|
Paul Budi Kleden, SVD |
Oleh Valens Daki-SooPenulis adalah entrepreneur dan politisi, mantan Frater SVD di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Flores.
Paus Fransiskus akhirnya menunjuk Superior General SVD (Societas Verbi Divini), Pater Dr. Paulus Budi Kleden, SVD menjadi Uskup Keuskupan Agung Ende (KAE). Pengangkatan Pater Budi secara resmi dibacakan oleh Administrator KAE, Rm. Yosef Daslan Moang Kabu di Gereja Katedral Ende pada 25 Mei 2024.
Dengan demikian, berakhirlah penantian umat KAE akan sosok pemimpin spiritual yang baru sejak mangkatnya Mgr. Vincentius Sensi Potokota enam bulan lalu. Mgr. Sensi meninggal dunia di Rumah Sakit Sint Carolus Jakarta pada 19 November 2023.
Rasa syukur, apresiasi, dan ucapan selamat terhadap Pater Budi datang dari berbagai kalangan dan membanjiri media sosial.
Pengalaman Pribadi
Kepada beberapa teman dekat yang juga mantan frater SVD, saya pernah bilang begini beberapa waktu setelah Mgr. Sensi wafat, "Jangan-jangan Pater Budi Kleden menjadi pengganti (sebagai Uskup Agung Ende)." Ternyata benar dan itu sebabnya saya tidak heran ketika diumumkan, karena Pater Dr. Paul Budi Kleden, SVD seorang figur imam yang episkopabilis, layak menjadi uskup.
Sebelum beliau akhirnya diumumkan Vatikan sebagai Uskup Agung Ende yang baru, saya terakhir bertemu Pater Budi di kantor pribadi saya di PT Veritas Dharma Satya (PT VDS), Tebet, Jakarta. Beliau datang untuk 'sharing' dengan sejumlah alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK), yang sekarang menjadi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere, Flores.
Pertemuan itu terjadi pada 2018, tak lama setelah Pater Budi (begitu beliau biasa disapa) dipilih menjadi Superior General SVD atau pimpinan tertinggi SVD sedunia yang berpusat di Roma. Mengapa di 'markas' PT VDS? Itu kebetulan menjadi tempat diskusi rutin kami, sejumlah alumni Ledalero Jabodetabek yang dimotori Redem Kono, mantan murid Pater Budi.
Meski merupakan orang Indonesia pertama (dan orang Asia kedua) yang menjadi Superior General SVD, Pater Budi yang dikenal sangat cerdas sekaligus amat rendah hati itu mengomentari posisinya (pemimpin tertinggi SVD) sebagai "biasa saja, tak ada hal yang perlu dibanggakan". Dia berujar, "Saya tetap bekerja seperti biasanya, hanya beda tempat dan jumlah orang yang harus diurus. Tak ada hal yang luar biasa, karena SVD sudah punya konstitusi, sistem kerja dan spirit misioner yang perlu selalu diaktualisasi."
Secara pribadi, sebenarnya saya mengenal Pater Budi jauh sebelum ini. Ketika mendengar namanya disebut sebagai uskup baru KAE, ingatan saya terlempar kembali ke Ledalero, bahasa Sikka artinya "bukit (tempat) sandar matahari". Di Ledalero berdiri teguh Seminari Tinggi St. Paulus milik SVD sejak 20 Mei 1937 dan STFK (kini IFTK).
Pater Budi adalah senior kami, persisnya satu tahun di atas angkatan saya dan teman-teman. Beliau dan para konfrater-nya masuk Novisiat SVD Ledalero tahun 1985, saya dan kawan-kawan novis (frater baru) SVD menginjakkan kaki di seminari tinggi itu tahun 1986. Beliau senior tidak hanya dalam angkatan, tapi juga dalam usia (Pater Budi lahir tahun 1965, saya 1968).
Namun, karakternya yang rendah hati, cerdas, ramah, pendengar yang baik, dengan daya ingat yang luar biasa membuat Frater Budi dekat dengan kami semua. Kelak, ketika menjadi dosen teologi di alma maternya ini, dia dikenal bisa menghafal/mengingat nama semua mahasiswanya yang berjumlah 800 orang, sebagaimana testimoni rekan dosennya yang juga kini Rektor IFTK Ledalero, Pater Dr. Otto Gusti Madung, SVD.
Masih teringat, suatu ketika setelah makan malam di Novisiat Ledalero tahun 1988, saya menemui Frater Budi dan "sharing" tentang keraguan saya terkait panggilan menjadi imam. Hati saya tergerak untuk sharing kepada sang senior karena sikapnya yang menerima dan mendengarkan tanpa menghakimi. Sungguh pribadi yang berwibawa, humanis, rendah hati dan pendengar yang setia.
Oleh karena kepribadiannya yang integral dan jiwa kepemimpinannya yang kuat dengan kecerdasan yang sangat memadai, Frater Budi dikirim ke Wien, Austria, untuk melanjutkan studi teologinya. Biasanya yang dikirim untuk studi lanjut ke luar negeri adalah frater yang sudah ditahbiskan menjadi imam.
Namun, kali itu -- dan sejak itu -- Rektor Seminari Tinggi Ledalero yang juga Ketua STFK Ledalero Pater Dr. Hubert Muda, SVD (putra Mangulewa-Ngada yang mengambil doktornya di Universitas Kepausan Gregoriana Roma) mengirim Frater Budi (asal Waibalun, Larantuka) dan Frater Ferry Radju Tuga (asal Bajawa, Ferry kemudian mengundurkan diri dari SVD saat di Austria), lalu disusul frater-frater muda terpilih ke luar negeri untuk menjalani Overseas Training Program (OTP).
Setelah menyelesaikan studinya di Sankt Gabriel Moedling bei Wien, Austria, Pater Budi sempat menjadi pastor paroki di Swiss. Kemudian dia belajar dan mengambil doktor bidang Teologi Sistematik di Universitas Freiburg, Jerman. Pater Budi sangat fasih dalam beberapa bahasa asing. Pater Fritz Meko Svd dalam tulisannya menyebut Pater Budi menguasai tujuh bahasa asing.
Sebenarnya, saya agak menyesalkan Pater Budi menjadi uskup. Saya ingin beliau tetap menjadi dosen dan pembina di alma mater IFTK Ledalero. Sebagai dosen Pater Budi punya kapasitas akademis-intelektual yang mumpuni. Sejumlah buku telah ditulisnya dan dia menjadi teolog andal di Ledalero yang dikenal luas, termasuk dalam advokasi terhadap kaum marjinal atau orang kecil yang menjadi korban ketidakadilan.
Sebagai formator/pembina Pater Budi adalah pengkader yang ikut melahirkan para imam misionaris SVD maupun para kader "awam" (laicus) yang berkiprah di mana-mana.
Namun, mungkin Pater Budi lebih dibutuhkan Keuskupan Agung Ende dengan segala kompleksitas masalah dan serbaneka tantangannya.
Teologi Terlibat
Menempuh pendidikan calon imam bertahun-tahun di Eropa tidak lantas membuat Pater Budi melupakan Indonesia tanah tumpah darahnya. Ketika kebanyakan orang berteologi dengan kecenderungan berkiblat pada pemikir Barat, Pater Budi membangun sebuah kesadaran mengenai usaha berteologi di Indonesia yang sadar konteks, yang antara lain tertuang dalam karyanya berjudul "Teologi Terlibat: Politik dan Budaya dalam Terang Teologi".
Lewat buku ini, Pater Budi, yang mendalami dan menerjemahkan pemikiran Johann Baptist Metz, teolog dan imam Jesuit asal Jerman, mengulas masalah-masalah sosial-politik dan sosial-kultural untuk menegaskan bahwa Allah sungguh terlibat dalam sejarah umat manusia.
Pater Budi dengan rendah hati mengakui, teologi terlibat bukan salah satu teologi baru, tapi lebih sebagai sebuah usaha sadar untuk menegaskan inti dari kegiatan berteologi.
"Jika kegiatan teologis adalah refleksi atas iman yang merupakan tanggapan dari wahyu Allah, maka gerakan menyentuh tema-tema politik dan budaya merupakan gerakan sah dan wajar mengingat wahyu Allah menunjukkan dengan jelas keterlibatan-Nya dalam sejarah umat manusia," tulis Antonius Ignasius Nggino Tukan mengomentari buku Teologi Terlibat: Politik dan Budaya dalam Terang Teologi.
Dalam jurnal berjudul "Berfilsafat dan Berteologi di Indonesia", Pater Budi menulis iman yang dihayati di Indonesia mesti menjadi iman yang mengakar di dalam realitas budaya dan masyarakat Indonesia.
Iman kita perlu menjadi "iman Nusantara atau Indonesia". Iman sungguh menjadi iman yang dipahami, diungkapkan dan berinkulturasi di Indonesia apabila didorong dan didampingi refleksi teologis.
Dengan itu, iman sungguh berakar dan menjadi iman Indonesia yang menjadi sumber inspirasi dan motivator dalam perjuangan menegakkan hak-hak hidup, keadilan dan perdamaian serta dalam dialog dibutuhkan refleksi teologis yang serius.
"Pertanyaan mengenai tema berfilsafat dan berteologi di Indonesia memungkinkan kita untuk melihat entahkah filsafat dan teologi memiliki relevansi di sini. Sesuatu dikatakan memiliki relevansi apabila ia menjawabi kebutuhan atau pertanyaan yang hidup di dalam satu masyarakat pada waktu dan di tempat tertentu," ungkap Pater Budi.
Hemat saya, sebenarnya setiap teologi itu kontekstual, dalam arti setiap teolog (atau setiap orang?) berteologi sesuai tantangan dan kebutuhan zaman, tuntutan sosial-ekonomi-budaya-politik di mana sang teolog berada.
Setiap teologi tidak lahir dalam vakum atau direfleksikan dalam tabula rasa. Teologi apapun niscaya lahir dalam konteks. Itu sebabnya Teologi Terlibat saya kagumi sebagai tawaran buah pikir Pater Budi untuk merespon serbaneka wajah dan kompleksitas persoalan di Indonesia tercinta ini.
Para imam bahkan setiap umat Katolik tidak bisa tidak terlibat dalam segala segi keindonesiaan kita, meski keterlibatan itu berbeda dalam wujud, sifat dan caranya.
Dalam konteks keindonesiaan kita, hemat saya, Teologi Terlibat menganjurkan setiap kita tidak berdiam diri dalam proses pembangunan bangsa (nation building) yang bersendikan pembangunan karakter (character building), dua hal yang selalu dikumandangkan Bung Karno.
Kita perlu aktif turut serta dalam upaya merekat-kuatkan tali kebangsaan dan kenegaraan kita, merawat keanekaan multidimensional (suku, ras, agama, budaya, ekonomi, dan sebagainya).
Teologi Terlibat menyerukan kita untuk tidak berdiam diri dan hanya pasrah melihat ketidakadilan, penindasan, kekerasan, kemiskinan dan kebodohan. Bersama dengan komponen-komponen lain bangsa, kita semestinya bergerak di setiap palagan/medan tempur untuk membela kebenaran dan memerangi kebatilan (terma Islam: amar ma'ruf nahi munkar).
Ringkasnya, Teologi Terlibat meminta kita menjadi agen cinta ilahi yang memancarkan sinar kasih Tuhan ke segenap lapisan masyarakat. Kabar baik dari Yesus Kristus hendaknya menyeruak di tengah berbagai komunitas, tidak saja dalam ajaran verbal-imperatif tapi terutama dalam tindakan riil di tengah masyarakat -- sekali lagi, khususnya di kalangan kaum yang menderita dan terpinggirkan.
Tantangan Seorang Imam
Meski cakupan tanggung jawab seorang uskup amat luas, namun dalam tulisan ini saya secara khusus menyoroti beban seorang uskup dalam membimbing para imamnya menghadapi tantangan dalam dunia dewasa ini.
Skandal seksual yang dilakukan sejumlah imam di berbagai belahan dunia, terutama Eropa dan Amerika menjadi indikator bahwa selibat adalah tantangan serius bagi para imam.
“Para imam adalah seorang yang selibat – dan mereka menginginkannya – hanya karena Yesus juga selibat. Persyaratan untuk selibat bukan hanya bersifat teologis, namun bersifat mistik: semoga hal ini dapat dipahami oleh mereka yang mampu,” tulis Kardinal Pietro Parolin akhir 2023 lalu.
Gulshan Ekka dalam artikel berjudul "Priesthood in Modern Age" menulis, para pastor tidak hanya berjuang untuk tetap kudus dan bertumbuh di dalamnya, namun juga menghadapi banyak tantangan untuk mewujudkan pelayanan imamatnya baik secara internal maupun eksternal.
Berikut ini empat tantangan yang dihadapi seorang pastor yakni tantangan rohani, tantangan sosial, tantangan seksual, dan tantangan psikologis.
Tantangan Rohani
Perkembangan teknologi, globalisasi dan konsumerisme menjadi tantangan buat para imam. Para imam cenderung terpengaruh oleh arus zaman. Seorang imam mungkin tergoda untuk menghabiskan banyak waktu di depan internet, televisi, dan menggunakan ponsel.
Lalu, waktu yang tersisa untuk berdoa, bermeditasi atau olah batin lainnya sangat sedikit dan kalaupun ada, ia mungkin merasa bosan dan kering, karena hidupnya berorientasi pada jadwal seperti itu.
Para pastor melibatkan diri dalam berbagai pelayanan seperti pembangunan sosial umat, pendidikan, menjalankan lembaga besar dan lain-lain, dan pada akhirnya mereka tidak mempunyai waktu untuk fokus pada kehidupan spiritualnya.
Mereka sangat mementingkan tugas. Meskipun seorang imam mungkin sangat cerdas, terpelajar, efisien dan efektif, tanpa doa ia tidak akan mempunyai pancaran rohani.
“Pastor yang tidak berdoa lambat laun kehilangan kredibilitasnya, karena umat mencari bimbingan dan dukungan dari mereka yang berdoa dan spiritual. Ketika doa ditinggalkan, seorang imam akan dikelilingi oleh godaan dari segala penjuru seperti lebah, ia akan mendambakan kekuasaan dan kedudukan. Dia akan mengumpulkan uang. Alkohol akan menjadi teman tetapnya dan akan terjadi krisis dalam kesuciannya. Ini adalah titik terendah dalam kehidupan imam. Aspek yang menyedihkan dari kehidupan imam saat ini adalah bahwa gaya hidup modern telah menghambat keindahan kehidupan doa. Hal ini membutuhkan kebangkitan dan kebangkitan. Inilah kebutuhan saat ini untuk mencapai keseimbangan antara kenyamanan dan kehidupan spiritual.”
Tantangan Sosial
Ada era di mana umat biasa datang berkonsultasi dengan pastor untuk segala urusan. Pastor adalah orang yang paling terpelajar di masyarakat. Seorang pastor dianggap sebagai mercusuar masyarakat. Kini masyarakat sudah lebih berpendidikan.
Oleh karena itu peran pastor saat ini lebih menantang. Tantangan terhadap panggilan imam secara historis dianggap sebagai tantangan yang muncul dari konsep negatif tentang dunia. Tidak ada yang diharapkan baik atau suci dari dunia ini dan oleh karena itu tradisi budaya, adat istiadat, perilaku, nyanyian, tarian, pemikiran, tulisan dan semuanya terbukti sebagai tantangan yang harus diatasi oleh seorang pastor.
Tantangan Seksual
Imam Katolik antara lain dikenal dan ditandai dengan kehidupan selibatnya. Karunia selibat adalah landasan bagi seorang imam. Kewajiban selibat sebagai persyaratan untuk menjadi imam merupakan sebuah tantangan.
Pelecehan seksual yang dilakukan sejumlah 'oknum' imam telah sangat mencoreng citra Gereja. Hal ini juga menyebabkan menurunnya kepercayaan umat terhadap imam. Perilaku seksual yang menyimpang seperti homoseksualitas, pedofilia, pencabulan menciptakan sikap negatif terhadap imamat baik di kalangan umat Kristen maupun non-Kristen.
Pastor Tony Flannery, pensiunan berusia 76 tahun dari daerah Galway dan anggota pendiri ACP kepada Euronews pernah mengatakan, skandal pelecehan seksual yang terjadi di sekitar gereja adalah salah satu faktor utama yang mendorong orang menjauh dari agama.
Tantangan Psikologis
Karena para imam berurusan dengan pribadi manusia dalam pelayanannya, kedewasaan psikologis mereka sangatlah penting. Jika orang yang tertekan atau bermasalah menemui dan berkonsultasi dengan imam yang matang secara psikologis, kemungkinan besar dia akan menjalani kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya bila orang yang bermasalah itu "sharing" dengan pastor yang belum matang secara psikologis, masalahnya bisa menjadi lebih buruk.
Kematangan psikis yang tangguh akan diiringi dengan kematangan rohani yang kokoh pula. Oleh karena itu kedewasaan psikis seorang imam sangat penting untuk menjadi pribadi yang dewasa secara rohani. Orang yang matang secara psikologis adalah orang yang relasional. Jika seorang imam pertama-tama ingin menjadi efektif dalam pelayanannya, ia harus menjadi orang yang relasional.
Penutup
Pater Budi bukan orang asing bagi umat KAE. Sebelum melanjutkan pendidikan calon imam di Austria, Pater Budi (sebagai frater kala itu) masih sempat menjalani masa novisiat dan satu tahun sebagai filosofen (mahasiswa filsafat) di STFK Ledalero. Setelah ditahbiskan menjadi imam di Austria dan mengabdi sebagai pastor paroki di Swiss, Pater Budi kembali berkarya sebagai dosen di STFK Ledalero.
Sebelum diangkat menjadi Superior General SVD, Pater Budi pernah menjadi anggota dewan Provinsial SVD Ende. Tidak sedikit teman dan mantan anak muridnya yang kini menjadi imam di KAE. Memiliki kecerdasan di atas rata-rata, dengan kepribadian yang rendah hati dan egaliter, Pater Budi diyakini mudah diterima dan bisa bekerja sama dengan semua pihak, terutama dengan sesama imam di KAE.
Kendati demikian, tantangan akan selalu ada. Sebagai imam, Pater Budi dan para koleganya di KAE ditantang secara intelektual, fisik, emosional, dan spiritual di medan karya. Seorang imam harus selalu sadar akan panggilan pemuridannya, yang meliputi keberpihakan dan kepedulian terhadap fakir miskin dan yang membutuhkan serta pengabdian tanpa pamrih kepada kemanusiaan.
Seorang imam memerlukan pertobatan dalam cara hidupnya untuk menghadapi tantangan dan untuk bersaksi tentang Kristus, yang hanya dicapai melalui integrasi tubuh, pikiran dan jiwa serta hubungan pribadi yang mendalam dengan Tuhan.
Proficiat Mgr. Paulus Budi Kleden, selamat berkarya bersama umat KAE. Kami akan selalu mendukungmu lewat doa dan karya. *
Sumber: Akun Facebook Valens Daki Soo