Si Sandel pun Ditunggangi Arwah

Kuda Sumba
SUMBA timur identik dengan kuda Sandel atau Sandelwood. Tapi coba bertanya kepada warganya, apakah memiliki kuda Sandel? Anda akan mendapat dua jawaban: 'tidak ada' dan 'tinggal sedikit.'

Si Sandel merupakan hasil perkawinan silang kuda poni lokal dengan kuda Arab. Kuda Arab pertama kali masuk Sumba Timur dibawa Al Jufri, penyebar agama Islam. Dalam perjalanan, kuda Arab dikenal juga dengan sebutan kuda Al Jufri.

Nama Sandelwood berasal dari kata 'sandel' yang berarti kuda, dan 'wood' artinya kayu cendana. Penamaan Sandelwood oleh bangsa Belanda. Pada masa lampau, kuda dan cendana menjadi komoditas unggulan yang diekspor dari Sumba Timur.
Kuda Sandel memiliki postur rendah. Tinggi punggung 1,15-1,35 meter. Bentuk kepala besar dengan wajah rata, leher tegak dan lebar serta ekornya tinggi. Kaki berotot dan kukunya kuat. Keistimewaan lain, warna bulu bervariasi, ada yang hitam, putih, merah, krem, abu-abu dan belang.

Saat ini populasi kuda Sandel menurun. Hasil sensus ternak yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur melalui Dinas Peternakan tahun 2008, menyebutkan data populasi kuda secara umum yang mencapai 30.000 ekor.

Rinciannya betina 18.958 ekor dan jantan 9.846 ekor. Mengingat sebelum ada 2008 sudah banyak kuda cross yang dipelihara masyarakat. Belum ada data khusus yang bisa menjelaskan populasi kuda Sandel di Sumba Timur. "Memang Sandel masih ada, tapi populasinya menurun," ujar Lukas Kaborang yang menyebutkan sejumlah daerah yang masih memiliki kuda Sandel yaitu Paberiwai, Matawai Lapau, Pinupahar, Karera dan Tabundung.

Kalau dulu tersebar di semua wilayah. Di Kanatang sangat banyak kuda Sandel, sekarang sudah tidak ada. Begitu juga di Waingapu dan daerah sekitarnya.
Padahal kuda Sandel mempunyai ikatan historis dengan orang Sumba Timur. Kuda Sandel telah menjadi bagian hidup masyarakat sejak abad ke-18.

Kuda Sandel sebagai alat transportasi. Karena kuat, kuda Sandel mampu melakukan perjalanan lebih dari 70 km. Kuda Sandel juga diyakini sebagai kendaraan leluhur.  Hal ini dapat dilihat pada saat upacara penguburan. Saat jenazah dibawa ke kubur, di barisan depan ada seekor kuda Sandel yang sudah 'didandan' dan ditunggangi seseorang.


Masyarakat percaya arwah orang meninggal menunggang kuda Sandel sampai ke Kampung Marapu bertemu leluhur, yang diyakini sebagai Surga (kepercayaan Marapu). Selain itu, kuda Sandel sebagai belis dan cenderamata untuk urusan adat.
Lukas Kabarong, mantan Bupati Sumba Timur mengaku sudah tidak punya kuda sandel. Namun yang ada hanya kuda cross (hasil kawin silang). Lain halnya, Umbu Remi, warga Kelurahan Prailiu, yang memiliki satu ekor kuda Sandel. "Itupun hasil tukar dengan kuda cross. Kuda saya ini dipersiapkan untuk ikut lomba pacuan kuda di kelas yang diikuti kuda Sandel," kata Umbu Remi.

Umbu Hapu, Anggota DPRD Sumba Timur, mengaku memiliki kuda sekitar 300 ekor, saparuhnya adalah kuda Sandel. (alfons nedabang)



Jatuh Hati Pada Kuda Cross


ADA beberapa faktor penyebab menurunnya populasi kuda Sandel yang selalu mengemuka, yaitu meluasnya penyakit antrax dan sura, pengantarpulaan kuda yang tidak terkontrol, maraknya pencurian serta beralihnya peternak memelihara sapi ongol.

Faktor lain yang juga tidak bisa dipungkiri pengaruhnya, yaitu terjadinya kawin silang pasca masuknya kuda-kuda lain dari luar Pulau Sumba. Pada awalnya abad ke-19, sudah terjadi kawin silang kuda Australia dengan betina Sandel. Namun jumlahnya masih sangat terbatas. Sekitar tahun 1990-an, secara perorangan, beberapa pengusaha keturunan Tionghoa membawa kuda jantan dari Pulau Jawa, untuk dijadikan kuda pacu.

Pada masa itu terjadi juga kawin silang dengan kuda betina Sandel, tapi tetap terbatas. Karena biaya kawin kuda mahal dan pemilik kuda jantan selektif terhadap kuda betina yang mau dikawinkan.

Dalam perjalanan, pemerintah daerah membuat kebijakan memasukan kuda thoroughbred dari Australia. Tujuannya untuk perbaikan kualitas, termasuk kecepatan serta meningkatkan daya tahan tubuh kuda Sandel yang pada saat itu kualitas serta populasinya menurun.

Sewaktu Sumba Timur dipimpin pasangan Umbu Mehang Kunda dan Gidion Mbilijora, dibuatlah breeding center (fasilitas pembibitan) kuda thoroughbred di Matawai Maringu.

Sejak saat itu semakin banyak kuda dari luar dibawa masuk ke Sumba Timur. Kalau dulu hanya pengusaha keturunan Tionghoa dan pemerintah, sekarang siapapun bisa membawa masuk kuda asal punya uang. Beberapa jenis kuda yang dibawa masuk di antaranya kuda Jawa, kuda Bali, kuda Sumbawa, Ujung Pandang dan kuda Manado. Bahkan ada pengusaha mendatangkan dari luar negeri.

'Kuda-kuda pendatang' kemudian dikawinkan dengan betina Sandel. Mulanya hanya beberapa orang yang berminat. Namun lambat laun, apalagi setelah mengetahui hasil dari kawin silang bagus, masyarakat ramai--ramai mengawinkan kudanya dengan kuda-kuda pendatang.

Karena kualitas, termasuk kecepatannya bagus sehingga kuda cross dijadikan masyarakat Sumba Timur sebagai kuda pacu.

Tidak heran kalau event lomba pacuan kuda atau palapang njara yang dilaksanakan di lapangan Rihi Eti Prailiu, Waingapu setiap bulan Juni, Agustus dan Oktober dianggap sebagai ajang unjuk kebolehan kuda-kuda cross.
Kalau beberapa tahun sebelumnya, dalam lomba pacuan kuda hanya 4 kelas (ABCD) yang diperlombakan, didominasi kuda Sandel. Kini bertambah menjadi 15 kelas, yaitu A, B, C, D, A1, A2, A Super, Pemula (P) Mini, P1, P2, P3 dan P Super. Ada juga kelas E1, E2 dan E Super. Pembagian kelas berdasarkan tinggi punggung kuda.

"Dari lima belas kelas ini, yang diikuti kuda sandel kelas pemula mini, D dan kelas D mini karena postur sandel rendah. Kalau pun ada itu untung-untung. Pada tiga kelas ini masih lebih banyak kuda cross," kata Kalendi Manangahau.
Kelas selebihnya didominasi kuda cross. Artinya, penambahan kelas untuk mengakomodir kuda-kuda cross yang memiliki postur tinggi.

Masyarakat semakin jatuh hati pada kuda cross karena selalu menjuarai lomba pacuan. Dampak selanjutnya, harga kuda cross pun melambung, berkisar puluhan hingga ratusan juta rupiah.

"Masuknya kuda dari luar tujuan utamanya perbaikan kualitas untuk kuda pacuan. Ternyata dampaknya menurunkan populasi kuda Sandel juga. Ini menjadi salah satu penyebab populasi untuk kuda pacuan asli Sandel jadi minim," kritik Umbu Angga, aktivis LSM.

Penurunan populasi Sandel dirasakan ketika ada urusan adat, semisal adat pernikahan. Kalau sebelum-sebelumnya biasa menggunakan kuda Sandel untuk belis, sekarang kuda cross.

"Kalau untuk adat tetap kuda Sandel. Kalau tidak punya kuda Sandel terpaksa kasih kuda cross. Kadang di forum adat mereka tau, tapi dibilang ini anak kuda pacuan maka pihak sebelah terima. Tidak bisa menghindar lagi," ujarnya.
Mengingat Sandel sebagai identitas Sumba Timur, maka perlu ada kebijakan pemerintah daerah untuk mempertahankan kuda Sandel.

"Sandel identitas Sumba. Jangan beralasan perbaikan genetik sandel tapi justru merusak Sandel sendiri. Mestinya mempertahankan nilai lokal yang ada," kritik Umbu Remi.

Ide adanya breeding center Sandel perlu segera disikapi pemerintah. Perlu juga diadakan event lomba pacuan khusus kuda Sandel. Perlombaan tidak hanya tingkat kabupaten tapi mulai dari tingkat kecamatan. Upaya-upaya ini tentunya dengan semangat menggairahkan masyarakat untuk memelihara kuda Sandel agar Sumba Timur tidak kehilangan identitasnya. (alfons nedabang)

Sumber: Pos Kupang 12 Juli 2015 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes