Sagi Butuh Kelincahan Petinju

Tinju adat Sagi di Soa, Ngada (2015)
SELASA (12/5/2015) pukul 14.00 Wita, Kampung Libunio, Desa Libunio, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada dipadati ribuan warga yang menyaksikan pagelaran  Sagi atau tinju adat. Hadir juga Bupati Ngada, Marianus Sae, Wakil Bupati, Paulus Soliwoa, Ketua DPRD, Helmut Waso dan beberapa pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Ngada.

Dalam waktu empat jam, tersaji 29 partai pertandingan yang memuaskan para penonton. Setiap partai melakonkan tiga sampai lima ronde. Para petinju ada yang mengalami luka lecet, bengkak bahkan berdarah di pipi, hidung, bibir dan pelipis. Meski dalam kondisi berdarah, mereka tetap enjoy dan di akhir pertarungan mereka saling memaafkan sebagai wujud sportivitas.

Bagi petinju Sagi, kondisi luka, bengkak bahkan berdarah di bagian wajah menjadi hal biasa. Sagi merupakan tinju adat yang saling memberikan pukulan dengan wilayah sasaran adalah bagian wajah.

Di babak pemanasan mulai dari partai pertama sampai partai kelima, para Mosa (orang yang mengatur petinju) menurunkan petinju kelas menengah dan didominasi peserta tuan rumah. Di partai pemanasan ini, petinju hanya bertarung dua sampai tiga ronde. Namun, di partai keenam hingga partai ke-29, peserta yang tampil adalah petinju berpengalaman, mereka peserta sudah sering bertarung di setiap acara Sagi di wilayah itu, bahkan ke luar daerah seperti  tinju adat Etu di Boawae, Kabupaten Nagekeo.

Gaya dan taktik peserta kelas ini sangat menarik perhatian penonton. Di kelas ini biasanya mereka bertarung hingga lima ronde. Sagi merupakan tinju adat yang cukup populer bagi masyarakat Soa dan sekitarnya. Karena dalam Sagi, banyak hal menarik yang ingin disaksikan penonton seperti peserta tinju, gaya tinju, taktik dan juga hasil tinjunya. Namun, warga kampung yang biasa menonton Sagi sudah mengetahui kalau Sagi itu mulai seru saat para Mosa memasukkan peserta tinju kelas atas dan biasanya pertarungan petinju kelas ini dilakukan di pertengahan tinju atau saat penonton sudah mulai banyak.

Dalam Sagi, para petinju membutuhkan kelincahan dan teknik tinggi menyerang lawan. Tinju semakin menarik, ketika peserta saling menyerang dan memberikan pukulan telak ke wajah lawan. Saat-saat seperti itu, para penonton akan berteriak untuk memberikan semangat. Akan tetapi, ketika salah satu dari peserta berdarah, entah di pipi, hidung, bibir atau pelipis, para penonton terkadang diam sambil mengucapkan kata-kata iba. "Aduhhh kasian!! Dia kena di bibir. Lihat dia punya bibir darah," kata beberapa penonton.

Pertarungan seru juga terlihat  ketika salah satu petinju mendapat pukulan telak dari lawannya. Semakin banyak mendapat pukulan, semakin semangat pula para petinju menambah ronde. Tambahan ronde karena petinju ingin membalas pukulan lawannya. Kepuasan petinju muncul saat lawannya berdarah atau mengaku kalah. Namun, terkadang ada petinju yang merasa tidak puas dengan hasil pertarungan. Hal ini umumnya dirasakan petinju yang sering mendapat  pukulan berat, namun ia belum sempat membalasnya. Rasa dendam  muncul dalam diri petinju.

Ketika niat untuk membalas belum tercapai, biasanya salah satu dari peserta yang berdarah meminta untuk tambah ronde atau meminta berhenti bertarung, jika merasa tidak sanggup lagi. Keputusan ini dinilai oleh Sike atau orang yang bertugas memegang dan mengontrol jalannya tinju setiap peserta dan seorang penengah atay wasit (Dheo Woe). Dheo Woe bisa menghentikan pertarungan manakala pertarungan sudah tidak berjalan dengan baik.   

Tokoh adat Soa yang juga Ketua Panitia Penyelenggara Sagi, Thomas Sogo kepada Pos Kupang menjelaskan, peserta tinju yang belum puas dengan hasil pertarungan  tidak diperkenankan untuk protes, apalagi membuat keributan atau perkelahian. "Kalau antara mereka ada yang dendam, maka di Sagi berikutnya mereka dua bisa bertarung lagi. Yang penting rasa dendam jangan jadi permusuhan di luar arena," kata Thomas.

Menurut Thomas, setiap pergelaran Sagi, mosalaki dari berbagai kampung tetangga datang menyaksikan dan mereka juga membawa petinju untuk bertarung. Mereka langsung mengambil posisi yang sudah disediakan panitia, biasanya di ujung arena tinju (ulu-eko), seperti, bagian timur dan barat atau utara dan selatan, tergantung posisi kampung. Di tempat itu, para Mosa mulai menawarkan beberapa petinju yang siap bertarung dengan lawan. Mosa juga melakukan koordinasi soal peserta tinju yang akan bertarung, apakah kedua peserta itu layak atau tidak untuk bertarung. Hal ini dilihat dari faktor umur, pengalaman tinju (Sagi) dan faktor lainnya.

Menurut Thomas, Sagi atau tinju adat bagi masyarakat Soa, merupakan warisan budaya nenek-moyang yang harus dijaga. Sagi dimaknai sebagai acara syukuran panen yang diperoleh masyarakat dalam satu tahun.


Sagi memiliki tiga tahap pertama, Kobhe Dero yaitu, tahapan sebelum tinju dimulai. Dero dilakukan pada malam hari yang diawali dengan ritual menyongsong acara tinju keesokan harinya. Pada malam Dero itu, warga memulai dengan tarian dan nyanyian lagu-lagu. Mereka juga saling membalas pantun lewat lagu-lagu. Dero dilakukan hingga pagi hari.

Kedua, Sagi yaitu, acara inti yang dilakukan lewat pertarungan tinju. Peserta tinju terdiri dari dua orang, baik peserta tinju yang sudah disiapkan masing-masing kubu maupun penonton yang dipilih oleh Mosa saat acara berlangsung. Alat yang digunakan dalam Sagi disebut Woe. Woe terbuat dari kayu atau tanduk kerbau yang dilapisi dengan ijuk, pasir dan pecahan botol. Saat tinju, Woe diikat di telapak tangan petinju yang berfungsi untuk memukul lawan. Peserta tinju mengenakan pakaian berupa Lesu (kain yang diikat di kepala), selendang (kain penutup dada) dan kain penutup tubuh bagian bawah.    

Ketiga adalah Sogo, yaitu ritual akhir dari Sagi yang ditandai dengan belah kelapa oleh tua adat. Kelapa yang sudah dibelah  itu di lempar ke tanah dan apabila kedua belahan kelapa itu semuanya dalam posisi tertutup maka hal itu memberikan tanda bahwa hasil panen tahun itu dinilai gagal. Sebaliknya, hasil panen akan berlimpah ruah  apabila belahan kelapa yang dilempar itu satu bagiannya tertutup dan sebagiannya terbuka. Tanda-tanda seperti itu yang diakui warga setempat saat melakukan ritual adat. 

Thomas mengatakan, Sagi hanya digelar di beberapa kampung di Kecamatan Soa yakni, Boamuji, Piga, Wuli, Lebuni dan Loa. Pelaksanaan Sagi di beberapa kampung itu biasanya dari April hingga Juli. Kepala Desa Libunio, Blasius Gholo saat ditemui mengatakan, Sagi merupakan warisan budaya yang selalu dijaga oleh masyarakat setempat. Dan sepanjang sejarah, pelaksanaa acara Sagi belum pernah dibuat di luar kampung di Soa. Berbeda dengan pesta Reba yang bisa dilakukan di luar Ngada, seperti Reba di Kupang atau di Jakarta oleh masyarakat Ngada. Namun, untuk acara adat Sagi belum pernah dibuat oleh masyarakat Soa yang ada di luar daerah Ngada. (teni jenahas)

Sumber: Pos Kupang 31 Mei 2015 halaman 5

Indahnya Kebersamaan TNI dan Rakyat

Umat Stasi Deru (foto Egy Moa)
POS KUPANG.COM - Raut wajah Romo Vitalis Salung, Pr, Pastor Paroki Datak di Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Barat tampak semringah, Rabu (27/5/2015) pagi. Dia gembira menyaksikan gedung baru Kapela Deru yang berdiri kokoh di sisi utara lapangan SDN Watu Deru.

Keceriaan sang gembala umat Katolik itu beralasan. Sejak terbentuk stasi Deru enam tahun silam, umat hanya mampu mendirikan rumah darurat untuk ibadah. Atap dari alang-alang, dinding bambu dan lantai tanah. Dua tahun kemudian angin kencang dan hujan lebat merobohkan bangunan itu.

Sejak itu, ibadah mingguan pindah ke salah ruangan SDN Watu Deru, sekitar 100 meter  arah barat bekas bangunan kapela lama. Semenjak itu pula, umat swadaya mengumpulkan batu dan pasir guna mendirikan gedung baru, meski hingga tahun ketiga belum cukup membangun sendiri.

Pada awal April 2014 Kodim 1612 Ruteng melakukan survey lokasi kegiatan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-94 Tahun 2015 di Desa Lale. Pendirian rumah ibadah menjadi salah satu target program itu. Romo Vitalis, dewan stasi dan umat sempat ragu-ragu menanggapi rencana itu. Pasalnya umat hanya punya tenaga dan tanpa modal finansial. Namun, kekhawatiran itu sirna ketika Komandan Distrik Militer (Dandim) 1612 Ruteng, Letkol (Kav) Imron Rosadi, SE memimpin Satgas TMMD ke lokasi dua hari jelang pembukaan TMMD, Rabu 7 Mei 2015.

Seluruh umat gembira menyambutnya. Kehadiran Satgas TMMD,ibarat dewa penolong. Keceriaan tampak sekali di Deru dan Lale, basis kegiatan TMMD.
Mereka mulai kerja bareng. Setiap hari, ratusan umat pria dan wanita dewasa hingga anak-anak usia sekolah bersama Satgas TNI bahu-membahu mendirikan gedung baru. Kaum wanita dan anak-anak memikul air dari kali, mengangkat batu, adonan semen hingga menyiapkan makanan dan minuman. Tak terasa di hari ke-21, sebuah gedung ukuran panjang 20 dan lebar 10 meter rampung.

Satgas TNI dinilai Romo Vitalis, memberi banyak nilai positif kepada umat. Kehadiranya mereka di kampung tak hanya menghadirkan kapela baru di Deru, musola di Lale, rehabilitasi Kapela Loi, rehabilitasi jaringan air bersih dan pembukaan jalan baru. Mereka meninggalkan pesan moral tak ternilai yakni semangat kerja keras, gotong-royong, kebersamaan dan solidaritas.

"Tidak terbayangkan sebelumnya. Ternyata pekerjaan yang besar dan seberat apapun bisa diselesaikan dengan gotong-royong," ujar Romo Vitalis. Romo Vitalis terharu menyaksikan kebersamaan prajurit  TNI dan umat. Kedekatan dan keakraban telah menjauhkan jarak dan cara pandang masyarakat terhadap korps berbaju loreng yang dianggap angker dan kasar.

"Saya bersama umat hanya bisa bilang terima kasih. Kalau tunggu swadaya umat, tidak tahu kapan kapela ini akan jadi. Hari Minggu (31/5/2015), saya misa di  stasi ini, akan kami pakai gedung baru," kata Romo Vitalis. Keceriaan umat polos tanpa rekayasa. Romo Vitalis bersama murid SDN Deru, prajurit TNI, Polri, dan warga bersukacita menari di lapangan merayakan sukses program TMMD.

Sekretaris Daerah Manggarai Barat, Rofinus Mbon, SH, MSi, mengingatkan bahwa kapela dan musola yang dibangun susah payah oleh Satgas TMMD dimanfaatkan bagi pengembangan iman umat. Juga pembentukan sikap dan karakter generasi muda menyongsong hari esok yang lebih baik.

Demikian halnya dengan jalan rintisan sepanjang 3,2 km. Rofinus minta warga yang punya lahan di sisi kiri dan kanan jalan agar membuka kebun menanam berbagai jenis tanaman perdagangan. "Percuma jalan yang sudah payah dibangun melewati batas-batas kebun, tapi lahan dibiarkan kosong. Tahun 2016 akan ditingkatkan dengan telford. Luar biasa kegiatan yang dihasilkan TMMD, dalam  21 hari seluruh pekerjaan beres,"puji Rofinus saat menutup TMMD di Lapangan SDN Watu Deru, Rabu (27/5/2/2015).

Kepala Bagian Pembangunan Setda Manggarai Barat, Salvador Pinto, menilai pekerjaan jalan, rumah ibadah dan air bersih yang dilakukan TMMD dalam tempo 21 hari, tak sepadan dengan alokasi dana swakelola Rp 700 juta dari Pemkab Manggarai. Menurut Pinto, Satgas TNI memberi nilai lebih tinggi bila semua pekerjaan itu dihitung dengan proyek.

Rancangan Anggaran Biaya (RAB) untuk pembangunan kapela Rp 115 juta untuk pekerjaan pondasi, tiang sampai atap seng (rangka kayu). Tanpa dinding, pintu dan daun jendela. Tetapi Satgas TMMD memberi nilai lebih mendirikan bangunan yang utuh dengan rangka baja ringan sampai finishing.

Musola Lale, dialokasikan Rp 65 juta untuk rehabilitasi. Tetapi Satgas TMMD mendirikan gedung tembok baru dengan rangka baja ringan sampai finishing. Kapela Loi direhabitasi 28 juta namun disulap jadi baru, jaringan air bersih Rp 40 juta dan pembukaan jalan baru Rp 452 juta. "Satgas TMMD menciptakan lebih banyak efek positif, lebih maju dan lebih tinggi nilainya. Tentang semangat gotong-royong, kebersamaan, disiplin dan kerja keras. Kami belum menghitung nilai aset yang sudah dibangun ini. Tapi kalau dinilai dengan proyek, angkanya jauh di atas Rp 700 juta," ujar pria asal Timor Leste ini. (egy mo'a)


Sumber: Pos Kupang 31 Mei 2015 halaman 4

Khasiat Jitu Batu Penis Raksasa

Batu Penis di Liangbua Manggarai, Flores
Batu penis raksasa di Liang Bua, Manggarai sudah banyak menolong  pasangan suami istri yang sulit mendapatkan momongan.

KEBERADAAN batu kemaluan (penis stone) di Liang Bua, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai belum setenar Liang Bua, gua tempat ditemukan sembilan tulang-belulang Manusia Flores atau Homo Floresiensis. Homo Floresiensis yang dijuluki hobbit  adalah nama yang diberikan pakar antropologi dan tim gabungan Australia-Indonesia terhadap spesies dari genus homo yang punya tubuh dan volume otak kecil.

Menurut serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu), individu sisa tulang itu diberi kode LB1-LB9. Postur tubuh paling tinggi sepinggang manusia moderen sekitar 100 cm. Pos Kupang  sudah empat kali mengunjungi gua yang terkenal ke sentero jagat pasca penemuan Homo Floresiensis tanggal 6 September 2003.

Kerja sama penggalian dilakukan tim gabungan Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia dipimpin Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkelogi Nasional (dulu Puslit Arkenas) dan tim Australia dipimpin Mike Marwood dari Universitas New England.

Pada kedalaman lima meter (ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman  itu), ditemukan kerangka mirip manusia yang luar biasa kerdil. Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan fosil), tetapi rapuh dan lembap. Terdapat sembilan individu, namun tidak ada yang lengkap. Diperkirakan Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan.


Individu terlengkap, LB1, diperkirakan berjenis kelamin wanita ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000 tahun. Bagian yang ditemukan berupa tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri) dan beberapa tulang badan. Individu lainnya berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun.
Batu Penis di Liangbua, Manggarai

Agaknya sudah banyak publikasi tentang manusia kerdil dari Liang Bua. Yang masih sayup adalah cerita tentang batu berbentuk penis atau batu kemaluan. Guna menghilangkan rasa penasaran itu, Selasa tanggal 5 Mei 2015 pukul 08.00 Wita Pos Kupang bergegas ke Liang Bua. Cerita tentang batu penis pernah disampaikan pemandu wisata Kornelis Jaman, dua tahun silam  saat  Pos Kupang  ke Liang Bua. Tetapi  saat itu konsentrasi tercurah kepada penemuan berbagai fosil binatang purba oleh tim Arkelogis Nasional.

Batu berbentuk alat kelamin pria itu berdiri kokoh di dalam gua. Letaknya agak ke utara dekat dinding gua dan langit-langit gua yang dipenuhi stalaktit. Dari depan gua yang berukuran panjang 50 meter, lebar 40 meter dan tinggi 20 meter, batu penis itu tampak kokoh di antara batu-batuan lainnya.

Bila tujuan utama kedatangan  ke Liang Bua untuk mengamati batu penis, maka tidak sulit mengenalinya. Bentuk batuan warna putih kelabu tersebut memang mirip penis. Pos Kupang bersama Kornelis, mengukur batu penis raksasa ini. Bukan main besarnya. Bayangkan, panjang batu penis 80 cm, lingkaran helm 95 cm dan lingkaran bawah dekat pangkal 132 cm.

"Besar sekali. Saya tidak sempat mengukurnya selama ini," kata Kornelis sambil terbahak-bahak. Pengenalan Kornelis dengan batu penis raksasa ini bukan kebetulan saja. Sejak kecil, neneknya Antonius Agang (80) selalu bercerita kepada Kornelis tentang legenda Liang Bua.

Antonius, cerita Kornelis, bukan dukun. Tapi pernah ada pasangan suami istri yang telah lama menikah dan belum punya keturunan menemui nenek Antonius. Dia memberi pasangan itu "ramuan" berupa air rendaman batu asah. Setelah minum air tersebut, pasangan ini dikaruniai anak.

Suatu ketika, kata Kornelis, sang nenek menceritakan lagi batu mirip penis di Liang Bua. Batu penis itu,katanya,  merupakan milik orang tertua yang tinggal di dalam gua ribuan tahun silam. Mengapa penis milik penghuni Liang Bua menjadi batu, Kornelis mengaku tak punya kisahnya.


Entah sejak kapan penis raksasa itu tersohor, Kornelis pun tak ingat lagi ceritanya. Seingat Kornelis, suatu ketika pada  tahun 2011, dia ditemui sepasang suami istri asal Ruteng. Raut wajah mereka kurang cerah seperti ada soal yang hendak dibagikan kepada Kornelis. Delapan tahun menikah, pasangan itu trak kunjung mempunyai momongan.
Batu Penis di Liangbua Manggarai, Flores

Kornelis menyatakan, ada berbagai syarat yang mesti dipatuhi berkaitan dengan legenda batu penis itu. Yang paling penting, kata Kornelis, permohonan (sungke dalam Bahasa Manggarai) dan niat kepada batu penis. "Syaratnya, pertama tidak boleh memberitahu atau menceritakan kepada siapapun bila niatnya ke Liang Bua mengambil `ramuan' dari batu penis ini. Datang berdua bersama pasangan. Bila mau mengorek bagian batu penis ini atau mengambil air yang jatuh dari gua, tidak boleh memandang ke belakang. Tidak boleh juga dilihat orang. Pada waktu mau pulang juga tidak boleh lihat ke belakang," kata Kornelis.

Menurut Kornelis, pasangan dari Ruteng mengorek sedikit batu penis, mengambil air yang jatuh dari stalaktit dan mencampurkanya ke dalam botol plastik untuk dibawa pulang. Ramuan itu diminum selama lima hari setiap bangun pagi dan sebelum berhubungan suami istri "Sebulan lebih kemudian, pasangan ini menemui saya menyampaikan khasiat ramuan batu penis. Entahlah istrinya hamil atau berhasilnya seperti apa, mereka tidak jelaskan detail," demikian Kornelis.

Kornelis yang  sudah 15 tahun dipercaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Manggarai mengelola Liang Bua mengatakan sudah 12 pasangan suami istri yang datang kepadanya menyampaikan niat serupa.

Cerita mujarab batu penis raksasa itu juga menjadi bagian dari tugas pemandu wisata. Kepada setiap pengunjung terutama yang dewasa, baik wisatawan domestik maupun asing, Kornelis tak sungkan mempromosikan khasiat batu penis raksasa ini.  "Kalau pengunjung  punya niat yang kuat, mereka akan kembali lagi.

Mengorek batu penis dan mengambil air dari stalaktit. Saya yakin dengan publikasi ini akan menarik perhatian orang yang punya niat khusus untuk mencobanya. Silahkan datang, dengan senang hati saya memandu," demikian  Kornelis. (eugenius mo'a)

Sumber: Pos Kupang 10 Mei 2015 halaman 5

Susilowati Selamatkan Bumi dari Sampah

Susilowati Koopman (foto feliks janggu)
Mengolah sampah menciptakan bumi baru bagi generasi mendatang. Demikian ide besar Ibu Susilowati Koopman di balik pendirian Bank Sampah Flores di Kota Maumere Kabupaten Sikka, 14 Februari 2014 lalu, bertepatan dengan Hari Valentine.

"Pada zaman modern sekarang ini, banyak orang mengapresiasikan cintanya lewat kado. Pada saat bersamaan, dunia ini penuh dengan sampah. Lalu siapa yang kelola? Saya pun mau menjadi pemulung dan mengabdikan cintaku pada sampah," kata Ibu Susilowati di kantor pusat Bank Sampah Flores di Pantai Paris, Maumere, Rabu (29/4/2015).

Satu tahun sudah Bank Sampah berada di Kota Maumere.  Keberadaannya banyak membantu mendidik masyarakat untuk tidak membuang sampah, menjaga kebersihan lingkungan dan memanfaatkan sampah untuk menambah pendapatan keluarga.Susilowati khawatir  jika sampah tidak diolah, maka ribuan bahkan jutaan tahun nanti sampah akan mengusai bumi ini.

Dibantu Fransiskus Xaverius Iri dan Fransiskus Xaverius Soi Sabe, Ibu Susilowati melayani nasabah yang kini menyebar di delapan kelurahan di Maumere. Nasabah individu sebanyak 769 orang tidak termasuk lembaga pendidikan, lembaga gereja dan kantor-kantor pemerintahan di  Sikka.

 "Nasabah kita itu individu, sekolah, rumah sakit, puskesmas. Paling luar biasa itu  lembaga-lembaga gereja setiap kali menabung di Bank Sampah sampai 1/2 ton per bulan," kata  Susilowati.


Bank Sampah Flores sudah  memiliki 21 Bank Sampah Unit yang tersebat di beberapa titik, sebut beberapa di antaranya Bank Sampah Unit Madawat, Bank Sampah Unit Geliting, Bank Sampah Unit Mauloo dan lainnya.

Adapun yang ditabung,  antara lain kaleng, kertas, plastik, botol dan sebagainya. Sampah-sampah itu ditabung di Bank Sampah untuk kemudian diolah menjadi barang yang bisa dipakai lagi, seperti piring, tas, keranjang, meja, lemari dan aneka produk lainnya.

Kini produk tas Bank Sampah Flores menjadi penjualan tertinggi. Bank sampah Flores kini tengah memenuhi pesan piring dan keranjang dari Denpasar, Bali. Adapun produk Bank Sampah Flores,  antara lain  program sekolah sampah bagi masyarakat. Bank Sampah Flores memberikan pelatihan kepada masyarakat untuk mengelolah sampah secara mandiri menjadi barang-barang berharga yang bisa dimanfaatkan kembali untuk keperluan rumah tangga.

Program lainnya, beasiswa bagi nasabah. Nasabah menabung sampah, dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, nasabah sudah bisa mengambil tabungannya di Bank Sampah. "Baru satu anak yang mengambil program ini, setiap hari dia menabung sampah, dan menurut ibunya dia menabung untuk kuliah," kata Susilowati.

Bank Sampah Flores berbasiskan kesadaran masyarakat, mengurangi  beban pemerintah mengelolah sampah di kota, dan berorientasi kepada lingkungan hidup.


"Jika masyarakat mengelolah sampah secara mandiri dengan baik, lingkungan jadi sehat, sampah juga membawa keuntungan ekonomi," tambah Susilowati. Sampah juga bisa ditukar dengan pulsa telpon, pulsa listrik dan akan dibuka Kios Barter Sampah di Pusat Bank Sampah Flores di Pantai Paris.

Muara dari semua perjuangan Susilowati adalah Zero Waste (sampah nol) di Flores. Perlu perjuangan, adanya perubahan mindset (pola pikir, Red) masyarakat tentang sampah. Perlu edukasi terus-menerus. 

Filosofi pengelolaan sampah di Bank Sampah Flores adalah Reduce, Reuse, Recyle, Responsibilyty, Revolusi Mental dan Action atau disingkat 5R1A. Relawan Green Indonesia Eco Flores ini mengatakan, semua permasalahan  terkait sampah adalah perilaku.

Dia harus membagi waktu antar kesibukan mengolah sampah di Kota Maumere dan mengajar di Komodo Mangarai Barat, Ruteng-Manggarai, Sumba, Maumere dan Larantuka. "Saya juga relawan Green Indonesia dari Eco Flores," ujarnya.

Susilowati bertekad membangun monumen Bank Sampah Flores di Kota Maumere. Monumen sampah Flores itu mungkin bisa menjadi satu hal yang menarik wisatawan di Kota Maumere. "Tidak bisa membangun pariwisata tanpa kota yang bersih. Salah satu barometer pembangunan pariwisata itu, kotanya harus bersih. Bank Sampah Flores sangat mendukung program pemerintah daerah Sikka, menjadikan Pariwisata Leading sektor pembangunan," ujar Susilowati.

Flores is Magic
Mengapa Susilowati mengabdikan hidupnya untuk masyarakat Kota Maumere? Dia mempunyai kisah panjang sampai akhirnya dia jatuh cinta dengan Maumere.

Baginya, Flores is Magic. Sejak pertama kali menginjak Flores di Pantai Paga, tahun 1998 bersama dengan suaminya,    Herman Koopman asal Belanda, Susilowati jatuh cinta. "Saya benar-benar jatuh cinta dengan Flores. Flores is Magic," ujar ibu empat anak ini.

Susilowati lahir di Rowoseneng,  Jawa Tengah, 3 November 1967. Ayahnya bernama Mulyono, seorang gitarist dan penyanyi terkenal di desanya dan ibunya bernama Ariati.  Kedua orang tuanya telah tiada. Susilowati memilih tinggal jauh dari suami dan anak-anaknya. Suami Susilowati bekerja di Kedutaan Belanda di Afganistan. Putra pertamanya di Irlandia, anak keduanya di Australia sambil kuliah, Morlies Koopman di Bali dan Isabel Kooman di Maumere bersama dirinya.

"Suami saya seorang petani di Afganistan, saya seorang pemulung, anak pertama saya ngamen di Irlandia dan anak kedua ngamen di Australia," kata Susilowati.

Susilowati menceritakan kenangan indah saat dirinya dan suami memutuskan meninggalkan Pakistan dan bekerja di Paga, Sikka tahun 1998. "Itu keputusan yang sangat sulit. Kami punya kehidupan yang baik di Pakistan," ujarnya.

Pertama kali menginjak kaki di Paga, kata Susilowati, dirinya langsung jatuh cinta dengan penyambutan keluarga di Paga.

Susilowati pernah menjadi perawat di RS Samarinda Kaltim, tetapi meninggalkan pekerjaan itu dan bersama suaminya ke Belanda. Dia berkenalan dengan Herman saat Herman menjadi VSO (Volunter Seas Overseas) dari Inggris. "Kami bertemu dan jatuh cinta, sampai komitmen menikah di sana. Saya diangkat menjadi anak Suku Dayak, dia juga," cerita Susilowati.

Selama berada di Sikka, Susilowati mendampingi suaminya. Tetapi dia pun bingung tinggal di Paga karena tidak ada hal yang bisa dikerjakan. Akhirnya dia melamar di Care International.
Tetapi demi pendidikan anak-anak, Susilowati  memilih  hijrah ke Denpasar. Anak-anaknya pun sekolah di Bali. Tetapi setelah semua anaknya mandiri, Susilowati memutuskan mengabdikan talentanya bagi masyarakat Kabupaten Sikka.

Susilowati setiap tiga bulan sekali baru bisa bertemu dengan suaminya, sedangkan anak-anaknya bertemu setiap kali perayaan Natal. "Kami berkomitmen, perayaan Natal harus bersama. Bisa di Maumere, bisa di Bali atau atas kesepakatan bersama," kata Susilowati.

Untuk memuaskan rasa rindu dengan anak-anaknya Susilowati mengaku sangat terbantu dengan teknologi komunikasi yang semakin canggih saat ini. "Saya bisa melihat wajah anak-anak setiap hari, berkomunikasi setiap hari. Saya merasa mereka tidak jauh dengan saya," ujarnya. (feliks janggu)

Sumber: Pos Kupang 5 Mei 2015 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes