ilustrasi |
Selama puluhan bahkan ratusan tahun kelapa telah menjadi salah satu sumber pendapatan utama masyarakat Minahasa, Tomohon, Talaud, Bolaang Mongondow dan lainnya. Tidak ada provinsi lain di negeri ini yang memiliki perkebunan kelapa sehebat Sulawesi Utara.
Selain kelapa Sulawesi Utara pernah berkibar sebagai daerah penghasil cengkeh dan pala terbesar di Indonesia. Namun, seiring perkembangan zaman cengkeh dan pala agaknya bukan lagi andalan utama. Kini kencenderungan serupa mulai melanda tanaman kelapa. Ada apa gerangan?
Dilema sedang melanda para petani kelapa. Harga kelapa dan produk turunannya tidak cukup lagi membuat petani di daerah ini sumringah secara ekonomis. Harga kopra, misalnya, kini anjlok sampai Rp 3 ribu per kilogram. Padahal siapa pun maklum untuk menghasilkan kopra siap jual melewati jalan melelahkan, makan waktu dan tenaga. Petani kelapa harus menyewa pemanjat kelapa, pengupas kemudian mengerahkan tenaga mereka untuk proses pengasapan sampai kopra siap jual kepada pengusaha pengumpul.
Dengan harga Rp 3 per kilogram betapa beratnya derita para petani. Maka bisa dimengerti jika para petani kelapa di Sulut kemudian beralih ke komoditi lain yang lebih baik harganya seperti kakao atau aneka tanaman holtikultura yang bisa panen dalam hitungan bulan. Dalam keadaan semacam itu peremajaan kelapa di bumi Nyiur Melambai menjadi tanda tanya besar. Perlahan tapi pasti areal perkebunan kelapa di Sulut niscaya akan terus menyusut. Kalaupun ada peremajaan jumlahnya tidak signifikan untuk menggantikan kelapa usia tua dan tidak produktif lagi.
Disamping minim peremajaan masalah lain yang mendera berupa aksi penebangan tak terkendali sebagaimana terjadi di kawasan hutan lindung di kaki Gunung Klabat. Puluhan ribu pohon kelapa di sana termasuk yang masih usia produktif ditebang saban hari. Balok kelapa dijual untuk bahan baku aneka kerajinan.
Menurut pandangan kita diperlukan langkah konkret dari pemerintah daerah agar petani kembali bergairah menanam kelapa. Stabilitas harga dan kemudahan bagi mereka harus diberikan. Jangan lupa sampai detik ini kelapa dan produk turunannya masih menempati urutan pertama komoditi ekspor dari Provinsi Sulawesi Utara.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur, alih fungsi lahan merupakan konsekwensi yang sulit dicegah. Tentu dibutuhkan perencanaan yang matang agar lahan perkebunan kelapa tidak menjadi korban. Sikap antisipasi dini terhadap kemungkinan menyusutnya lahan perkebunan kelapa di Sulut merupakan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan segera. Mudah-mudahan. (*)
Tribun Manado, 19 Mei 2012 hal 10