KUPANG, PK---Mengonsumsi pangan lokal (tidak tergantung semata pada beras) perlu terus dikampanyekan dan terutama dipraktikkan seluruh lapisan masyarakat NTT. Namun, seiring dengan tekad tersebut, pangan lokal kita masih membutuhkan citra sehingga tidak kalah bersaing dengan makanan yang datang dari luar.
Kampanye konsumsi pangan lokal juga membutuhkan komitmen yang kuat dan konsistensi kebijakan termasuk fiskal (anggaran) dari pemerintah propinsi dan semua kabupaten/kota. Perlu pula dilakukan revitalisasi peran penyuluh pertanian dan menghadirkan juru penerang pangan di setiap desa di seluruh NTT.
Demikian antara lain intisari diskusi "Pangan Lokal dan Peluncuran Buku 50 Tahun Ziarah Pangan NTT Sehati Sesuara Mewujudkan Kedaulatan Pangan Lokal" di Aula Susteran RVM Walikota, Kupang, Selasa (14/7/2009). Diskusi yang diselenggarakan Harian Umum Pos Kupang ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, Rektor Undana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M. App, Sc. Ph.D, dan pakar pertanian, Ir. Viator Parera. Tampil sebagai moderator anggota DPRD NTT, Pius Rengka.
Peserta diskusi terdiri dari puluhan undangan dari sejumlah instansi pemerintah, LSM, akademisi dan pemerhati masalah pangan (dan pertanian pada umumnya) di NTT, anggota DPD terpilih, Ir. Paul Liyanto, Ny. Welmintje Benyamin-Adoe, Ny. Victoria Hurek dan sejumlah anggota PKK, para jurnalis media cetak dan elektronik.
Dalam diskusi ini mengemuka pula sejumlah tawaran konkret seperti pemerintah mewajibkan semua restoran untuk menghidangkan makanan lokal (nasi jagung, nasi ubi, kacang- kacangan) minimal sekali seminggu. Demikian pula pesawat terbang dari dan ke NTT diharapkan untuk menyajikan makanan lokal NTT.
Saat membawakan makalahnya, Gubernur Lebu Raya menyebut perlunya pangan lokal NTT mempunyai citra. Menurutnya, bagaimana mengolah pangan lokal agar menarik untuk dikonsumsi masih menjadi salah satu persoalan dalam upayanya mengampanyekan konsumsi makanan lokal.
"Citra pangan lokal memang masih rendah dan karena itu kalah bersaing dengan makanan yang datang dari luar. Kita harus membuat pangan lokal kita punya citra dan bermartabat. Itu dilakukan antara lain melalui publikasi. Mie diiklankan oleh artis-artis cantik. Kenapa jagung bose tidak bisa diiklankan oleh Rektor Undana, misalnya," ujar Lebu Raya.
Dia mencontohkan, jagung bose sudah dikenal sebagai makanan lokal NTT. Namun, pengolahan jagung bose masih membutuhkan waktu berjam-jam. "Itu tantangan untuk Undana dan perguruan tinggi lainnya di NTT supaya jagung bose bisa menjadi bose instan, tetapi aman. Kita berterima kasih karena ternyata Undana sudah bekerja sama dengan Menristek untuk membuat bose instan yang aman dikonsumsi," lanjut Lebu Raya.
Rektor Undana, Frans Umbu Datta juga menegaskan hal yang sama. Bahkan, menurutnya, dalam masyarakat kita lahir persepsi bahwa makanan lokal "berstatus sosial lebih rendah" dibanding makanan impor. Kesan ini, jelasnya, tumbuh mulai tahun 1970-an karena program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang mengarahkan penyeragaman program pada hampir semua lini kehidupan.
Di bagian lain, Lebu Raya menekankan tiga faktor yang harus dipenuhi dalam rangka pemenuhan pangan lokal, yakni ketersediaan, terjangkau dan aman. Soal ketersediaan, ia menegaskan, secara umum sebenarnya terjadi surplus. Namun, secara mikro, apalagi hitungannya sampai di rumah tangga, hampir pasti defisit. "Itu artinya kita bicara soal distribusi. Kita bicara bagaimana akses rumah tangga yang masih rendah untuk memperoleh pangan," jelasnya.
Tentang faktor harga (terjangkau), Lebu Raya menyentil masih adanya perilaku segelintir orang yang melakukan penimbunan untuk menaikkan harga. "Ada orang yang melakukan penimbunan sehingga stok berkurang di pasar. Orang itu simpan dulu di gudangnya lalu mengatakan tidak ada lagi, tetapi besok muncul dengan harga lebih mahal," ujarnya sambil menekankan pentingnya faktor keamanan pangan lokal.
Narasumber lainnya, Viator Parera membawakan makalah "Pangan Lokal Berbasis Pertanian Lahan Kering (Imajinasi, Komitmen dan Energi Akar Rumput)". Menurutnya, pangan lokal berbasis pertanian lahan kering tidak asing bagi masyarakat NTT. Perbedaan antara daerah yang satu dengan yang lain hanya terletak pada jenis tanamannya, tempat dan cara bercocok-tanam serta pada pengelolaan pasca panen.
Parera juga menegaskan perlunya pemanfaatan pekarangan rumah. Pekarangan rumah, katanya, dapat ditanam sumber- sumber pangan suplemen seperti pisang, pohon buah-buahan, sayuran, rempah-rempah, serat, tanaman obat, dan lain-lain.
Sebelum diskusi ini berakhir, Gubernur NTT, Frans Lebu Raya meluncurkan buku "50 Tahun Ziarah Pangan NTT Sehati Sesuara Mewujudkan Kedaulatan Pangan Lokal" yang diterbitkan PT Timor Media Grafika. Pemimpin Umum PT Timor Media Grafika, Damyan Godho, dalam sambutannya mengatakan, penerbitan buku ini sebagai bentuk nyata peran serta Pos Kupang menggalakkan konsumsi pangan lokal. (ati/ira/dar)
Pos Kupang edisi Rabu, 15 Juli 2009 halaman 1