Keindahan Motif Kain Tenun Nusa Tenggara Timur

KECINTAAN Musa Widyatmodjo pada budaya Indonesia membuat desainer ini selalu fokus pada eksplorasi kain-kain khas Indonesia. Setelah mengeluarkan koleksi The (Ine) Kelimutu beberapa bulan lalu, dalam ajang Jakarta Fashion and Food Festival kali ini ia mengeluarkan koleksi terbarunya, The Flobamora Indone(she)aku.

"Koleksi ini banyak bercerita tentang berbagai keindahan dan kekayaan motif kain tenun dari Nusa Tenggara Timur," ungkap Musa menjelang show-nya di Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (23/5/2012) lalu. Dalam koleksinya kali ini Musa banyak menggunakan kain-kain dari "Flobamora", yang tak lain singkatan dari pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, yaitu Flores, Sumba, Timor, dan Alor.

Tak mudah mengolah kain tenun. Kesulitannya sangat terasa ketika proses pemotongan bahannya, karena jika salah potong maka pola garis di kain tenun ini akan menjadi tidak simetris atau tidak sejajar. "Setiap kain tenun punya motif dan warnanya sendiri-sendiri. Namun, Musa bisa mengombinasikan aneka motif dan warna tenun yang berbeda-beda ini dalam satu paduan busana yang serasi," puji Lusia Leburaya, Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT.

Musa memadukan kain tenun dengan ketrampilan khas dari kawasan lain di Indonesia, seperti bordir bunga anggrek timbul dari Tasikmalaya, motif selendang sulam suji dari Koto Gadang, dan juga batu kaca (glass bead) dari Jombang.

"Namun, kain tenun yang digunakan untuk baju ini adalah kain tenun ikat, dan bukan kain tenun sotis. Ini dilakukan untuk menekan biaya produksi dan harga jualnya," ungkap desainer yang terkenal dengan karakter simplicity with handycraft detailing in.

Ia menggunakan beberapa jenis kain tenun dari NTT ini untuk menghasilkan 99 busana siap pakai yang bergaya simpel dan bisa dikenakan oleh semua perempuan dari beragam usia, warna kulit, dan bentuk tubuh. Ia banyak mengolah sarung, selendang, dan scarf menjadi busana dengan style dress, blus, rok, celana, lengkap dengan detailnya yang cantik.

Show The Flobamora Indone(she)aku terbagi dalam tiga bagian. Di bagian pertama, Stripe A Pose tampil sebagai koleksi Musa yang banyak menampilkan motif garis dengan kain tenun yang warnanya cenderung gelap namun kuat. Dengan motif garis, kain tenun yang dihadirkan dalam mini dress, bolero, dan kardigan, ini terlihat sangat tegas. Perpaduan kain tenun NTT dengan kain modern yang bergaris juga membuat kesan ringan dan nyaman saat mengenakan busananya.

Di sesi kedua, Musa menghadirkan tema Aesthetics, yang lebih kontemporer. Sedangkan di sesi ketiga, Musa menghadirkan koleksi yang bernuansa over the village. Desain yang digunakan menghadirkan kesan yang modern, berkat tambahan bordir bunga seperti pada pinggang, dada, atau bahu.

Melalui busana ini Musa ingin menunjukkan bahwa kain tradisional seperti tenun juga bisa bernuansa lebih modern. Blus bergaya formal, gaun dengan V-line yang agak lebar, serta sentuhan gaun backless, juga menambah pesona koleksi busana Musa yang didominasi warna-warna tenun ikat yang khas dan dalam. (*)

Sumber:  Kompas.Com

Dampak Alih Fungsi Lahan

ilustrasi
DUA hari terakhir  ada kabar duka dari tanah seberang. Di Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur hujan deras pada Kamis (24/5) dinihari telah menyebabkan banjir dan tanah longsor.  Empat orang meninggal dunia tertimbun longsoran tanah dan belasan rumah penduduk rusak  berat.

Pada hari yang sama belasan petambang di Gunung Gede, Desa Suka Mulih, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tertimbun tanah longsor akibat penambangan liar. Saat ditemukan hari Jumat  (25/5) pagi, empat petambang tak bernyawa lagi. Jumlah petambang yang tewas diperkirakan bertambah lantaran ada belasan orang yang terkubur material tanah dan pasir yang mereka gali.

Dua peristiwa tersebut di atas  mengindikasikan satu hal betapa tanah tempat kita berpijak semakin labil. Ia mudah tergerus air, ambles dan dalam banyak kejadian di negeri ini  justru telah menjadi mesin pencabut nyawa manusia. Hujan hanya beberapa saat saja langsung menimbulkan banjir bandang. Tanah yang telah jenuh pun lazimnya longsor dengan daya rusak mematikan.

Begitulah yang terjadi bila alih fungsi lahan tidak memperhitungkan keseimbangan ekosistem lingkungan. Banjir yang selalu menjadi momok menakutkan warga perkotaan di Indonesia merupakah buah dari ketidaktepatan rencana tata ruang sebuah kota.

Nafsu membabat lahan untuk membangun kawasan perumahan atau properti bisnis  kerapkali mengabaikan hasil analisis dampak lingkungan. Hasil survei dari berbagai lembaga terpercaya menunjukkan tidak lebih dari 10 persen kota provinsi dan kabupaten  di Indonesia yang aman dari ancaman bencana banjir setiap tahun.

Bagaimana dengan Sulawesi Utara? Kisahnya hampir setali tiga uang. Bencana tanah longsor bukan peristiwa langka di bumi Nyiur Melambai. Banjir bandang pun bukan tak pernah menghajar Kawanua. Pembangunan fisik kota-kota di Sulawesi Utara patut diacungi jempol. Dalam kurun waktu sepuluh sampai limabelas tahun terakhir terjadi perkembangan yang signifikan. Kemacetan yang terjadi saban hari di Kota Manado, misalnya, merupakan  salah satu  bukti kuat tentang konsekwensi logis dari kemajuan tersebut.

Hari-hari ke depan, alih fungsi lahan di Sulawesi Utara, entah untuk pembangunan properti atau bisnis pertambangan  bakal terus bergulir. Tentu dibutuhkan keseriusan pemerintah daerah serta semua stake holder di sini untuk menekan sekecil mungkin dampak kerusakan lingkungan yang berpeluang mencabut nyawa manusia serta harta benda.

Bumi Nyiur Melambai yang dikaruniai alam yang indah, subur dan sanggup memakmurkan rakyatnya lewat kekayaan sumber daya alam selama berabad-abad jangan sampai tergerus oleh kepentingan sesaat penguasa dan pengusaha. Bumi ini sejatinya tempat hunian anak cucu kita yang lahir kelak. Kita yang hidup saat ini sekadar menggunakannya untuk sementara. Jadi merawat bumi merupakan kewajiban utama bukan? (*)

Tribun Manado 26 Mei 2012 halaman 10

Cerdas Mengelola Informasi Publik

PEKAN Informasi Nasional (PIN) tahun 2012 di Manado telah berlangsung sejak kemarin. Kehadiran Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia  H Tifatul Sembiring menambah bobot event ini sekaligus memberi pesan penting betapa strategisnya pengelolaan informasi bagi kemajuan bangsa dan negara. Lalu apa relevansinya dengan kebutuhan pemerintah dan masyarakat  Sulawesi Utara?

Dua poin bisa kita sebut di ruang terbatas ini. Pertama, momentum PIN 2012 mestinya tidak sekadar ritual tahunan yang lebih menonjolkan kesan 'gebyar pesta' melalui beragam acara seperti parade budaya Nusantara, pemecahan rekor MURI untuk pengakses internet terbanyak, pameran, pentas seni dan lainnya. PIN 2012 di Manado yang menelan dana tidak sedikit itu bisa disebut sukses manakala agenda aksi selanjutnya sungguh menyentuh kebutuhan konkret masyarakat.

Masyarakat Sulawesi Utara membutuhkan layanan informasi publik yang lebih transparan sehingga membantu mereka menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari.  Kita masih menangkap suara masyarakat yang berkeluh-kesah. Galau dan kecewa lantaran sejumlah institusi publik pelit amat membuka akses bagi masyarakat.

Sekadar misal. Sampai saat ini baru segelintir warga masyarakat Sulawesi Utara yang dapat mengakses informasi tentang anggaran publik dari APBD yang ada di setiap instansi pemerintahan, baik di level pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota.  Kuat sekali kesan instansi pemerintah menganggap informasi tersebut tidak perlu dibuka seluas-luasnya bagi seluruh elemen masyarakat. Padahal itu perintah Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang secara resmi mulai berlaku dua tahun silam. Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal itu mewajibkan setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi masyarakat mendapatkan informasi publik.

Dalam banyak kasus korupsi yang menggurita di negeri ini, pemicunya justru akibat ketertutupan informasi publik itu. Sulawesi Utara mestinya belajar dari pengalaman tersebut untuk mengelola informasi publik dengan lebih cerdas, lebih profesional dan lebih pro rakyat.  Jika langkah kecil ini bisa dikerjakan dengan sungguh- sungguh niscaya bumi Nyiur Melambai lebih cepat maju dibanding daerah lainnya.

Kedua, momentum PIN 2012 di Manado juga menggugah kesadaran masyarakat Sulawesi Utara  agar lebih selektif terhadap informasi. Kemajuan teknologi informasi dewasa ini membawa dua sisi. Positif dan negatif. Betapa banyak orang telah menjadi korban karena tidak cerdas mengelola jutaan informasi yang diperolehnya setiap hari. Anak-anak dan remaja merupakan kelompok yang paling rentan memikul efek buruk dari informasi tersebut. Maka keluarga sebagai lembaga terdepan dalam membentuk generasi berkualitas harus menjadi filter selain guru dan masyarakat pada umumnya. (*)

Tribun Manado 23 Mei 2012 halaman 10

Kekayaan Kain Tenun Nusa Tenggara Timur

Tenun Ikat NTT
INDONESIA memiliki banyak kekayaan budaya dalam bentuk kain tradisional. Setiap daerah di Indonesia memiliki berbagai jenis kain yang indah, seperti songket, batik, tenun, dan lain sebagainya. Salah satu provinsi yang dikenal memiliki kain tenun dengan motif yang begitu kaya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT).

NTT memiliki 20 kabupaten dan satu kota yang dihuni oleh 15 suku atau etnis tertentu, dengan adat dan kebudayaan masing-masing.

"Masing-masing suku ini memiliki kreasi kain tenun mereka sendiri sesuai dengan adat, budaya, dan kesenian mereka. Ini terlihat dari corak hias atau motif tenunannya," ungkap Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT, Lusia Leburaya, menjelang show Musa by Musa Widyatmodjo "The Flobamora Indone(she)aku" di Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (23/5/2012) lalu.

Lusia mengungkapkan, setiap suku memiliki ragam hias tenunan, yang menampilkan berbagai tokoh mitos, binatang, tumbuhan, dan motif abstrak yang dijiwai dari penghayatan akan alam semesta. Lusia menambahkan, di Alor saja dapat ditemukan hampir sekitar 81 motif tenun.

Kain tenun yang dikembangkan oleh setiap suku di NTT ini merupakan seni kerajinan tangan yang diajarkan secara turun-temurun kepada anak-cucu. Kain tenun ini secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai busana sehari-hari, busana untuk tarian atau upacara adat, sebagai mas kawin, alat penghargaan dalam upacara kematian, alat pembayar denda adat, alat tukar (uang), perlambang strata sosial seseorang, alat penghargaan kepada tamu, sampai alat untuk menolak bencana.

Dalam masyarakat NTT, kain tenun dianggap sebagai harta kekayaan yang bernilai tinggi karena kain ini pembuatannya sangat sulit dan membutuhkan waktu lama. "Selain dibedakan dari motifnya, kain tenun juga dibedakan menurut proses pembuatannya, yaitu tenun ikat, tenun buna, dan tenun sotis," jelas Lusia.

1. Tenun ikat
Disebut kain tenun ikat karena proses pembentukan motifnya dilakukan melalui pengikatan benang-benang. Sedikit berbeda dengan di daerah lain dalam menggunakan cara benang pakannya  (benang yang dimasukkan melintang pada benang lungsin ketika menenun kain), masyarakat NTT menenun dengan mengikat benang lusi (lungsi). Kain tenun ikat banyak ditemukan tersebar merata di semua kabupaten NTT, kecuali di kabupaten Manggarai dan sebagian kabupaten Ngada.

2. Tenun buna
Tenun buna ini merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat sekitar di Timor Tengah bagian utara, dan banyak terdapat di kabupaten Kupang, Timor Tengah bagian selatan, Belu, dan Timor Tengah bagian utara. Proses pembuatan tenun buna dilakukan dengan mewarnai benang terlebih dulu. Benang yang sudah diwarnai kemudian digunakan untuk membentuk motif yang berbeda-beda pada kain.

3. Tenun lotis atau sotis

Lotis merupakan perpaduan dari kain tenun dengan gaya sulam. Tampilannya mirip dengan tenun songket. Proses pembuatannya mirip dengan tenun buna dimana benang harus diberi warna lebih dulu. Perajin tenun lotis biasanya akan melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu menenun dan menyulam beberapa motif, sehingga dalam satu kain akan terlihat motif seperti tiga dimensi karena jahitan yang agak menonjol keluar.

Gaya tenun ini banyak terdapat di Kupang, Timor Tengah bagian selatan, Timor Tengah utara, Belu, Alor, Flores Timur, Lembata, Sikka, Ngada, Manggarai, Sumba Timur, dan Sumba Barat. "Jenis kain inilah yang paling rumit proses pembuatannya, dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tak heran kalau harganya lebih mahal," tutur desainer Musa Widyatmodjo. (*)


Sumber: Kompas.Com

Kuburan Batu Berdaya Magis di Ratenggaro

Kubur Batu di Pantai Ratenggaro, Sumba Barat Daya, NTT
PANTAI  Ratenggaro, Selasa petang pekan pertama Desember 2011. Pesonanya tidak hanya bersumber dari pantainya yang eksotis. Kawasan pantainya terasa berdaya magis tinggi karena di sekitarnya tetap bertahan sejumlah kuburan batu tua peninggalan zaman megalitikum, sekitar 4.500 tahun lalu.

Keindahan Ratenggaro memang tidak diragukan. Garis pantainya berpasir putih, menghadap laut lepas berair bening. Deburan ombaknya tak pernah lelah menderu. Gemanya terdengar hingga perkampungan Desa Bondo Kodi, – tetangga belakang Ratenggaro, - melalui lengkungan muara Sungai Waiha di sekitarnya.

Ratenggaro sendiri sebenarnya nama kampung adat yang kini merupakan bagian wilayah Desa Ratenggaro, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya atau SBD di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya sekitar 35 km arah barat daya Tambolaka, kota Kabupaten SBD.

Kampung adat itu awalnya tumbuh di sekitar bibir pantai yang langsung menghadap Lautan Hindia. Rumpun perumahan yang semuanya bermenara, telah lenyap, entah sejak kapan. Yang tersisa kini sebagian kuburan batu.

Setidaknya ada tiga kuburan batu asli berusia sangat tua, yang masih utuh di sekitar bibir pantai itu. Sejumlah warga asal kampung setempat, seperti Daniel Winyo Bela (50), Hona Leko (42), atau Yosef Radokaka (37), secara mengalir mengisahkan kuburan batu format dolmen paling besar adalah ”rumah tinggal” leluhur mereka yang bernama Rato Pati Leko. Dua lainnya adalah kuburan dua putranya, Rangga Katoda dan Bhoka Roti.

Mereka bahkan tetap hafal kalau batu kubur leluhurnya itu diambil dari wilayah kampung adat tetangganya, Wainyapu, yang berlokasi di seberang muara atau teluk.

Di kisahkan lempengan batu itu sebelum dibentuk, berukuran raksasa. Proses penyeretannya di waktu silam melibatkan ratusan bahkan ribuan massa. Mereka tidak hanya leluhur Ratenggaro, tetapi juga leluhur warga dari sejumlah kampung tua lainnya di sekitarnya.

Setelah melalui ritual adat dengan hewan kurban tidak sedikit, batu kubur itu diseret beramai ramai hingga berhasil menyeberangi teluk yang juga merupakan muara Sungai Waiha di sisi timur Ratenggaro.

Mengutip penuturan para tetua, Hona Leko mengisahkan para leluhur penyeret batu kubur itu awalnya sempat ragu bisa melewati teluk karena kolam airnya cukup dalam, hingga setinggi leher orang dewasa.

”Namun saat penyeretan hendak menyeberangi teluk, mukjizat datang. Air lautnya tiba tiba surut hingga upaya penyeretan berhasil menyeberangi teluk tanpa halangan berarti,” tutur Hona Leko.

Ritual Marapu


Kampung adatnya sendiri– entah sejak kapan pula–sudah dipindahkan ke lokasi lain di sekitarnya. Tetap dengan nama sama, Ratenggaro, lokasi kampung penggantinya kini bertengger di puncak dinding tebing dalam lengkungan muara Sungai Waiha. Lokasinya menjauh sekitar 200 meter dari lokasi lama.

Pergeseran lokasi kampung itu semata-mata akibat keganasan abrasi. Gempuran ombak Lautan Hindia secara perlahan namun pasti terus menggerus kawasan pantai yang merupakan wilayah kampung adat Ratenggaro, hingga akhirnya harus dipindahkan ke lokasi sekarang.

”Kalau menurut cerita para tetua, dulu ketika kampung adat Ratenggaro masih di lokasi lama, daratannya dari titik kuburan hingga sekitar 1 kilometer (km) ke arah lautan. Sekarang lautnya sudah hampir menyentuh kuburan,” tutur Daniel Winyo Bela, yang sehari-hari sebagai guru SMA Negeri I Kodi. Ia petang itu juga berkunjung ke Pantai Ratenggaro bersama sejumlah warga lainnya.

Rupanya petaka terus menghantui kampung adat Ratenggaro. Jika kampung adat lama harus bergeser akibat gerusan abrasi, kampung adat yang sekarang malah tertimpa musibah kebakaran awal Juni 2011. Dilaporkan 13 unit rumah berarsitektur unik itu ludes di lalap api.

Atas inisiatif dan usaha budayawan Sumba, Pastor Robert Ramone CSsR, perkampungan adat Ratenggaro berhasil dibangun kembali Agustus 2011. Pembangunannya itu didahului ritual adat Marapu, kepercayaan tua Sumba.

Lisa Tirto Utomo, pendiri sekaligus pemilik perusahaan air mineral Aqua, ikut berpartisipasi dalam pembangunan kembali perkampungan adat tersebut. Kontribusinya berupa sumbangan dana senilai Rp 55 juta.

Pada saat hampir bersamaan, Robert Ramome-biarawan Katolik kelahiran Kodi Bangedo, 29 Agustus 1962-itu juga berusaha merampungkan museum yang sekaligus menjadi pusat budaya Sumba di Weetabula, SBD.

Bagi Robert, perjuangan membangun kembali rumah adat Ratenggaro dan museum tersebut adalah bagian dari upaya agar orang Sumba tidak sampai tercerabut dari akar budayanya.

Kata dia, perjuangan membangun kembali rumah adat Ratenggaro dan juga museum tersebut, sekaligus merupakan bagian dari upaya menumbuhkan kebanggaan di kalangan orang Sumba atas peninggalan budayanya yang bersumber dari Marapu.

”Lebih dari 60 persen penduduk Sumba beraliran kepercayaan Marapu. Kepercayaan tua itu bahkan hingga kini masih bertahan dan memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan orang Sumba. Karena itu, jangan mengaku pernah ke Sumba kalau belum bersentuhan dengan Marapu,” tutur Robert Ramone.

Pembangunan kembali kampung adat Ratenggaro tidak berarti langsung mengenyahkan ancaman atas kawasan pantainya, terutama terkait keberadaan kuburan batu. Mungkin perlu ritual khusus secara Marapu agar kuburan batu itu terbebas dari gerusan abrasi Lautan Hindia.

Lokasi lama Kampung Ratenggaro hanya menyisakan kuburan batu. Belasan rumah pendukungnya yang berarsitektur inik, tak ada lagi.

Namun daya magis bekas kampung tua itu-sebagaimana diakui sejumlah tetua-terasa seperti tidak pernah beranjak. Setiap sore selalu ada saja warga sekitar yang berkunjung. Sebagian di antaranya-terutama para tetuanya-konon berkunjung hanya sekadar ingin ”berjumpa” dengan leluhur mereka di Ratenggaro.

Jika Anda berkunjung ke Ratenggaro atau kawasan lain Pulau Sumba, jangan lupa mengenakan sepatu tertutup. Kelengkapan itu guna menghindari kemungkinan serangan tetanus yang bersumber dari kotoran hewan terutama kuda, yang berserakan di mana mana. (Frans Sarong dan Hariadi Saptono)

Sumber: Kompas.Com

Pintu Gerbang Menuju Kelimutu

Pesawahan di Moni
SALAH satu keindahan yang ditawarkan Flores adalah Danau Kelimutu. Danau ini memiliki warna air yang dapat berubah setiap waktu. Wisatawan dari seluruh belahan dunia rela menyeberangi luasnya lautan hanya untuk menyaksikan fenomena alam ini. Sebelum memulai perjalanan menuju Kelimutu di pagi hari, baiknya Anda bermalam di Moni. Moni memiliki beberapa penginapan dengan fasilitas yang dapat memberikan kenyamanan untuk Anda bermalam.

Begitu Anda memulai pendakian dari Wolowaru, pemandangan dari seberang bukit menunjukkan denyut kehidupan dimana beberapa petani sibuk mengurus sawah mereka. Di persimpangan jalan, Anda bisa menjumpai tukang ojek di depan Hotel Flores Sare. Dari sana, desa kecil yang bernama Moni jaraknya sekitar 52 kilometer dari Ende siap menyambut Anda.

Kunjungan yang sering dari wisatawan menjadikan desa ini sebagai pusat akomodasi di daerah tersebut. Deretan akomodasi dan warung berjajar manis di salah satu bagian desa ini. Walaupun sebagian besar wisatawan yang akan ke Kelimutu biasanya langsung membawa pemandu dari Labuan Bajo, Ende, atau Maumere tetapi beberapa akomodasi di sini juga menyediakan paket perjalanan ke Kelimutu atau ke bagian lain di pulau ini.

Udaranya yang dingin, terasering, dan pepohonan kemiri (Aleurites moluccana) yang rimbun menjadikan pemandangan di Moni terlihat indah dan hijau. Moni juga merupakan tempat yang cocok sebagai perhentian sebelum menuju Maumere dan Labuan Bajo. Desa ini memang tidak memiliki restoran mewah kecuali di Ecolodge Kelimutu namun menawarkan keramahan, kerendahan hati, dan tempat peristirahatan yang nyaman.

Pendakian

Mendaki merupakan alasan utama bagi wisatawan yang datang Ke Moni atau Ende. Masyarakat lokal yakin bahwa Danau Kelimutu merupakan tempat beristirahatnya jiwa orang yang sudah meninggal. Area Kelimutu dikelilingi hutan dengan jenis tumbuhan yang jarang ditemukan ditempat lain di Flores.

Selain pohon pinus, terdapat juga tumbuhan paku, tumbuhan marga Casuarina, redwood dan bunga edelweiss. Hutan pinus tumbuh subur di ketinggian Gunung Kelimutu. Area lain dari gunung ini tandus dengan pasir dan tanah yang tidak stabil. Masyarakat setempat yakin bahwa Gunung Kelimutu merupakan gunung kramat dan merupakan sumber kesuburan bagi tanah di sekitarnya.

Walaupun Anda bisa mengabadikan pemandangan menakjubkan di tempat-tempat yang belum dikunjungi namun Anda tidak disarankan untuk melakukannya. Beberapa bagian dari taman nasional ini dilarang untuk dikunjungi karena ketidakstabilan panas bumi. Beberapa orang ada yang tersesat dan banyak reporter yang meninggal jika mencoba menuju tempat-tempat tersebut. Trekking yang paling aman adalah disekitar area antara Moni dan Gunung Kelimutu.

Anda bisa berhenti di Koanara dan Wiwipemo di Kabupaten Kelimutu. Terdapat beberapa rumah tradisional yang mungkin ingin Anda lihat dan pelajari. Rumah-rumah tradisional ini juga bisa ditemukan di Nggela, Tenda dan Wolojita yang ada di Kabupaten Wolojita dan di Wolopoto, Ngalupolo, Onelako, Puutuga, Roga, serta Sokoria di Kabupaten Ndona.

Ada beberapa ritual yang biasa dilakukan masyarakat setempat dan dapat memberi Anda pengalaman dan interaksi budaya secara langsung. Ritual tradisional Lio masih dipraktikkan di Lio, seperti Tu Tau yang merupakan ritual panen pada bulan Oktober, Januari atau Februari. Gaga Jala adalah ritual pembersihan jalan di bulan Maret. Wari Pare adalah ritual jemur padi sekitar bulan April atau Mei. Nai Keu adalah ritual memetik kelapa dan pinang sekitar bulan Februari (terutama untuk panen kelapa di bulan Maret, Juni, September, dan Desember). Wa'u Tosa adalah ritual penggilingan padi tradisional sekitar bulan September atau Oktober. Ada juga Nggera Kibi yaitu ritual untuk membersihkan lumbung padi sekitar bulan Oktober. (Angke/Him)

Sumber: Kompas.Com

Belaraghi: Menghidupkan Tradisi Menjamu Tamu


Dusun tradisional di Belaraghi, Flores, NTT
PASAR Bajawa masih belum ramai tetapi beberapa angkutan kota berwarna biru sudah menunggu penumpang di pagi hari. Di atasnya sudah naik seorang kernet mengatur tumpukan karung dan beberapa kardus berisi buah-buahan segar.

Pergi ke Belaraghi, sebuah dusun tradisional yang masih mempertahankan hampir seluruh aspek tradisi masyarakat Ngada, sebaiknya dilakukan pagi hari karena selain dusunnya yang menjadi tujuan utama juga semua keaslian dan perkembangan masyarakatyang dilalui di sepanjang jalan menuju Aimere begitu menarik.

Ngada terkenal karena jeratan daya tarik masyarakatnya yang memilih untuk mempertahankan gaya hidup yang tradisional. Sebenarnya kita tak pernah tahu kemampuan mereka untuk dapat memiliki berbagai hal seperti masyarakat kontemporer lainnya. Akan tetapi, secara jelas mereka nampak cukup bahagia dengan apa yang mereka punya.

Di titik puncak keaslian dan jauh dari popularitas yang disandang desa tradisional lainnya, Belaraghi seperti museum kehidupan masyarakat Ngada. Kehidupannya terpisah dari keramaian dengan bentang alam yang menjadi benteng alam sekaligus jembatan yang tak mudah dilalui.

Dalam satu aspek kepentingan, keterpencilan ini menjadi sebuah keuntungan karena dengannya keaslian dan otentisitas dusun ini akan lebih lama terjamin dan tidak akan berubah modern terlalu cepat. Di sisi lain, bentang alam yang tak mudah ini masih memerlukan pengembangan infrastruktur dan fasilitas yang bertanggung jawab.

Trekking adalah pembuka petualangan mengunjungi Belaraghi. Anda dapat memilih satu dari dua altenatif trek yang tersedia. Bila ingin menaklukkan keperkasaan alam Flores maka jalur 11 km bisa menjadi sebuah penghormatan sepanjang umur. Apabila waktu menjadi variabel yang agak mahal maka jalur 2 atau 3 km pun adalah perjuangan yang akan terbayar setimpal.

Bagi warga Belaraghi, berjumpa tamu yang mengunjungi dusun mereka bagaikan cinta pada pandangan pertama. Mereka akan menyambut dengan suka  cita dan menuangkan segala kerinduan pada tamu yang mereka nanti-nantikan dengan menyediakan suguhan-suguhan kehormatan.

Di rumah tamu, rebus ubi, pisang, dan talas disuguhkan dengan kopi atau arak. Sambal cabe rawit Flores tak lupa disertakan dalam piring sederhana.Tak lama, makan siang yang merupakan bagian dari tradisi ti'i ka ebunusi, yaitu ‘menyajikan masakan untuk leluhur', dipersembahkan dengan mengorbankan seekor babi hutan yang banyak dipelihara masyarakat Flores.

Arti pengunjung bagi warga Belaraghi ialah tamu bukan wisatawan. Maka dari itu, sikap penghormatan tak setengah hati dan dilakukan di rumah tamu, sao one, salah satu rumah paling sakral karena tamu dikenalkan kepada para leluhur.

Warga Belaraghi memiliki komitmen mempertahankan bentuk rumah tradisional mereka, bukan semata-mata untuk wisatawan tetapi memang tak ada keinginan merubah tradisi atap rumbia dan ijuk menjadi seng dan antena parabolanya serta listrik yang berseliweran di ubun-ubun rumah tradisional mereka yang sakral.

Enam belas rumah tradisional yang mereka pertahankan tersusun dalam dua jajar saling berhadapan. Uniknya, di Belaraghi, pelataran di depan rumah lebih tinggi dari fondasi rumah beratap daun rumbia. Lima rumah diantaranya berjuluk sao pu'u, atau rumah asal yang memiliki ornamen rumah kecil di ujung atapnya. Lima rumah lainnya ialah sao lobo atau rumah terakhir yang memiliki ornamen tubuh manusia di atapnya. Sisanya dijuluki sao kaka, dimana kata 'kaka' artinya berbagi. Sao kaka diperlakukan sebagai anak dari rumah asal dan rumah terakhir.

Di Belaraghi terdapat lima klan atau keluarga dengan masing-masing ngadhu dan bhaga. Ngadhu ialah payung seolah laki-laki dengan perannya melindungi dan memberikan keteduhan, menjadi simbol leluhur laki-laki. Saat dipahat dari batang pohon di hutan dan di bawa ke desa, para perempuan seluruhnya harus masuk rumah karena roh leluhur laki-laki tengah datang menuju batang ngadhu.

Bhaga ialah simbol leluhur perempuan dengan bentuk payung yang lebih kecil. Walau demikian, para warga laki-laki sajalah yang akan meletakkan payung bhaga di tempat sakral di tepi ngadhu. Seperti halnya seluruh masyarakat di Flores, formasi batuan yang ditumpuk seolah merajut kuat tradisi megalitik, adalah perlambang jalur komunikasi antara manusia dengan roh leluhur.

Selain ngadhu dan bhaga, altar meja besar yang disebut lenggi, biasa disimpan di setiap desa tradisional yang fungsinya menyelesaikan permasalahan antara klan dalam dusun.

Bermalamlah bila waktu Anda sedikit leluasa saat di Ngada. Warga Belaraghi akan sangat senang menerima Anda. Dari Bajawa, mulailah perjalanan dari desa Beiposo dekat Bajawa. Jalur yang ditempuh sepanjang 11 km dengan arah yang hanya dikuasai oleh pemandu lokal. Bila ingin melalui jalur pendek, tujulah desa tepi pantai selatan, Aimere, dan masuk ke arah utara melalui jalan yang dipenuhi desa berhias rumah tradisional. Paukate adalah desa terdekat Belaraghi dengan dipisahkan jarak sekitar 3 km namun melalui bukit yang menampakkan lautan selatan yang luas. (Angke/Him)

Sumber: Kompas.Com

Desa Doka, Rumah Tenunan Kain Pejuang Flores


Warga Desa Doka memainkan tarian penyambutan selamat datang.
DARI Maumere, kota di tepi utara Pulau Flores yang terpisah hanya 20 kilometer saja dari tepi selatannya, perjalanan di atas kendaraan roda empat menuju Desa Doka menyajikan pemandangan celah bukit menghijau sangat menawan. Perjalanan penuh kelokan harus ditempuh menyusuri jalan menaiki bukit yang menjadi ranah pepohonan seperti petai cina, kakao, kopra, kemiri, dan jambu mete.

Kondisi jalan antara utara dan selatan di Kabupaten Sikka yang dikenal sebagai Kabupaten Seribu Nyiur terhitung baik sekali. Akan tetapi,karena lebar jalan yang sempit dan berkelok maka laju kendaraan tidak bisa berkecepatan lebih dari 40 km per jam. Angkutan umum berwarna oranye bermuatan karung penuh sesak di atasnya sesekali melaju di atas jalanan sempit dari Maumere ke arah Desa Doka.

Desa Doka ialah sebuah desa di Kelurahan Bola, Kabupaten Sikka dikenal memiliki tenunan kain ikat yang indah. Lebih mengagumkan lagi bahan pembuatnya didominasi dari alam sekitar. Masyarakat Desa Doka sejak dahulu memiliki keahlian menenun kain tradisonal dengan beragam corak warna.

Desa Doka menjadi salah satu contoh pembinaan desa wisata di Flores. Awalnya atas bantuan penggagas pariwisata yaitu Kornelis Djawa, tahun 1997 Desa Doka mulai menggeliat. Kini sejak tahun 2010, Cletus Lopez, putra dari Kornelis Djawa, terus menampilkan atraksi desa dan kearifan lokal dari sebuah kampung di balik gunung ini. Tamu yang telah datang ke sini dari berbagai negara dan menyaksikan sendiri kecantikan kain tenunannya.

Dengan rumah berjajar menghadap sebuah jalan penghubung antardesa, Desa Doka tidak begitu terlihat seperti perkampungan tradisional lainnya. Beberapa sudah terbaur dengan modernitas kehidupan di Maumere namun masyarakatnya gigih untuk hidup dengan mempertahankan tradisi leluhur.

Saat tamu datang maka warga desa akan memainkan tarian penyambutan, tarian tradisi, pertunjukan proses pembuatan kain ikat, hingga hidangan makanan dan minuman tradisional. Keramahtamahan Desa Doka merupakan daya tarik yang tidak bisa dilewatkan saat Anda berada di Sikka.

Desa Doka belum lama terkuak dari jalur penjelajahan di Pulau Flores. Kemunculannya memberikan warna baru pada petualangan Anda sebelum meraup lebih banyak lagi kejanggalan alam yang memesona di Flores, yaitu Danau Kelimutu di Moni, Batu Biru atau Batu Hijau di pantai menuju Bajawa, pengangkatan dasar laut yang nampak di patahan bukit sepanjang jalur selatan lintas Flores, penempatan altar batu di desa tradisional Boawae, serta berbagai keunikan budaya yang masih hidup di Pulau Ular ini.

Atraksi budaya juga menunggu pengagumnya, mulai dari tarian penyambutan dan pesta tamu di Belaraghi hingga tarian caci di Compang To’e. Kunjungan akhir di bagian barat Flores dapat disempurnakan dengan bertamu ke rumah Komodo di Taman Nasional Komodo sebagai buah hati bagi Flores juga Indonesia, bahkan dunia.

Kegiatan

Tarian keceriaan Tuare tala’u dipersembahkan saat tamu berkunjung di Desa Doka. Tarian ini dulunya hanya digelar bagi prajurit yang pulang berperang dan membawa kemenangan. Prajurit tertangguh dipilih dan diusung di ujung sebatang bambu yang diberi bantalan untuk duduk dan menari di atas perutnya. Inilah sebuah tontonan pamer kekuatan dan keperkasaan. Dipastikan atraksi ini hanya ada di Flores.

Lima orang lebih bergegas memegang sebatang bambu dikelilingi wanita di bawahnya yang terus menari. Wanita-wanita tersebut mengayunkan tangannya sambil mengepit sapu tangan atau hiasan berupa rangkaian bunga-bungaan di jemarinya yang berwarna indigo. Musik tradisional dari tabuhan kendang dan batang bambu terus mengalun dimainkan setengah lusin pria muda dan tua.

Batang bambu ditegakkan setinggi kira-kira 5 meter dan seorang prajurit terpilih menaiki sebatang bambu tersebut. Seolah bilah kincir angin yang berputar-putar menari di ujungnya dengan sigap para penyangga bambu di bawahnya memastikan posisi bambu tak miring dan tetap aman bagi pahlawan desa.

Terlihat jelas semua penari menggunakan kain ikat, baik itu dengan sarung ikat dan ikat kepala, maupun wanita yang juga menggunakan sarung serta selendang kain ikat. Mayoritas warna yang digunakan adalah hitam. Kain ini menemani dan melindungi mereka saat damai maupun saat peperangan di masa lalu.

Kain ikat yang diproduksi masyarakat Desa Doka termasuk yang terbaik karena memiliki ciri khas desainnya. Warga desa dengan senang hati mempertunjukkan cara pembuatannya. Semua yang tertenun di antara lintangan benang menjadi perlambang penghormatan kepada alam dan Tuhan yang di sembah. Pewarnaan pun begitu apik dilakukan dengan menggunakan bahan dasar pewarna dari saripati tumbuhan alami. Tak hanya pewarnaan, pemintalan kapas hingga menjadi benang dan siap ditenun pun dilakukan secara mandiri di Desa Doka.

Pewarnaan menggunakan buah mengkudu (Morinda citrifolia), asam (Tamarindus indica), indogo (indigofera), dan loba (Symplocos). Semua bahan alami tersebut didapatkan di hutan-hutan perbukitan sekitar Desa Doka, Kabupaten Sikka, Pulau Flores.

Seusai tarian selesai maka masyarakat seluruhnya biasa bergabung untuk mengikuti tarian massal. Dipersembahkan juga tarian lain yang menunjukkan persatuan masyarakat desa yang saling bahu membahu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bercocok tanam. Nampak bahwa sejak lama mereka telah mengenal sistem bercocok tanam.

Suku-suku di Flores memiliki kepercayaan tradisional kepada Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan tersebut bersifat astral dan kosmologis yang berasal dari pola hidup agraris.Mereka hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores sungguh-sungguh berharap pada berkah Dewa Langit dan Dewi Bumi.

Akomodasi


Karena lokasi Desa Doka tidak terlalu jauh dari Kota Maumere maka pilihan untuk menginap disarankan di Maumere yang lebih lengkap dengan berbagai fasilitas dan akomodasi. Sering kali pelancong menjadikan Maumere sebagai awal dari penjelajahan di Pulau Flores. Para pelancong tidak terlalu sering menyisakan terlalu banyak waktu di titik awal perjalanan.

Kuliner


Seperti tradisi di berbagai kampung lainnya di Flores, tamu yang datang ke sebuah desa biasanya disuguhi sajian simbolis pertanda selamat datang berupa sirih dan tembakau ataupun pinang. Selain itu, persembahan berupa penyajian kue yang terbuat dari umbi-umbian (leku) juga lazim diberikan kepada tamu dipadu tuak atau arak dari pohon aren atau lontar yang disebut sopi.

Pinang yang masih berupa buah berukuran kecil diambil serabutnya di bawah kulit luar yang akan terus dikunyah sehingga lembut. Caranya, kupas bagian terluar buah pinang yang hijau dengan gigi seri atau gigi depan sedikit demi sedikit karena bila menggigitnya terlalu dalam maka pastilah sulit dikupas. Setelah agak dalam dan menemukan serabutnya lalu kumpulkan serabut itu di mulut dan kunyah hingga lembut.

Selagi mengunyah serabut pinang, makanlah pula batang sirih muda yang sudah diberi kapur barus berwarna putih. Anda hanya perlu sedikit sirih saja dengan sedikit kapur, karena sirih dapat membuat kepala Anda pening bila terlalu banyak dikonsumsi dan kapur pun terasa membakar bila berlebih.

Simpan sirih dan kapur di bagian gigi geraham. Mengunyah semua ramuan ini lama kelamaan akan memberikan rasa segar dan menghasilkan warna merah dari percampuran zat kimia alami yang berasal dari sirih dan kapur. Ludahkan air liur Anda yang berlebih dan berwarna merah bila sudah terasa kurang nyaman. Tentunya ini bukan gigitan termanis di dunia namun pengalamannya mungkin adalah hal termanis patut dirasakan.

Tuak atau sopi dibuat dari bahan alami yaitu pohon lontar atau aren. Berbeda dengan arak (juga disebut moke dalam bahasa lokal), tuak tidak begitu banyak mengandung alkohol walau keduanya dapat membuat mabuk bila dikonsumsi berlebih. Dalam penyambutan tamu, janganlah heran bila tuak ditawarkan ke hadapan Anda dalam cangkir yang terbuat dari tempurung kelapa atau tanah liat.

Berbelanja


Di salah satu sudut Desa Doka tempat dilangsungkannya tarian dan peragaan pembuatan kain ikat, terpajang rapi pada bambu yang memajangkan berupa warna warni hasil tenunan warga Desa Doka. Kain ikat dipajang sebagai dinding alami dimana ruang tenun terbuka disediakan untuk tamu yang ingin meneliti proses pembuatan kain ikat. Kain ikat dilabeli harga mulai dari Rp 250.000 hingga Rp 2.000.000. Hal ini tentunya tergantung dari jenis dan ukuran kain ikat tersebut. Berusaha untuk menawar pastilah bukan hal yang dilarang, bahkan dianjurkan sebagai apresiasi dan tanda ketertarikan Anda pada kain tersebut.

Transportasi

Desa Doka dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat, bergantung berapa banyak orang dalam kelompok Anda. Menyusuri Jalan utama dari Maumere menuju Waiara maka perlu bertanya kepada penduduk sekitar arah jalan ke selatan menuju Desa Doka.

Bila berpetualang dengan bantuan seorang pemandu maka akan lebih mudah menemukannya. Bila berpetualang sendiri tak usah khawatir karena setiap orang di siniumumnya mengerti Bahasa Indonesia dengan baik. Angkot berwarna oranye akan menandai perjalanan menuju Desa Doka yang mengesankan.

Bahasa

Di Flores terdapat 5 bahasa daerah yang berbeda, termasuk di Sikka dengan bahasa daerahnya sendiri. Tidak masalah apabila Anda pergi dengan seorang pemandu yang paham bahasa di Sikka tetapi bila tidak maka gunakanlah Bahasa Indonesia yang baik dan benar agar selama perjalanan lancar tanpa masalah komunikasi.

Tidak seperti beberapa tahun lalu dimana jalan di sepanjang Pulau Flores masih terkenal rusak, sekarang lintas Flores membuat perjalanan di atas kendaraan terasa lebih nyaman tanpa harus terpental bila duduk di kursi bagian belakang. Kualitas jalan sudah sangat baik, walau tetap akan Anda rasakan kelokan dari Maumere hingga Labuan Bajo seperti tak pernah ada hentinya. (Angke/Him) 

Sumber: Kompas.Com

Inilah Delapan Keajaiban Alam di NTT

Danau Tiga Warna Kelimutu di Ende, Flores
Lanskap bukit di Pink Beach, Manggarai Barat, Flores, NTT, Jumat (10/6/2011). Pantai yang terkenal dengan pasirnya yang berwarna kemerahan ini menjadi salah satu lokasi favorit bagi wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut.


PROVINSI Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki delapan keajaiban alam dan merupakan modal dasar di sektor pariwisata untuk menjadi lokomotif pembangunan ekonomi masyarakat. "Delapan keajaiban alam tersebut adalah Pulau Flores yang memiliki lima tempat keajaiban dunia dan Samana Santa, Pulau Sumba dengan Nihiwatu Beach, Alor dengan Alor Dive dan Nemberalla Beach di Kabupaten Rote Ndao," kata Sekretaris Tim Asistensi Gubernur NTT, Edu Hena, di Kupang, Senin (21/5/2012).

Menurut Edu, tim asistensi telah melakukan berbagai diskusi dan dan saat ini sedang merampungkan Master Plan Pariwisata NTT yang telah dipresentasikan. "Draft master plan ini, kami menemukan ada delapan wonders yang dimiliki NTT dan bisa menjadi lokomotif ekonomi," katanya.

Kedelapan keajaiban alam itu adalah Pulau Komodo, tempat reptil Komodo berdiam di sana dan telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Komodo (TNK); Pink Beach di Pulau Padar, kawasan Pulau Komodo; Taman 17 Pulau Riung. Di Taman 17 Pulau Riung ini memiliki nuansa pasir dan air laut yang jernih, taman lautnya dan perbukitan yang menciptakan suasana yang berbeda dengan daerah lain di Tanah Air.

Keajaiban alam lain di Pulau Flores adalah danau tiga warna di kawasan Gunung Kelimutu, yang menjadi pusat perhatian pariwisata dunia. Selanjutnya Taman Laut Maumere yang begitu indah dan dikurung oleh teluk yang sangat nyaman bagi kehidupan di dalamnya.

Sedangkan tiga keajaiban alam lainnya yakni Nihiwatu Beach di Pulau Sumba dengan pantai terbaik dan terindah (termasuk 10 besar di Asia), memberikan kesan yang sangat elegan dan ekslusif karena lokasi dan gelombang lautnya dapat dimanfaatkan bagi para peselancar. Keajaiban alam ini memberikan kesan individualistis yang kuat dan menjanjikan kepada setiap wisatawan untuk kembali lagi, katanya.

Berikutnya, Pulau Alor memiliki kekhususan yaitu indahnya alam bawah lautnya, lebih dari puluhan titik selam sehingga disejajarkan dengan alam bawah laut Kepulauan Karabia. Lokasi ini dilindungi oleh Pulau Timor, sehingga menjadi tempat terbaik dunia untuk menyelam setelah Karabia.

"Terakhir, Nemberalla Beach. Keajaiban alam yang ada di Pulau Rote ini masuk dalam international calender of event untuk berselancar (surfing), sehingga menempatkannya dirinya sebagai posisi kedua setelah Hawaii, walaupun masih sangat minim dalam tersedianya fasilitas dan infrastruktur," papar Edu Hena.

Selain memiliki delapan keajaiban alam, NTT juga memiliki potensi pariwisata budaya dan tradisi lainnya yang tidak kalah menarik dengan daerah lain di Indonesia bahkan dunia.

Edu Hena berharap, dengan adanya Master Plan Pariwisata NTT nantinya mampu mendorong pembangunan pariwisata dan menjadi lokomotif ekonomi daerah. (*)

Sumber: Kompas.Com

Ron Memuji Prestasi Fenomenal Di Matteo

Roberto Di Matteo
DIREKTUR Utama Chelsea Ron Gourlay memuji prestasi fenomenal Roberto Di Matteo. Namun, ia masih enggan bicara soal kontrak permanen Di Matteo sebagai pelatih "The Blues".

Transformasi yang disajikan Robbie --sapaan Di Matteo-- demikian fantastis. Baru mengambil kendali dari Andre Villas-Boas pada Februari lalu, pria berusia 44 tahun langsung menjawan tantangan dengan gelar kampiun Piala FA dan 15 hari berselalu, trofi Liga Champions 2012 di kandang juara Eropa empat kali Bayern Muenchen.

"Beberapa bulan ini sungguh luar biasa dan diakhiri dengan sesuatu yang besar: juara Liga Champions. Banyak "naik-turun" di musim ini. Kami memulai dengan baik tapi peride buruh dialami pada Nopember hingga Januari," ucap Gourlay yang dikutip Sky Sports News.

Dilema Bumi Nyiur Melambai

ilustrasi
BUMI Nyiur Melambai. Begitulah ikon Sulawesi Utara yang telah tersohor ke seluruh penjuru Nusantara bahkan dunia. Ingat Sulawesi Utara ingat perkebunan kelapanya yang subur dan berbuah lebat. Ingat pantai pasir putih dengan nyiur melambai-lambai.

Selama puluhan bahkan ratusan tahun kelapa telah menjadi salah satu sumber pendapatan utama masyarakat Minahasa, Tomohon, Talaud, Bolaang Mongondow dan lainnya. Tidak ada provinsi lain di negeri ini yang memiliki perkebunan kelapa sehebat Sulawesi Utara.

Selain kelapa Sulawesi Utara pernah berkibar sebagai daerah penghasil cengkeh dan pala terbesar di Indonesia. Namun, seiring perkembangan zaman cengkeh dan pala agaknya bukan lagi andalan utama. Kini kencenderungan serupa mulai melanda tanaman kelapa. Ada apa gerangan?

Dilema sedang melanda para petani kelapa. Harga kelapa dan produk turunannya tidak cukup lagi membuat petani di daerah ini sumringah secara ekonomis. Harga kopra, misalnya, kini anjlok sampai Rp 3 ribu per kilogram. Padahal siapa pun maklum untuk menghasilkan kopra siap jual melewati jalan melelahkan, makan waktu dan tenaga. Petani kelapa harus menyewa pemanjat kelapa, pengupas kemudian mengerahkan tenaga mereka untuk proses pengasapan sampai kopra siap jual kepada pengusaha pengumpul.

Dengan harga Rp 3 per kilogram betapa beratnya derita para petani. Maka bisa dimengerti jika para petani kelapa di Sulut kemudian beralih ke komoditi lain yang lebih baik harganya seperti kakao atau aneka tanaman holtikultura yang bisa panen dalam hitungan bulan. Dalam keadaan semacam itu peremajaan kelapa di bumi Nyiur Melambai menjadi tanda tanya besar. Perlahan tapi pasti areal perkebunan kelapa di Sulut niscaya akan terus menyusut. Kalaupun ada peremajaan jumlahnya tidak signifikan untuk menggantikan kelapa usia tua dan tidak produktif lagi.

Disamping minim peremajaan masalah lain yang mendera berupa aksi penebangan tak terkendali sebagaimana terjadi di kawasan hutan lindung di kaki Gunung Klabat. Puluhan ribu pohon kelapa di sana termasuk yang masih usia produktif ditebang saban hari. Balok kelapa dijual untuk bahan baku aneka kerajinan.
Menurut pandangan kita diperlukan langkah konkret dari pemerintah daerah agar petani kembali bergairah menanam kelapa. Stabilitas harga dan kemudahan bagi mereka harus diberikan. Jangan lupa sampai detik ini kelapa dan produk turunannya masih menempati urutan pertama komoditi ekspor dari Provinsi Sulawesi Utara.

Dalam konteks pembangunan infrastruktur, alih fungsi lahan merupakan konsekwensi yang sulit dicegah. Tentu dibutuhkan perencanaan yang matang agar lahan perkebunan kelapa tidak menjadi korban. Sikap antisipasi dini terhadap kemungkinan menyusutnya lahan perkebunan kelapa di Sulut merupakan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan segera. Mudah-mudahan. (*)

Tribun Manado, 19 Mei 2012 hal 10

Baciato dalla Grazia

Roberto Mancini
Baciato dalla grazia. Dalam pelukan nasib baik. Begitulah orang Italia menggambarkan perjalanan karier Roberto Mancini. Pria flamboyan kelahiran kota kecil di tepi Laut Adriatic ini bersinar sebagai pemain dan pelatih. Mancini seolah selalu dalam dekapan Dewi Fortuna.

Mancio, begitu dirinya disapa, selalu membawa nasib baik ke klub yang dibelanya, baik sebagai pemain maupun pelatih. Dalam kariernya sebagai pemain di era 1990-2000 bersama Sampdoria dan Lazio, Mancini mempersembahkan gelar juara Serie A, Coppa Italia, Super Coppa Italia, dan Cup Winners' Cup.

Sebagai pelatih, Mancio juga selalu meraih juara bersama tim yang ditangani. Gelar juara Coppa Italia dia raih bersama Fiorentina, Lazio, dan Inter Milan. Mantan striker yang telah menyarangkan 202 gol ini juga membawa Inter juara tiga kali Serie A.

Kariernya di Inter pada 2004-2008, yang mengakhiri paceklik gelar juara Liga Italia selama 18 tahun, semakin mengukuhkan kepiawaian Mancini mengolah strategi. Namun, ia kemudian didepak dari Inter karena gagal mempersembahkan gelar Liga Champions.

Mancio menganggur selama 18 bulan sebelum diminta memimpin revolusi di tubuh Manchester City pada 2009. Klub yang berada di bawah bayang-bayang rival sekota Manchester United itu sedang mengejar mimpi, setelah dibeli oleh Sheikh Mansour, seorang miliarder asal Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Tawaran itu merupakan tantangan besar bagi Mancini. Rekan lamanya, Gianluca Vialli, menceritakan bagaimana tekad kuat Mancini memulai pergulatannya dengan sepak bola Inggris yang sangat ketat.

”Roberto bekerja keras selama setahun ini, setengahnya dia habiskan di London dan beberapa bulan mempelajari bahasa Inggris,” ujar Vialli.

Mancini memikul beban berat untuk mengakhiri penantian panjang meraih gelar juara kompetisi tertinggi di Inggris sejak 1968. Musim 2010/2011, Mancini mempersembahkan Piala FA yang terakhir kali diraih 35 tahun sebelumnya.

Musim ini, Mancini yang memperkuat skuadnya dengan sejumlah pemain bintang seperti David Silva, Samir Nasri, dan Sergio Aguero mengakhiri paceklik gelar juara Liga Primer selama 44 tahun. Musim yang ketat, berat, dan menguras emosi dari awal hingga akhir musim.

City menjalani laga paling dramatis di Liga Primer untuk menjadi juara musim 2011/2012. City tertinggal 1-2 oleh tim tamu Queens Park Rangers hingga lima menit babak tambahan waktu. Sepanjang babak kedua, setelah tertinggal 1-2, Mancini gelisah. Emosinya meledak-ledak melihat penampilan para pemainnya yang selalu gagal menembus benteng pertahanan QPR, yang memasang 10 pemain di sekitar kotak penalti. Maklum, QPR juga tengah berjuang lolos dari zona degradasi.

Mancini selalu melepaskan emosinya seketika ia merasakan kegelisahan, karakter yang sudah mendarah daging sejak dirinya menjadi pemain sepak bola. Saat memperkuat Lazio, Mancini pernah membuang pita kapten dan mendamprat pelatihnya waktu itu, Sven-Goran Eriksson.

Emosi yang meledak-ledak itu tipikal Mancini. Ia secara spontan menyatakan tidak akan pernah memainkan Carlos Tevez, yang menolak melakukan pemanasan dalam sebuah pertandingan Liga Champions.

Di laga terakhir Liga Primer musim ini, Mancini menumpahkan seluruh emosinya untuk mendorong pasukannya melampaui batas kemampuan mereka. Skuad inti City terus berusaha mencetak gol di bawah suntikan motivasi Mancini dari tepi lapangan.

Mukjizat itu terjadi pada babak tambahan waktu. Sekali lagi, Mancini berada dalam dekapan Dewi Fortuna. Sundulan Edin Dzeko menyamakan kedudukan 2-2 dan dua menit kemudian Sergio Aguero, yang dibeli senilai 35 juta pounds (Rp 521 miliar) dari Atletico Madrid, membawa City unggul 3-2. Gol yang membawa City juara Liga Inggris dengan keunggulan selisih gol dari rival sekotanya, Manchester United.

Mancini meluapkan kegembiraannya dengan berlari sambil mengangkat tangannya ke udara. Ia melepaskan ketegangan yang menekannya sejak babak kedua. Musim ini menjadi pencapaian menakjubkan Mancini sebagai pelatih di Liga Inggris. Ia mencatatkan kemenangan bersejarah.

Mancini sukses memimpin revolusi Manchester City. Ia belajar banyak dari gurunya, Sven-Goran Eriksson yang mengajarinya bagaimana berhenti sejenak dan berpikir. Di saat kebuntuan menghinggapi penampilan tim, seorang pelatih harus berhenti sejenak, mengurai benang kusut dalam timnya dengan pikiran jernih.

Pelatih yang telah menginjak usia 48 tahun ini semakin matang dalam meracik strategi dan mengelola emosi pemainnya di ruang ganti. Ia memenangi pertarungan di ruang ganti saat Tevez memberontak.

Kekuatan karakter Mancini ini tidak lepas dari pengalamannya sebagai pemain dengan pencapaian yang mengagumkan. Ia menjadi legenda dalam sepak bola Italia. Ia penyerang hebat dengan gol-gol berkelas, kelihaian manuver, dan satu kebiasaannya yang khas, mengumpan bola dengan tumit kaki.

Ia menjadi ancaman serius bagi lawan-lawannya, meskipun sosoknya lebih mirip peselancar top dari Australia. Rambut pirang, postur ramping, dan wajah tampan juga menjadikannya dalam papan atas pesepak bola berpenampilan menarik di Italia.

Namun, penampilan luarnya yang meledak-ledak tidak sejalan dengan karakternya yang cenderung tertutup. Rekan-rekan dekatnya mendeskripsikan dirinya sebagai ”orang yang sangat tertutup”. Ia juga sering dikritik karena dinilai angkuh dan sombong.

Mancio mungkin memang angkuh dan sombong. Namun, ia memiliki karakter dan konsep kuat dalam mengelola sebuah tim. Ia datang ke Manchester pada Desember 2009 menggantikan Mark Hughes, pelatih QPR yang ditundukkan City untuk meraih juara Liga Inggris musim ini.

Salah satu konsep dalam kepelatihannya adalah mendefinisikan peran seorang pemain penghubung lini tengah dan lini depan. Konsep itu ia tuliskan dalam sebuah pedoman kepelatihan berjudul Il Trequartista. Buku itu tersimpan di Coverciano, pusat kepelatihan milik Asosiasi Sepak Bola Italia, tidak jauh dari kota Florence.

Ia mengupas peran pemain nomor 10 yang menjadi penghubung lapangan tengah dengan penyerang. Peran yang sangat dia kuasai, di mana ia sangat lihai menjadi penyerang bayangan yang mematikan.

Di Manchester City, Mancini menjadikan David Silva sebagai pemain nomor 10. ”Trequartista kami yang fantastis,” ujar Mancini mendeskripsikan peran Silva.

Saat Mancini memimpin City di akhir 2009, gelar juara Liga Primer masih di awang-awang. Namun, Mancini memanfaatkan suntikan dana yang tak terbatas dari Sheikh Mansour untuk mendatangkan para pemain bintang. Keputusan yang membawa City juara sekaligus simalakama, karena musim depan mereka harus menjual banyak pemain mahal untuk memenuhi syarat keseimbangan keuangan klub dari UEFA.

Mancini belum memikirkan masalah itu. Saat ini ia sedang menikmati sukses besarnya membawa City juara Liga Primer. Kemenangan pertama yang menjadi batu loncatan untuk kesuksesan berikutnya.

Musim depan, Mancini mengincar juara Eropa bersama City. Perburuan yang berat bagi City meskipun Mancio dalam dekapan Dewi Fortuna. (*)

Sumber: Kompas.ComKompas

Safety First

KITA prihatin dan menyampaikan duka mendalam untuk keluarga para korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet100 di Gunung Salak, Jawa Barat 9 Mei 2012 yang lalu. Pesawat itu jatuh di Jawa Barat namun kabut duka kental terasa di sini, bumi Nyiur Melambai mengingat warga Sulawesi Utara termasuk di antara korban yang semula riang menikmati joy flight namun kenyataan berkata lain.

Pesawat Rusia yang sedang pamer kecanggihan teknologi justru menabrak tebing gunung hingga hancur berkeping-keping. Banyak orang amat sedih mengenang tragedi ini. Sedih lantaran sebagian besar penumpang dan awak pesawat sempat mengabadikan diri mereka lalu disebarluaskan melalui jejaring sosial sebelum take off dari Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta. Tak dinyana dalam hitungan detik saja keceriaan tersebut berujung duka bagi keluarga, sahabat dan rekan. Hidup dan mati manusia memang tipis nian batasannya.

Apa yang bisa petik dari tragedi Sukhoi? Terlepas dari kemungkinan musababnya adalah faktor cuaca buruk atau kerusakan teknis pesawat, manusia tetaplah pengendali utama di Superjet100. Bukan muskil terjadi human error sehingga pesawat canggih tersebut mencium tebing Gunung Salak hingga luluh lantak.

Sebagai pembanding saja dua hari sebelum tragedi Sukhoi, tim investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis penyebab kecelakaan pesawat Merpati MA 60 di Kaimana, Papua pada 7 Mei 2011. Terbukti pesawat itu jatuh bukan karena masalah teknis melainkan keputusan pilot yang salah. Saat hendak mendarat di Kaimana, pilot menggunakan sistem autopilot sementara jarak pandang hanya 2 kilometer. Jarak pandang sejauh ini tidak memenuhi syarat untuk autopilot. Idealnya harus 5 kilometer dari landasan pacu.

Dalam kasus Sukhoi Superjet100, satu hal yang bikin kita penasaran adalah mengapa petugas Air Traffic Controller (ATC) Bandara Soekarno-Hatta mengizinkan pilot terbang rendah hingga 6.000 kaki dari sebelumnya 10.000 kaki? Boleh jadi pilot Rusia yang baru pertama terbang di Indonesia mau melakukan manuver namun tidak mengenal dengan baik kondisi medan di sekitar Gunung Salak, Halimun dan Pangrango.

Jawaban final memang masih menunggu hasil analisis terhadap kotak hitam dan penelitian tim KNKT serta pihak Rusia. Namun, pesan dari tragedi Suhkoi di Gunung Salak amat tegas dan jelas. Jangan main-main dengan keselamatan manusia. Prinsip safety first (utamakan keselamatan) mutlak dipatuhi oleh setiap pengelola dan operator moda transportasi, baik darat, laut maupun udara. Banyak sudah peneliti yang merilis data mencengangkan yakni sekitar 70 persen penyebab kecelakaan transportasi adalah faktor kelalaian manusia. Jadi, entah Anda mengendarai sepeda motor, bus, angkot, kapal laut maupun pesawat udara, prinsip safety first mesti menjadi standar operasional yang harus ditaati.*

Tribun Manado, 12 Mei 2012 hal 10

Jurnalisme Itu adalah Kehidupan Saya

Sabam Siagian
JIKA merujuk pada kata-kata bijak, "Life begins at forty" atau kehidupan dimulai pada usia 40 tahun, Sabam Siagian mulai hari ini memasuki periode kedua dari kehidupannya. Sabam yang Jumat (4/5/2012) memasuki usia 80 tahun, hari ini mulai meniti hari pertama dari usianya yang ke-81.

Pada periode kedua dari kehidupannya itu, ia banyak mengisi waktu dengan membina wartawan-wartawan muda agar dapat melakukan tugasnya secara profesional. Selama tiga tahun belakangan ini, ia turut berpartisipasi dalam kursus singkat (short course) terkait sekolah jurnalisme Persatuan Wartawan Indonesia yang berlangsung dua minggu. Topik yang dibahas adalah Hubungan Media dengan Pemerintah.

"Dari kursus-kursus singkat itu, yang kebetulan pesertanya wartawan muda dan paruh karier, saya mengetahui bahwa pada hakikatnya wartawan-wartawan itu memiliki iktikad baik. Hanya saja kondisi lingkungan di mana mereka bekerja tidak memungkinkan mereka bekerja secara profesional," ujar Sabam.

Menurut dia, bagi wartawan yang bekerja di Jakarta, situasinya berbeda. Relatif mereka dapat menjalankan tugas dengan leluasa karena kebebasan pers terjamin. Berbeda dengan yang di daerah, terutama di luar Jawa.

"Kondisinya jauh berbeda," katanya. Sangat sulit bagi mereka untuk menjalankan tugas secara profesional. Jika mereka tidak hati-hati, bukan tidak mungkin keselamatan jiwa mereka pun terancam.

Seperti diketahui, otonomi daerah membuat para bupati atau wali kota mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Mereka dapat memberikan izin konsesi tambang (batubara), dan sekian ton batubara dibawa ke luar. Ketika salah seorang wartawan daerah bermaksud meliput aktivitas itu, ia dipukul oleh petugas satpam (satuan pengamanan)," kata Sabam.

Ia menambahkan, "Ketika wartawan itu bertanya kepada saya, bagaimana ia harus meliputnya? Saya hanya bisa menasihatinya agar jangan meliput seorang diri. Ajaklah beberapa kawan, terutama koresponden koran-koran besar Jakarta di daerah. Tujuannya, agar dia tak diperlakukan (penguasa daerah) sewenang-wenang."

Ancaman bagi wartawan daerah untuk bekerja secara profesional tak hanya tindak kekerasan, tetapi juga "dibeli" dengan uang sehingga pisau analisis kritisnya menjadi tumpul.

Sabam yang pernah menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Sinar Harapan (1973-1983) dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post (1983-1991) sangat prihatin dengan keadaan yang membelit profesi wartawan di daerah.

Itu sebabnya pada hari ulang tahunnya yang ke-80, yang dirayakan di Lobby Lounge Bima Sena, Hotel Dharmawangsa Jakarta, Sabtu siang ini, ia meluncurkan buku Melacak Makna dalam Peristiwa: Kumpulan Selektif Kolom-kolom 2006- 2009, yang ditulisnya di beberapa media massa.

"Buku ini saya dedikasikan bagi generasi muda wartawan Indonesia agar mereka memegang teguh prinsip keprihatinan, keadilan, dan keseimbangan permberitaan," ujar Sabam penuh semangat. Perayaan yang diadakan pukul 11.00-14.30 itu didahului kebaktian pengucapan syukur pukul 11.00-12.00.

Turun ke lapangan


Sebagai Pemimpin Redaksi The Jakarta Post (1983-1991), Sabam rajin turun ke lapangan untuk meliput peristiwa penting, terutama yang berhubungan dengan masalah internasional. Itu sebabnya wartawan- wartawan yang meliput masalah internasional tahun 1983-1991 pasti mengenalnya dengan baik.

Dengan berbekal notes dan bolpoin, dengan rajin ia mencatat berbagai informasi yang dianggapnya penting di dalam jumpa pers. Kadang-kadang ia juga membawa tape recorder yang agak besar pada jumpa pers tokoh-tokoh penting.

Ia juga tidak segan-segan menegur wartawan muda yang dianggap bekerja secara tidak profesional. Saya pernah mengalaminya pada pertengahan April 1986 saat meliput jumpa pers Menteri Luar Negeri Amerika Serikat George Shultz menjelang kunjungan Presiden AS Ronald Reagan ke Bali. Ketika itu, sebagian besar pertanyaan yang diajukan wartawan kepada Shultz berkisar tentang bocornya reaktor nuklir Uni Soviet di Chernobyl. Hanya sedikit pertanyaan yang diajukan tentang kunjungan Ronald Reagan ke Bali.

Selesai mengirim berita ke Redaksi Kompas di Jakarta, saya dan beberapa wartawan berkumpul di kamar Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Kompas Jakob Oetama di Hotel Santika, Kuta, Bali. Pak Jakob bertanya, bagaimana tentang jumpa pers George Shultz. Apakah cukup ramai? Saya menjawab, "Isi jumpa pers itu 80 persen tentang Chernobyl, hanya 20 persen tentang kunjungan Reagan ke Bali."

Sabam langsung memotong ucapan saya, "Dari mana kamu tahu bahwa pertanyaan tentang Chernobyl itu sampai 80 persen." Saya menjawab, "Saya hanya mengira-ngira." Sambil membuka-buka notes dan memeriksa catatannya, ia mengatakan, "Dalam jumpa pers itu, ada 15 pertanyaan, dan 12 di antaranya tentang Chernobyl." Untunglah ketika dihitung, perkiraan saya betul, yakni 80 persen.

Sabam langsung menambahkan, "Wartawan itu, mau dia itu pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, atau redaktur, jika turun ke lapangan, harus bertindak sebagai reporter. Ia harus mencatat semua informasi penting dan menajamkan informasi itu jika belum jelas."

Saya menyadari bahwa saya melakukan kesalahan. Itu sebabnya nasihat itu saya pegang teguh hingga saat ini.

Di sisi lain, Sabam yang cukup populer di kalangan pejabat tinggi negara dan kalangan diplomatik tidak segan-segan memanggil wartawan muda dan memperkenalkannya kepada tokoh-tokoh penting. Ia juga tidak segan membagi informasi penting yang baru diterimanya.

Pernah suatu ketika, dalam suatu kunjungan ke Washington DC, Sabam menerima informasi penting. Ia memanggil saya keluar dari rombongan dan pura-pura menunjuk ke salah satu barang yang dipajang di toko. Padahal, ia tengah membocorkan informasi yang sama sekali tidak berhubungan dengan barang yang ditunjuk-tunjuknya.

Sabam juga aktif berpartisipasi dalam seminar-seminar internasional yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies di berbagai negara. Namun, ia kerap menjadi bahan ledekan di antara rekannya, seperti Fikri Jufri, August Parengkuan, dan Jusuf Wanandi, karena ia selalu membawa mesin ketik ke mana-mana. Padahal, rekan-rekannya sudah menggunakan laptop. "Kalau saya tidak mendengar suara mesin ketik, ide besar saya tidak keluar," ujarnya sambil tertawa.

Menurut pengakuannya, ia masih tetap tidak dapat menggunakan komputer. "Kalau sekretaris saya tidak masuk, ancur deh...," katanya.

Kepakarannya sebagai pengamat masalah internasional menjadikannya sempat digunjingkan akan menjadi Duta Besar Indonesia untuk Vietnam. Namun, ternyata ia malah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Australia (1991-1995). Dari sana, ia menjadi anggota MPR dari Utusan Golongan (1999-2004). Kemudian menjadi Editor Senior The Jakarta Post (2005 hingga kini).

Dalam pembahasan di Redaksi Kompas, Jumat, Sabam Siagian mengemukakan kegundahannya. Ia merasa salah diterima oleh saudara-saudaranya sehubungan dengan kehidupannya dengan istrinya, Stella Maris Siagian, yang menderita penyakit Alzheimer sejak 7 tahun lalu. Saat ini, Stella dirawat di rumah perawatan (care house) di Singapura dan kondisinya dimonitor dengan saksama selama 24 jam. "Ia ditunggui anak saya, Batara Bonar Siagian, yang berkerja di sana," katanya. Putra sulungnya, Tagor Malasak Siagian, tinggal di Jakarta.

"Ada yang menganggap, sebagai suami, saya harus menunggui istri terus-menerus. Namun, sebagai suami, saya juga harus menjalani kehidupan saya sehari-hari, bukan duduk berpangku tangan dan menangisi keadaan. Saya memilih yang kedua, di mana saya menjalani kehidupan saya yang tak pernah lepas dari jurnalisme," ujarnya. (James Luhulima)

Kompas.Com: Sabtu, 5 Mei 2012 | 23:22 WIB

Ketagihan Donor Darah

DATA Palang Merah Indonesia (PMI) Sulawesi Utara (Sulut) ini menarik perhatian kita. Saban bulan warga Sulut membutuhkan rata-rata 1.800 sampai 2.000 kantong darah tetapi stok darah yang tersedia baru sekitar 70 persen dari total kebutuhan tersebut. Itu berarti kesadaran masyarakat Sulut mendonorkan darahnya secara rutin demi membantu sesama mesti didorong lagi dengan beragam cara.

Kita coba belajar dari kisah inspiratif para pendonor tetap PMI. Sebut misalnya John Rompis (52). Dosen Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado tersebut rutin mendonorkan darahnya sejak mahasiswa. Rompis bahkan mengaku telah ketagihan donor darah. Jika tidak mendonorkan darahnya ia sakit. "Badanku terasa sakit jika tidak mendonor," demikian Rompis yang memiliki catatan donor sebanyak 78 kali.

Hal yang sama dialami Francie Petrus. Mendonorkan darah sejak tahun 1988, ia telah mencapai angka donor 122 kali dan tertinggi di Sulut. Memiliki golongan darah B yang terbilang langka, dosen Politeknik Manado Jurusan Teknik Mesin ini menikmati pengalaman unik. Telah berulang kali dia dibangunkan pada malam larut atau dinihari untuk mendonorkan darah bagi sesama yang membutuhkan.

"Saya pernah donor darah pada pukul 02.00 pagi," kata Francie Petrus. Sama seperti John Rompis, Petrus pun merasa tubuhnya lebih sehat justru karena rutin mendonorkan darahnya minimal sekali dalam tiga bulan.

Orang seperti Rompis dan Petrus telah menempatkan donor darah sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Kiranya dari hari ke hari semakin banyak orang mengikuti jejak mereka. Menurut para ahli kesehatan, hukum simbiosis mutualisme berlaku bagi seseorang yang melakukan donor darah. Setiap tetes darah yang Anda sumbangkan tidak hanya memberikan kesempatan hidup bagi yang menerima tetapi juga bermanfaat bagi kesehatan pendonornya.

Adalah pandangan keliru bahwa mendonorkan darah bisa melemaskan tubuh. Justru saat mendonorkan darah, tubuh bereaksi cepat dengan langsung membuat darah pengganti. Selain mendorong tubuh memproduksi sel darah merah yang baru, manfaat kesehatan lain yang bisa kita rasakan adalah menjaga kesehatan jantung. Donor darah pun membantu menurunkan berat badan. Dengan memberikan sekitar 450 ml darah akan membantu proses pembakaran kalori kira-kira 650. Ini jumlah kalori yang banyak untuk mengecilkan perut yang buncit dengan lemak.


Banyak orang telah merasakan manfaat donor darah sebagai deteksi dini terhadap aneka penyakit. Prosedur standar saat mendonor adalah pemeriksaan darah dari berbagai macam penyakit semisal HIV, hepatitis, malaria, diabetes dan lainnya. Dengan segudang manfaat itu mengapa kita takut mendonorkan darah? Ingatlah selalu bahwa berbagi setetes darahmu bisa menyelamatkan nyawa anggota keluargamu, saudaramu, teman-temanmu, kekasihmu bahkan dirimu sendiri. (*)

Tribun Manado 9 Mei 2012 hal 10

Pesona Wanita Minahasa...

Gadis Minahasa  dalam tarian Tetengkoren (kompas)
SAMBIL menari, Wulan menyungging senyum manis dari bibirnya yang tipis. Ia dan dua orang temannya melompat lincah, bergairah di atas panggung dengan tangan menggengam bambu kecil. Wulan, sang penari, terus memukul bambu itu hingga tarian Tetengkoren berakhir selama 10 menit.

Tarian Tetengkoren sebagai tari kreasi baru muncul dekade 1990-an, dan merupakan imajinasi perempuan Minahasa zaman dulu. Tetengkoren dalam mitologi Minahasa adalah penanda sesuatu.

Memukul Tetengkoren dapat berarti mengajak bekerja bersama (mapalus), mengisyaratkan bencana, bahkan sebagai tanda berperang.

Tahun 1801 ketika terjadi perang Tondano (Benteng Moraya), perempuan Minahasa diceritakan memukul tetengkoren membangunkan lelaki untuk berperang. Mereka berada di garis depan mengusir Belanda yang ketika itu terdesak akibat serangan Inggris.

Albert Berni Kusen, dosen Antroplogi Minahasa di Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Sam Ratulangi, menceritakan heroisme wewene (wanita) Minahasa sudah sejak lama. Pada abad 15, pemimpin masyarakat (Walak) adalah wanita.

Walak merupakan pemimpin masyarakat yang diangkat sesuai situasi dan kondisi. Walak memiliki kelebihan keberanian dan kecerdasan yang juga menjadi tokoh spiritual.

Ia merujuk nenek moyang Minahasa, seorang wanita bernama Lumimuut serta pemimpin spiritual Karema, yang mengawinkan Toar (pemuda) dan Lumimuut.

Peran perempuan yang kuat pada masa itu memberi paham bahwa Minahasa dulu menganut sistem matriarkal. Sistem itu nyaris tidak berubah bentuk pada masa pemerintahan Belanda hingga perempuan Minahasa memasuki fase modern.

"Orang Belanda menyebut style (sikap) perempuan Minahasa," kata Kusen.

Sikap hidup orang Minahasa egaliter dan demokratis, yang sejak dulu tidak membedakan pria dan wanita memberi inspirasi atas kehidupan keluarga dan masyarakatnya, termasuk ketika Maria Walanda Maramis berjuang untuk kemajuan pendidikan serta kesehatan perempuan di awal abad 20.

Nicholas Grafland, dalam bukunya berjudul Nederlandsche Zendeling Genootschap (1981), menyebut Maria sebagai salah seorang perempuan teladan Minahasa yang memiliki bakat istimewa untuk menangkap apapun juga, sekaligus mengembangkan pikiran nya.

Ia menimba pengetahuan dari bacaan berbahasa Belanda dan mengajar perempuan desa di kolong rumahnya. Maria Walanda Maramis membuka era pencapaian pendidikan para wanita Minahasa.

Dalam katalog Wanita Minahasa, tercatat sederet nama wanita yang meraih pendidikan tinggi. Sebut saja Marie Thomas, wanita dokter pertama Indonesia yang lulus sekolah Stovia tahun 1922, diikuti Anna Warouw yang meraih gelar yang sama.

Pada era itu Annie Manopo meraih gelar Doktor pertama wanita Indonesia di bidang hukum, kemudian menjadi Rektor Universitas Sumatera Utara. Pendiri Universitas Pinaesaan tahun 1958 yang kemudian menjadi Universitas Sam Ratulangi juga seorang wanita bernama Wilhelmina Nona Politton.

Di bidang politik tercatat nama Agustien Magdalena Wowuruntu yang menjadi wanita pertama yang menjabat wali kota di Indonesia ketika menjabat Wali Kota Manado tahun 1950-1951.

"Wewene Minahasa telah berprestasi saat kaum perempuan lainnya di Tanah Air berjuang melepas kungkungan tradisi," kata Kusen.

Cikal bakal pendidikan sudah ada sejak pertengahan tahun 1867, ketika wanita-wanita terkemuka Tondano membentuk Perkumpulan Wanita dan mendirikan sekolah Kepandaian Puteri di Tomohon.

Ini merupakan perkumpulan wanita pertama dengan tema memajukan kehidupan masyarakat Minahasa di mana-mana.

Kemampuan adaptasi

Berposisi sederajat dengan pria, maka wanita Minahasa juga terbiasa melakukan pekerjaan berat sehingga berakibat pada kekokohan tubuhnya serta kesehatan. Kesan atas kesegaran dan kekuatan mental tercermin pada raut mukanya. Banyak dari mereka mempunyai bentuk badan bagus.

Berjalan dan melangkah ringan, warna kulit muka terang dengan mata terbuka, bebas bertanya serta rambut tebal merupakan ciri khas. Wewene Minahasa dilukiskan Grafland sebagai perempuan lincah dan ramah. Suara dalam bercakap-cakap jelas dan terang.

Pada umumnya, mereka penurut. Akan tetapi mereka dapat menunjukan keinginannya apabila melihat perilaku menyimpang kaum lelaki.

Vivi George dari Swara Parampuang Manado mengatakan, kasus kekerasan dalam rumah tangga berawal dari sikap istri yang terang-terangan memarahi suaminya, di depan umum sekalipun. "Kekerasan terjadi saat paitua pulang malam lantas dimarahi maitua, apalagi jika pulang rumah sudah mabuk," katanya tersenyum.

Aspek penting wanita Minahasa adalah memiliki kemampuan beradaptasi secara cepat dengan lingkungan baru. Menurut Dr. Perry Rumengan, budayawan yang menulis sejumlah buku Minahasa, orang Minahasa rela meninggalkan aspek budayanya untuk memperoleh pencapaian hidup. Inilah yang dikritik Henny Palm, etnolog asal Inggris mengenai budaya Minahasa yang cepat hilang dari masyarakatnya.

Ketika Belanda masuk masyarakat belajar bahasa Belanda meninggalkan bahasa etnis. "Pakaian Maengket dipakai kaum wanita berasal dari kebaya jawa, tetapi karena dirasa bagus dipakai sebagai kostum tarian," katanya.

Kecantikan yang utuh

Meski demikian, konotasi negatif selalu mengiringi wanita sebagai perempuan gampangan. Dr. Desy Mantiri, dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi mengatakan, jika betul wanita Minahasa gampangan pasti yang pertama meremehkannya adalah pria Minahasa.

"Karena itu, saya tidak sependapat dengan pengertian tersebut. Mungkin karena wanita Minahasa itu penuh inisiatif, tak mau kalah, mudah diajak bicara, murah senyum, sehingga orang salah sangka, bahkan memberi stigma negatif. Sesungguhnya setelah bergaul, wanita Minahasa akan tampil anggun dan penuh wibawa. Justru inilah kecantikan dan keindahan wanita Minahasa, yakni keterbukaannya, senyumnya yang murah, serta suka berdebat, dan tidak mau diremehkan. Jadi, kecantikannya utuh, tidak sekadar atau wajahnya yang manis," ujar Dr RAD Siwu, sosiolog dari Universitas Kristen Tomohon.

Menurut Siwu, kemampuan perempuan Minahasa tidak lepas dari kultur budaya Minahasa sendiri. Dibandingkan perempuan di Asia Tenggara maupun di sejumlah daerah di Indonesia yang banyak dipengaruhi agama Hindu, Buddha, dan Islam, perempuan Minahasa mempunyai keistimewaan tersendiri.

Perempuan Minahasa baik sebagai anak kecil, gadis ataupun perempuan dewasa dapat bergaul di dalam maupun di luar rumah. Juga di sawah, kebun, atau pun di pesta-pesta.

Dalam perkawinan, perempuan Minahasa mempunyai peran sederajat dengan kaum pria. Ini bisa dilihat dari sapaan perempuan sebagai tetendean (tempat bersandar), kasende (teman makan), siesa (belahan sebelah, teman hidup). Bahkan di era modern sekarang ini, perempuan juga bisa berperan ganda dalam menafkahi keluarga.

"Untuk mengasapi dapur, misalnya, perempuan Minahasa bahkan banyak kali harus meminjam uang di arisan supaya bisa makan tanpa diketahui oleh suami," tambah Prof Dr Manoppo Watupongoh.

Dr Ny. Manoppo-Watupongoh, dosen Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi dalam diskusi tahun 2009 mengatakan, salah satu sikap agung wanita Minahasa adalah siap tampil pahlawan bagi rumah tangganya di saat suami sakit berat, kehilangan mata pencaharian. Oleh karena itu, wanita Minahasa mau tak diremehkan oleh siapa pun juga.

Lalu bagaimana dengan perempuan Minahasa di era moderen sekarang ini? Peserta juga sepakat mengatakan, perempuan Minahasa sekarang ini banyak yang hebat. Tapi sayangnya kurang dipublikasi. Sebaliknya, yang dipublikasi adalah kejelekan. "Sesuatu yang tidak fair," katanya. (*)

Sumber: Kompas.Com

Studi Banding

ilustrasi
BUKAN suatu yang luar biasa lagi jika kita mendengar anggota parlemen di negeri ini melakukan studi banding. Studi banding seolah telah menjadi jadwal rutin para legislator baik DPR RI maupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Untuk legislator yang menghuni Senayan atau DPR RI pilihan studi banding umumnya ke luar negeri. Jarang nian mereka studi banding di dalam negeri. Bukan level DPR RI-lah kalau studi banding hanya di kampung sendiri.

Bunyinya baru terasa lebih berkelas kalau mereka studi banding ke Eropa, Amerika, Australia atau negara-negara maju di kawasan Asia. Meski sudah berulang kali masyarakat mengeritik studi banding DPR sekadar pelesir berbelanja yang dibiayai uang rakyat, toh kebiasaan tersebut belum juga menyusut. Malah untuk tahun anggaran 2012 ini DPR RI telah menganggarkan dana kurang lebih Rp 200 miliar untuk lawatan ke mancanegara, entah studi banding atau kunjungan kerja.

Kebiasaan di Senayan setali tiga uang dengan parlemen lokal. DPRD kota dan kabupaten di Indonesia saban tahun selalu mengagendakan perjalanan ke luar daerah. Dua agenda paling populer bagi parlemen lokal yaitu mengikuti bimbingan teknis (bimtek) dan studi banding. Bimtek bahkan bisa berlangsung lebih dari dua kali dalam setahun. Tema bimtek pun beragam. Ada bimtek tentang laporan keuangan daerah, bimtek pengawasan dan lainnya. Bimtek lazimnya berlangsung di ibu kota negara sehingga saban tahun anggota DPRD pasti jalan-jalan ke Jakarta. Jarang terjadi DPRD kota dan kabupaten menggelar bimtek di daerah sendiri.

Penyelenggaraan bimtek bagi dewan selama ini selalu bekerjasama dengan kementerian terkait di tingkat pusat, misalnya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan lainnya. DPRD kabupaten dan kota kerap tidak menyadari bahwa dengan menggelar bimtek di Jakarta maka uang miliaran bahkan triliunan rupiah akhirnya terbang lagi ke sana. Desentralisasi yang menjadi spirit otonomi daerah diakali sedemikian rupa oleh Jakarta sehingga uang daerah kembali lagi ke pusat.

Selain mengikuti bimtek agenda rutin DPRD adalah studi banding. DPRD kita memang panjang akal dan lihai. Sebagai aktor penentu dalam menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), macam-macam topik studi banding yang mereka pilih. Misalnya studi banding pariwisata, studi banding tentang pengelolaan sampah dan sebagainya. Belum lama berselang anggota DPRD dari suatu provinsi di Pulau Sumatera melakukan studi banding soal kemajuan pariwisata di Nusa Tenggara Timur (NTT). Tentu saja kehadiran mereka di NTT menjadi lelucon yang tidak lucu. Kalau mau studi banding tentang kemajuan pariwisata mengapa bukan memilih Bali? Kesan mengada-ada agaknya sulit ditampik.

Bagaimana Sulawesi Utara (Sulut)? Studi banding ternyata juga berlaku di bumi Nyiur Melambai. Sebanyak 20 legislator DPRD Sulut terbang ke Jakarta, Rabu (2/5). Mereka yang merupakan anggota Pansus Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Gubernur Sulut itu akan studi banding di Provinsi DKI Jakarta dan Banten. Mereka mau 'belajar' di Jakarta dan Banten tentang LKPj. Total dana untuk membiayai perjalanan mereka Rp 240 juta.

Tak salah kalau DPRD Sulut memilih studi banding. Itu hak mereka. Yang jadi pertanyaan apakah studi banding LKPj memang sangat urgen dan dibutuhkan sehingga wakil rakyat Sulut harus belajar ke Banten dan Jakarta? Apa benar Jakarta dan Banten dianggap lebih baik LKPj-nya? Kita tunggu pertanggungjawaban DPRD Sulut tentang hasil studi banding mereka yang membawa perubahan bagi daerah ini. Kalau pulang lalu diam-diam saja maka rakyat Sulut akan menilai seperti apa wajah mereka sesungguhnya.*

Tribun Manado 3 Mei 2012 hal 10

Sepanjang Zaman Bersama Tinutuan

Tinutuan
Awalnya Tinutuan hanya dinikmati para petani di ladang. Makanan ini kemudian berkembang di zaman sulit kala sebagian besar orang Minahasa mengungsi di bukit-bukit atau kawasan hutan karena pergolakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Kini makanan ini menjadi favorit, berkembang, bahkan menjadi ikon kota.

BERKAT Tinutuan, kawasan Wakeke di Kecamatan Wenang, Manado, menjadi situs budaya Manado. Di kawasan itu sejumlah rumah makan menyajikan menu yang disebut juga Bubur Manado.

Rumah Makan (RM) Syully, termasuk rumah makan tua yang menyediakan menu tradisional itu. Dimulai pada era 1980-an rumah makan ini tetap eksis dan ramai dikunjungi pelanggan. Kepada Tribun Manado, Yenny Ngantung, pemilik dan pengelola RM Syully, menuturkan, setiap hari bisa 150 orang yang masuk keluar untuk menyantap Bubur Manado di tempatnya. Kebanyakan pelanggan merupakan masyarakat umum.
Tinutuan atau Bubur Manado

"Ada juga beberapa pejabat Sulut yang selalu mampir kemari. Rumah makan kami sudah buka sejak pukul 5.30 sampai 15.00 Wita," kata istri Renno Pattiasina, Kamis (3/5/2012). Rumah makan itu lumayan besar. Banyak yang berpendapat Tinutuan di RM Syully rasanya sedikit berbeda dengan Tinutuan pada umumnya. "Resep kami dari orangtua," katanya tersenyum.

Rezeki dari Tinutuan juga dirasakan Desire Maitimo, pemilik RM Dego-dego. Sebagai menu utama, Tinutuan paling banyak dipesan. "Kalau lagi sepi, Tinutuan yang dipesan sekitar 60 porsi per hari. Tetapi saat weekend yaitu Jumat sampai Minggu, bisa sampai 180 porsi per hari," ujarnya.

Di rumah makan itu Desire juga menjual Midal dan Mie Cakalang, dua menu yang muncul setelah Tinutuan. Midal merupakan turunan Tinutuan atau Tinutuan bercampur mie. Midal dan Tinutuan berharga sama, Rp 10.500. "Mie Cakalang Rp 13 ribu, per hari bisa dipesan 40 sampai 130 porsi," terangnya.

Selain Tinutuan, Desire juga menyediakan makanan lainnya, seperti aneka seafood dan berbagai jenis minuman, sebagai pelengkap atau alternatif bagi pelanggan yang datang. "Tetapi yang paling banyak dikonsumsi adalah Tinutuan. Apalagi kawasan Wakeke ini sudah dikenal sebagai kawasan wisata kuliner terutama Tinutuan, sehingga masyarakat yang datang ke kawasan ini, memang karena ingin makan Tinutuan," ujarnya.

Kata dia, banyak pelanggannya berasal dari kalangan menengah ke atas yang datang dari berbagai tempat di Kota Manado, bahkan ada juga wisatawan asing maupun domestik yang sering berkunjung untuk menikmati makanan khas Minahasa itu.

"Kalangan pejabat, pengusaha, profesional, dan para pelajar yang sering hang out bersama teman-teman atau bagi mereka yang mengadakan reuni atau kumpul bersama keluarga, yang dipesan adalah tinutuan. Ada juga makan lain tetapi yang paling dominan adalah Tinutuan. Rumah makan kami juga pernah diliput oleh televisi nasional seperti TransTV dalam acara Wisata Kuliner, yang diangkat adalah Tinutuan," jelasnya

Vivi, pemilik RM Wakeke, juga mengungkapkan Tinutuan dan Midal adalah makanan favorit. Per hari biasanya ia menyajikan 50 sampai 100 porsi. "Harga per porsi Tinutuan dan Midal adalah Rp 9 ribu, karena disesuaikan dengan pelanggan kami yang biasanya dari kalangan menengah ke bawah, baik tua maupun muda. Kalau hari sibuk kerja Tinutuan dan Midal hanya 50 porsi per hari. Tapi kalau hari libur seperti Jumat, Sabtu, dan Minggu, bisa mencapai 100 porsi per hari," ujarnya.(dru/jhp)

Sehat karena Gedi


BAGI orang Minahasa, Tinutuan tidak lengkap jika tidak ditambahkan daun Gedi sebagai campuran. Daun ini mempunyai fungsi sebagai penambah rasa gurih serta mengentalkan.
Selain lezat, Gedi juga kaya vitamin A, zat besi, dan serat yang baik untuk saluran pencernaan. Kolagen terkandung di dalam daun ini juga bermanfaat antioksidan dan menjaga kesehatan kulit.

Mungkin karena banyak mengandung serat sehingga menyerap kolesterol dan lemak sehingga banyak orang berpendapat bahwa sayur ini dapat membuat orang langsing dan membantu menurunkan kadar kolesterol dan hipertensi. Namun belum ada penelitian khusus tentang hal ini.
Karena daunnya banyak mengandung banyak zat kolagen yang bersifat antioksidan, maka berguna untuk merawat kesehatan kulit dan melancarkan peredaran darah. Konon kabarnya, pada suatu masa, mantan presiden Soeharto (almarhum) senang merawat sendiri tanaman ini di rumah kediamannya di Cendana. Presiden kedua RI tersebut suka makan rebusan Gedi untuk pemulihan dan perawatan kesehatannya pada masa tua.(wikipedia)

Ada di Hotel Berbintang

TAK hanya di kantin, warung atau rumah makan, Tinutuan juga mudah didapatkan di hotel berbintang. Hotel Aston Manado, misalnya, setiap hari menyediakan menu yang berbahan dasar sayur-mayur tersebut.

Dengan sedikit tambahan bumbu penyedap, Bubur Manado ala Senior Cook Aston Manado memiliki rasa khas tersendiri. Rasa kaldu dengan campuran yang tidak begitu kental dan tidak pula cair, dipastikan sangat pas dilidah.

Dewa Rai, Senior Cook Aston Manado, mengatakan, Tinutuan tersedia setiap hari. Bahkan menu tersebut merupakan satu di antara banyak menu yang dihidangkan sebagai menu sarapan.
"Kalau siangnya bisa dipesan dan kita akan langsung buat. Lebih enak dipesan langsung karena sayur yang digunakan fresh (segar) semua dan ketika dihidangkan masih panas," jelas Dewa kepada Tribun Manado, Rabu (3/5).

Supervisor CDP Aston Manado Whisnu Issandar menambahkan, peminat Tinutuan cukup banyak. Maka itu, Tinutuan akan terus dihidangkan selama permintaan masih ada. Harganya hanya Rp 31 ribu per nett yang disajikan di soflet dengan porsi lebih banyak.
Tak hanya Bubur Manado, Aston Manado juga menyediakan menu tradisional lainnya seperti Cakalang Pizza, Mie Kuah Cakalang, Mie Goreng Cakalang, Ayam Masak di Bulu, Ayam Goreng Kremes, Buntu Rica Poco-Poco, Whoel Fiest Dabu-Dabu, dan Ikan Kuah Asam (Woku). (nty)

Bahan-bahan:
- Kangkung
- Bayam
- Jagung manis
- Daun bawang
- Kemangi
- Sere
- Bumbu penyedap

Pelengkap:
- Tahu goreng
- Nike goreng
- Abon cakalang
- Sambal terasi


Angel Anatasya Sompie: Suka Tinutuan Sejak Kecil

GADIS bernama lengkap Angel Anatasya Sompie ini sudah sejak kecil suka makan Bubur Manado alias Tinutuan. Selain karena orangtuanya hobi makanan khas Sulawesi Utara itu, Angel merasa cocok dengan bahan-bahan di dalam Tinutuan.

"Ini makanan sehat. Banyak sayurnya. Makanya saya suka sekali. Bahkan hampir setiap hari sarapan Tinutuan di kantin kampus," ungkap mahasiswi semester VIII STMIK Parna Raya Manado ini, Kamis (3/5/2012).

Menurut perempuan kelahiran Manado, 25 Maret 1990, ini, Tinutuan adalah makanan favorit banyak orang Manado. "Bahkan kalau dia orang Minahasa rasanya tidak pantas dibilang orang Minahasa kalau tidak bisa makan tinutuan," ujar Angel lalu tertawa.

Kesukaannya terhadap tinutuan membuat puteri pasangan Herry Sompie dan Ivonne Luntungan ini hafal nama-nama tempat makan tinutuan yang enak. Seperti lokasi wisata kuliner khusus Tinutuan di Wakeke.

"Di kantin-kantin kampus atau kampung-kampung Tinutuan juga dimasak dan enak-enak. Soalnya, campurannya sayuran segar. Tinutuan itu enak dan sehat jadi saya selalu suka. Pokoknya Tinutuan makanan favorit saya dan Tinutuan always be the best food for me karena melancarkan pencernaan dan banyak makan sayur kan bikin kulit halus," tutur Angel lalu melemparkan senyum.(yudithrondonuwu)

Berkembang saat Permesta

Analisis DR PR Renwarin
Antropolog Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng


TINUTUAN berasal dari kata Tu'tu atau Lu'tu yang artinya masak. Tinutu artinya dimasak. Sedangkan Tinutuan artinya hal yang sudah dimasak.

Subetnis Tountemboan mengenal kata lain yang lebih dekat yaitu Peda'al yang berarti makanan kebun yang merupakan jenis pengolahan sayur. Tinutuan memang menu yang dasarnya sayur- sayuran tapi bukan sayuran umum. Sayuran yang dipakai ialah sayuran hijau.
Makanan ini pertama kali dibuat di kebun karena sayur-sayuran banyak terdapat di halaman pondok. Biasanya sayur yang ada di halaman adalah Gedi.

Kreasi untuk Tinutuan kemudian berkembang saat perang Permesta 1959-1960. Saat itu beras menjadi sedikit. Maka beras yang sedikit itu kemudian ditambah pada sayur-sayuran. Begitu pula dengan jagung jika ada. Tinutuan menjadi makanan umum karena tidak perlu waktu lama, memakai api yang kecil, dan bisa dimasak di lubang perlindungan. Saat itu bahkan ada Tinutuan Konga (dedak) memakai jagung muda yang hampir dipanen. Situasi berbahaya membuat orang kreatif dalam membuat makanan.

Pada 1968 terjadi krisis ekonomi. Jika ada istilah makan bulgur pada saat itu, Tinutuan menjadi semacam bulgur sama seperti saat Permesta.

Perkembangan lanjutannya terjadi akhir 70-an dan saat pada 80-an. Saat itu mie instan mulai dikenal di pasaran. Para pegawai kota mulai makan dengan model branch (breakfast and lunch). Artinya, mereka makan sekitar pukul 10.00 karena tidak makan pagi dan sudah tidak makan siang lagi karena pulang pada sore hari. Saat itu mie sudah mulai dicampur dalam Tinutuan. Konsepnya sama dengan Tinutuan dengan nasi. Nasi itu karbohidrat. Mie mengantikan nasi sebagai karbohidrat. Campuran itu kemudian dikenal dengan nama Midal. Ada yang mengatakan itu gabungan dua kata yaitu mie dan pedal (sayur). Ada juga yang memopulerkan gabungan kata mie dan rudal. Saat itu rudal dikenal dalam Perang Irak. Itu menjadi istilah karena Tinutuan itu panas dan dimakan cepat-cepat.

Orang Manado di luar Manado menanam Gedi di halaman rumah bahkan di pot. Mereka membuat Tinutuan untuk bernostalgia. Merekalah yang kemudian menamakan Tinutuan sebagai Bubur Manado. Ini untuk membedakan dengan bubur biasa yang sudah umum.
Sekarang Tinutuan menjadi makanan piknik dan makanan nostalgia bagi orang Manado. Kebiasaan lama pegawai rendahan untuk makan walaupun bukan di warung resmi tetap ada. Orang luar menyantap makanan ini karena memang enak dan karena unsur rekreatif tadi. Sedangkan bagi orang yang menderita banyak penyakit, makanan ini cocok karena menu yang sehat. Makanan ini akan tetap eksis dan berkembang karena faktor-faktor tersebut.(dma)

Liputan Khusus Tribun Manado, Jumat 4 Mei 2012 hal 6
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes