Baciato dalla Grazia

Roberto Mancini
Baciato dalla grazia. Dalam pelukan nasib baik. Begitulah orang Italia menggambarkan perjalanan karier Roberto Mancini. Pria flamboyan kelahiran kota kecil di tepi Laut Adriatic ini bersinar sebagai pemain dan pelatih. Mancini seolah selalu dalam dekapan Dewi Fortuna.

Mancio, begitu dirinya disapa, selalu membawa nasib baik ke klub yang dibelanya, baik sebagai pemain maupun pelatih. Dalam kariernya sebagai pemain di era 1990-2000 bersama Sampdoria dan Lazio, Mancini mempersembahkan gelar juara Serie A, Coppa Italia, Super Coppa Italia, dan Cup Winners' Cup.

Sebagai pelatih, Mancio juga selalu meraih juara bersama tim yang ditangani. Gelar juara Coppa Italia dia raih bersama Fiorentina, Lazio, dan Inter Milan. Mantan striker yang telah menyarangkan 202 gol ini juga membawa Inter juara tiga kali Serie A.

Kariernya di Inter pada 2004-2008, yang mengakhiri paceklik gelar juara Liga Italia selama 18 tahun, semakin mengukuhkan kepiawaian Mancini mengolah strategi. Namun, ia kemudian didepak dari Inter karena gagal mempersembahkan gelar Liga Champions.

Mancio menganggur selama 18 bulan sebelum diminta memimpin revolusi di tubuh Manchester City pada 2009. Klub yang berada di bawah bayang-bayang rival sekota Manchester United itu sedang mengejar mimpi, setelah dibeli oleh Sheikh Mansour, seorang miliarder asal Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Tawaran itu merupakan tantangan besar bagi Mancini. Rekan lamanya, Gianluca Vialli, menceritakan bagaimana tekad kuat Mancini memulai pergulatannya dengan sepak bola Inggris yang sangat ketat.

”Roberto bekerja keras selama setahun ini, setengahnya dia habiskan di London dan beberapa bulan mempelajari bahasa Inggris,” ujar Vialli.

Mancini memikul beban berat untuk mengakhiri penantian panjang meraih gelar juara kompetisi tertinggi di Inggris sejak 1968. Musim 2010/2011, Mancini mempersembahkan Piala FA yang terakhir kali diraih 35 tahun sebelumnya.

Musim ini, Mancini yang memperkuat skuadnya dengan sejumlah pemain bintang seperti David Silva, Samir Nasri, dan Sergio Aguero mengakhiri paceklik gelar juara Liga Primer selama 44 tahun. Musim yang ketat, berat, dan menguras emosi dari awal hingga akhir musim.

City menjalani laga paling dramatis di Liga Primer untuk menjadi juara musim 2011/2012. City tertinggal 1-2 oleh tim tamu Queens Park Rangers hingga lima menit babak tambahan waktu. Sepanjang babak kedua, setelah tertinggal 1-2, Mancini gelisah. Emosinya meledak-ledak melihat penampilan para pemainnya yang selalu gagal menembus benteng pertahanan QPR, yang memasang 10 pemain di sekitar kotak penalti. Maklum, QPR juga tengah berjuang lolos dari zona degradasi.

Mancini selalu melepaskan emosinya seketika ia merasakan kegelisahan, karakter yang sudah mendarah daging sejak dirinya menjadi pemain sepak bola. Saat memperkuat Lazio, Mancini pernah membuang pita kapten dan mendamprat pelatihnya waktu itu, Sven-Goran Eriksson.

Emosi yang meledak-ledak itu tipikal Mancini. Ia secara spontan menyatakan tidak akan pernah memainkan Carlos Tevez, yang menolak melakukan pemanasan dalam sebuah pertandingan Liga Champions.

Di laga terakhir Liga Primer musim ini, Mancini menumpahkan seluruh emosinya untuk mendorong pasukannya melampaui batas kemampuan mereka. Skuad inti City terus berusaha mencetak gol di bawah suntikan motivasi Mancini dari tepi lapangan.

Mukjizat itu terjadi pada babak tambahan waktu. Sekali lagi, Mancini berada dalam dekapan Dewi Fortuna. Sundulan Edin Dzeko menyamakan kedudukan 2-2 dan dua menit kemudian Sergio Aguero, yang dibeli senilai 35 juta pounds (Rp 521 miliar) dari Atletico Madrid, membawa City unggul 3-2. Gol yang membawa City juara Liga Inggris dengan keunggulan selisih gol dari rival sekotanya, Manchester United.

Mancini meluapkan kegembiraannya dengan berlari sambil mengangkat tangannya ke udara. Ia melepaskan ketegangan yang menekannya sejak babak kedua. Musim ini menjadi pencapaian menakjubkan Mancini sebagai pelatih di Liga Inggris. Ia mencatatkan kemenangan bersejarah.

Mancini sukses memimpin revolusi Manchester City. Ia belajar banyak dari gurunya, Sven-Goran Eriksson yang mengajarinya bagaimana berhenti sejenak dan berpikir. Di saat kebuntuan menghinggapi penampilan tim, seorang pelatih harus berhenti sejenak, mengurai benang kusut dalam timnya dengan pikiran jernih.

Pelatih yang telah menginjak usia 48 tahun ini semakin matang dalam meracik strategi dan mengelola emosi pemainnya di ruang ganti. Ia memenangi pertarungan di ruang ganti saat Tevez memberontak.

Kekuatan karakter Mancini ini tidak lepas dari pengalamannya sebagai pemain dengan pencapaian yang mengagumkan. Ia menjadi legenda dalam sepak bola Italia. Ia penyerang hebat dengan gol-gol berkelas, kelihaian manuver, dan satu kebiasaannya yang khas, mengumpan bola dengan tumit kaki.

Ia menjadi ancaman serius bagi lawan-lawannya, meskipun sosoknya lebih mirip peselancar top dari Australia. Rambut pirang, postur ramping, dan wajah tampan juga menjadikannya dalam papan atas pesepak bola berpenampilan menarik di Italia.

Namun, penampilan luarnya yang meledak-ledak tidak sejalan dengan karakternya yang cenderung tertutup. Rekan-rekan dekatnya mendeskripsikan dirinya sebagai ”orang yang sangat tertutup”. Ia juga sering dikritik karena dinilai angkuh dan sombong.

Mancio mungkin memang angkuh dan sombong. Namun, ia memiliki karakter dan konsep kuat dalam mengelola sebuah tim. Ia datang ke Manchester pada Desember 2009 menggantikan Mark Hughes, pelatih QPR yang ditundukkan City untuk meraih juara Liga Inggris musim ini.

Salah satu konsep dalam kepelatihannya adalah mendefinisikan peran seorang pemain penghubung lini tengah dan lini depan. Konsep itu ia tuliskan dalam sebuah pedoman kepelatihan berjudul Il Trequartista. Buku itu tersimpan di Coverciano, pusat kepelatihan milik Asosiasi Sepak Bola Italia, tidak jauh dari kota Florence.

Ia mengupas peran pemain nomor 10 yang menjadi penghubung lapangan tengah dengan penyerang. Peran yang sangat dia kuasai, di mana ia sangat lihai menjadi penyerang bayangan yang mematikan.

Di Manchester City, Mancini menjadikan David Silva sebagai pemain nomor 10. ”Trequartista kami yang fantastis,” ujar Mancini mendeskripsikan peran Silva.

Saat Mancini memimpin City di akhir 2009, gelar juara Liga Primer masih di awang-awang. Namun, Mancini memanfaatkan suntikan dana yang tak terbatas dari Sheikh Mansour untuk mendatangkan para pemain bintang. Keputusan yang membawa City juara sekaligus simalakama, karena musim depan mereka harus menjual banyak pemain mahal untuk memenuhi syarat keseimbangan keuangan klub dari UEFA.

Mancini belum memikirkan masalah itu. Saat ini ia sedang menikmati sukses besarnya membawa City juara Liga Primer. Kemenangan pertama yang menjadi batu loncatan untuk kesuksesan berikutnya.

Musim depan, Mancini mengincar juara Eropa bersama City. Perburuan yang berat bagi City meskipun Mancio dalam dekapan Dewi Fortuna. (*)

Sumber: Kompas.ComKompas
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes