Sui Wu'u |
Orang yang membuat sui wu'u adalah kaum perempuan yang terampil. Keterampilan sangat dibutuhkan karena untuk menghasilkan sui wu'u yang berkualitas dan lezat, harus bisa mencampur bahan daging, tepung dan garam dengan aturan yang tepat.
Campuran yang tepat bukan hanya bisa membuat sui wu'u terasa lezat, tapi juga tidak gampang rusak atau berulat, meski disimpan berbulan-bulan. Bahkan ada moto, semakin lama disimpan, semakin enak dan lezat disantap. Su'i wu'u menimbulkan aroma khas.
Salah satu tokoh adat di Bajawa, David Lado Bara, Selasa (4/7/2015) mengatakan, aroma sui wu'u memiliki ciri khas tersendiri. Meski dibakar di halaman rumah, aroma sui wu'u akan menyebar ke satu kampung.
"Kalau dagingnya sudah dibakar, orang bisa bedakan aroma sui wu'u dengan aroma daging babi yang baru dibunuh. Kita cium aromanya saja, sudah bisa tahu bahwa ada orang yang sedang membakar sui wu'u.. Dan hal itu bisa meningkatkan nafsu makan kita," tutur David.
Keunikan lain dari sui wu'u bisa mengurangi, bahkan menghilangkan unsur pahit pada daun pepaya dan markisa yang hendak kita makan. Caranya, sui wu'u dibakar lalu minyak yang menetes diteteskan secukupnya ke daun pepaya atau daun markisa. Alhasil, ketika daun itu kita makan, tidak terasa pahit.
Menurut David, pembuatan sui wu'u itu punya makna. Secara ekonomis menunjukan makna adanya penghematan. Pada zaman dulu, ketersedian daging sangat terbatas sehingga untuk menyantap daging biasanya hanya terjadi pada saat ada acara adat, seperti Rebha, ka Ngadhu, ka Sao dan ka Nua.
Pada saat ritual adat itu, biasanya banyak kelebihan daging yang tidak bisa dimakan. Dari situlah, masyarakat kemudian mengolah daging sisa itu menjadi sui wu'u yang bisa disimpan berbulan-bulan. Ketika tiba musim paceklik daging atau tidak ada daging, maka warga bisa makan sui wu'u sebagai menu makannya.
Berbeda dengan zaman modern saat ini. Kapan saja seseorang menginginkan makan daging, jika memiliki ternak atau jika memiliki uang, bisa mendapatkan daging dan mengolah serta mengonsumsinya.
Makna adat lainnya dari sui wu'u, yakni makanan ini merupakan sesajian untuk nenek moyang. Pada musim tanam, biasanya sui wu'u disimpan di setiap sudut kebun. Fungsinya untuk mengusir hama penyakit tanaman sehingga tanaman bebas dari serangan hama dan hasil penen bisa melimpah.
Cara membuat sui wu'u pun unik. Ada suatu kepercayaan yang diyakini masyarakat Ngada, saat membuat sui wu'u, tidak boleh ada orang lain yang melihatnya. Jika ada orang lain yang melihat, maka rasa sui wu'u itu tidak enak, bahkan bisa cepat rusak dan tidak bisa disimpan berbulan-bulan.
Karena itu, pembuatannya harus 'rahasia'. Daging babi bagian lemak dipotong seukuran kepalan tangan lalu dicuci hingga bersih. Bahan lainnya tepung jagung yang sudah kering dan garam secukupnya. Kemudian bahan itu disusun berurutan ke dalam bambu yang sudah dibersihkan. Cara pengisiannya bersusun, tepung jagung, daging, tepung jagung dan daging lagi.
Begitu susunannya terisi penuh dalam bambu. Lalu bambu ditutup rapat-rapat dan kemudian diletakan di para-para. Yang perlu diperhatikan, yakni bambu tempat penyimpanan sui wu'u harus benar-benar bersih dan ditutup rapat.
Ukuran bambu biasanya satu ruas bambu. Untuk menghasilkan sui wu'u dengan cita rasa yang menggoda, harus disimpan sekitar tiga bulan baru dibuka untuk dimakan. Bisa juga kurang atau lebih dari tiga bulan.
Meski dagingnya sedikit karena kebanyakan lemak, namun minyak sui wu'u bisa menambah kelezatan sayur. Biasanya, warga tidak akan langsung makan daging sui wu'u, tetapi makan duluan sayur daun pepaya atau daun markisa yang sudah ditetesi minyak sui wu'u barulah makan daging lemak tadi. (teny jenahas)
Warisan Nenek Moyang
MEMBUAT sui wu'u merupakan salah satu bentuk keterampilan para nenek moyang zaman dulu untuk mengawetkan daging babi menggunakan tepung jagung dan garam yang diawetkan di dalam bambu (tuku).
Pembuatan sui wu'u masih dipertahankan dan dilestarikan oleh sejumlah keluarga di Bajawa, Kabupaten Ngada. Salah satunya keluarga Theresia Nau, warga Bouwa, Desa Ubedolumolo, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada. Ditemui di kediamannya di Bouwa, Jumat (10/7/2015), Thresia mengatakan, membuat sui wu'u merupakan kebiasaan yang sudah diwariskan nenek moyang. Dan dia bersama saudaranya selalu melanjutkan tradisi itu.
Setiap ada daging, ia selalu membuat sui wu'u. Karena orang-orang dalam rumah baik, suami maupun anak-anak suka makan sui wu'u. "Ini warisan nenek moyang dulu yang kami harus jaga. Kami tetap buat sampai sekarang. Kami punya di rumah buat terus dan simpan sampai dua tahun. Kalau ada lebih daging, saya selalu simpan sedikit untuk buat sui wu'u," ujar Thresia.
Bahan dasar sui wu'u adalah daging babi bagian lemak, tepung jagung yang ditumpuk dan garam. Daging dipotong kecil-kecil seukuran satu genggam lalu dicampur dengan garam.
Pada zaman dulu, sui wu'u disimpan di para-para, namun saat ini ada rumah yang tidak memiliki para-para sehingga disimpan di tempat yang aman saja.
Thresia menambahkan, jika ada acara adat tertentu seperti Rebha dan Meghe, dan ada sisa daging babi khususnya bagian lemak, maka ia selalu menyimpan dan membuat Sui Wu'u.
Daging yang baru dan daging yang lama bisa dicampur dalam satu tuku, namun penempatannya diatur. Daging yang masih baru ditempatkan paling dasar. Lalu disusul dengan sui wu'u yang sudah lama.
Idealnya sui wu'u dimakan setelah disimpan enam bulan. Semakin lama simpan semakin enak rasanya. Jika baru disimpan dua-tiga bulan, rasanya kurang lezat. Sebab, kelezatan sui wu'u bukan pada daging, tetapi tepung jagung yang dicampur daging.
Thresia mengatakan, cerita orangtua dulu bahwa pada saat membuat sui wu'u tidak boleh dilihat banyak orang. Jika tidak, sui wu'u bisa rusak, dan aromanya tidak bagus. Dan Thresia masih mempercayai hal itu sampai saat ini karena memang terbukti.
"Satu kali saya sementara buat sui wu'u, ada mas (orang Jawa) jual alat dapur lewat. Saya langsung teriak, mas jangan dulu lewat. Saya masih awetkan daging. Akhirnya orang itu mengerti," tutur Thresia sambil tertawa.
Suami Thresia Nau, Wenslaus Naru, mengaku sangat suka makan sui wu'u. "Saya suka makan sui wu'u. Karena sui wu'u punya cita rasa sendiri. Rasanya enak," aku Wens.
Menurut dia, pesan moral yang tersirat dari pembuatan sui wu'u adalah sikap penghematan. Pada zaman dulu, nenek moyang tidak pernah membuang daging sedikitpun, meski itu hanya bagian lemak saja. Karena untuk mendapatkan daging sangat susah. Karena itu, mereka membuat lemak daging babi menjadi menu yang bisa bertahan lama dan dikonsumsi pada musim tertentu. (jen)
Tunggu Master Plan Riparda
MESKIPUN sui wu'uu merupakan menu tradisional yang sudah dikenal oleh masyarakat di luar Bajawa. Namun kuliner lezat ini belum dipromosikan oleh Pemerintah Kabupaten Ngada sebagai kuliner tradisional khas Bajawa.
Kepala Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika (P2KI) Sidhu Paulinus melalui Kabid Pariwisata, Ivan Botha, Selasa (7/7/2015), mengatakan, promosi wisata kuliner baru bisa dilakukan setelah master plan Riparda (Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah) selesai dibuat.
Ivan menjelaskan, saat ini pihaknya masih mendata sejumlah pangan tradisional atau lokal yang menjadi potensi wisata untuk dipromosikan. Setelah seluruhnya terdata dan master plan Riparda masih digodok oleh beberapa pakar pariwisata di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, barulah pangan lokal itu bisa dipromosikan.
Menjawab Pos Kupang, Ivan juga mengatakan, selama ini pihaknya sudah pernah menggelar lomba khusus untuk membuat beberapa pangan lokal namun khusus untuk pembuatan sui wu'u, belum pernah dilombakan.
Kendalanya, sui wu'u bukan menu siap saji seperti menu lainnya. Sui wu'u menu khusus yang dibuat secara khusus dan setelah dibuat tidak langsung dinikmati karena harus disimpan. Sehingga belum ditemukan formulasi yang tepat untuk penilaian lomba dimaksud. Namun hal itu akan dipikirkan kedepannya.
Ivan menambahkan, menu tradiisonal lainnya selain sui wu'u adalah rapa, yakni daging yang diawetkan dengan asap. Rapa mirip dengan Sei babi (daging asap). Bahan rapa dari daging kerbau dan kuda, lalu daging yang diambil hanya bagian isinya. Lalu diiris tipis dan disimpan di para-para untuk proses pengawetan dengan asap.
Sedangkan bahan sui wu'u dari bahan lemak daging babi lalu diawetkan dalam tuku (bambu) dengan campuran tepung jagung kering dan garam.
Daging yang diambil untuk pembuatan sui wu'u juga harus berasal dari daging pada saat ada upacara adat seperti Rebha, ka Ngadhu, ka Sao. Sedangkan pada acara kematian, daging babinya tidak bisa dijadikan bahan untuk membuat sui wu'u. (jen)
NEWS ANALISYS
Hilangkan Racun
Oleh dr. Emerentiana Renni Wahyuningsi
SAYA pernah makan sui wu'u. Daging itu wanginya unik dan lezat. Sui wu'u adalah makanan dari bahan daging (lemak) babi yang diproses dengan cara pengawetan.
Pengawetan daging menggunakan garam sangat tepat apalagi dicampur dengan tepung jagung sebagai bahan pembantu untuk penyerapan minyak pada daging. Daging semakin awet ketika komposisi bahan yang dicampur dalam sui wu'u sudah tepat.
Tepung jagung atau tepung maizena adalah pati yang didapatkan dari endosperma biji jagung. Pada dasarnya tepung jagung tidak mengandung lemak, sehingga sangat baik untuk dicampur dengan daging berlemak.
Tepung jagung yang memiliki banyak kandungan karbohidrat dan nutrisi dapat menyerap kelebihan minyak pada daging. Tepung jagung juga menjadi bahan pembantu untuk melembutkan daging.
Tepung jagung berfungsi untuk menyerap kelebihan minyak pada daging sekaligus menghilangkan unsur racun pada daging. Dengan demikian, daging yang dimakan tidak menimbulkan diare, meski (sui wu'u) disimpan lama.
Garam bermanfaat untuk mengawetkan daging agar tidak mudah rusak. Kelebihan garam selain membantu mengawetkan daging, juga bisa menghilangkan rasa pahit.
Itu sebabnya, ketika minyak sui wu'u diteteskan pada daun pepaya, rasa pahit daun pepaya bisa hilang. Hilangnya rasa pahit pada daun pepaya karena minyak daging yang sudah tercampur dengan garam.
Selain itu, tempat penyimpanan sui wu'u harus disteril dari jenis-jenis binatang. Seperti tikus, lalat dan serangga. Sepanjang hal itu dijaga dengan baik, maka menu sui wu'u tersebut tidak mengandung unsur racun.
Selain memahami komposisi bahan yang dicampur, kebersihan (hygine), baik daging maupun alat simpan daging (bambu tuku), sistem penyimpanan dan sirkulasi udara juga harus menjadi perhatian.
Ketika daging yang disimpan dalam bambu itu kondisi tertutup rapat, maka udara tidak akan masuk. Proses penguraian daging, tepung dan garam hanya terjadi dengan udara yang ada di dalam bambu (tuku).
Karena itu, udara baru 'tidak boleh' masuk (ke dalam lubang bambu yang berisi daging bercampur tepung jagung), karena itu pentingnya menutup rapat bambu saat proses pembuatan sui wu'u. (jen)
Sumber: Pos Kupang edisi Minggu 26 Juli 2015 halaman 1