TENTANG pangan lokal, mantan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Viator Parera berbagi pengalaman. Pria berusia lebih dari tujuh puluh tahun ini tidak membeberkan alasan konsumsi pangan lokal; tidak bicara tentang distribusi pangan lokal dan lain-lain. Permasalahan tersebut bukan tidak penting, tetapi Parera memilih berbagi pengalaman tentang hal-hal praktis.
Dari Diskusi Pangan Lokal (3)
"Saya angkat topi untuk jagung titi Flores Timur. Itu paling enak. Orang dari luar negeri saja kagum dengan jagung titi, kok kita tidak bisa. Jagung titi ini ditambah dengan sayur rumpu-rampe yang dimasak dari hasil tanaman-tanaman yang tumbuh di sekitar rumah atau kebun seperti pepaya dan marunggai (Moringa oleifera), kemudian ditambah ikan bakar dan tuak putih dari pohon tuak yang juga tumbuh di sekitar, menjadi menu makanan lokal yang sulit untuk ditolak," demikian antara lain Parera mengapresiasi pangan lokal NTT ketika tampil menjadi salah satu narasumber diskusi terbatas tentang pangan lokal di Aula RVM Walikota, Kupang, Selasa (14/7/2009).
Terlepas dari pengolahannya yang masih alami, Parera menjelaskan, dari "pertualangannya" ke beberapa desa di Flotim, ternyata di kebun-kebun yang penuh batu, petani menanam jagung dengan pola salome (satu lobang rame-rame). Maksudnya, dalam satu lobang, petani tidak hanya menanam jagung, tetapi juga ada labu dan kacang turis. Kacang turis bisa memberi nitrogen, labu menjalar di atas batu dan meletakkan buah di atasnya. Sungguh indah dipandang mata.
Parera juga bernostalgia tentang Ai óhu budun, yakni gaplek atau ubi kayu kering yang difermentasi sampai menjadi lembek dan berwarna hitam khas orang Sikka. Cara yang biasa dilakukan dalam mem-budu (fermentasi) ialah dengan dibungkus dalam daun waru atau kelopak pisang yang masih mentah.
"Hemat saya, dapat saja ditingkatkan dengan meniru cara orang membuat tempe. Kalau dalam pembuatan tempe bahan ragiannya dibuat sendiri dari tempe yang dipotong kecil-kecil lalu dijemur sampai kering betul lalu ditumbuk sampai halus, di sini diganti dengan ái óhu budun sendiri. Bila mau dikonsumsi, direndam dulu semalam lalu dipanggang di atas bara api atau direbus. Dimakan bersama parutan kelapa ... enaaaaak! Ada juga yang menggorengnya: sama enaknya," cerita Parera.
Dia menegaskan, pangan lokal berbasis pertanian lahan kering di NTT bukanlah sesuatu yang asing. Pangan lokal hadir dalam berbagai bentuk dan cara, perbedaannya hanya pada jenis tanamannya, tempat dan cara bercocok-tanam, dan pada pengolahan pasca panen.
Dalam konteks ini, ia menawarkan pekarangan rumah sebagai lahan menanam pelbagai tanaman pangan. Namun, pria yang sudah malang-melintang di berbagai negara terkait masalah pertanian ini menegaskan, ada perbedaan yang nyata dengan ladang.
Untuk jenis tanaman di ladang, sebaiknya berfokus pada tanaman pangan utama, sedangkan kebun pekarangan lebih mengarah pada sumber-sumber pangan suplemen (pisang umpamanya), pohon buah-buahan, sayuran, rempah-rempah, serat, tanaman obat, dan lain-lain.
"Kalau kita jalan dari Larantuka sampai di Ende, maka kita akan melihat rumah dengan kebun yang di dalamnya ditanam segala jenis pisang. Dulu saya masih di Perumnas (Kelurahan Nefonaek, Kecamatan Kelapa Lima, sekarang), saya juga menanam ubi kayu, dan ternyata subur bukan main. Hasilnya juga enak sekali dan
tidak ada urat," ujarnya.
Pentingnya peranan pekarangan diakui Parera sebagai tempat domestikasi berbagai jenis tanaman dan perkembangannya. Berevolusinya suatu jenis tanaman itu berawal dari pekarangan. Contohnya di Sikka. Saat ini alpukatnya sangat terkenal, padahal dulu hanya ada di Ende. Setelah masuk di Sikka, menjadi alpukat yang sangat enak.
Ia menegaskan, keberanian untuk mencoba dan bermain dengan pekarangan ini harus ada karena dari pekaranganlah tanaman yang dikenal sekarang ini berkembang.
"Kalau kita berani dan komitmen, maka kita juga harus berani main-main di rumah kita, halaman kita, mencoba tanaman baru," ajaknya.
Untuk bisa maju, harus ada kekuatan yang bisa merangsang orang untuk maju, termasuk dalam urusan pertanian. Salah satunya dalam bentuk nyanyian karena nyanyian itu hampir sama dengan simbol. Di Sikka misalnya, ada yang dinamakan 'tana lúma-lágo' yaitu tanah bero yang ditanami dengan turi dan waru, dijadikan istilah untuk tanah milik: "Lúma-lágo aún", tanah milik saya.
Kesuburan tanah di kebun pekarangan berkaitan erat dengan diversifikasi tanamannya yang luas dan strukturnya yang rumit dan bertingkat banyak. Mulai dari yang menjalar di atas tanah (ubi tatas); menjalar di pagar (kacang panjang jenis lokal, kecipir yang oleh orang Maumere disebut heó, orang Lio dowe, Latin Psophocarpus Tetragonolobus, Inggris wing bean, dan oleh National Academy of Sciences disanjung dengan sebutan "A High-Protein Crop For The Tropics"); berbentuk semak (terong, lombok); pohon yang rendah (delima, jambu, belimbing), yang sedang (sirsak), sampai kepada yang tinggi (mangga, nangka, kelapa). Dalam areal yang lebih luas dan berada jauh dari rumah, berbentuk wanatani (agroforestry) yang di Pulau Timor disebut mamar dan di Sikka dikenal dengan nama ongen.
Menurutnya, kesuburan tanah dalam kebun pekarangan dan wanatani seharusnya dibiarkan berproses secara alami. Ini bukan berarti para petani tradisional tidak memiliki cara-cara pribumi menjaga keberlanjutan kesuburan tanah.
Pakar masalah pertanian (meskipun dia sendiri tidak suka disebut demikian) menyimpulkan, pengembangan pertanian lahan kering untuk menghasilkan pangan lokal bukan sekadar satu masalah teknis agronomis. Bukan pula ekologis. Ia terutama satu masalah human-ekologi, melibatkan interaksi manusia dengan agroekosistem tempat ia tinggal dan berusaha-tani. (habis)
Pos Kupang edisi Kamis, 23 Juli 2009 halaman 1