Potret Buram Pengelolaan Sampah Medis di Kupang

ilustrasi
PENGELOLAAN sampah medis di Kota Kupang menimbulkan kecemasan. Sebagian sampah medis dibuang begitu saja dalam semak-semak di tepi Jalan Jalur 40, Kelurahan Naioni, Kota Kupang.

Terlihat di sana bekas botol infus, botol kemasan obat cair, pembalut luka, popok dan sebagainya. Sampah medis yang idealnya dimusnahkan dengan cara-cara khusus pun masih ditemukan  di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Alak.

Informasi yang diperoleh dari sumber kompeten menguatkan indikasi bahwa sampah medis di kota ini memang belum dikelola secara profesional sesuai ketentuan yang berlaku.

 "Kami sudah masuk dan pantau semua insinerator yang ada di rumah sakit di Kota Kupang dan beberapa kota lain di NTT. Kami temukan tidak ada satupun insinerator yang memenuhi syarat. Perusahaan yang dipakai untuk mengolah sampah pun tak memenuhi syarat. Setelah kami cek, ternyata semuanya tak memiliki izin operasi." Demikian diungkapkan sumber Pos Kupang pekan lalu.

Menurut dia, rumah sakit boleh bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk mengolah sampah medis. Namun, perusahaan itu harus memenuhi syarat pengelolaan sesuai standar yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup.

"Pengoperasian alat di rumah sakit yang ada di Kota Kupang, semua tidak memiliki izin operasional. Izin pengoperasian itu harus keluar dari Kementerian Lingkungan Hidup. Biasanya, kalau tidak punya izin hanya ada dua kemungkinan, yaitu karena tidak mampu urus atau urus tapi izin tidak keluar akibat peralatan yang dimiliki tidak memenuhi syarat," katanya.

Ia mengaku pernah menemukan satu rumah sakit swasta di Kota Kupang yang menaruh sampah medis di kamar VIP.   "Saya pantau ke sana, lalu tanya di mana tempat penyimpanan sementara sampah medis. Setelah saya paksa, mereka buka satu kamar VIP, ternyata di dalam penuh sampah medis. Bau sekali," ujarnya.

Pengelola rumah sakit di Kota Kupang hendaknya tidak menutup mata terhadap fakta semacam ini. Manajemen rumah sakit tentunya paham betul bagaimana seharusnya mengelola sampah medis yang mereka hasilkan saban hari.

 Peraturan perundang-undangan sudah tegas mengatur. Mekanisme hingga petunjuk teknis pengelolaannya sangat jelas sehingga tidak ada alasan untuk mengabaikannya.

Akhirnya kembali pada niat baik manajemen rumah sakit pemerintah maupun  swasta di kota ini. Apakah mereka sungguh-sungguh mengelola sampah medis secara profesional atau menganggap remeh masalah tersebut  dan hanya mengejar keuntungan atau pendapatan semata.

Instansi berwenang seperti Badan Lingkungan Hidup Daerah hendaknya  bertindak tegas terhadap manajemen rumah sakit yang tidak peduli terhadap sampah medis. Perlu memberi sanksi  setimpal sesuai ketentuan manakala rumah sakit terbukti mengelola sampah medis asal-asalan.

Para wakil rakyat pun jangan tinggal diam. Permasalahan sampah ini sangat serius. Demikian pula para kepala daerah, walikota, bupati dan gubernur. Kita menunggu aksi nyata mereka sebagai pemimpin. *

Sumber: Pos Kupang 26 September 2017 hal 4


Orang-orang di Belakang Meja Pos Kupang Itu

Dion DB Putra
Kelompok Menulis di Koran - Ledalero (KMKL) dalam kiat-kiatnya melatih dan mengembangkan potensi menulis para anggotanya merencanakan kegiatan magang dan pelatihan saat liburan semester kedua. Sesuai rencana  magang dilakukan di tiga tempat. 

Kantor Redaksi Pos Kupang (PK), Flores Pos dan Penerbit Nusa Indah. KMK menunjuk dua orang anggotanya untuk masing-masing tempat.

Ve Nahak dan J.Loin menyinggahi dapur Harian Umum Pos Kupang. Berikut rekaman pengalaman Ve Nahak selama 10 hari (dari tanggal 7 s/d 17 Juli 2006) menjadi "wartawan tembak" di Kantor Redaksi Harian terkemuka di NTT itu.


Menepis mitos "dapur" sialan

Sebuah gedung berlantai dua dengan cat putih yang sudah mulai kusam oleh terik matahari kota Kupang. Perbaikan-perbaikan kecil di beberapa sudut kelihatan belum rampung. Gedung itu bekas sebuah ruko (rumah toko) milik seorang Tionghoa.


Konon, karena posisinya yang kurang bagus menurut ramalan Fengshui, pemiliknya melelang gedung yang berdiri di atas tanah kelas satu itu. Pos Kupang mendapat tawaran pertama.

Alih-alih ditawari barang bagus, gayung pun bersambut. Bak mendapat durian runtuh, para senior PK yang kala itu menempati sebuah gedung sederhana langsung mengiyakan tawaran menarik itu.

Belakangan, kesuksesan PK dan prestasinya sebagai Harian Umum Terbaik tahun 2005 paling tidak menepis sementara ramalan dan tafsiran Fengshui  sang pemilik ruko tujuh tahun silam.

Beralamat di jalan Kenari No.1 Naikoten Kupang, dapur redaksi yang mempekerjakan 121 karyawan/watinya ini sudah mampu melayani pelanggan dan mitra-mitranya di seantero wilayah NTT.

Sejak 1 Desember 1992, PK sudah mulai mengibarkan benderanya di bumi Flobamorata. Tak pelak, termasuk Surat Kabar senior di NTT,  PK dikenal hampir di seluruh wilayah NTT. Kebutuhan akan informasi dan kemajuan teknologi informasi baik cetak maupun elektronik selalau memacu PK untuk tidak menjadi Koran yang mubazir di tangan para pembacanya.

Memang, tantangan utama di awal reformasi adalah bagaimana menampilkan citranya sebagai Koran daerah yang konsisten dan berwibawa di tengah maraknya persaingan antara koran-koran lokal yang kala itu tumbuh bak jamur di musim hujan. Di sini, PK benar-benar diuji sebagai "Korannya NTT". Koran yang mewakili suara orang-orang NTT.


Sederetan nama Koran lokal (Kupang) yang tercatat dalam sejarah pers daerah ini: Sasando Pos, Suara Timor, Surya Timor, Radar Timor dan masih banyak yang lainnya.

Di mana rimbanya kini? Kita boleh bertanya-tanya. Satu hal yang patut dicatat, ketahanan untuk berdiri kokoh mesti datang dari komitmen, keringat dan kerja keras. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa orang-orang yang sedang bekerja di belakang meja Pos Kupang itu tidak sedang bermain-main.

"Kesuksesan koran manapun termasuk PK, bukan terutama pada kemampuan menguasai pasar bisnis tetapi bagaimana koran itu dapat mempertanggungjawabkan kepercayaan masyarakat padanya. Sayangnya, ini bukan perkara mudah bagi banyak majalah, surat kabar dan Koran-koran kita. Saya berbicara tentang komitmen dan ketahanan," ungkap Tony Kleden, seorang senior PK.

Seiring dengan kemajuan jaman dan komitmen pelayanan masyarakat, sejak 2003 PK sudah mengembangkan tekhnologi cetak jarak jauh yang berpusat di dua kota daratan Flores masing-masing, Maumere untuk melayani kebutuhan masyrakat Sikka, Flores Timur, Lembata dan Ruteng untuk melayani Manggarai, Ngada dan Mabar.

Beberapa tahun terakhir Pos Kupang bergabung dalam Kelompok Kompas Gramedia (KKG) - Koran daerahnya Kompas dan juga sudah mulai mengembangkan Media elektronik online sejak tahun 1997.

Kisah sukses Harian Umum Pos Kupang tidak lepas dari perjuangan keras para krunya. Tanpa keringat dan kerja keras serta komitmen yang tangguh dari orang-orang di belakang meja ini, Pos Kupang bukan apa-apanya. Mereka datang dari berbagai latar belakang disiplin ilmu tetapi punya satu tekad. Membangun NTT.

Ada "reuni" di ruang sidang

Syukur. Om sopir angkota lampu 5, Torpedo,  yang membawa kami dari Oesapa berbaik hati mengantarkan kami persis di gang masuk. Jumat (7/7/2006), kira-kira pukul enam lewat seperempat kami benar-benar berdiri di depan kantor redaksi Pos Kupang, koran top one di daerah ini.

Di depan pintu ada sebuah pesan singkat yang dicetak hitam, "Tidak menerima permintaan sumbangan". Kalimat ini tak begitu menganggu. Sudah sering dijumpai di mana-mana.

Kantor-kantor, rumah sakit, sekolah-sekolah, biara-biara. Sepertinya, kalimat ini juga ada di pintu ruang tamu Soverdi Ruteng atau di mana lagi. Merasa diri bukan peminta sumbangan kami langsung sarobot tanpa tanggung-tanggung.

Ruang depan kantor ini digunakan sebagai biro iklan dan bisnis merangkap ruang tamu bagi orang-orang yang berkepentingan. Kami diterima Pak Sipri, Satpam yang piket sore itu. Pak Hyron Modo, seorang wartawan senior Pos Kupang muncul dari balik pintu dan menyapa dengan ramah. Kentara sekali dialeg Manggarainya yang memaksa saya dan Jilo satu dua kali main mata dan batuk-batuk kecil. Kami dipersilahkan masuk.

Basa-basi terus berlanjut sambil melewati lorong kecil ke arah belakang. Hanya lima meter di depan kami belok kiri dan menaiki tangga menuju lantai dua. Jam dinding sudah menunjuk pukul 19.00 Wita. Aktivitas di lantai bawah sudah mulai sepi. Kata Pak Hyron,  sebentar lagi pintu depan ditutup.

Derit tarikan pintu lantai dua dan sapaan selamat malam yang spontan kami ucapkan sepertinya mengusik ketenangan para kru di balik meja kerja. Tiap orang kelihatan sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Mengedit teks dan naskah memang membutuhkan konsentrasi lebih.

Jeda sekian detik, mungkin untuk sekedar menekan tuts Ctrl+S (save) pada keyboard komputer. Masing-masing angkat muka penuh tanda tanya. Tanpa basa-basi lebih lama perkenalan pun dimulai. Dari meja ke meja kami disambut dengan jabatan tangan dan senyuman ramah.

Wajah-wajah baru tetapi nama-nama mereka sudah akrab bagi pembaca setia Harian ini. Tony Kleden, Agus Sape, Paul Burin, Hyron Modo, Alfred Dama, Beny Jahang, Damyan Ola, Gerardus Manyela dengan feature-feature-nya yang selalu mengisi halaman-halaman PK. Cukup mudah mengenal mereka. Nama, sudah di luar kepala. Tugas kami tinggal menghafal potongan wajah dan postur tubuh masing-masing orang saja.

Kami sudah jalan dari meja ke meja. Rasanya masih ada yang kurang. Orang yang dicari tidak ada di antara mereka-mereka ini. Siapa lagi kalau bukan Dion DB Putra, Pemimpin Redaksi yang biasa nongol dengan catatan bolanya yang padat, kaya informasi dan selalu bikin penasaran para masgibol.

Tahu kalau kami dari Ledalero, banyak yang bergabung dan numpang tanya tentang dosen-dosen Ledalero sekarang, teman-teman seangkatan, imam-imam yang keluar, yang melanjutkan studi, keadaan kampus Ritapiret. Macam-macam. Selanjutnya suasana menjadi semacam reunian antara para ex seminari. Hangat dan nyambung. Ada signal!

"Inilah cara kami berdoa"

Duduk di atas kursi putar yang agak tinggi. Kerutan di dahi dan tatapan matanya pada layar komputer pertanda lelaki setengah baya berpostur gemuk- pendek itu sedang serius mengerjakan sesuatu.

Sebagai seorang Pemimpin Redaksi, Dion DB Putra  tergolong muda di antara para senior Pos Kupang. Tahun ini umurnya baru genap 37. Usia yang terbilang muda untuk ukuran seorang jurnalis. Sepak terjangnya di dunia kewartawanan tak perlu diragukan lagi.

 "Ia sudah makan asam garam dalam dunia jurnalistik," komentar Agus Sape, seorang senior PK. Barangkali, inilah alasan utama mengapa di usianya yang masih tergolong muda, rekan-rekannya mempercayakan posisi ini kepadanya beberapa tahun lalu utnuk  menggantikan Damyan Godho.
Kami masuk ke ruang kerjanya usai reunia-an yang makan waktu lebih dari 30 menit itu. Ia menyambut kami dengan ramah. Suara tenornya kedengaran khas sekali ketika mulai bicara.


Beliau baru saja kembali dari sebuah acara penting di pusat kota yang dihadiri para petinggi daerah. Bincang-bincang makin hangat ketika kami masuk dalam wilayah "baomong bola" ditemani U Mild yang terus mengepul memenuhi ruangan 4 kali 5 meter itu.

Sebuah ruangan sederhana yang tidak terlalu tertata. Kabel-kabel melintang sana-sini bahkan ada yang dibiarkan tergantung begitu saja pada dinding ruangan.

Sebuah meja kerja dengan satu unit komputer pentium empat ada di sudut kiri. Selebihnya, sebuah sofa panjang dan meja untuk tamu dan rak buku yang agak longgar. Ditemani U Mild, rokok kesukaannya, dari ruang inilah Om Dion, begitu ia akrab disapa mengkoordinasi jalannya kegiatan Harian ini.

"Frater berdua boleh lihat sendiri. Inilah cara kami berdoa," ujarnya tenang. Pernah, ada sekelompok mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Undana membuat penelitian  perihal posisi duduk para wartawan saat mengetik. Dari sinilah barangkali lahir ide tentang sikap doa tadi. "CD (baca: Cara duduk) tu..? CD juga kan sikap berdoa?" Katanya sambil tertawa.

SMS itu.

"Ketika di lapangan anda sudah harus siap. Sekarang berlakulah sebagai seorang wartawan Pos Kupang," pesan Om Marsel Ali di atas sepeda motornya ketika kami menuju El Tari untuk menghadiri rapat koordinasi Sail Indonesia 2006. Setelah mengakrabi situasi dan kesibukan di kantor redaksi selama dua hari pertama kini saat yang ditunggu-tunggu itupun tiba. Turun lapangan.

Pesan singkat Ka'e Charles Beraf di telepon selulerku belum juga kuhapus untuk satu atau dua hari ini. "Gunakan indra-indramu. Pasang telinga, mata dan hidung dan segala kemampuanmu untuk merekam apa yang terjadi." Kubawa pesan ini kemana-mana sambil sesekali kubuka inbox dan membacanya sebagai penyegaran.

Rapat akan segera dimulai. Peserta sidang berarak masuk ke ruang Pak Wagub NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Sebagian besar peserta sidang adalah Kepala Dinas Pariwisata enam Kabupaten yang akan disinggahi peserta lomba layar masing-masing Kupang, Alor, Lembata, Maumere, Ngada dan Manggarai Barat dan pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan even ini. Para wartawan cetak dan elektronik mengambil tempat yang telah disiapkan.

Ketika sidang resmi dibuka para wartawan mulai sibuk mengambil gambar. Saya duduk di salah satu kursi deret belakang dan mulai mencatat apa-apa yang perlu. Pesan Om Marsel dan SMS Ka'e Charles masih segar dalam ingatanku. Jam pertemuan, jumlah pesertanya, agenda-agenda rapatnya, tema dan isi pertemuan, komentar-komentar dan imbauan-imbauan Wagub, evaluasi para peserta sidang dan masih banyak lagi.

Usai sidang Om Marsel mengarahkan motornya kembali ke kantor redaksi. Hari pertama saya berkonsentrasi untuk membuat satu berita tadi. Om Marsel masih melanjutkan tugasnya untuk meliput dua atau tiga peristiwa lagi. Berbekal teori seadanya dari buku-buku jurnalistik yang sempat kubaca, kebiasaan membaca koran atau majalah dan pelatihan jurnalistik di waktu Seminari Menegah dan Novisiat dulu saya coba "panjat pohon kelapa".

Kata pertama, setengah mati apalagi memikirkan judulnya. Di kepalaku tertumpuk begitu banyak ide mirip perangkat keras komputer yang serabutan dan simpang siur oleh kabel-kabel besar kecil. Sambil menikmati kesulitan-kesulitan ini saya mulai berbuat sesuatu.


Mainkan angle-nya bro.

"Mainkan angle-nya bro." pesan ini biasa terdengar pada sore hari kira-kira pukul 15.00 Wita. Ketika hampir seluruh Wartawan Kota (warkot) kembali dari kegiatan meliput berita. Para kru biasanya melontarkan slank ini di antara mereka sebagai guyon ringan.

 Maksudnya, judul dan lead berita mesti punya daya jual yang tinggi. Caranya, dengan mengolah sudut pandang berita sehingga memiliki kharakter yang kuat, khas dan memikat. Wartawan PK sudah tahu mau-maunya. Biasa.

Sebuah kutipan. "Bola mata Juani berkaca-kaca ketika mengintip kemanakannya, Soleka, yang sedang mandi sore itu. Dari balik dinding sumur terbuat dari bebak, ia melihat kain basahan Soleka sering tersibak." Apa judul yang pas untuk kisah ini? Majalah Tempo edisi 2 Januari 2004 memberi judul tulisan ini dengan "Kasmaran maut di Sarang Elang".

Cita rasa sajian berita dan feature Tempo dan Kompas memang luar biasa.  Ketajaman anlisis, padatnya informasi dan kupasan peristiwa yang akurat dan tuntas selalu memanjakan para pencari informasi. Membaca feature-feature kedua terbitan ini kadang kala bak menyelesaikan adegan puncak novel-novel detektif Agatha Christie.

Pada bab terakhir  "Pembunuhan atas Roger Acroyd", salah satu novel detektifnya saya memutuskan untuk berhenti. Kuambil novel itu, kuletakkan di bawah bantal agar "ending" ceritanya bisa menyatu dalam mimpi-mimpiku. Saya membiarkan dua hari berlalu dalam tanda tanya tanpa membolak-balik bantal tempat novel itu kuletakkan.

Malam yang tenang. Lampu belajar di atas meja.  Saya tahu, ujian yang paling berat bagi para pembaca novel adalah kecerobohan untuk melompat ke halaman belakang sebelum waktunya. Saya memberanikan diri. Membaca kata demi kata dan tak mengulangi kecurangan itu.

Kebolehan seorang Agatha Christie ada pada kemampuannya membuat kejutan-kejutan dan menciptakan "bom" di tengah cerita. Ia punya pilihan untuk mengakhiri cerita-ceritanya dengan caranya sendiri dan sering di luar dugaan pembaca. Ia seorang pencerita yang dapat menjadikan pembaca sebagai musuh utamanya. Di sinilah ketegangan itu muncul. Buku-bukunya diburu di mana-mana. Dan, di akhir ronde ia keluar sebagai pemenang dengan angka telak.

Keberhasilan seorang pengarang mungkin ada di sini. Ketika ia dapat "meresahkan"  para pembacanya dengan riak-riak gelombang yang dapat memompa jantung lebih cepat. Saya sedang berbicara tentang sudut pandang (angle) sebuah tulisan. Wartawan yang baik adalah wartawan yang dapat menciptakan angle yang tajam tanpa berusaha membuat sensasi.

Saat pendampingan, Om Tony  Kleden memberi contoh. "Sebagai wartawan PK, anda hadir dalam sebuah acara nikah massal di Gereja Pentekosta Sikumana. Apa kira-kira yang menarik di sana? Khotbah si Pendeta yang panjang lebar itu? Pesan dan kesan pasangan yang menikah? Jumlah pesertanya yang begitu banyak?".

Seorang wartawan harus berani untuk tidak meilih ketiga-tiganya. Apa yang tersembunyi alias "nyeleneh" di acara tahunan itu? Anda berhasil, ketika anda dengan jeli menemukan bahwa di antara 50-an pasangan nikah massal itu ada seorang kakek berusia  74 tahun dan pasangannya yang juga berusia kepala tujuh. Mereka ikut dalam arak-arakan dengan memegang lilin didampingi cucu-cucunya. Di sini, berita anda niscaya mempunyai kharakter, kekuatan dan daya ledak. Lalu anda memberi judul untuk beritamu, "Gita cinta di senja kala".

Berita-berita dan feture-feature dengan kharakter yang kuat dapat kita temukan dalam Tempo dan Kompas. Dari sini kita dapat belajar untuk berbuat sesuatu. Namun ingat, nama besar kedua terbitan ini selalu diikuti dengan usaha dan kerja keras para krunya.

Konon, seorang wartawan Kompas digembleng selama enam bulan untuk berlatih membuat  feature sebelum turun ke lapangan. Apa artinya sepuluh hari magang di Pos Kupang?  Tanpa latihan rutin kita tidak bisa apa-apa bro!

Ketika berita cari wartawan

Tiga berita sehari. Ini kewajiban tiap wartwan kota maupun daerah. Dulu tiga berita sehari memang bukan perkara mudah apalagi pers di jaman Orba sering lebih suka tutup mata atau sepertinya malas tahu dengan banyak kasus. Pers masih serba hati-hati. Salah-salah buat berita wartawan bisa ketemu batunya.

Sekarang suasanya serba lain. Wartawan ada di mana-mana. Media komunikasi seperti Hand phone dan Internet menjadi senjata andalan bagi para wartawan. HP misalnya, dapat membuka akses yang lebih luas dan memudahkan konfirmasi dan Crosscheck peristiwa. Apa yang terjadi di kutub Selatan pada saat yang sama dapat diketahui orang-orang di Utara.

"Ef Er, kalau dulu wartawan cari berita na sekarang tabalek. Berita yang cari wartawan,"  seloroh Aris Ninu, warkot jebolan Fakultas Hukum Undana yang menangani halaman Kupang Crime dan rubrik Tapaleuk itu. Nah, ketika berita sudah menumpuk apa yang anda lakukan? Bersikaplah lebih tenang lalu mulai "mainkan angle-nya bro!"

Pertanyaannya, mengapa hal ini menjadi begitu penting? Informasi dan berita-berita terbaru sering lebih cepat tiba ke ruang dengar pemirsa radio dan televisi. Membahasakan berita-berita yang sama dengan rumusan 5W +1H dalam pola piramida terbalik dapat saja menjenuhkan. Di sini, wartawan sekali lagi dituntut tidak hanya terampil dalam membuat berita, tetapi lebih dari itu, kreativitasnya yang lahir dari intuisi yang tajam.

Sehari sama dengan 25 jam?


 Di Pos Kupang jawabannya iya. Kalau bukan 25 jam sehari jawaban yang lebih pas adalah 24 jam plus. Bekerja di sebuah Harian seperti Pos Kupang memang meminta tenaga ekstra. Itu berarti setiap kru dituntut untuk memberi lebih.

Tidak bisa tidak. Ini sudah menjadi tanggung jawab bersama. Selama kurang lebih sepuluh hari bertamu di kantor Redaksi PK tidak pernah seharipun kami mendapatkan gedung itu ditinggalkan sendirian. Tidak pernah kosong sama sekali.

Pernah sekali, waktu putaran final Piala Dunia masih panas-panasnya. Kami menyempatkan diri bergadang sampai pagi bersama para kru menanti pertandingan semifinal Portugal Vs Jerman. Para editor masih kelihatan melek ditemani kopi dan rokok sampai pertandingan usai. Menonton laga empat tahunan ini barangkali hanya sebagai jeda untuk menimba inspirasi. Biasa.

Praktisnya, sepanjang hari selalu ada yang masuk keluar kantor. Bahkan kalau keadaan menuntut. Ketika ada kejadian di tengah malam yang mesti diliput, setiap wartawan harus bersedia merelakan tidur malamnya yang rata-rata hanya 5 jam itu.

Secara medis tabiat seperti ini sangat memprihatinkan. Namun tugas dan pengabdian selalu menuntut mereka untuk merelakan tenaganya. Satu-satunya kesempatan yang mengijinkan mereka menarik napas lega adalah malam Minggu atau pas tanggal merah.

Edisi hari Minggu biasanya sudah rampung pada hari Sabtu sehingga tinggal menyelesaikan proses cetaknya saja. Selain malam Minggu dan tanggal merah rutinitas di PK terbilang padat.

Saban hari kegiatan di kantor redaksi diwarnai dengan sidang-sidang redaksi yang menjadi simpul proses peliputan dan editing berita. Sidang pagi berlangsung antara Pukul 8.45 Wita - 9.30 Wita dihadiri oleh segenap warkot. Sidang biasanya dipimpin oleh seorang Redaktur Pelaksana (redpel) yang bertugas sesuai jadwal.

Suasana sidang biasanya tidak resmi-resmi amat. Para kru mengelilingi meja sidang sambil membaca terbitan hari itu ditemani segelas kopi panas. Di meja redaksi biasanya tersedia PK, Kompas, Timex (Timor Express) dan Flores Pos terbaru untuk "sarapan" para wartawan sebelum turun lapangan.

Di akhir sidang biasanya dibacakan undangan-undangan rapat, seminar dan lokakarya dari instansi-instansi swasta dan pemerintah. Isu-isu yang menempati headline selalu diikuti perkembangannya. Kejar dan tangkap. Selama seminggu turun lapangan kami nunut pada wartawan-wartawan kota. Masing-masing punya sepeda motor. Paling tidak di sini proses belajar dan interaksi berjalan cukup baik. Dari mereka kami dapat belajar banyak.

Sore hari Pukul 13.00 Wita ruang redaksi kembali ramai oleh suara ribut para wartkot yang pulang dari tugas meliput berita. Pukul 15.00 Wita sidang sore dimulai. Suasana di sekitar meja redaksi terasa berbeda dengan sidang pagi yang biasanya terbilang dingin-dingin saja.


Tiap wartawan kota berjuang mempertahankan beritanya, mempertanggungjawabkannya kepada redpel. Keterangan yang memadai plus kelengkapan konfirmasi secara lisan dari si wartawan dapat menunjang beritanya. Kalau "kalah"  alias keterangan kurang memadai, maka tidak segan-segan berita-berita itu disampahkan sambil menanti konfirmasi lebih lanjut. Di sini, seorang wartawan dituntut profesionalitasnya.

Waktu untuk wartawan kota biasanya sampai dengan Pukul 18.00 Wita. Jam-jam selanjutnya adalah milik Dewan Redaksi, Editor, Designer halaman dan Percetakan yang biasanya bekerja sampai menjelang subuh. Sebelum memulai dengan proses cetak Dewan Redaksi mengadakan sidang Pkl. 20.30 Wita untuk menentukan berita mana yang mesti diturunkan sebagai headline dan berita-berita mana yang layak "dihalamansatukan".

Berita-berita pada ruang ini adalah berita-berita dengan nilai jual yang tinggi. Sebab, tarik ulur bisnis pers mau tidak mau berujung pada apa yang namanya pasar. Di sana ada penjual dan pembeli. Ada penawaran dan permintaan yang secara ketat dirumuskan dalam bahasa hukum ekonomi.

"Sekali membuat kesalahan dalam hal ini, kita merugi secara finansial. Dua kali, kita kehilangan manusia sumber dari mana uang itu datang," demikian Om Tony Kleden saat mendampingi kami dalam latihan penulisan berita dan feature. Makanya, tanggung jawab besar ada di pundak mereka-mereka ini.  Dan, kita tahu Pos Kupang memiliki orang-orang yang siap untuk itu.

 Proses cetak tahap pertama akan berlangsung kalau proses editing halaman-halaman tengah (halaman 3, 4, 5 dan 6) sudah selesai. Biasanya Pukul 22.30 Wita halaman-halaman ini sudah harus dicetak. Pada Pukul 24. 30 Wita proses cetak tahap kedua dilakukan untuk halaman 11, 12, 13 dan 14.

Karena PK memberlakukan sistem cetak Cover both side (dua halaman berwarna yang biasanya memuat berita-berita terkini) maka proses cetak tahap terakhir dibuat untuk halaman-halaman tersisa. Biasanya pada Pukul 03.00 Wita proses cetak sudah rampung. Pada saat yang sama proses cetak berlangsung juga di Ruteng dan Maumere melalui tekhnologi cetak jarak jauh. Melelahkan memang, namun kerja belum selesai.

Selanjutnya proses distribusi ke Kabupaten-Kabupaten sedaratan Timor ditangani bagian pemasaran. Sebuah mobil Pick Up melaju ke arah Timur pada pukul 05.00 Wita memanjakan para pelanggan Pos Kupang. Kini PK datang untuk mengucapkan "selamat pagi" bagi para pelanggan dan pengecer-pengecernya sepanjang jalan negara trans Timor. Ini juga barangkali satu trik untuk "mengambil hati"? 

Ketika proses pemasaran untuk Kota Kupang ramai berjalan di ruang belakang, sidang redaksi pagi sudah mulai. Wakot lalu turun lapangan untuk meliput berita dan kemabali nanti sore. Kesibukan di bagian periklanan dan bisnis terus berjalan sampai sore harinya. Dewan redaksi dan editor bertugas sejak sore sampai subuh.

Kadang-kadang kalau ada acara penting seperti penyambutan tamu, artis, pejabat Pemerintahan pada siang harinya maka semua kru berkumpul di redaksi sesuai jadwal pertemuan. Kebetulan saat magang itu ada dua jadwal kunjungan artis ibu kota ke Kantor redaksi Pos Kupang.

 Kami bertemu dengan Frangky Sahilatua dalam perjalanan mensosialisasikan lagunya "Pancasila Rumah Kita"  dan Ucup Kelik, pelawak yang belakangan tenar melalui acara Republik BBM itu dalam rangka Launching Pos Kupang Cup. Ini menjadi selingan di tengah kesibukan siang malam para kru.

Cerita nekat wartawan tembak


Setiap kali turun lapangan saya selalu ditanya-tanya sama wartawan Timex. Rote Ndao Pos atau wartawan TV yang kebetulan meliput di acara yang sama.  Oleh Kae-kae wartawan kami diperkenalkan seadanya. Mahasiswa yang sedang magang di Pos Kupang.

Ini keadaan yang sulit. Anda pergi ke tempat acara tanpa tanda pengenal yang jelas. Biasanya, semua wartawan  punya tanda pengenal, sebuah kartu jurnalis yang digantung di dada, semacam pass masuk yang sering menguntungkan mereka di tempat-tempat penting. Wartawan bisa lebih leluasa berkeliaran mengambil gambar untuk kepentingan pemberitaan di Surat kabarnya.

Pernah, usai Rapat pengukuhan Dewan Riset Daerah (DPD) NTT di ruang Gubernur NTT pada Sabtu (15/7), saya menemui Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, salah seorang penggagas berdirinya DPD. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu sudah saya konsepkan. Di pendopo El Tari saya mendatanginya, sekedar basa-basi lalu mulai memberondongnya dengan sejumlah pertanyaan.

Pertanyaan pertama dijawabnya serius. Ia sontak kaget ketika tiba pertanyaan ketiga, rupanya beliau merasa terjepit karena dikejar-kejar  terus. Ketika saya menanyakan soal kiat-kiat konkret DPD NTT untuk program enam bulanan ke depan, petinggi Undana itu balik bertanya penuh keheranan.

 "Sabar, kamu dari Koran mana?"  Saya baru ingat, kalau sejak tadi saya belum memperkenalkan diri. Mungkin beliau bertanya, digantung di mana tanda pengenal wartawan yang satu ini?

Saya perkenalkan diri sebagai mahasiswa semester II STFK Ledalero yang sedang magang di Pos Kupang. "Proficiat!" katanya sambil menjabat tanganku erat. Pembicaraan selanjutnya menjadi semakin enak.

Wawancara  jurnalistik tidak terbilang sulit. Namun, untuk seorang "wartawan tembak" macam kita, modal nekat saja tidak cukup. Sebelum tergugup-gugup di depan nara sumber sebaiknya anda menyiapkan "amunisi" secukupnya agar arah pembicaraan tidak ngawur. Siapkan pertanyaan-pertanyaan yang perlu sehubungan dengan tema pembicaraan. Sigap saat pembicaraan berlangsung dan kritis terhadap persoalan. Mencatatat kutipan-kutipan bila perlu.

Di redaksi, saat membuat berita saya kewalahan. Data pendukung seperti apa latar belakang berdirinya Dewan Riset ini, anggota-anggotanya, kapan gagasan ini muncul dan dari mana pendanaanya. Menurut Umbu Datta, setiap anggota bertugas membuat penelitian kritis atas persoalan-persoalan sosial di NTT. Ini butuh dana yang tidak sedikit. Dari mana mendatangkan dana-dana itu?

Berkat data-data secukupnya dari Methil Dhiu, wartawati PK yang juga meliput peristiwa pengukuhan itu saya tertolong. Untuk membuat berita, selain wawancara dengan nara sumber dan tokoh-tokoh kunci, penting untuk menghimpun data-data pendukungnya. Sambil mengolah angel-nya kita bisa memperkaya berita-berita kita.  Supaya, jangan hanya modal nekat bro!
     
"Kuda hitam" di atas karang

Sepuluh hari terlalu singkat untuk sebuah kegiatan magang. Namun, Pengalaman tujuh hari di lapangan plus tiga hari pertama di redaksi memang sulit terlupakan. Setiap hari usai sidang redaksi pagi yang berlangsung selama kurang lebih 45 menit kami turun ke lapangan. Ada beberapa berita yang mesti di-follow up. Ada undangan untuk menghadiri rapat dan seminar, pengresmian gedung dan lain-lain. Setiap warkot sudah ditunjuk untuk itu.

Pada Rabu (12/7), bersama Aris Ninu, warkot yang menangani halaman `Kupang Crime' kami menuju Polda NTT. Lalu Polsekta Kelapa Lima, Brimobda, RSU WZ Johannes - Kupang, RS Bhayangkari satu demi satu untuk memburu berita-berita kriminal.

Untuk ukuran NTT, kota Kupang memiliki stok wartawan yang lumayan. Sebagai sebuah Propinsi dan basis beberapa surat khabar, majalah dan stasiun TV hal ini memacu para wartawan untuk berbuat yang terbaik bagi medianya. Siapa cepat dia dapat.

Bebek Astrea yang membawa kami terus melaju di jalan-jalan utama. Bung Ris, sang  joki sering nakal melarikan `kuda hitamnya' itu dan menarik gas sampai bunyinya cekikan seperti suara anak kambing yang tersesat. "Hanya begini sa ko?" Satu suara dari boncengan coba mengusik konsentrasi sang joki. Nihil. Merasa dipanas-panasi, Astrea makin ngebut.

Kami tiba di halaman parkir RSU WZ Johannes - Kupang 10 menit kemudian setelah beberapa kali Astrea nekat melambung angkota-angkota yang agak `kamatek' di jalan raya. Bung Ris masuk ke UGD dan mengambil gambar seorang pria korban tabrak lari.

Kamera digital merk Siemens itu diberikan kepadaku. Lensa kamera kuarahkan kepada seorang ibu korban KDRT. Dari sisi kiri kurekam gambarnya untuk melengkapi keterangan yang telah kami peroleh di Polsekta Kelapa Lima.

Duduk di atas kursi, Yasinta Fai (30), seorang ibu rumah tangga yang beralamat di RT 04/RW 09 Kelurahan Manutapen, rela mencabut laporannya atas peristiwa suami pukul istri beberapa waktu lalu. Mengenakan kaus merah dipadu jeans biru, ibu tanpa anak ini terus tersenyum ketika ditemui wartawan. Di dahinya, luka bekas hantaman linggis sang suami, Yulius Tafuli (32) masih dibalut plester.

Kisah sedih ini berawal ketika korban meminta uang Bantuan Langsung Tunai pada sang suami untuk membeli beras. Pasalnya, uang bantuan itu tak pernah diberikan sesen pun kepada korban. Giliran korban meminta untuk keperluan dapur, Tafuli naik pitam. Merasa ketenangannya diobok-obok, pelaku yang adalah suami korban sendiri mengangkat linggis dan mengahantam kepala korban sampai menimbulkan luka robek. Fai mandi darah. Tafuli malas tahu. Sudah diperlakukan kasar, kini Fai cabut laporannya dan rela memaafkan suaminya. Inikah rasanya cinta?

Ini berita kesekian yang berhasil kami bawa pulang. Bung Ris kelihatan agak panas oleh sikap dingin Yasinta Fai. Bung joki memaki-maki di atas `kuda hitam'nya sepanjang perjalanan pulang. Di redaksi, berita yang terakhir ini dia kasih judul "Sudah dihantam linggis, istri cabut laporan".

Tiga berita selesai dalam hitungan 30 menit. Lima tahun berkutat dengan masalah-masalah kriminal di halaman ini menjadikan bung joki piawai mengolah berita. "Gaya bertuturnya punya karakter kuat, makanya ia sulit dipindahkan dari halaman ini," kata Om Dion Putra suatu sore.

Sehabis menyelesaikan dua atau tiga berita kami segera kembali ke rumah di kawasan pasar Oebobo. Sepuluh hari di Kupang, kami menginap di rumah keluarga Bapak Lukas Liunome (60) dan Mama Yuli Bana (40), sebuah keluarga Kristen Protestan yang baik sekali. Sudah seperti orang tua sendiri. Naef tua orang SoE dan Mama Yuli orang Kefa, tantanya teman Jilo.

Kehadiran kami cukup meramaikan suasana rumah yang sebelumnya hanya beranggota tiga orang. Naef tua, Mama dan Melki, anak sematawayangnya yang sedang berlibur.

Selama di PK ada sederet kegiatan yang kami liput. Rapat teknis Sail Indonesia (10/7), Pantauan Pendaftaran Siswa baru di sekolah-sekolah sekota Kupang (11/7) dan mewawancarai beberapa Kepala Sekolah, Buru berita kriminal (12/7), Semianar dan Lokakarya Kritisi terhadap tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi dalam KUHP dan Rancangan KUHP (14/7) bertempat di hotel Sylvia - Kupang. Konfrensi Pers perjalanan dan Uji Coba Jatropha (jarak pagar) di Aula El Tari (15/7), Pantauan wartawan kota di titik-titik rawan (16/7). Rapat pengukuhan Dewan Riset Daerah (DRD) plus wawancara dengan beberapa penggagas DRD (17/7) di aula El Tari.

 Kecuali hari Minggu, rumah ini benar-benar hanya sebagai tempat penginapan. Kami selalu keluar pagi dan masuk tengah malam untuk tidur. Dua hari pertama di PK keadaanya lebih parah. Pergi pagi dan pulang dini hari. Kalau sudah begini kami selalu mengirimkan pesan singkat ke rumah. Biar orang-orang rumah aman.

Sarapan pagi dan makan malam umumnya di rumah. Mama Yuli selalu setia menyiapkannya untuk kami seisi rumah. Makan siang biasanya `ditanggung' teman-teman wartawan atau ya bayar sendiri. Untuk kembali ke rumah butuh uang jalan. Karena itu kami selalu memilih jalan terbaik, pulang usai  rapat redaksi terakhir kira-kira pukul 20.30 Wita. Jadi, makan siang dan malam kadang-kadang terlantar.

Saban malam Bapa Lukas, pegawai Kantor  kehutanan itu selalu lebih dulu berjaga dan membukakan pintu kalau kami pulang telat. Pernah, Naef tua terbangun sampai tiga kali lantaran mendengar bunyi langkah kaki  anak-anak tetangga yang hendak berbelanja di kios sebelah rumah. Pagi-pagi kami tiba di rumah dan Mama Yuli menceritakannya.

Senin, 17 Juli 2006, kami meninggalkan mereka dengan rasa terima kasih yang mendalam. Dapur Pos Kupang dan Rumah Bapa Lukas, dua tempat yang berbeda dan telah mengajarkan kami banyak hal tentang seninya hidup di kota yang sibuk (Ve Nahak).

Sumbernya di Disini

Ketika Kupang Minim Trek Joging

ilustrasi
KOTA Kupang kekurangan fasilitas trek joging. Ungkapan itu lugas disuarakan sejumlah warga ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini kepada Pos Kupang pekan lalu.

Minimnya fasilitas joging trek memaksa sebagian warga Kota Kupang yang hobi olahraga ringan  memanfaatkan jalan-jalan umum atau halaman kantor. Misalnya  Jalan El Tari Kupang, halaman Kantor Kejaksaan Tinggi Kupang dan halaman kantor DPRD Provinsi  NTT.

Lokasi baru yang saat ini banyak diminati masyarakat untuk joging adalah jalan menuju Bandara El Tari Kupang, Jalan Adi Sucipto Penfui. Satu-satunya lokasi yang aman untuk joging adalah Taman Nostalgia. Namun, masih ada keluhan karena lokasi ini juga dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi,  kegiatan formal dan tempat jual jajanan ringan.

Pantauan di beberapa titik seperti Jalan El Tari Kupang, Jalan Adi Sucipto halaman kantor DPRD Provinsi NTT banyak sekali warga yang joging pada sore hari mulai pukul 15.00 hingga pukul 18.00 Wita. Kecuali di Jalan El Tari biasanya ramai pada pagi hari sekira pukul 05.00  hingga pukul 06.00 Wita. 

Di Jalan El Tari Kupang, kebanyakan mereka yang joging pagi hari adalah orang tua. Di Kantor DPRD Provinsi NTT yang melakukan joging adalah orang tua dan profesional muda.

Sementara di Bandara El Tari terdiri dari berbagai profesi dan kebanyakan  mahasiswa dan pelajar SMA baik dilakukan bersama komunitas, berdua saja maupun bersama keluarga.

Joging menjadi pilihan warga karena merupakan jenis olahraga ringan dan menyenangkan. Hanya butuh waktu 30 sampai 40 menit untuk mengeluarkan keringat.  Joging pun dapat berlangsung dalam suasana santai dan menyenangkan. Dan, lebih menyenangkan apabila  melakukan joging bersama  teman-teman atau anggota komunitas.

Kiranya kekurangan arena joging atau trek joging menjadi perhatian Walikota dan Wakil Walikota Kupang, Jefri Riwu Kore dan Herman Man  yang baru dilantik 22 Agustus 2017 lalu. Kebutuhan fasilitas ini masuk dalam delapan agenda program prioritas walikota dan wakil walikota, khususnya agenda ketiga yaitu mewujudkan kesehatan warga Kota Kupang (Kupang Sehat).

Lebih dari itu sebuah kota yang manusiawi adalah kota yang mampu menyiapkan fasilitas publik bagi warganya agar mereka dapat beraktivitas dengan leluasa dan nyaman  termasuk berolahraga.

Trek joging masih mungkin dibangun pemerintah di berbagai kawasan dalam  Kota Kupang. Kita memiliki lahan yang cukup memadai untuk kepentingan itu. Tinggal pemerintah mau atau tidak untuk menyiapkannya.

Untuk kota dengan penduduk hampir 500 ribu jiwa sungguh tidak pada tempatnya membanggakan trek joging yang "cuma satu-satunya" di Taman Nostalgia Kupang. *

Sumber: Pos Kupang 12 September 2017 hal 4

Demokratisasi a la Valens Goa Doy

Valens G Doy
Oleh: Steve H Prabowo

Pengantar:

Victorawan "Itong" Sophiaan tiba-tiba menelepon saya. "Gua bosen tiap tahun Oom dikenang gitu-gitu aja. Oom kaya ginilah, Oom kaya gitulah. Kaga ada yang betul-betul gambarin Oom secara utuh, kecuali dia pekerja keras, dedikasi tinggi pada profesi, dan sebagainya dan sebagainya. Padahal, dia punya pemikiran, ide, visi, tentang Indonesia," kata Itong.

Betul juga. Valens Doy, yang dipanggil "Oom" itu lalu sekadar figur nostalgik. Sama seperti lagu-lagu oldies yang ditayangkan dalam Tembang Kenangan. Haul Valens Doy, setiap 3 Mei, cuma jadi ajang orang-orang tua berkumpul dan berbagi kenangan. Lalu bercerita tentang Si Oom pada adik-adiknya yang -kata Itong -tak bakal dapat apa-apa dari cerita nostalgia itu.

Ide Itong untuk bikin buku tentang Oom Valens Goa Doy patut dipikirkan. Buku tentang visi Si Oom tentang Indonesia yang -lagi-lagi mengutip ucapan Itong -sedang sekarat. Nah, dalam rangka itu saya coba berbagi pengalaman, yang mudah-mudahan bisa menggambarkan sebagian sangat kecil dari begitu luas visi Si Oom tentang tugas media bagi hidup berkebangsaan.


***

"Mana komentar dari DPR?" tanya Valens Goa Doy lewat telepon, di suatu waktu tahun 1990.

"Belum ada, Oom," jawab saya.

"Ah, kalian ini. Semua versi pemerintah," keluhnya.

Komentar dari DPR, sejelek apapun kualitas omongan mereka, bagi Valens Doy penting. DPR, bagaimana pun adalah representasi rakyat (meski semu). Di tahun-tahun awal 1990-an, ketika Pak Harto sedang kuat-kuatnya, menurut pandangan dia, suara DPR sangat penting sebagai ejawantah dari demokrasi.

Oleh karena itu, ia minta selalu ada tanggapan anggota Dewan untuk setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Meski pada kenyataannya, saat itu banyak yang membebek pernyataan pemerintah.

Tentu, jangan dibandingkan dengan saat ini. DPR kini sudah jauh lebih kuat. Bahkan sangat kuat, dan cenderung arogan. Saat itu, DPR begitu inferior berhadapan dengan Pak Harto di puncak kekuasaannya.

Demokrasi memang jadi concern Valens Doy. Terutama saat itu, ketika posisi Pusat begitu kuat. Itu juga mungkin alasan dia menjadikan Harian Surya sebagai corong bagi Indonesia Timur. Surabaya, yang nota bene berada di Pulau Jawa, cocok untuk basis suara daerah Indonesia Timur. Kota terbesar kedua di Indonesia, dan tidak terlalu jauh dari Jakarta, sehingga diharapkan suara wilayah timur Indonesia bisa lebih lantang daripada kalau diteriakkan dari daerah.

Alasan itu pula yang membuat koran-koran yang digagas Valens Doy waktu itu selalu memberikan rubrik khusus bagi man on the street untuk bicara. Rubrik itu ada di Halaman Opini Surya, dengan nama Mimbar Demokrasi. Juga ada di Sriwijaya Pos, lupa nama rubriknya. Di Pos Kupang, awal-awal saya ada di sana juga sempat ada space khusus untuk man on the street itu.

Meski kecil, rubrik yang mewawancari rakyat jelata -bisa tukang becak, pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga -lengkap dengan foto wajah mereka, sangat diperhatikan. Saya yang ketika di Surabaya menjadi anak buah Bang Manuel Kaisiepo -mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia -di Desk Opini Surya, bertanggung jawab atas Mimbar Demokrasi ini. Tidak ada alasan, wajah 5 orang rakyat itu harus terpampang setiap hari.

Seringkali, teman-teman reporter yang dimintai bantuan (bergiliran tiap-tiap desk setiap hari) lalai membawa naskah dan foto untuk Mimbar Demokrasi. Saya bisa paham, memaklumi bahwa "berita" itu sepele, remeh temeh. Kalau sudah begitu, biasanya sudah di atas pukul 17.00 sementara deadline pukul 17.00 juga, saya kalang kabut. Mewawancarai sendiri siapa pun di sekitar kantor.

Si Oom sempat mengeluhkan, atau tepatnya memarahi saya, karena kualitas Mimbar Demokrasi makin buruk. Cenderung seadanya. Asal ada. "Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau menulis pendapat mereka?" katanya. Saya, seperti biasa hanya bisa menjawab: "Ya, Oom ..." sambil menunduk. Tak berani melihat matanya.

Rubrik Mimbar Demokrasi memang sepele, bukan berita hot. Tapi buat dia, tak ada rubrik yang sepele. Semua harus digarap serius. Itu pendapat saya waktu itu. Tapi belakangan, lama setelah ia meninggal, saya baru paham: Suara rakyat yang riil itu adalah ucapan yang keluar dari mulut mereka sendiri. Bukan oleh wakil mereka di Dewan. Itu alasan mengapa ia minta Mimbar Demokrasi digarap betul-betul.

Apa yang dilakukan Valens Doy waktu itu, mungkin bisa disamakan dengan apa yang disebut sebagai media "interaktif". Jauh sebelum ada telepon seluler dan internet seperti sekarang, Si Oom sudah berpikir bagaimana interaksi aktif pembaca melalui koran. Sekarang sudah banyak koran yang memberikan space untuk interaksi ini, antara lain melalui SMS. Si Oom sudah melakukannya, dengan cara sederhana: Mewawancarai dan memajang foto mereka.

Salah kalau saya waktu itu berpikir, rubrik ini sekadar supaya orang-orang biasa ini bangga fotonya masuk koran, kemudian membeli koran. Pemikiran praktis dari sudut pandang pemasaran sederhana. Valens Doy berpikir lebih sekadar pemasaran -yang memang mungkin tak efektif, karena rakyat biasa itu belum tentu menjadikan koran sebagai kebutuhan. Ada visi yang lebih tinggi: Rakyat biasa harus punya suara.


***



Baru-baru ini, teringat hari meninggalnya Valens Doy sudah dekat, saya coba baca lagi tulisan Mas Uki M Kurdi tentang dia. Mas Uki, mantan Desk Sunting Olahraga dengan redakturnya Bang Yesayas Oktavianus, bercerita tentang bagaimana Si Oom minta dicarikan seorang mantan pemain bola lokal yang punya nama dan integritas untuk menulis kolom sepak bola. Akhirnya, lewat diskusi dengan reporter olahraga (diskusi redaktur, penyunting, dan reporter seperti itu kini sudah jarang ditemui di surat kabar), ketemulah nama Rusdy Bahalwan.

Hal serupa juga terjadi di Desk Opini yang diasuh Bang Man (panggilan Manuel Kaisiepo). Ia selalu berpesan, dan pesan itu selalu diulang-ulang Bang Man, untuk memberi ruang bagi cendekia lokal. "Kita harus memunculkan orang daerah," katanya seringkali.

Ketika sebagai reporter politik pun, Si Oom menghendaki ada wawancara dengan cendekia Unair. Terutama yang muda-muda. Saya lihat hal itu juga dilakukan di Desk Ekonomi Bisnis. Orang daerah tidak boleh ketinggalan.

Saya pikir itu adalah salah satu upaya demokratisasi a la Valens Doy. Media menjadi saluran suara daerah, dan kalau bisa menjadi alat memunculkan tokoh-tokoh dari daerah.

***
Suatu malam, di Gedung Teja Buana, markas Majalah Prospektif, kami -saya, Yusran Hakim, Sri Unggul Azul, dan beberapa teman lain -berbicara dengan Si Oom di meja Yusran. Dia berucap soal pemihakan terhadap pengusaha. Untuk diketahui, Majalah Prospektif adalah majalah ekonomi.

"Pemerintah punya power untuk memaksakan kebijakan. Pengusaha tidak. Lewat media seperti kitalah mereka (pengusaha) bisa menyuarakan pendapat," katanya kurang lebih.

Serius sekali dia bicara begitu. Mungkin agak naif, karena pengusaha sebenarnya punya lobi sangat kuat terhadap pemerintah. Mereka bisa mempengaruhi, bahkan membeli, kebijakan pemerintah. Tapi saya coba berpikir positif. Ucapan itu lebih bersemangatkan keberpihakan terhadap yang tak punya power.

Pengusaha, khususnya dari etnis Tionghoa, saat itu memang bisa dipandang sebagai kelompok minoritas. Meski para konglomerat itu punya lobi kuat, terutama kroni-kroni Pak Harto, secara umum mereka lemah. Sering menjadi sapi perah penguasa. Mungkin istilah "sapi perah" tidak begitu tepat, karena bagaimana pun hubungan antara keduanya merupakan hubungan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Tapi di lain pihak, mereka juga sering dimanfaatkan penguasa, termasuk dijadikan kambing hitam atau pun pengalih isu. Dan, harus diakui mereka juga korban stigmatisasi negatif yang dipertahankan penguasa.



***



Rasanya, jika diingat-ingat, masih banyak cerita tentang Si Oom dari sisi lain itu. Termasuk bagaimana dia berkeinginan kuat membantu Bung Salvador mendirikan koran di Dili, Timor Leste. Saya yang ikut membidani Suara Timor Timur, banyak mendapat pelajaran dari Si Oom tentang hak-hak warga Timor yang tertindas saat itu.

Juga mengapa ia begitu bernafsu mendirikan Pos Kupang, belakangan Flores Pos di Ende. Terlalu panjang jika saya bercerita kali ini. Apalagi sekarang waktunya deadline koran saya. Dan, mungkin yang lebih tepat bercerita adalah Oom Damyan Godho, Pater Henri Daros SVD, dan juga mungkin Bung Salvador.

Saat ini saya hanya ingin mengenang dia, guru dan pembimbing saya: Si Oom bagi anak-anaknya.

 Palangka Raya, 2 Mei 2012


Sumber: Akun FB Steve H Prabowo

Kutipan Sepakbola dari Dion DB Putra dan Sindhunata (1)

Ada apa dengan bola, mengapa dia menghipnotis dunia? Menghibur dan atau membuat orang menangis dalam waktu bersamaan, cuma beda tempat, warna kulit serta asal-usul. Percayalah bahwa tidak ada jawaban yang benar-benar tepat sampai hari ini (Dion DB Putra, Bola itu Telanjang, 2010)

Orang suka bola karena dia telanjang. Toh kenyataannya benda kecil seberat 16 ons itu memang tidak pakai apa-apa. Tak pakai baju, tanpa celana. Dia telanjang bulat (Dion DB Putra, Bola itu Telanjang, 2010)

Karena telanjang, bola menyentuh sesuatu yang sangat mahal di bumi hunian kita yaitu spontanitas,  kejujuran, tanpa basa-basi (Dion DB Putra, Bola itu Telanjang 2010)


Karena bola tak pakai apa-apa, percayalah bahwa kita semua akan terus memburu dan menunggunya. Hari ini, besok dan lusa (Dion DB Putra, Bola itu Telanjang, 2010)

Menonton sepakbola ibarat menonton orang-orang lapar akan pengakuan sebagai sang juara (Dion DB Putra, Bola itu Telanjang, 2010)

Bisa disebut sepakbola telah menjadi simbol kehidupan kreatif dan daya hidup. Sepakbola adalah kehidupan itu sendiri (Yosni Herin, dalam Bola itu Telanjang karya Dion DB Putra, 2010)

Sejarah bola sudah membuktikan bahwa tim Jerman kendali berintikan pemain biasa-biasa saja selalu bermental juara, disiplin tinggi, kerja keras dan solid (Dion DB Putra, Bola itu Telanjang, 2010)

Romantisme bola itu dalam sejarah Piala Dunia cukup sering menghantar Brasil ke lembah duka. Setiap penampilan Brasil pasti menghibur, namun tidak selalu berakhir dengan kemenangan (Dion DB Putra, Bola itu Telanjang, 2010)

Sepakbola akhirnya menyisakan sebuah misteri yang tak mungkin dipahami. Mungkin itulah sebabnya sepakbola mendekati sebentuk religiositas, yang oleh sebagian orang dikritik sebagai menggantikan dan mengkhianati keagamaan (Sindhunata, Air Mata Bola, 2002).

Kenangan Marilonga...


Stadion Marilonga Ende 2017
Catatan Sepakbola Dion DB Putra

L' Histoire se Repete, kata orang Prancis. Sejarah hampir 18 tahun lalu di lapangan Stadion Marilonga terulang. Kesebelasan PSN Ngada berjumpa tuan rumah Perse Ende di grandfinal kejuaraan sepakbola El Tari Memorial Cup. Era berbeda, generasi pemain tak lagi sama namun atmosfer rivalitas dua tim bertetangga tak berubah jua.

Duel PSN Ngada versus Perse Ende di Stadion Marilonga pada hari Selasa 7 Desember 1999, sungguh meremas jantung para penonton sejak Wasit Umar Wongso melakukan kick off. Lima gol tercipta dalam laga 2x25 menit. Final paling mendebarkan. PSN yang begitu perkasa kala itu harus mengakui keunggulan tim underdog Perse dalam kemasan skor super tipis 2-3. Perse yang dalam daftar pertemuan melawan PSN lebih banyak tiarap,. mengangkat tropi juara turnamen sepakbola paling bergengsi di bumi Flobamora.


Namun, predikat jago kandang pun langsung melekat pada tim Laskar Kelimutu karena tahun-tahun sesudahnya, setelah kisah indah Marilonga 1999, prestasi Perse tak lagi menjulang.

Perse tetaplah tim medioker di buana bola Nusa Tenggara Timur. Kurang lebih mirip dengan kiprah saudaranya Persami Maumere yang dua tahun lalu hebat amat di Gelora Samador. Mereka "horrro" (baca: taklukkan) semua lawan mainnya. Eh, di Marilonga 2017 pulang begitu lekas dengan rekor tanpa kemenangan. Bola memang telanjang, teman. Kalau ente kurang siap bertanding ya siap terima apa adanya.

Urusan rekor beda amat dengan PSN Ngada yang prestasinya konsisten. Tahun lalu anak-anak dari kaki Gunung Inerie nyaris menjuarai Liga Nusantara di Pulau Jawa. Mereka hanya kurang beruntung melawan Perseden Denpasar di final. PSN Oba Bha'i itu nyata dan mereka pemilik tunggal legenda sepakbola NTT. Tentu ini subyektivitas beta tanpa melupakan nama besar seperti PS Kota Kupang, Perseftim dan tim lainnya.

PSN Ngada merupakan tim dengan penampilan nyaris sempurna sejak babak penyisihan grup El Tari Memorial Cup 2017. Perse Ende juga sama baiknya namun grafik Perse cenderung biasa saja sejak babak perempatfinal dan semifinal.

Ketika mengalahkan Persab Belu 4-0 di babak semifinal, Selasa (8/8/2017) malam, PSN Ngada bermain begitu lugas, taktis dan mematikan. Yoris Nono, Ota Pone, Leonardus Ruu dkk mengepung Persab hampir sepanjang laga 2x45 menit.
Tim bintang masa depan dari perbatasan RI-Timor Leste kedodoran untuk mengembangkan permainan karena terus ditekan dari segala penjuru. Lapangan tengah praktis dikuasai pemain PSN Ngada sepenuhnya.

Bila tim asuhan Pelatih Kletus Gabhe dapat mempertahankan irama serupa, kemenangan atas Perse Ende bukanlah mustahil. PSN punya segalanya untuk meraih gelar terbaik malam ini.

Dalam final 18 tahun lalu, PSN Ngada terperangkap dalam karakter khasnya sebagai tim yang panas terlambat. Eman Watu, Renny Pati, Marsel Woto, Johni Dopo dkk saat itu ketinggalan dua gol terlebih dahulu di babak pertama. Perse unggul melalui gol cepat Yosef Bebo pada menit ke-9, hasil tembakan bola mati dari luar kotak 16 meter.
Kiper Imu Kadu lagi-lagi dipaksa memungut bola dari gawangnya hasil tembakan striker Perse Lody Mitan pada menit ke-29.

Justru dalam posisi tertinggal 0-2 PSN Ngada tampil beringas. Babak kedua sepenuhnya milik PSN. Gol Ronda Rato pada menit ke-65 memperkecil ketinggalan menjadi 1-2. Sayang setelah gol itu PSN agak kendor sehingga kecolongan lagi menit ke-80 hasil serangan balik Perse dan melonggarnya pengawalan terhadap Alit Santika.
Gol Johni Dopo hasil tembakan langsung dari sepak pojok untuk mengubah skor 2-3 pantas disebut sebagai datang terlambat karena sisa pertandingan tinggal enam menit.

Pada saat itu sesungguhnya nafas tim Perse nyaris habis dan para pendukungnya mulai resah dan gemas, takut juara bertahan bisa menyamakan kedudukan hingga memaksa laga pada tambahan waktu. Pada detik-detik akhir, bola liar dihalau begitu saja oleh Muhamad Adha, Rahman Toro dan Yosef Bebo sebelum memasuki kotak penalti. Perse parkir bus di lini pertahanan hingga mempertahankan skor 3-2 untuk mengangkat trofi El Tari Memorial Cup 1999.

Bagaimana laga final kali ini? Zaman berbeda, generasi pun sudah tak sama. PSN Ngada 2017 adalah panggungnya bintang baru bernama Octavianus W Pone, Yohanes K Nono, David Pea Demu, Cornelis Daga dkk. Juga di kubu Perse Ende telah lahir bintang millenial sebut misalnya Faris, Ajuar, Rizky, Adi, Alvian Cs. Mereka pun sudah bertanding malam hari di stadion yang lebih apik. Beda jauh dibandingkan 18 tahun lalu saat lapangan Marilonga gundul tanpa rumput menghijau.

Jelang final tahun ini Perse Ende lebih beruntung dalam banyak hal. Tim asuhan Pelatih Nyongki Kastowo itu bermain di kandang sendiri, didukung penuh penonton fanatik yang suka mendendangkan yel-yel roreee! (baca: potong). Diksi yang bikin saya galau karena menebarkan kekerasan verbal. Semoga tak menular menjadi kekerasan fisik yang dapat menodai nama baik Ende sendiri sebagai tuan rumah.

Pemain Perse pun lebih bugar karena mendapat masa istirahat lebih dari 24 jam sebelum final. Sebaliknya PSN Ngada kurang tidur. Berharap Pelatih PSN Ngada, Kletus Gabhe bisa memotivasi anak asuhnya agar bermain efektif selama 2x45 menit.

Setelah bermain di semifinal, Selasa malam, mereka langsung menuju laga puncak pada Rabu (9/8/2017) malam. Jadwal babak semifinal dan final yang demikian mepet kiranya menjadi perhatian serius pengurus PSSI NTT agar tidak terulang di kemudian hari. Kejuaraan sepakbola bergengsi sekelas El Tari Memorial Cup seharusnya dikemas lebih baik lagi agar babak final sungguh menjadi laga puncak yang menghibur dan bermutu.

Semoga babak final malam ini tidak menjadi antiklimaks. Para pemain Perse Ende dan PSN Ngada mesti membuktikan bahwa keduanya layak sebagai finalis. Dan, bagi pendukung PSN maupun Perse tetaplah bersahabat. Jangan sampai gara-gara sepakbola, lantaran tim kesayangan kalah atau menang, mengekspresikasan rasa secara berlebihan. Selamat menonton!

Catatan: Artikel ini dibuat menjelang laga puncak El Tari Memorial Cup 2017 antara Perse Ende melawan PSN Ngada. Laga itu berakhir ricuh. Penonton membludak, duduk hingga tepi garis lapangan. Kapasitas stadion cuma 8.000, dipaksakan tampung dua kali lipat. Laga terhenti menit ke-59 setelah terjadi pelanggaran pemain, penonton serbu lapangan. Perse Ende sementara unggul 1-0. PSSI umumkan Perse juara karena menganggap PSN tinggalkan lapangan.

Role Model Bernama Yabes


Yabes Roni
Catatan Sepakbola Dion DB Putra

Timnas Indonesia gagal ke final cabang sepakbola SEA Games 2017  tapi permainan Garuda Muda  menjanjikan.

Evan Dimas dkk kalah 0-1 atas Malaysia, namun mereka kalah terhormat. Kepala tetap tegak,  mereka hanya kurang beruntung, sedikit kehilangan konsentrasi di menit-menit terakhir.

Tim asuhan pelatih Luis Milla Aspas ini punya masa depan bagus. PSSI mestinya perpanjang masa tugas Milla, hasil SEA Games  bukan satu-satunya indikator kinerjanya.

Dan, di antara skuat pasukan Garuda Muda yang aduhai menghibur itu ada Yabes Roni Malaifani, putra NTT kelahiran Alor. Yabes paling disorot sejak sebelum kick-off.


Berkali-kali kamera televisi menyinari wajah gagahnya yang berjambang hingga sepintas mirip Dani Alves. Yabes berlinang air mata saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Yabes tidak pura-pura. Raga dan  batin pemuda Moru ini  sungguh terlecut spirit  membela Merah Putih.

Yabes bermain penuh 2x45 menit dan dia tampil  luar biasa dalam posisi  sebagai gelandang serang yang beroperasi dari sayap. Berkali-kali dia merepotkan pertahanan Malaysia, memberikan umpan terukur dan menembak ke gawang. 

Yabes merupakan tipe pemain bola  ideal, dia  sama bagus saat menyerang maupun bertahan. Dia rajin mencari bola dengan daya jelajah tinggi.

Yabes makin matang sebagai pemain, keterampilan mengolah si kulit bundar pun semakin baik. Yabes terus bertumbuh sebagai pemain  profesional. Itulah yang membuat kita bangga.

Pemain kelahiran 6 Februari 1995 itu usianya belum genap 23 tahun. Dia masih  muda. Umur  produktifnya sebagai atlet masih sangat lama. Kurang lebih 7 sampai 8 tahun lagi dari sekarang. Tinggal menjaga kebugaran dan skill, niscaya Yabes akan jadi incaran klub-klub besar dan langganan  timnas Indonesia.
Yabes adalah role model bagi anak-anak Flobamora. Dia menjadi bukti impian putra NTT menjadi pemain timnas bukan mustahil.

Sejak Yabes meroket bersama timnas U-19 tiga tahun silam, NTT menjadi tujuan tim pencari bakat. Tentu kita butuh nama lain selain Yabes yang masuk timnas.

Dari rahim Nusa Tenggara Timur ini harus lahir  Yabes Yabes yang lain. Penerus Yabes.  Potensi dan peluang terbuka lebar, tinggal apakah kita siap manfaatkan momentum atau tidak. Tak ada jalan pintas! Pembinaan sejak usia dini merupakan jalan terbaik.

Sebagian kaki kita  sudah berada di jalur yang benar. Sekolah Sepak Bola (SSB) mulai tumbuh kembang di daerah ini.

Sebut misalnya SSB Tunas Muda Kupang yang telah melahirkan banyak pemain serta beberapa   SSB terakhir yang dikelola dengan manajemen modern  yaitu SSB Bintang Timur Atambua dan Bali United Kristal Football School Kupang.

Kiranya SSB terus diperbanyak diimbangi  kompetisi berjenjang rutin di setiap kabupaten/kota. Juga berharap Asprov dan Askab PSSI lebih profesional  mengelola kompetisi, mengawal regulasi dan memotivasi klub.

 Jangan sampai pengurus PSSI telinga tipis, alergi  kritik dan paksakan kehendak. Apapun argumentasinya kisruh laga final El Tari Memorial Cup 2017 di Ende  jelas mencerminkan salah urus!  Seharusnya tidak jumawa. Ada kerendahan hati untuk mengaku khilaf. Ternyata sepotong kata itu begitu mahal di kampung kita.  *

Sumber: Pos Kupang 28 Agustus 2017 halaman 1

Warga Noelbaki Konsumsi Air Asin


ilustrasi
DESA Noelbaki itu ibarat cuma selemparan batu dari Kupang, ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).  Nasibnya ternyata setali tiga uang dalam urusan air bersih. Cuma Noelbaki sedikit punya catatan tambahan yakni sebagian warga di sana selama belasan tahun berakrabria dengan air rasa asin.

 Mereka mandi, cuci dan masak pakai air rasa asin. Bahkan sebagian dari mereka  nekat konsumsi air asin karena tak ada pilihan lain.

Kita simak kembali petikan wawancara berikut dari sejumlah warga Noelbaki. "Kami sekeluarga pakai air sumur bor rasa asin ini  sudah 13 tahun. Kami pakai untuk mandi, cuci pakaian, dan masak. Walaupun rasa asin kami tetap pakai untuk masak nasi.  Kami putar teh juga rasa manis asin, terpaksa minum saja," ujar Maria Fragno.

"Kalau kita orang dewasa mau minum air rasa asin tidak apa-apa. Tapi anak-anak ini yang kasihan. Waktu pertama kali kasih makan nasi ke anak-anak saya, mereka bilang mengapa nasi campur garam? Saya cuma bilang, ya karena air sumur rasa asin. Sekarang ini karena sudah kebiasaan, anak masa bodoh saja. Saya tidak tahu apakah nasi yang saya masak pakai air asin tidak pengaruh pada kesehatan,"  kata Manuela.

Noelbaki itu masuk wilayah Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Masih bertetangga dekat dengan Kota Kupang, dua daerah otonom yang selama bertahun- tahun bergumul dengan krisis air bersih. Kabupaten Kupang memiliki sumber air yang banyak termasuk bendungan Tilong yang menampung air baku sejak tahun 2001.

Krisis air yang mendera sebagian warga Noelbaki bahkan di antara mereka terpaksa mengonsumsi air asin sungguh fakta  yang mestinya segera menyadarkan pemimpin pemerintahan serta wakil rakyat terhormat untuk tidak lagi memandang remeh urusan ini.

Tugas pemerintah itu jelas  yaitu menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga rakyat mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka berupa pangan, sandang dan papan. Jika kebutuhan air saja susah terpenuhi selama bertahun-tahun, patutlah
mempertanyakan efektivitas pemerintah dan DPRD di daerah ini. Boleh jadi mereka keasyikan dengan kepentingan sendiri.

Menurut pandangan kita, krisis air yang mendera sebagian warga Desa Noelbaki harus segera diakhiri. DPRD kiranya  tidak hanya sibuk berdiskusi panjang lebar  untuk meningkatkan gaji mereka tetapi bagaimana membangun sinergi dengan pemerintah agar kebutuhan vital masyarakat ini terpenuhi.

Kita tak akan berhenti mengingatkan pemerintah agar bekerja dengan kesungguhan hati.  Kita pun tak akan bosan memberitahu calon kepala daerah yang hari-hari ini super sibuk sosialisasi diri untuk tidak mengumbar janji yang muluk-muluk. Janji kepada rakyat memang lumrah saat musim kampanye pilkada. Namun, jangan lupa bahwa rakyat tidak pernah melupakan janji itu dan pada saatnya mereka akan "memvonis" dengan cara mereka sendiri. *

Sumber: Pos Kupang 30 Agustus 2017 hal 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes