|
Ferdy Levi |
Oleh: Pater Frans Ndoi, SVDPak Ferdy Levi itu saya kenal sejak tahun 1978. Waktu itu saya TOP di Katedral Ende bersama frater Egy Parera, sekarang Romo Egy dan bertugas di Mautapaga.
Kami berdua yang mengurus pemberkatan nikah Pak Levy yang sangat ganteng dan nona Theodora yang sangat cantik.
Sejak awal Pak Levy sudah berbicara tentang pembentukan paduan suara yang handal di kota Ende. Waktu itu belum ada.
Mencari koor untuk liturgi pernikahannya, tidak ada. Tidak lama sesudah itu terbentuklah PS Seraphim. Juga di Syuradikara dibentuklah paduan suara yang tak tertandingi sekolah lain.
Ketika kembali ke Ende, saya bertemu lagi Pak Levy. PS Seraphim sudah hidup dan terkenal.
Koor Syuradikara sudah maju. Sejak tahun 1982 sebagai diakon lalu sebagai imam baru yang ditempatkan di SMAK Syuradikara, saya akrab dengan Pak Levy. Cara melatih koornya sedikit semi militer.
Tidak boleh terlambat. Harus datang pada waktunya. Sepanjang latihan, suara tinggi membentak sudah biasa terdengar. Semua teks lagu harus dihafal.
Tidak ada yang pegang teks lagi ketika tampil di mana saja termasuk waktu misa. Mata harus melihat dirigen, bukan teks.
Beberapa kali talent scout untuk mencari anggota baru paduan suara, saya diikutsertakan.
Ada anak yang cantik tapi suara kurang meyakinkan tetapi terpilih. Pak Levy bilang: suara bisa kita stel, yang penting penampilan. Apalagi kalau koor untuk perlombaan antar sekolah. Sesudahnya kami berdua tertawa meledak. Kalau diingat dan diceritakan lagi, Pak Levy tetap tertawa meledak.
Latihan koor serentak menjadi latihan dirigen. Hampir semua anggota koor menjadi dirigen kemana saja mereka pergi sesudah tamat dari Syuradikara.
Nah, ratusan dirigen yang tersebar di seluruh pelosok tanah air adalah alumni Syuradikara. Sampai sekarang, Pak Levy secara tidak langsung membuat kaderisasi dirigen.
Pak Levy juga mulai mengumpulkan semua lagunya dan beberapa lagu komponis lain, yang kemudian diterbitkan dalam buku Exultate. Pada setiap cetakan baru, sering ada lagu baru.
Pak Levy juga mengumpulkan lagu-lagu Maria dalam kumpulan lagu yang berjudul AVE MARIA. Pak Ferdy Levi ikut menyusun buku lagu YUBILATE baru yang beredar di wilayah keuskupan Nusa Tenggara sejak tahun 1991.
Sejak 1989 sampai tahun 2002, saya berada di luar SMA Syuradikara. Pada tahun 2003, saya kembali ke SMAK Syuradikara. Mula-mula saya hanya mengajar jurnalistik dan melatih siswa menulis mudah dengan ragam jurnalistik.
Saya juga diminta mengajar bahasa Inggris. Meskipun saya memiliki sertifikat advanced dalam bahasa Inggris dari sebuah International English Course di London, tetapi banyak metode mengajar saya belajar dari Pak Ferdy.
Ini terutama ketika bersama-sama memberi bimbingan test bagi siswa-siswi kelas tiga menjelang UAN. Pak Levy memberi English structure sedangkan saya diminta Pak Levy untuk mendampingi siswa dalam soal reading dan listening.
Kerja sama baik ini membawa hasil. Persis tahun terakhir Pak Levy di Syuradikara, dua siswi mendapat nilai 100 bahasa Inggris dalam ujian akhir nasional. Pak Levy anggap ini hadiah terindah sebelum pensiun.
Saya juga masih menyaksikan kehebatan Pak Ferdy Levi memberi latihan drumband dan marching band. Setiap perayaan hari proklamasi, masyarakat Ende menunggu barisan drumband Syuradikara. Penampilan yang selalu luar biasa.
Alumni Syuradikara pasti masih ingat "dislingkes" yang dibawahi Pak Ferdy Levi. Disiplin, lingkungan dan kesehatan. Ini adalah markas pembentukan mental dan disiplin siswa.
Syuradikara dijuluki sekolah berdisiplin tinggi adalah hasil perjuangan dislingkes. Mentalitas tepat waktu ditempa di dislingkes.
Satu hal lain adalah doa. Pak Ferdy Levi adalah pendoa yang penuh iman. Devosinya khusus kepada Santo Yosef Freinademetz, misionaris pertama SVD ke Tiongkok. Banyak masalah dan kegiatan yang dimulai dengan doa lewat perantaraan santo ini.
Iman Ferdy Levi terlukis dalam lirik-lirik lagunya. Dalam lagu-lagunya, dia tidak menyapa Tuhan dengan kata "Engkau" tetapi "Dikau".
Kalau ada lagu menggunakan kata "Dikau", itu pasti lagunya Ferdy Levi. Tradisi membaca Kitab suci setiap pagi, doa Angelus pada pukul 12 siang, harus diakui dimulai oleh Pak Ferdy Levi.
Siapa Ferdy Levi? Seorang yang komplit. Kita tahu, untuk terjadinya sebuah paduan suara, harus ada lima unsur. Pertama harus ada lagu. Tanpa lagu, paduan suara tidak berfungsi.
Ferdy Levi menyiapkan lagu dalam Exultate. Unsur kedua adalah komponis. Tanpa komponis, tidak ada lagu. Pak Levy itu adalah komponis lagu-lagu ibadat Katolik. Sangat banyak lagu hasil karyanya yang sudah beredar.
Unsur ketiga ialah organis. Pak Levy juga adalah seorang organis yang luar biasa. Unsur keempat penyanyi atau paduan suara. Pak Levy pun memiliki suara tenor yang luar biasa. Dan kelima ialah dirigen. Tidak ada yang meragukan bahwa Pak Ferdy Levi adalah dirigen yang bisa menggerakkan paduan suara.
Ada dua peristiwa besar yang patut dicatat. Ketika Tahun Maria di Maumere tahun 1988, Pak Ferdy Levi menggetarkan stadion Samador dengan lagu HYMNE MARIA diiringi van Fare Ende, terompet, clarinet dan Saxophone. Sangat luar biasa. Lagu ini menjadi hit dalam ekaristi Tahun Maria.
Peristiwa kedua adalah tahbisan Uskup Longginus da Cunha pada 16 Juli 1996 di lapangan bola SMA Syuradikara. Pak Ferdy Levi mampu memimpin paduan suara yang berjumlah tak kurang dari 1.060 orang.
Mereka berasal dari beberapa paroki di kota Ende dan sekitarnya. Untuk latihan, setiap malam Pak Ferdy Levi dan sering juga didampingi istri, ibu Dora dari paroki ke paroki sesuai jadwal. Beberapa hari menjelang tahbisan, paduan suara berlatih bersama di lapangan Syuradikara.
Mungkin tidak berlebihan, sesudah PS Seraphim, terbentuklah beberapa koor gerejani di Ende. Khusus di Paroki Onekore, semua koor lingkungan yang tampil di gereja pada hari Minggu atau pada hari raya, biasanya melewati "finishing touch" dari Pak Ferdy Levi.
Hasilnya, semua koor lingkungan tampil luar biasa di gereja. Masih banyak paduan suara di beberapa paroki yang mendatangkan Pak Levi untuk memberi latihan atau masukan sebelum tampil di gereja.
Selain PS Seraphim, ayah dari empat anak ini membentuk vocal group yang bernama Golgotha Voice. Mereka pernah tampil mengisi acara di Ruteng ketika Uskup Edu Sangsun SVD ditahbiskan tahun 1984.
Dalam perjalanan itu bus malam Agogo yang mereka tumpangi kecelakaan beberapa ratus meter sebelum memasuki Borong. Semua penumpang selamat tapi alami cedera. Akibatnya ketika tampil di Ruteng, ada yang jalan agak pincang dan ada pula yang dahi atau pipi dibalut plester luka.
Hanya suara mereka yang tidak cedera. Mereka tetap menyanyi sangat menyakinkan.
Akhir kata, Pak Ferdy Levi, bukan hanya dikenal sebagai guru di SMA Syuradikara atau dosen di Uniflor. Pak Ferdy Levi adalah aset gereja, aset orang Katolik di keuskupan Agung Ende bahkan di seluruh Indonesia.
Lagu-lagunya dinyanyikan di banyak wilayah gerejani oleh ratusan paduan suara. Tak terhitung orang mengenal namanya walaupun tidak pernah melihat rupanya karena lagu-lagunya yang sangat khas dan lirik lagu yang mewakili cara mengungkapkan iman kepada sang Pencipta.
Pada hari Selasa 30 Juli 2024 mantan frater Projo ini mengakiri ziarah hidupnya pada usia 76 tahun setelah sakit dan hanya berbaring di tempat tidur sekitar empat tahun terakhir.
Berita kematiannya cepat sekali beredar ke seluruh pelosok. Selain alumni SMA Syuradikara juga mereka yang mengenal Pak Levy lewat lagu-lagunya di mana saja mengharapkan agar penghormatan terakhir untuk Pak Ferdy Levi dibuat sebaik mungkin.
Keluarga besar SMAK Syuradikara dan Ikatan Alumni Syuradikara Ende berusaha memenuhi harapan alumni Syuradikara dan umat Katolik dimana saja. Ketika alumnus IKIP Sanata Dharma ini meninggal kita disadarkan bahwa ia adalah milik banyak orang Katolik di Indonesia bukan cuma milik kita.
Dia luar biasa. Gajah mati meninggalkan gading. Pak Ferdy Levi meninggal, meninggalkan lagu-lagu gerejani yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Selamat jalan sang guru iman dan kehidupan. (*)
Sumber: Pos Kuang 9 Agustus 2024