyak
kasus. Pers masih serba hati-hati. Salah-salah buat berita wartawan bisa
ketemu batunya.
Sekarang suasanya serba lain. Wartawan ada di mana-mana. Media
komunikasi seperti Hand phone dan Internet menjadi senjata andalan bagi
para wartawan. HP misalnya, dapat membuka akses yang lebih luas dan
memudahkan konfirmasi dan Crosscheck peristiwa. Apa yang terjadi di
kutub Selatan pada saat yang sama dapat diketahui orang-orang di Utara.
"Ef Er, kalau dulu wartawan cari berita na sekarang tabalek. Berita yang
cari wartawan," seloroh Aris Ninu, warkot jebolan Fakultas Hukum
Undana yang menangani halaman Kupang Crime dan rubrik Tapaleuk itu. Nah,
ketika berita sudah menumpuk apa yang anda lakukan? Bersikaplah lebih
tenang lalu mulai "mainkan angle-nya bro!"
Pertanyaannya, mengapa hal ini menjadi begitu penting? Informasi dan
berita-berita terbaru sering lebih cepat tiba ke ruang dengar pemirsa
radio dan televisi. Membahasakan berita-berita yang sama dengan rumusan
5W +1H dalam pola piramida terbalik dapat saja menjenuhkan. Di sini,
wartawan sekali lagi dituntut tidak hanya terampil dalam membuat berita,
tetapi lebih dari itu, kreativitasnya yang lahir dari intuisi yang
tajam.
Sehari sama dengan 25 jam?
Di Pos Kupang jawabannya iya. Kalau bukan 25 jam sehari jawaban yang
lebih pas adalah 24 jam plus. Bekerja di sebuah Harian seperti Pos
Kupang memang meminta tenaga ekstra. Itu berarti setiap kru dituntut
untuk memberi lebih.
Tidak bisa tidak. Ini sudah menjadi tanggung jawab bersama. Selama
kurang lebih sepuluh hari bertamu di kantor Redaksi PK tidak pernah
seharipun kami mendapatkan gedung itu ditinggalkan sendirian. Tidak
pernah kosong sama sekali.
Pernah sekali, waktu putaran final Piala Dunia masih panas-panasnya.
Kami menyempatkan diri bergadang sampai pagi bersama para kru menanti
pertandingan semifinal Portugal Vs Jerman. Para editor masih kelihatan
melek ditemani kopi dan rokok sampai pertandingan usai. Menonton laga
empat tahunan ini barangkali hanya sebagai jeda untuk menimba inspirasi.
Biasa.
Praktisnya, sepanjang hari selalu ada yang masuk keluar kantor. Bahkan
kalau keadaan menuntut. Ketika ada kejadian di tengah malam yang mesti
diliput, setiap wartawan harus bersedia merelakan tidur malamnya yang
rata-rata hanya 5 jam itu.
Secara medis tabiat seperti ini sangat memprihatinkan. Namun tugas dan
pengabdian selalu menuntut mereka untuk merelakan tenaganya.
Satu-satunya kesempatan yang mengijinkan mereka menarik napas lega
adalah malam Minggu atau pas tanggal merah.
Edisi hari Minggu biasanya sudah rampung pada hari Sabtu sehingga
tinggal menyelesaikan proses cetaknya saja. Selain malam Minggu dan
tanggal merah rutinitas di PK terbilang padat.
Saban hari kegiatan di kantor redaksi diwarnai dengan sidang-sidang
redaksi yang menjadi simpul proses peliputan dan editing berita. Sidang
pagi berlangsung antara Pukul 8.45 Wita - 9.30 Wita dihadiri oleh
segenap warkot. Sidang biasanya dipimpin oleh seorang Redaktur Pelaksana
(redpel) yang bertugas sesuai jadwal.
Suasana sidang biasanya tidak resmi-resmi amat. Para kru mengelilingi
meja sidang sambil membaca terbitan hari itu ditemani segelas kopi
panas. Di meja redaksi biasanya tersedia PK, Kompas, Timex (Timor
Express) dan Flores Pos terbaru untuk "sarapan" para wartawan sebelum
turun lapangan.
Di akhir sidang biasanya dibacakan undangan-undangan rapat, seminar dan
lokakarya dari instansi-instansi swasta dan pemerintah. Isu-isu yang
menempati headline selalu diikuti perkembangannya. Kejar dan tangkap.
Selama seminggu turun lapangan kami nunut pada wartawan-wartawan kota.
Masing-masing punya sepeda motor. Paling tidak di sini proses belajar
dan interaksi berjalan cukup baik. Dari mereka kami dapat belajar
banyak.
Sore hari Pukul 13.00 Wita ruang redaksi kembali ramai oleh suara ribut
para wartkot yang pulang dari tugas meliput berita. Pukul 15.00 Wita
sidang sore dimulai. Suasana di sekitar meja redaksi terasa berbeda
dengan sidang pagi yang biasanya terbilang dingin-dingin saja.
Tiap wartawan kota berjuang mempertahankan beritanya,
mempertanggungjawabkannya kepada redpel. Keterangan yang memadai plus
kelengkapan konfirmasi secara lisan dari si wartawan dapat menunjang
beritanya. Kalau "kalah" alias keterangan kurang memadai, maka tidak
segan-segan berita-berita itu disampahkan sambil menanti konfirmasi
lebih lanjut. Di sini, seorang wartawan dituntut profesionalitasnya.
Waktu untuk wartawan kota biasanya sampai dengan Pukul 18.00 Wita.
Jam-jam selanjutnya adalah milik Dewan Redaksi, Editor, Designer halaman
dan Percetakan yang biasanya bekerja sampai menjelang subuh. Sebelum
memulai dengan proses cetak Dewan Redaksi mengadakan sidang Pkl. 20.30
Wita untuk menentukan berita mana yang mesti diturunkan sebagai headline
dan berita-berita mana yang layak "dihalamansatukan".
Berita-berita pada ruang ini adalah berita-berita dengan nilai jual yang
tinggi. Sebab, tarik ulur bisnis pers mau tidak mau berujung pada apa
yang namanya pasar. Di sana ada penjual dan pembeli. Ada penawaran dan
permintaan yang secara ketat dirumuskan dalam bahasa hukum ekonomi.
"Sekali membuat kesalahan dalam hal ini, kita merugi secara finansial.
Dua kali, kita kehilangan manusia sumber dari mana uang itu datang,"
demikian Om Tony Kleden saat mendampingi kami dalam latihan penulisan
berita dan feature. Makanya, tanggung jawab besar ada di pundak
mereka-mereka ini. Dan, kita tahu Pos Kupang memiliki orang-orang yang
siap untuk itu.
Proses cetak tahap pertama akan berlangsung kalau proses editing
halaman-halaman tengah (halaman 3, 4, 5 dan 6) sudah selesai. Biasanya
Pukul 22.30 Wita halaman-halaman ini sudah harus dicetak. Pada Pukul 24.
30 Wita proses cetak tahap kedua dilakukan untuk halaman 11, 12, 13 dan
14.
Karena PK memberlakukan sistem cetak Cover both side (dua halaman
berwarna yang biasanya memuat berita-berita terkini) maka proses cetak
tahap terakhir dibuat untuk halaman-halaman tersisa. Biasanya pada Pukul
03.00 Wita proses cetak sudah rampung. Pada saat yang sama proses cetak
berlangsung juga di Ruteng dan Maumere melalui tekhnologi cetak jarak
jauh. Melelahkan memang, namun kerja belum selesai.
Selanjutnya proses distribusi ke Kabupaten-Kabupaten sedaratan Timor
ditangani bagian pemasaran. Sebuah mobil Pick Up melaju ke arah Timur
pada pukul 05.00 Wita memanjakan para pelanggan Pos Kupang. Kini PK
datang untuk mengucapkan "selamat pagi" bagi para pelanggan dan
pengecer-pengecernya sepanjang jalan negara trans Timor. Ini juga
barangkali satu trik untuk "mengambil hati"?
Ketika proses pemasaran untuk Kota Kupang ramai berjalan di ruang
belakang, sidang redaksi pagi sudah mulai. Wakot lalu turun lapangan
untuk meliput berita dan kemabali nanti sore. Kesibukan di bagian
periklanan dan bisnis terus berjalan sampai sore harinya. Dewan redaksi
dan editor bertugas sejak sore sampai subuh.
Kadang-kadang kalau ada acara penting seperti penyambutan tamu, artis,
pejabat Pemerintahan pada siang harinya maka semua kru berkumpul di
redaksi sesuai jadwal pertemuan. Kebetulan saat magang itu ada dua
jadwal kunjungan artis ibu kota ke Kantor redaksi Pos Kupang.
Kami bertemu dengan Frangky Sahilatua dalam perjalanan
mensosialisasikan lagunya "Pancasila Rumah Kita" dan Ucup Kelik,
pelawak yang belakangan tenar melalui acara Republik BBM itu dalam
rangka Launching Pos Kupang Cup. Ini menjadi selingan di tengah
kesibukan siang malam para kru.
Cerita nekat wartawan tembak
Setiap kali turun lapangan saya selalu ditanya-tanya sama wartawan
Timex. Rote Ndao Pos atau wartawan TV yang kebetulan meliput di acara
yang sama. Oleh Kae-kae wartawan kami diperkenalkan seadanya. Mahasiswa
yang sedang magang di Pos Kupang.
Ini keadaan yang sulit. Anda pergi ke tempat acara tanpa tanda pengenal
yang jelas. Biasanya, semua wartawan punya tanda pengenal, sebuah kartu
jurnalis yang digantung di dada, semacam pass masuk yang sering
menguntungkan mereka di tempat-tempat penting. Wartawan bisa lebih
leluasa berkeliaran mengambil gambar untuk kepentingan pemberitaan di
Surat kabarnya.
Pernah, usai Rapat pengukuhan Dewan Riset Daerah (DPD) NTT di ruang
Gubernur NTT pada Sabtu (15/7), saya menemui Rektor Undana, Prof. Ir.
Frans Umbu Datta, salah seorang penggagas berdirinya DPD.
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu sudah saya konsepkan. Di pendopo El
Tari saya mendatanginya, sekedar basa-basi lalu mulai memberondongnya
dengan sejumlah pertanyaan.
Pertanyaan pertama dijawabnya serius. Ia sontak kaget ketika tiba
pertanyaan ketiga, rupanya beliau merasa terjepit karena dikejar-kejar
terus. Ketika saya menanyakan soal kiat-kiat konkret DPD NTT untuk
program enam bulanan ke depan, petinggi Undana itu balik bertanya penuh
keheranan.
"Sabar, kamu dari Koran mana?" Saya baru ingat, kalau sejak tadi saya
belum memperkenalkan diri. Mungkin beliau bertanya, digantung di mana
tanda pengenal wartawan yang satu ini?
Saya perkenalkan diri sebagai mahasiswa semester II STFK Ledalero yang
sedang magang di Pos Kupang. "Proficiat!" katanya sambil menjabat
tanganku erat. Pembicaraan selanjutnya menjadi semakin enak.
Wawancara jurnalistik tidak terbilang sulit. Namun, untuk seorang
"wartawan tembak" macam kita, modal nekat saja tidak cukup. Sebelum
tergugup-gugup di depan nara sumber sebaiknya anda menyiapkan "amunisi"
secukupnya agar arah pembicaraan tidak ngawur. Siapkan
pertanyaan-pertanyaan yang perlu sehubungan dengan tema pembicaraan.
Sigap saat pembicaraan berlangsung dan kritis terhadap persoalan.
Mencatatat kutipan-kutipan bila perlu.
Di redaksi, saat membuat berita saya kewalahan. Data pendukung seperti
apa latar belakang berdirinya Dewan Riset ini, anggota-anggotanya, kapan
gagasan ini muncul dan dari mana pendanaanya. Menurut Umbu Datta,
setiap anggota bertugas membuat penelitian kritis atas
persoalan-persoalan sosial di NTT. Ini butuh dana yang tidak sedikit.
Dari mana mendatangkan dana-dana itu?
Berkat data-data secukupnya dari Methil Dhiu, wartawati PK yang juga
meliput peristiwa pengukuhan itu saya tertolong. Untuk membuat berita,
selain wawancara dengan nara sumber dan tokoh-tokoh kunci, penting untuk
menghimpun data-data pendukungnya. Sambil mengolah angel-nya kita bisa
memperkaya berita-berita kita. Supaya, jangan hanya modal nekat bro!
"Kuda hitam" di atas karang
Sepuluh hari terlalu singkat untuk sebuah kegiatan magang. Namun,
Pengalaman tujuh hari di lapangan plus tiga hari pertama di redaksi
memang sulit terlupakan. Setiap hari usai sidang redaksi pagi yang
berlangsung selama kurang lebih 45 menit kami turun ke lapangan. Ada
beberapa berita yang mesti di-follow up. Ada undangan untuk menghadiri
rapat dan seminar, pengresmian gedung dan lain-lain. Setiap warkot sudah
ditunjuk untuk itu.
Pada Rabu (12/7), bersama Aris Ninu, warkot yang menangani halaman
`Kupang Crime' kami menuju Polda NTT. Lalu Polsekta Kelapa Lima,
Brimobda, RSU WZ Johannes - Kupang, RS Bhayangkari satu demi satu untuk
memburu berita-berita kriminal.
Untuk ukuran NTT, kota Kupang memiliki stok wartawan yang lumayan.
Sebagai sebuah Propinsi dan basis beberapa surat khabar, majalah dan
stasiun TV hal ini memacu para wartawan untuk berbuat yang terbaik bagi
medianya. Siapa cepat dia dapat.
Bebek Astrea yang membawa kami terus melaju di jalan-jalan utama. Bung
Ris, sang joki sering nakal melarikan `kuda hitamnya' itu dan menarik
gas sampai bunyinya cekikan seperti suara anak kambing yang tersesat.
"Hanya begini sa ko?" Satu suara dari boncengan coba mengusik
konsentrasi sang joki. Nihil. Merasa dipanas-panasi, Astrea makin
ngebut.
Kami tiba di halaman parkir RSU WZ Johannes - Kupang 10 menit kemudian
setelah beberapa kali Astrea nekat melambung angkota-angkota yang agak
`kamatek' di jalan raya. Bung Ris masuk ke UGD dan mengambil gambar
seorang pria korban tabrak lari.
Kamera digital merk Siemens itu diberikan kepadaku. Lensa kamera
kuarahkan kepada seorang ibu korban KDRT. Dari sisi kiri kurekam
gambarnya untuk melengkapi keterangan yang telah kami peroleh di
Polsekta Kelapa Lima.
Duduk di atas kursi, Yasinta Fai (30), seorang ibu rumah tangga yang
beralamat di RT 04/RW 09 Kelurahan Manutapen, rela mencabut laporannya
atas peristiwa suami pukul istri beberapa waktu lalu. Mengenakan kaus
merah dipadu jeans biru, ibu tanpa anak ini terus tersenyum ketika
ditemui wartawan. Di dahinya, luka bekas hantaman linggis sang suami,
Yulius Tafuli (32) masih dibalut plester.
Kisah sedih ini berawal ketika korban meminta uang Bantuan Langsung
Tunai pada sang suami untuk membeli beras. Pasalnya, uang bantuan itu
tak pernah diberikan sesen pun kepada korban. Giliran korban meminta
untuk keperluan dapur, Tafuli naik pitam. Merasa ketenangannya
diobok-obok, pelaku yang adalah suami korban sendiri mengangkat linggis
dan mengahantam kepala korban sampai menimbulkan luka robek. Fai mandi
darah. Tafuli malas tahu. Sudah diperlakukan kasar, kini Fai cabut
laporannya dan rela memaafkan suaminya. Inikah rasanya cinta?
Ini berita kesekian yang berhasil kami bawa pulang. Bung Ris kelihatan
agak panas oleh sikap dingin Yasinta Fai. Bung joki memaki-maki di atas
`kuda hitam'nya sepanjang perjalanan pulang. Di redaksi, berita yang
terakhir ini dia kasih judul "Sudah dihantam linggis, istri cabut
laporan".
Tiga berita selesai dalam hitungan 30 menit. Lima tahun berkutat dengan
masalah-masalah kriminal di halaman ini menjadikan bung joki piawai
mengolah berita. "Gaya bertuturnya punya karakter kuat, makanya ia sulit
dipindahkan dari halaman ini," kata Om Dion Putra suatu sore.
Sehabis menyelesaikan dua atau tiga berita kami segera kembali ke rumah
di kawasan pasar Oebobo. Sepuluh hari di Kupang, kami menginap di rumah
keluarga Bapak Lukas Liunome (60) dan Mama Yuli Bana (40), sebuah
keluarga Kristen Protestan yang baik sekali. Sudah seperti orang tua
sendiri. Naef tua orang SoE dan Mama Yuli orang Kefa, tantanya teman
Jilo.
Kehadiran kami cukup meramaikan suasana rumah yang sebelumnya hanya
beranggota tiga orang. Naef tua, Mama dan Melki, anak sematawayangnya
yang sedang berlibur.
Selama di PK ada sederet kegiatan yang kami liput. Rapat teknis Sail
Indonesia (10/7), Pantauan Pendaftaran Siswa baru di sekolah-sekolah
sekota Kupang (11/7) dan mewawancarai beberapa Kepala Sekolah, Buru
berita kriminal (12/7), Semianar dan Lokakarya Kritisi terhadap tindak
Pidana Pornografi dan Pornoaksi dalam KUHP dan Rancangan KUHP (14/7)
bertempat di hotel Sylvia - Kupang. Konfrensi Pers perjalanan dan Uji
Coba Jatropha (jarak pagar) di Aula El Tari (15/7), Pantauan wartawan
kota di titik-titik rawan (16/7). Rapat pengukuhan Dewan Riset Daerah
(DRD) plus wawancara dengan beberapa penggagas DRD (17/7) di aula El
Tari.
Kecuali hari Minggu, rumah ini benar-benar hanya sebagai tempat
penginapan. Kami selalu keluar pagi dan masuk tengah malam untuk tidur.
Dua hari pertama di PK keadaanya lebih parah. Pergi pagi dan pulang dini
hari. Kalau sudah begini kami selalu mengirimkan pesan singkat ke
rumah. Biar orang-orang rumah aman.
Sarapan pagi dan makan malam umumnya di rumah. Mama Yuli selalu setia
menyiapkannya untuk kami seisi rumah. Makan siang biasanya `ditanggung'
teman-teman wartawan atau ya bayar sendiri. Untuk kembali ke rumah butuh
uang jalan. Karena itu kami selalu memilih jalan terbaik, pulang usai
rapat redaksi terakhir kira-kira pukul 20.30 Wita. Jadi, makan siang dan
malam kadang-kadang terlantar.
Saban malam Bapa Lukas, pegawai Kantor kehutanan itu selalu lebih dulu
berjaga dan membukakan pintu kalau kami pulang telat. Pernah, Naef tua
terbangun sampai tiga kali lantaran mendengar bunyi langkah kaki
anak-anak tetangga yang hendak berbelanja di kios sebelah rumah.
Pagi-pagi kami tiba di rumah dan Mama Yuli menceritakannya.
Senin, 17 Juli 2006, kami meninggalkan mereka dengan rasa terima kasih
yang mendalam. Dapur Pos Kupang dan Rumah Bapa Lukas, dua tempat yang
berbeda dan telah mengajarkan kami banyak hal tentang seninya hidup di
kota yang sibuk (Ve Nahak).
Sumbernya di Disini